Bahaya-Bahaya Melupakan Al Qur’an (Bag. 2)

▫▫▫▫▪▪▪▪

3⃣ Kesesatan yang jauh

Al Qur’an adalah huda lin naas, petunjuk bagi semua manusia. Maka, ketika manusia berpaling darinya tentu mereka berpaling dari panduan hidup .., sehingga mereka tersesat dan jauh tersesat.

Allah Ta’ala berfirman:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا

Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu (Al Quran) dan kepada apa yang diturunkan sebelummu? Tetapi mereka masih menginginkan ketetapan hukum kepada Thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari Thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) kesesatan yang sejauh-jauhnya.

(QS. An-Nisa’, Ayat 60)

Ayat ini menceritakan tentang tersesatnya manusia yang memakai Al Qur’an dan As Sunnah tapi juga menggunakan petunjuk, ketetapan, dan hukum selain Al Qur’an dan As Sunnah. Mereka lebih memilih selain Al Qur’an, dan Allah Ta’ala menyebutnya sebagai ketetapan Thaghut. Tapi mereka mengklaim telah ikut Al Qur’an, Allah Ta’ala menyebut mereka tersesat. Ini menunjukkan mengikuti Al Qur’an mesti tulus dan total.

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan ayat ini:

هَذَا إِنْكَارٌ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى مَنْ يَدَّعِي الْإِيمَانَ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ وَعَلَى الْأَنْبِيَاءِ الْأَقْدَمِينَ، وَهُوَ مع ذلك يريد أن يتحاكم فِي فَصْلِ الْخُصُومَاتِ إِلَى غَيْرِ كِتَابِ اللَّهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ، كَمَا ذُكِرَ فِي سَبَبِ نُزُولِ هَذِهِ الْآيَةِ أَنَّهَا فِي رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ ورجل من اليهود تخصاما، فَجَعَلَ الْيَهُودِيُّ يَقُولُ: بَيْنِي وَبَيْنَكَ مُحَمَّدٌ، وَذَاكَ يَقُولُ: بَيْنِي وَبَيْنَكَ كَعْبُ بْنُ الْأَشْرَفِ، وَقِيلَ: فِي جَمَاعَةٍ مِنَ الْمُنَافِقِينَ مِمَّنْ أَظْهَرُوا الْإِسْلَامَ، أَرَادُوا أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى حُكَّامِ الْجَاهِلِيَّةِ، وَقِيلَ غَيْرُ ذَلِكَ، وَالْآيَةُ أَعَمُّ مِنْ ذَلِكَ كُلِّهِ، فَإِنَّهَا ذَامَّةٌ لِمَنْ عَدَلَ عَنِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ. وَتَحَاكَمُوا إِلَى مَا سِوَاهُمَا مِنَ الْبَاطِلِ، وَهُوَ الْمُرَادُ بِالطَّاغُوتِ هَاهُنَا، وَلِهَذَا قَالَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ إلىآخرها

Ayat ini merupakan pengingkaran Allah terhadap orang yang mengklaim beriman kepada apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ (Al Qur’an) dan apa yang diturunkan kepada para nabi terdahulu. Saat yang bersamaan, mereka ingin mendamaikan pertengkaran manusia tapi tidak menggunakan Al Qur’an dan sunnah RasulNya, sebagaimana tertera di dalam sebab turunnya ayat ini.

Ayat ini turun tentang pertengkaran seorang laki-laki Anshar, dgn org Yahudi. Si Yahudi berkata: “Antara saya dan kamu ada Muhammad.” Lalu laki-laki Anshar berkata: “Antara saya dan kamu ada Ka’ab bin Asyraf (tokoh Yahudi Madinah).” Ada yg mengatakan, ayat ini tentang segolongan orang-orang munafiq yang menampakkan keislaman, tapi mereka hendak menetapkan perkara dengan hukum jahiliyah. Ada pula versi lainnya.

Ayat ini berlaku lebih umum dari semua itu. Ini merupakan kecaman bagi mereka yang mengadili dari Al Qur’an dan As Sunnah, tapi juga menggunakan ketetapan selain keduanya dengan batil. Inilah maksud berhukum dengan hukum Thaghut di ayat ini. Oleh karenanya Allah berfirman: “Tetapi mereka masih menginginkan ketetapan hukum kepada Thaghut.”

(Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/305)

Inilah yg membuat mereka tersesat, ketika tidak puas dengan Al Qur’an, mereka tambahkan lagi dengan ketetapan dari sumber-sumber jahiliyah. Padahal semua itu mesti mereka inkari, sebagaimana penekanan dalam ayat tersebut:

وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ

” .. padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari Thaghut itu.”

Sebagian ahli tafsir generasi awal, memaknai hukum Thaghut dalam konteks ayat itu maksudnya hukum yang ditetapkan oleh tokoh Yahudi Madinah, Ka’ab bin Asyraf.

Imam Ibnul Jauzi Rahimahullah mengatakan:

والطاغوت: كعب بن الأشرف، قاله ابن عباس، ومجاهد، والضحاك، والربيع، ومقاتل

Thaghut yaitu Ka’ab bin Asyraf. Ini dikatakan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Adh Dhahak, Ar Rabi’, dan Muqatil.

(Zaadul Masiir, 1/426)

Namun, yg terjadi bukannya Thaghut ini diingkari justru malah diikuti. Akhirnya syetan menyesatkan mereka dengan kesesatan yang begitu nyata.

Allah Ta’ala menutup ayat itu dengan:

وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا

Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) kesesatan yang sejauh-jauhnya.

Demikian. Wallahu a’lam

(Bersambung)

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Bahaya-Bahaya Melupakan Al Qur’an (Bag. 1)

▫▫▫▫▪▪▪▪

Sejak 14-15 Abad lalu, Allah Ta’ala sudah menyebutkan akan datangnya masa umat Islam menjauh dari Al Qur’an. Menjauh artinya tidak membacanya, mentabburinya, apalagi mengamalkannya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَقَالَ الرَّسُولُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَٰذَا الْقُرْآنَ مَهْجُورًا

Dan Rasul (Muhammad) berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al-Qur’an ini sesuatu yang dijauhi.”

(QS. Al-Furqan, Ayat 30)

Sungguh, menjauh dari Al Qur’an adalah berbahaya bagi seorang muslim, atau masyarakat muslim, bahkan bagi umat manusia. Hal ini ditegaskan dalam banyak ayatNya.

Di antaranya:

1⃣ Penghidupan yang sempit (Ma’isyatan Dhanka)

Hal ini Allah Ta’ala tegaskan dalam Al Qur’an:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا

Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, …

(QS. Tha-Ha, Ayat 124)

Maksud dari “berpaling dari peringatanKu” adalah berpaling dari Al Qur’an.

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan:

أي خالف أمري وما أنزلته على رسولي أعرض عنه وتناساه وأخذ من غيره هداه

Yaitu menyelisihi perintahKu dan menyelisihi apa-apa yang Aku turunkan kepada RasulKu (Al Qur’an), berpaling darinya dan melupakannya dan menjadikan selainnya sebagai petunjuk.

(Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 5/283)

Ada pun “penghidupan yang sempit” yaitu kehidupan dunianya, baik hakiki yaitu sempit nafkahnya, atau sempit secara maknawi yaitu dadanya sempit dan gelisah, karena dia hidup di atas kesesatan, atau permasalahan yang tidak kunjung usai, dan lainnya.

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan:

أي ضنكا في الدنيا، فلا طمأنينة له ولا انشراح لصدره، بل صدره ضيق حرج لضلاله، وإن تنعم ظاهره ولبس ما شاء وأكل ما شاء وسكن حيث شاء، فإن قلبه ما لم يخلص إلى اليقين والهدى فهو في قلق وحيرة وشك، فلا يزال في ريبة يتردد فهذا من ضنك المعيشة

Yaitu sempit di dunia, tidak tenang, dan tidak lapang dadanya, tapi hatinya sempit karena kesesatannya. Walau zahirnya menampakkan nikmat hidup, memakai pakaian apa saja yg dia suka, memakan apa yang dia mau, dia tinggal di mana pun dia suka, tapi hatinya belum bersih kepada keyakinan dan petunjuk, hatinya gelisah dan dipenuhi keraguan, terus menerus dikuasai kebimbangan. Itulah kehidupan dunia yang sempit. (Ibid)

Maka, jika kita dirundung kegelisahan, ditimpa masalah demi masalah .. coba lihat dan evaluasi bagaimana hubungan kita dengan Al Qur’an ..

Sementara itu, Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu berkata: Rasulullah ﷺ bersabda tentang makna “penghidupan yang sempit”, maksudnya adalah “Azab Kubur.” Sanadnya jayyid. (Imam Ibnu Katsir, Ibid, 5/284)

2⃣ Dikumpulkan di akhirat dalam keadaan buta

Allah Ta’ala berfirman dalam ayat yang sama dengan poin pertama:

وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ

” … dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.”

(QS. Tha-Ha, Ayat 124)

Ini sesuatu yang menakutkan. Di dunia, kebutaan saja sudah tidak mengenakkan dan membingungkan, walau banyak manusia yang dapat membantu kita. Lalu, bagaimana kebutaan di akhirat, di mana manusia tidak bisa membantu satu sama lainnya karena masing-masing bertanggungjawab atas amalnya sendiri?

Buta di sini bermakna hilangnya penglihatan, hilangnya arah, petunjuk, dan kendali, di akhirat nanti ..

Imam Asy Syaukani Rahimahullah menjelaskan:

أي مَسْلُوبَ الْبَصَرِ، وَقِيلَ: المراد العمى عَنِ الْحُجَّةِ، وَقِيلَ: أَعْمَى عَنْ جِهَاتِ الْخَيْرِ لَا يَهْتَدِي إِلَى شَيْءٍ مِنْهَا

Yaitu kaburnya penglihatan. Dikatakan bahwa maksud dari buta adalah buta dari hujjah. Dikatakan pula, buta terhadap arah kebaikan, dan dia tidak ada pentunjuk untuk sedikit pun mencapai ke sana.

(Fathul Qadir, 3/462)

Sebab, Al Qur’an adalah kitab petunjuk bagi manusia, ke arah yang lurus dan paling benar .. maka melupakannya akan membuatnya jauh melenceng dari kebenaran. Penyesalan itu pun datang kemudian ..

Allah Ta’ala berfirman:

Dia berkata, “Ya Tuhanku, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal dahulu aku dapat melihat?”

Dia (Allah) berfirman, “Demikianlah, dahulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, dan kamu mengabaikannya, jadi begitu (pula) pada hari ini kamu diabaikan.”

(QS. Tha-Ha, Ayat 125-126)

Demikian. Wallahu a’lam

(Bersambung ..)

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Mempelesetkan Kalimat Takbir Menjadi Take Beer

▫▫▫▫▪▪▪▪

PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum, ustadz bagaimana konsekwensi seorang muslim yang melakukan olok olok terhadap kalimat kalimat toyyibah dalam Islam sebagai bahan candaan dan gurauan.. seperti kalimat takbir yang sengaja diplesetkan dengan kata kata lain yang berkonotasi buruk..

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh.

Bismillahirrahmanirrahim ..

Mengolok-olok kalimat takbir, atau semisalnya, mesti dirinci dulu, sebagai berikut:

Pertama. Jika pelakunya benar-benar ingin atau berniat merendahkan kalimat takbir, mengolok-oloknya, baik secara terang-terangan atau sindiran, dan orang itu orang yang paham hujjah dan dalil agama, maka ini kekafiran.

Imam Ibnu Hazm Rahimahullah mengatakan:

صَحَّ بِالنَّصِّ أَن كل من اسْتَهْزَأَ بِاللَّه تَعَالَى ، أَو بِملك من الْمَلَائِكَة ، أَو بِنَبِي من الْأَنْبِيَاء عَلَيْهِم السَّلَام ، أَو بِآيَة من الْقُرْآن ، أَو بفريضة من فَرَائض الدّين بعد بُلُوغ الْحجَّة إِلَيْهِ ، فَهُوَ كَافِر

Telah sah berdasarkan nash, bahwa orang yang mengolok-olok Allah Ta’ala, atau mengolok Malaikat di antara para malaikat, atau mengolok seorang nabi di antara para nabi ‘Alaihimussalam, atau satu ayat Al Qur’an, atau satu kewajiban di antara berbagai kewajiban agama setelah sampai kepada orang itu hujjah, maka dia kafir.

(Al Fashlu fil Milal wal Ahwa wan Nihal, 3/142)

Kapankah seseorg dikatakan telah meledek agama atau konten-konten agama?

Imam Al Ghazali Rahimahullah menjelaskan:

” وَمَعْنَى السُّخْرِيَةِ : الِاسْتِهَانَةُ ، وَالتَّحْقِيرُ ، وَالتَّنْبِيهُ عَلَى الْعُيُوبِ وَالنَّقَائِضِ ، عَلَى وَجْهٍ يُضْحَكُ مِنْهُ ، وَقَدْ يَكُونُ ذَلِكَ بِالْمُحَاكَاةِ فِي الْقَوْلِ وَالْفِعْلِ ، وَقَدْ يَكُونُ بِالْإِشَارَةِ وَالْإِيمَاءِ “

Makna “ejekan” (kepada agama) adalah menghina, merendahkan, mendeklarasikan aib dan kekurangan, menertawakan, hal ini bisa terjadi lewat perkataan, perbuatan, dan juga bisa dengan isyarat atau anggukan.

(Ihya ‘Ulumuddin, 3/131)

Bisa jadi “mengolok-olok” menjadi hal yg dianggap bias batasannya, dalam hal ini Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan:

وإذا لم يكن للسب حد معروف في اللغة ولا في الشرع : فالمرجع فيه إلى عرف الناس ؛ فما كان في العرف سبا للنبي فهو الذي يجب أن ننزل عليه كلام الصحابة والعلماء ، وما لا فلا

Jika mencela itu tidak diketahui batasannya baik secara bahasa dan syariat, maka yang menjadi ukuran adalah tradisi yang berlaku di tengah manusia. Maka, apa yang oleh tradisi bahwa perkataan seseorang sudah dianggap mencela nabi, maka atas orang itu berhak dihukumi perkataan para sahabat dan ulama (terhadap orang yang mencela nabi). Ada pun yang tidak demikian menurut tradisi, maka tidak dihukumi seperti itu.

(As Shaarim Al Masluul, Hal. 541)

Untuk kasus yang ditanyakan, tentang takbir yang dipelesetkan menjadi take beer, maka saya berbaik sangka bahwa -semoga- pelakunya tidak bermaksud mengolok-olok dan menghina, mungkin dia sedang terpeleset lisan atau jari jemarinya keserimpet saat mengetik. Sebab, kita yakin tidak ada ustadz yang paham agama, atau muslim yang waras, yang secara sadar melakukan itu.

Imam Badruddin Al ‘Aini Rahimahullah mengatakan:

إِحْسَان الظَّن بِاللَّه عز وَجل وبالمسلمين وَاجِب

Berbaik sangka kepada Allah dan kaum muslimin adalah wajib.

(‘Umdatul Qaari, 20/133)

Kedua. Jika plesetan takbir menjadi take beer adalah diniatkan sebagai nasihat kepada saudaranya yang sering berteriak takbir!, khususnya kalangan aktifis Islam, khususnya lagi kalangan yang concern dengan tanda-tanda akhir zaman dengan membaca simbol-simbol yang biasa dipakai oleh musuh Islam, maka ini bukan cara nasihat yang patut. Tujuan baik tapi caranya keliru.

Sebaiknya memberikan nasihat dengan memberikan tulisan ilmiah yang santun, tidak merendahkan, tapi memberikan alternatif dan solusi. Sebab, nyinyir kepada aktifis Islam tidak pantas dilakukan oleh orang yang paham agama. Dalam sejarah, kaum munafiq adalah golongan yang paling rajin nyinyir kepada para sahabat nabi, Radhiyallahu ‘Anhum. Tentunya kita berlindung diri kepada Allah Ta’ala dari kemunafikan.

Alangkah baiknya, orang yang terlanjur melakukan hal itu memohon ampun kepada Allah Ta’ala dan meminta maaf kepada manusia. Agar tetap terjaga nama baiknya. Bukan justru melakukan pembelaan, dan malah menyalahkan para pembacanya, yang akhirnya menjatuhkan dirinya dalam sikap batharul haq wa ghamtun naas (menolak kebenaran dan meremehkan manusia).

Demikian. Semoga Allah Ta’ala menjaga kita dari sifat-sifat buruk dan tercela.

Wallahul Muwafiq ilaa aqwamith Thariq

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Salahkah Beramal Karena Berharap Surga dan Karena Takut Neraka?

▫▫▫▫▪▪▪▪

PERTANYAAN:

Hani Ummu Arshan:
Ustadz apa benar belum sempurna iman kita jika masih takut neraka dan berharap surga?

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

JAWABAN

Bismillahirrahmanirrahim ..

Seorang beramal krn berharap surga dan ingin bebas dari neraka, karena memang Allah dan RasulNya mengiming-imingi seperti. Banyak ayat atau hadits menyebutkannya.

Seperti ayat-ayat jihad, sering kali Allah Ta’ala menyebutkan dijanjikan surga bagi para pelakunya .. baik dalam surat At Taubah, Ash Shaf dan lainnya.

Begitu pula dalam hadits-hadits Rasulullah ﷺ, .. seperti: membaca ayat kursi setiap habis shalat wajib maka tdk ada yang mencegahnya dari masuk surga, membaca al mulk akan terjaga dari siksa kubur, dll.

Sehingga seseorang yang beramal karena ingin surga dan menghindari neraka, adalah hal yang syar’i. Jangan dibenturkan dgn perkataan: “Kalau begitu dia beramal bukan karena ridha Allah, maka dia musyrik”, ini adalah pernyataan berlebihan.

Dalam Musnad Asy Syafi’iy, diriwayatkan bahwa doa yang paling banyak Rasulullah ﷺ baca saat Ihrom, adalah minta ridha, surga, dan perlindungan dari api neraka. Mirip doa umat Islam saat Ramadhan: Inni as’aluka ridhaka wal jannah wa a’udzubika minan naar (Aku minta kepadaMu ridhaMu dan surga, dan perlindungan dari api neraka).

Bahkan dalam surat Al Fajr, antara RIDHA dan SURGA itu tidak dipisahkan. Orang yang masuk surga pasti Allah ridha kepadanya, orang yang Allah ridhai pastilalah dia surga.

Perhatikan ayat-ayat berikut:

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ

Wahai jiwa yang tenang!

ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً

Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya.

فَادْخُلِي فِي عِبَادِي

Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku,

وَادْخُلِي جَنَّتِي

dan masuklah ke dalam surga-Ku.

(QS. Al Fajr: 27-30)

Demikian. Wallahu a’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

scroll to top