Berpuasa Tapi Sedang Menjalanan Terapi

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum..ustd
Mohon penjelasan: bagaimana hukumnya bagi seseorang yang tidak berpuasa karena harus menjalani terapi minum obat secara teratur diantara waktu berpuasa. Jika harus menggati dg membayar fidyah, bolehkah dibayarkan oleh orang tuanya dinegara yang berbeda? Terimakasih atas pencrahannya.

(+62 812-7790-9xxx)

📬 JAWABAN

🌱🌱🌱🌱

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah .. Bismillah wal Hamdulillah ..

Semoga Allah Ta’ala memberikan kesembuhan yang sempurna kepada saudara penanya .. amiin.

Dalam masalah ini, perlu diperjelas dulu bagqimqna penyakit yang dialami. Jika itu penyakit yang masih ada harapan sembuh, maka cara menggantinya adalah qadha di hari-hari lain.

Hal ini ditegaskan oleh ayat:

فمن كان منكم مريضا او على سفر فعدة من ايام اخر

Barangsiapa di antara kalian sakit atau dalam keadaan safar, maka kalian boleh mengganti puasa yang kalian tinggalkan dihari-hari lainnya. (Qs. Al Baqarah: 184)

Ada pun jika penyakit tersebut adalah penyakit menahun, sulit sembuh, shgga sulit berpuasa kapan pun, maka dia fidyah, bukan qadha.

Hal ini berdasarkan ayat:

و على الذين يطيقونه فدية طعام مسكين

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. (Qs. Al Baqarah: 184)

Nah, kondisi yang ditanyakan ini mesti dipetakan, jenis penyakit yang mana. Jika masih ada harapan sembuh, maka qadhalah dihari-hari sehat nanti. Jika termasuk penyakit menahun, yang membuatnya berat berpuasa, maka fidyah. Fidyah boleh dibayarkan oleh keluarganya jika memang dia tidak mampu atau memang belum berpenghasilan, idealnya diberikan kepada fakir miskin setempat dengannya.

Demikian. Wallahu A’lam

☘🌸🌺🌴🌻🍃🌾🌷

✍ Farid Nu’man Hasan

Fiqih I’tikaf (Bag. 6)

💥💦💥💦💥💦

📌Hadits: Tidak Ada I’tikaf Kecuali Pada Tiga Masjid

Bunyi hadits:

لا اعتكاف إلا في المساجد الثلاثة

“Tidak ada i’tikaf kecuali pada 3 masjid.” (HR. Ath Thahawi, Syarh Musykilul Atsar No. 2771. Al Baihaqi , 4/316) yaitu masjidil haram, masjid nabawi, dan masjidil aqsha
Syaikh Utsaimin mengatakan: hadits ini dhaif (lemah). (Syarhul Mumti’, 6/164).

Sementara Syaikh Al Albani mengatakan:

و هذا إسناد صحيح على شرط الشيخين

Isnad hadits ini shahih sesuai syarat syaikhain (Bukhari-Muslim). (As Silsilah Ash Shahihah No. 2786)

Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu memaknai bahwa hadits di atas, hanya mengingkari kesempurnaan I’tikaf saja, tidak sampai mengingkari keabsahan I’tikaf di masjid lain.

Syaikh Al Albani mengatakan bahwa Ibnu Mas’ud mentakwil demikian, Katanya:

لا اعتكاف كاملا ، كقوله صلى الله عليه وسلم : ” لا إيمان لمن لا أمانة له ، و لا دين لمن لا عهد له ” و الله أعلم

“I’tikafnya tidak sempurna, sebagaimana Sabdanya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Tidak ada iman bagi yang tidak menjaga amanah, dan tidak beragama bagi yang tidak menepati janji.” Wallahu A’lam (Ibid)

Syaikh Utsaimin Rahimahullah juga memahami demikian, katanya:

إن صح هذا الحديث فالمراد به لا اعتكاف تام، أي أن الاعتكاف في هذه المساجد أتم وأفضل، من الاعتكاف في المساجد الأخرى، كما أن الصلاة فيها أفضل من الصلاة في المساجد الأخرى. ويدل على أنه عام في كل مسجد قوله تعالى: {{وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ}} [البقرة: 187] .فقوله تعالى: {{فِي الْمَسَاجِدِ}} (الـ) هنا للعموم….

Jika hadits ini shahih, maka maksudnya adalah I’tkafnya tidak sempurna, yaitu sesungguhnya I’tikaf di masjid-masjid ini adalah lebih sempurna dan afdhal dibanding I’tikaf di masjid lain sebagaimana shalat di dalamnya lebih afdhal dibanding shalat di masjid lain. Hal yang menunjukkan bahwa ini berlaku untuk semua masjid adalah firmanNya: (Janganlah kalian mencampuri mereka sedangkan kalian I’tikaf di masjid-masjid), firman Allah fil Masajid (di masjid-masjid), Al (alif lam) di sini menunjukkan umum … (Ibid)

Beliau melanjutkan:

ثم كيف يكون هذا الحكم في كتاب الله للأمة من مشارق الأرض ومغاربها، ثم نقول: لا يصح إلا في المساجد الثلاثة؟! فهذا بعيد أن يكون حكم مذكور على سبيل العموم للأمة الإسلامية، ثم نقول: إن هذه العبادة لا تصح إلا في المساجد الثلاثة، كالطواف لا يصح إلا في المسجد الحرام. فالصواب أنه عام في كل مسجد، لكن لا شك أن الاعتكاف في المساجد الثلاثة أفضل، كما أن الصلاة في المساجد الثلاثة أفضل.

Lalu, bagaimana bisa hukum yang terdapat dalam kitabullah yang berlaku bagi umat di timur dan barat, lalu kita mengatakan kepada mereka: tidak sah kecuali di tiga masjid? Ini adalah sangat jauh, jika hukum tersebut diterapkan secara umum bagi semua umat Islam. Kemudian kita mengatakan ibadah ini tidak sah kecuali di tiga masjid, seperti thawaf tidak sah kecuali di masjidil haram.
Yang benar adalah bahwa ini berlaku umum pada setiap masjid, tetapi tidak ragu lagi I’tikaf di tiga masjid tersebut lebih utama, sebagaimana shalat di dalamnya lebih utama. (Ibid)

Hanya saja Syaikh Utsaimin menegaskan, bahwa yang disebut masjid adalah yang di dalamnya ditegakkan shalat berjamaah dan shalat Jumat, jika tidak ada shalat Jumat, maka itu bukan masjid. Dengan kata lain, beliau sebenarnya berada pada kelompok pertama, yaitu hanya membolehkan I’tikaf pada masjid jami’, hanya saja beliau tidak mengistilahkannya dengan masjid jami’

Bersambung …

🍃🌾🌸🌴🌺☘🌷🌻

✏ Farid Nu’man Hasan

Serial Fiqih I’tikaf

Fiqih I’tikaf Bag 1

Fiqih I’tikaf Bag 2

Fiqih I’tikaf Bag 3

Fiqih I’tikaf Bag 4

Fiqih I’tikaf Bag 5

Fiqih I’tikaf Bag 6

Fiqih I’tikaf Bag 7

Fiqih I’tikaf Bag 8

Fiqih I’tikaf Bag 9

Download E-book Fiqih I’tikaf:

Fiqih I’tikaf oleh Farid Nu’man Hasan

Membela Kehormatan Ulama

💦💥💦💥💦💥

Berikut ini adalah fatwa Syaikh Abdullah Al Faqih terhadap buku yang penjudulannya begitu menghina dan merendahkan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullah.

رقم الفتوى 10713 إهانة العلماء وتحقيرهم حرام
تاريخ الفتوى : 16 رجب 1422
السؤال
صدر كتاب في عنوانه إطلاق اسم ( الكلب العاوي ) على العلامة الشيخ القرضاوي حفظه الله ورعاه من كل شر، فهل هذا من الإسلام أن يطلق على العالم المسلم لقب الكلب العاوي والعياذ بالله؟
الفتوى
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أما بعد:
فلا يجوز إطلاق هذا الوصف على أحد من العلماء أو الدعاة ، بل ولا يجوز إطلاقه على أي مسلم.
ويجب احترام العلماء وتوقيرهم ، وإحسان الظن بهم ، ولزوم الأدب في نقاشهم أو الرد عليهم.
وإهانة العلماء وازدراؤهم -مع كون ذلك محرماً- يهون من قيمة العلم وأهله ، ويجرئ العامة على ترك التعلم ، والعزوف عن مجالس العلماء ، وربما قادهم ذلك إلى نبذ الدين رأساً. والله المستعان.
المفتي: مركز الفتوى بإشراف د.عبدالله الفقيه

No Fatwa: 10713 : “Menghina Ulama dan Merendahkan Mereka adalah Haram”

Tanggal Fatwa : 16 Rajab 1422H

Pertanyaan:

Telah terbit sebuah buku yang penjudulannya memutlakan penamaan (Al Kalb Al ‘Aawi – Anjing Menggonggong, kaya Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i Rahimahullah)  terhadap Al ‘Allamah Asy Syaikh Yusuf Al Qaradhawi -semoga Allah  menjaganya dan melindunginya dari segala keburukan. Apakah hal tersebut termasuk dari Islam memutlakan sebuah gelar kepada seorang ulama muslim dengan  sebutan  Anjing Menggonggong – wal ‘iyadzubillah?

Jawaban:

Alhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah wa ‘ala aalihi wa shahbihi amma ba’d:

Secara mutlak tidak boleh memberikan sifat tersebut kepada seorang  pun dari ulama atau para da’i, bahkan hal itu juga tidak boleh kepada muslim mana pun. Wajib menghormati para ulama dan  menjaga kewibawaan mereka, dan berbaik sangka terhadap mereka, dan mesti menjaga adab dalam berdiskusi dan menyanggah pendapat mereka.

Menghina ulama dan merendahkan mereka –yang mana itu adalah perbuatan haram- (berarti) telah menghina ilmu dan ahlinya, dan membuat orang umum meninggalkan upaya menuntut ilmu, dan menjauhi majelis para ulama, dan barang kali itu juga menuntun mereka untuk mengenyampingkan agama secara langsung. Wallahul Musta’an!

(Mufti: Markaz Al Fatwa, dengan pembimbing: Dr. Abdullah Al Faqih)

🍃🌾🌸🌻🌴🌺🌷☘

✏ Farid Nu’man Hasan

Fiqih I’tikaf (Bag. 5)

🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📌I’tikaf Wajib di Masjid; Masjid yang Bagaimanakah?

Di masjid adalah syarat sahnya I’tikaf sesuai petunjuk Al Quran Al Baqarah ayat 187, juga contoh dari sunah Rasululah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Disebutkan dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah:

أَجْمَعَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّهُ لاَ يَصِحُّ لِلرَّجُل أَنْ يَعْتَكِفَ إِلاَّ فِي الْمَسْجِدِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى : { وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ } ، وَلأَِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَعْتَكِفْ إِلاَّ فِي الْمَسْجِدِ
وَأَمَّا الْمَرْأَةُ فَقَدْ ذَهَبَ الْجُمْهُورُ إِلَى أَنَّهَا كَالرَّجُل لاَ يَصِحُّ أَنْ تَعْتَكِفَ إِلاَّ فِي الْمَسْجِدِ ، مَا عَدَا الْحَنَفِيَّةَ فَإِنَّهُمْ يَقُولُونَ إِنَّهَا تَعْتَكِفُ فِي مَسْجِدِ بَيْتِهَا لأَِنَّهُ هُوَ مَوْضِعُ صَلاَتِهَا ، وَلَوِ اعْتَكَفَتْ فِي مَسْجِدِ الْجَمَاعَةِ جَازَ مَعَ الْكَرَاهَةِ التَّنْزِيهِيَّةِ .

“Fuqaha telah ijma’ bahwa tidak sah bagi laki-laki yang beri’itikaf kecuali di masjid, sesuai firmanNya Ta’ala: sedang kalian sedang   I’tikaf di masjid. (QS. Al Baqarah : 187), dan  karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak beri’tikaf kecuali di masjid.

Ada pun wanita, jumhur ulama mengatakan bahwa mereka sama dengan laki-laki; tidak sah I’tikaf kecuali di masjid, kecuali menurut Hanafiyah, mereka mengatakan bahwa waita I’tikaf di masjid di rumahnya, karena di sanalah tempat shalat mereka, dan seandainya mereka I’tikaf   di masjid, boleh saja namun makruh tanzih (makruh yang mendekati boleh).” (Al Mausu’ah, 37/213)

Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani Rahimahullah:

وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى مَشْرُوطِيَّة الْمَسْجِدِ لِلِاعْتِكَافِ ، إِلَّا مُحَمَّدَ بْن عُمَر اِبْن لُبَابَةَ الْمَالِكِيَّ فَأَجَازَهُ فِي كُلِّ مَكَانٍ ، وَأَجَازَ الْحَنَفِيَّةُ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَعْتَكِفَ فِي مَسْجِدِ بَيْتِهَا وَهُوَ الْمَكَان الْمُعَدُّ لِلصَّلَاةِ فِيهِ

“Ulama telah sepakat atas pensyaratan masjid untuk I’tikaf, kecuali Muhammad bin Umar bin Lubabah Al Maliki yang membolehkan di setiap tempat. Kalangan Hanafiyah membolehkan kaum wanita I’tikaf di masjid rumahnya, yaitu tempat yang dipersiapkan untuk shalat di dalamnya.” (Fathul Bari, 4/272. Darul Fikr)

Demikian kesepakatannya, ada pun adanya pendapat yang menyendiri yang bertabrakan dengan mainstream dalam hal ini, tidaklah dianggap. Namun walau mereka bersepakat tentang keharusan di masjid, mereka berselisih pendapat tentang jenis masjidnya.

Beliau melanjutkan:

وَذَهَبَ أَبُو حَنِيفَة وَأَحْمَد إِلَى اِخْتِصَاصه بِالْمَسَاجِدِ الَّتِي تُقَام فِيهَا الصَّلَوَات ، وَخَصَّهُ أَبُو يُوسُف بِالْوَاجِبِ مِنْهُ وَأَمَّا النَّفْل فَفِي كُلّ مَسْجِد ، وَقَالَ الْجُمْهُور بِعُمُومِهِ مِنْ كُلّ مَسْجِد إِلَّا لِمَنْ تَلْزَمهُ الْجُمُعَةُ فَاسْتَحَبَّ لَهُ الشَّافِعِيّ فِي الْجَامِع ، وَشَرَطَهُ مَالِكٌ لِأَنَّ الِاعْتِكَافَ عِنْدهمَا يَنْقَطِعُ بِالْجُمُعَةِ ، وَيَجِبُ بِالشُّرُوعِ عِنْد مَالِك ، وَخَصَّهُ طَائِفَةٌ مِنْ السَّلَف كَالزُّهْرِيِّ بِالْجَامِعِ مُطْلَقًا وَأَوْمَأَ إِلَيْهِ الشَّافِعِيّ فِي الْقَدِيم ، وَخَصَّهُ حُذَيْفَةُ بْن الْيَمَانِ بِالْمَسَاجِدِ الثَّلَاثَة ، وَعَطَاءٌ بِمَسْجِدِ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ وَابْنُ الْمُسَيِّبِ بِمَسْجِدِ الْمَدِينَةِ ، وَاتَّفَقُوا عَلَى أَنَّهُ لَا حَدَّ لِأَكْثَرِهِ

“Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad  berpendapat dikhususnya I’tikaf hanya pada masjid yang di dalamnya dilaksanakan berbagai shalat, Imam Abu Yusuf mengkhususkan pada shalat wajib saja, ada pun shalat sunah bisa di semua masjid. Mayoritas (jumhur) berpendapat sesuai keumumannya pada semua masjid, kecuali bagi orang yang juga sekalian shalat Jumat, maka kalangan Imam Asy Syafi’i menyunnahkan di masjid Jami’, ada pun Imam Malik mensyaratkan hal itu (Masjid Jami’) karena menurut mereka berdua, I’tikaf menjadi terputus karena shalat Jumat. Imam Malik mewajibkan hal itu (keberadaan di masjid Jami’) sejak permulaan I’tikaf. Sebagian salaf seperti Az Zuhri mengkhususkan masjid jami’ secara mutlak, hal itu juga diisyaratkan Imam Asy Syafi’i dalam pendapat lamanya.

Sedangkan Hudzaifah bin Yaman mengkhususkan di tiga masjid saja (Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Mas

jidil Aqsha), Atha’ mengkhususkan pada masjid di Mekkah dan Madinah, Said bin Al Musayyib mengkhususkan masjid di Madinah, dan mereka sepakat tidak ada batasan dalam hal banyaknya.” (Ibid)

Dari penjelasan Al Hafizh, kita bisa simpulkan, bahwa para fuqaha berselisih tentang jenis masjid yang boleh dilakukan i’tikaf di dalamnya:

1.  Sahnya I’tikaf hanya di masjid yang di dalamnya dilakukan shalat yang lima dan shalat Jumat (Istilahnya: masjid jami’). Inilah pendapat Abu Hanifah, Ahmad, Abu Tsaur, Malik, dll

2.  I’tikaf sah di lakukan di semua masjid, termasuk masjid yang tidak mendirikan shalat Jumat. (istilahnya: masjid ghairu Jami’ – surau), inilah pendapat, Syafi’i, Daud,   dll. Inilah pendapat jumhur (mayoritas ulama).   Imam Bukhari juga mengikuti pendapat ini, beliau menulis dalam Shahihnya:

بَاب الِاعْتِكَافِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ وَالِاعْتِكَافِ فِي الْمَسَاجِدِ كُلِّهَا

Bab I’tikaf di 10 Hari terakhir dan I’tikaf Masjid-Masjid Seluruhnya. (lalu beliau mengutip Al Baqarah 187)

3.  I’tikaf hanya sah dilakukan di tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsa. Ini pendapat Hudzaifah bin Yaman Radhiallahu ‘Ahu, ini yang nampak dari  pendapat Syaikh Al Albani Rahimahullah, dalam As Silsilah Ash Shahihah No. 2786.

4.  Hanya  masjid di Mekkah dan Madinah, apa pun masjid itu. Ini pendapat ‘Atha

5.  Hanya masjid di Madinah, apa pun masjid itu. Ini pendapat Sa’id bin Al Musayyib

Nampak bahwa pendapat jumhur adalah pendapat yang lebih kuat, sebagaimana penjelasan Syaikh Ibnul Utsaimin pada pembahasan selanjutnya.

(Bersambung …)

🍃🌿🌾🌸🌷☘🌳🍁

✏ Farid Nu’man Hasan

Serial Fiqih I’tikaf

Fiqih I’tikaf Bag 1

Fiqih I’tikaf Bag 2

Fiqih I’tikaf Bag 3

Fiqih I’tikaf Bag 4

Fiqih I’tikaf Bag 5

Fiqih I’tikaf Bag 6

Fiqih I’tikaf Bag 7

Fiqih I’tikaf Bag 8

Fiqih I’tikaf Bag 9

Download E-book Fiqih I’tikaf:

Fiqih I’tikaf oleh Farid Nu’man Hasan

scroll to top