🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾
Daftar Isi
SYARAH HADITS KETIGA, Lanjutan
📦 Perbekalan Haji
Pergi haji adalah perjuangan yang cukup panjang. Maka, dibutuhkan perbekalan yang mecukupi, khususnya perbekalan yang bisa memudahkan baginya mencapai derajat haji yang mabrur.
1⃣ Bekal Taqwa
Allah Ta’ala berpesan kepada para jamaah haji:
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
“Berbekal-lah, maka sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa.” (QS. Al Baqarah (2): 197)
Ayat yang mulia ini memerintahkan adanya perbekalan yang harus dibawa oleh jamaah haji. Sebaik-baiknya perbekalan adalah taqwa. Apa yang dimaksud dengan taqwa?
Taqwa menurut para ulama adalah imtitsalul awamir wa ijtinabu an nawahi (menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Umar bin Khathab mengartikan Taqwa adalah kehati-hatian. Secara bahasa taqwa artinya adalah takut, yakni takut kepada Allah Ta’ala.
Maka renungkanlah ini. Ketika kita berada di tanah suci nanti, kita sedang memenuhi panggilanNya dengan mengatakan Labbaik Allahumma Labaik …, kita sedang bertamu di rumahNya, tentu seorang tamu harus menjaga adab dan kesopanan agar dia dihormati dan disegani yang punya rumah. Banyak-banyaklah di sana melakukan aktifitas yang membuat tuan rumah senang, jangan membuatNya murka: perbanyaklah dzikir, shalat sunah, membaca Al Quran, dan senantiasa berbaik sangka kepada sesama jamaah haji. Hindari kata-kata kotor, tidak puas, malas ibadah, dan terlalu banyak tidur. Sebab, kesempatan berkunjung ke Baitullah belum tentu dua kali dalam seumur hidup kita.
2⃣ Bekal Sabar
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (QS. Ali Imran 93): 200)
Kita mengetahui tiap tahunnya berjuta-juta jamaah haji datang dari penjuru dunia. Mereka berkumpul di tempat yang sama dan terbatas. Satu sama lain belum saling mengenal, hanya aqidahlah yang mengikat mereka. Mereka memiliki latar belakang hidup yang berbeda; ada pengusaha, militer, pegawai, pekerja kasar, rakyat biasa, orang terdidik, dan lainnya. Mereka juga memiliki watak dan perilaku yang tidak sama. Oleh karena itu, kemungkinan terjadi ‘ketidakcocokan’ sangat besar. Ada yang mebuat kita senang, tetapi ada juga yang membuat kita marah. Ada yang membuat kita tersenyum, ada juga yang membuat kita bermuka masam. Di sinilah letak pentingnya kesabaran dan melipatgandakan kesabaran. Sabar terhadap perilaku mereka, sabar terhadap keanehan-keanehan mereka. Tentunya, sabarlah dengan keterbatasan pelayanan petugas haji terhadap kita, sabar dalam beribadah, sabar dalam menunggu makanan, sabar dalam mengantri kamar mandi atau wudhu, dan bentuk kesabaran lainnya.
Allah Ta’ala berfirman tentang ciri orang bersabar:
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِين
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran (3): 134)
Dalam ayat lain Allah Ta’ala juga berfirman:
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ السَّيِّئَةَ نَحْنُ أَعْلَمُ بِمَا يَصِفُونَ
“Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan.” (QS. Al Mu’minun (23): 96)
Hakikat sabar adalah pada reaksi pertama atas musibah atau peristiwa buruk yang menimpa kita. Jika kita marah, ngerepek, mengumpat, atau menangis dan menyesali kejadian, lalu kemudian kita beristighfar dan baru menyadari kesalahan, maka itu bukan manusia sabar sejati. Manusia sabar sejati adalah yang awal sikapnya terhadap segala macam keadaan dengan mengatakan: Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un! Bukan langsung dengan marah atau tangisan …
Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Sha
llallahu ‘Alaihi wa Sallam bersaba:
الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الْأُولَى
“Sabar adalah pada hantaman yang pertama.” (HR. Bukhari No. 1223)
3⃣ Bekal Ilmu
Dalam hal apa saja manusia membutuhkan ilmu. Bahkan orang berbuat jahat pun membekali diri dengan ilmu untuk menyokong kejahatannya. Maka ibadah haji, sebagai salah satu rukun Islam, lebih layak lagi untuk membekali diri dengan ilmu. Sebab, amal shalih tanpa didasari oleh ilmu maka kemungkinan terjadinya kesalahan sangat besar. Betapa banyak orang-orang yang bersemangat ibadah, namun tidak dibarengi oleh ilmu, akhirnya mereka jatuh pada sikap ekstrim dan melampaui batas.
Allah Ta’ala berfirman:
فَاعْلَمُوا أَنَّمَا أُنْزِلَ بِعِلْمِ اللَّهِ وَأَنْ لا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَهَلْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“… Maka ketahuilah, Sesungguhnya Al Quran itu diturunkan dengan ilmu Allah, dan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia, Maka maukah kamu berserah diri (kepada Allah)? “ (QS. Hud (11): 14)
Lihatlah ayat yang mulia ini! Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk mengetahui ilmu tentangNya sebelum mengimaniNya.
Dalam hal haji, maka ilmu tentang manasik adalah wajib diketahui. Agar kita bisa melaksanakan haji sesuai dengan tuntunan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mengerti rukun, wajib, dan sunahnya, dengan tidak mencampuradukkan semua. Kita lihat, ribuan manusia berdesak-desakkan ingin mencium Hajar Aswad hingga akhirnya melukai jamaah lain. Padahal mencum Hajar Aswad bukanlah rukun dan wajibnya haji, dia hanya sunah, bahkan sebagian ulama tidak menyunnahkannya.
Umar bin Al Khathab pernah berkata ketika mencium Hajar Aswad: “ Sungguh aku menciummu karena lau pernah dicium Nabi, jika kau tidak pernah dicium oleh Nabi, niscaya aku pun tidak mau menciummu!” Ini semua demi menjaga kemurnian Tauhid. Kehadiran kita di sana untuk membesarkan dan memuliakan Allah, bukan untuk mengkultuskan Hajar Aswad. Naudzubillah! Kesalahan persepsi ini lantaran bekal ilmu yang kurang.
4⃣ Bekal Finansial (Harta) Yang Halal
Di antara makna istitha’ah (mampu) bagi orang yang hendak pergi haji adalah mampu dalam hal harta; baik ongkos berangkat dan keperluan di sana, juga untuk keluarga yang ditinggal. Maka, tidak dibenarkan orang pergi haji, tetapi dia meninggalkan keluarga yang kelaparan dan melarat. Atau, tidak sedikit orang berhutang untuk pergi haji. Hingga dikemudian hari hal itu menjadi beban hidup baginya dan keluarganya. Tentu bukan ini akhir dari perjalanan haji yang kita harapkan.
Bagi yang belum ada kemampuan maka gugurlah kewajibannya. Sebab Allah Ta’ala tidak membebani apa-apa yang hambaNya tidak mampu. Maka, janganlah seorang hamba memaksakan diri yang Allah Ta’ala sendiri tidak mau memaksakan diri hambaNya.
Berhutang atau kredit untuk haji merupakan tanda ketidakmampuannya. Ini menunjukkan sebenarnya dia belum wajib haji. Oleh karena itu, dalam hadits riwayat Al Baihaqi, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang orang pergi haji dengan cara berhutang.
Dari Abdullah bin Abi Aufa Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
سألته عن الرجل لم يحج ، أيستقرض للحج ؟ قال : « لا »
“Aku bertanya kepadanya, tentang seorang yang belum pergi haji, apakah dia berhutang saja untuk haji?” Beliau bersabda: “Tidak.” (HR. Asy Syafi’i, Min Kitabil Manasik, Juz. 1, Hal. 472, No. 460. Al Baihaqi, Ma’rifatus Sunan wal Atsar, Juz. 7, Hal. 363, No. 2788. Syamilah)
Imam Asy Syafi’i berkata tentang hadits ini:
ومن لم يكن في ماله سعة يحج بها من غير أن يستقرض فهو لا يجد السبيل
“Barangsiapa yang tidak memiliki kelapangan harta untuk haji, selain dengan hutang, maka dia tidak wajib untuk menunaikannya.” (Imam Asy Syafi’i, Al Umm, Juz. 1, Hal. 127. Syamilah)
Namun, demikian para ulama tetap menilai hajinya sah, sebab status tidak wajib haji karena dia belum istitha’ah, bukan berarti tidak boleh haji. Ada pun larangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena Beliau tidak mau memberatkan umatnya yang tidak mampu, itu bukan menunjukkan larangannya. Yang penting, ketika dia berhutang atau kredit, dia harus dalam kondisi bahwa dia bisa melunasi hutang atau kredit tersebut pada masa selanjutnya.
Yang perlu diperhatikan pula adalah bekal finansial seperti apa yang harus dipersiapkan? Yakni yang halal dan berasal dari usaha yang baik-baik. Bukan dari usaha haram.
Haji adalah salah satu rukun Islam. Ibadah yang mulia dan syiar Islam yang agung. Sangat tidak pantas ibadah semulia ini dimodalkan dengan harta yang haram dan kotor, tidak sepatutnya upaya mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan uang haram.. Apalagi orang tersebut mengetahui keharaman hartanya. Ini merupakan sikap talbisul haq bil bathil (mencampur antara yang haq dan batil), yang sangat Allah Ta’ala cela, dan merupakan salah satu sifat Bani Israel, sebagaimana yang Allah Ta’ala gambarkan dalam Al Quran.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah (2): 42)
Sedangkan, dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا
“Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu baik, tidak akan menerima kecuali yang baik-baik.” (HR. Muslim No. 1015. At Tirmidzi No. 4074, katanya: hasan gharib. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 5497)
Secara fiqih, walau pun ada ulama yang berpendapat hajinya tetap sah selama manasiknya benar dan sempurna, namun mereka tetap mengatakan, haji dengan uang haram adalah berdosa. Maka, apa yang bisa diharapkan dari haji seperti ini? Berharap mendapatkan haji mabrur, ternyata menuai dosa. Namun, pendapat yang kuat adalah hajinya tidak sah, sebagaimana yang dikatakan Imam Ahmad.
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
ويجزئ الحج وإن كان المال حراما ويأثم عند الاكثر من العلماء. وقال الامام أحمد: لايجزئ، وهو الاصح لما جاء في الحديث الصحيح: ” إن الله طيب لا يقبل إلا طيبا “.
“Haji tetap sah walau dengan uang haram, namun pelakunya berdosa menurut mayoritas ulama. Imam Ahmad berkata: hajinya tidak sah. Dan inilah pendapat yang paling benar sesuai hadits shahih: Sesungguhnya Allah baik, tidaklah menerima kecuali yang baik.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/640)
Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri Rahimahullah berkata:
ومعنى الحديث أنه تعالى منزه عن العيوب فلا يقبل ولا ينبغي أن يتقرب إليه إلا بما يناسبه في هذا المعنى. وهو خيار أموالكم الحلال كما قال تعالى: {لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ}
“Makna hadits ini adalah bahwa Allah Ta’ala suci dari segala aib, maka tidaklah diterima dan tidak sepatutnya mendekatkan diri kepadaNya kecuali dengan apa-apa yang sesuai dengan makna ini. Yakni dengan sebaik-baik hartamu yang halal, sebagaimana firmanNya: “Kamu selamanya belum mencapai kebaikan sampai kamu menginfakan apa-apa yang kamu cintai ..” (Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri, Tuhfah Al Ahwadzi, Juz. 8, Hal. 333, No. 4074. Al Maktabah As Salafiyah)
Di tanah suci, di depan Ka’bah, atau di Raudhah dia berdoa, padahal dengan uang haramlah yang membuatnya berada si sana. Bagaimana mungkin doanya didengar?
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:
ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan, seorang laki-laki yang panjang perjalanannya, berambut kusut, berdebu, dan menengadahkan tangannya ke langit: “Ya Rabb .. Ya Rabb .., tetapi suka makan yang haram, minum yang haram, pakaiannya juga haram, dan dikenyangkan dengan yang haram. Maka, bagaimana doanya bisa dikabulkan?” (HR. Muslim)
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id mengatakan, yang dimaksud dengan, “panjang perjalanannya” adalah:
يطيل السفر في وجوه الطاعات: الحج وجهاد وغير ذلك من وجوه البر ومع هذا فلا يستجاب له لكون مطعمه ومشربه وملبسه حراماً
“Panjang perjalannya dalam rangka ketaatan, seperti haji, jihad, dan lainnya yang termasuk perjalanan kebaikan, namun demikian doanya tidak dikabulkan karena makanan, minuman, dan pakaiannya yang
haram.” ( Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Hal. 60. Hadits No. 10. Muasasah Ar Rayyan)
Bersambung .. Masih hadits ke-3
🌿🌷🌻🍃🌾🌳☘🍁
✏ Farid Nu’man Hasan