Kenapa Surah At Taubah (Al Bara’ah) Tidak Ada Basmalah?

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamua’laikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya izon bertanya ustadz kan surah at-Taubah tidak diawali dengan basmalah. Jadi apakah ketika kita ingin membacanya setelah ta’awudz kita langsung membaca ayatnya ustadz? Syukron ustadz (+62 857-5651-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillah al hamdulillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d:

Ya, saat kita membaca surah At Taubah (Al Bara’ah) hendaknya ta’awudz, lalu langsung baca ayat pertama tanpa membaca basmalah (Bismillahirrahmanirrahim). Ada pun selain surat At Taubah dianjurkan membaca basmalah saat diawal surat, demikianlah adabnya.

Imam an Nawawi Rahimahullah mengatakan:

وينبغي أن يحافظ على قراءة بسم الله الرحمن الرحيم في أول كل سورة سوى براءة فإن أكثر العلماء قالوا إنها آية حيث تكتب في المصحف

Sepatutnya membiasakan membaca “Bismillahirrahmanirrahim” di awal tiap surah Al Quran kecuali surah Al Bara’ah. Mayoritas ulama mengatakan bahwa basmalah adalah ayat yang tertulis dalam mushaf di setiap awal surah kecuali Al Bara’ah. (At Tibyan fi Adab Hamalatil Quran, Hal. 82)

Kenapa awal surah At Taubah tidak ada basmalah? Ada beberapa sebab menurut para ulama. Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menyebutkan dua alasan:

1. Karena para sahabat nabi tidak menuliskan basmalah pada awal surah At Taubah di mushaf induk, dan itulah yang diikuti Utsman Radhiallahu ‘Anhu saat pembukuan dimasanya.

2. At Taubah termasuk surat yang akhir-akhir turun kepada Rasulullah ﷺ di Madinah dan surat sebelumnya yaitu Al Anfal termasuk surat yang awal turun di Madinah, dan kisah keduanya mirip (yaitu tentang peperangan, sehingga dianggap satu kesatuan). Menurut Utsman Radhiallahu ‘Anhu, sampai Rasulullah ﷺ wafat belum ada keterangan darinya bahwa Basmalah termasuk darinya, oleh Utsman Radhiallahu ‘Anhu surah At Taubah masih bagian Al Anfal, maka keduanya digandengkan dan tanpa dipisahkan dengan basmalah. di antara keduanya. Ini diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi, sanadnya: hasan. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/101). Itulah kenapa tidak ada Basmalah yang fungsinya pembeda antar surat, di antara Al Anfal dengan At Taubah.

Sementara Imam Al Qurthubi Rahimahullah menulis ada lima pendapat:

1. Kebiasaan orang Arab Jahiliyah jika menulis pembatalan atas perjanjian maka mereka tidak menulis basmalah. Sedangkan surat At Taubah diawali tentang pemutusan perjanjian RasulNya atas pengkhianatan orang-orang Musyrikin Madinah. Lalu Rasulullah ﷺ mengutus Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu kepada kaum musyrikin menyampaikan membacakannya dan tidak disebutkan basmalah sesuai kebiasaan yang biasa terjadi dalam pemutusan perjanjian.

2. Sama seperti di no. 2 Ibnu Katsir di atas.

3. Diriwayatkan dari Utsman Radhiallahu ‘Anhu juga. Seperti yang dikatakan Imam Malik, pada riwayat Ibnu Wahab, Ibnul Qasim, dan Ibnu Abdil Hakim, bahwa ketika awal turun surah Al Quran maka turun pula basmalah bersamanya. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Ajlan bahwa telah sampai kepadanya surah At Taubah itu setara dengan Al Baqarah atau mendekatinya, sehingga tidak perlu lagi basmalah. Ini dikatakan. Said bin Jubeir mengatakan: “Al Bara’ah itu semisal dengan Al Baqarah”.

4. Kahrijah, Abu ‘Ishmah, dan lainnya mengatakan, bahwa terjadi perdebatan saat pembukuan di masa Utsman Radhiallahu ‘Anhu. Sebagian sahabat nabi mengatakan Al Anfal dan At Taubah itu satu kesatuan surah. Sebagian lain mengatakan itu dua surah terpisah. Akhirnya, surah itu dipisahkan untuk mengakomodasi pendapat itu surah yang berbeda, namun tanpa basmalah untuk mengakomodasi yang mengatakan keduanya satu kesatuan surat. Kedua pihak sama-sama ridha hal tersebut. Maka, telah tetap hujjah keduanya dalam penulisannya di mushaf.

5. Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma bertanya kepada Ali Radhiallahu ‘Anhu kenapa At Taubah tidak ada Basmalah, kata Ali Radhiallahu ‘Anhu: “Karena basmalah itu kalimat keamanan, sedangkan surat Al Bara’ah diturunkan dengan pedang bukan dengan keamanan.” Ibnul Mubarrad mengatakan: “Itulah kenapa

kedua surat itu tidak disatukan, namun tanpa ditulis basmalah karena basmalah itu kasih sayang, sedangkan surat al Bara’ah (At Taubah) turun tentang kemurkaan.” Ini juga dikatakan Imam Sufyan bin ‘Uyainah.
Imam Al Qurthubi mengatakan, pendapat yang shahih bahwa basmalah tidak ditulis karena Jibril menurunkannya tanpa basmalah, seperti yang dikatakan Al Qusyairi. Riwayat dari Utsman Radhiallahu’ Anhu menunjukkan bahwa sampai wafatnya Rasulullah ﷺ Beliau tidak menjelaskan tentang basmalah itu sebagai bagian dari Al Bara’ah. (Tafsir Al Qurthubi, 5/86-87)

Demikian. Wallahu A’lam

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Usia berapa Anak Laki-laki Dikhitan/Disunat?

💢💢💢💢💢💢💢💢

📌 Tidak ada hadits yang benar-benar disepakati keshahihannya tentang kapan harinya.

📌 Ada yang melarang dihari ketujuh setelah kelahiran dan menilainya makruh.

📌 Muhanna bertanya kepada Imam Ahmad, tentang seorang yang mengkhitan anaknya diusia tujuh hari setelah lahir, Beliau menyatakan makruh hal itu. Dia mengatakan:

هذا فعل اليهود

Ini perbuatan Yahudi.

📌 Namun dalam riwayat lain, dari ‘Ishmah bin ‘Isham, dari Hambal, dia mengatakan, Imam Ahmad menyatakan tidak apa-apa khitan hari ketujuh, ada pun pemakruhan yang dikatakan Imam Hasan al Bashri karena itu menyerupai Yahudi tidaklah ada dasarnya. (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfaful Maudud, Hal. 119)

📌 Imam Ibnul Mundzir menceritakan bahwa: Imam Hasan Al Bashri, Imam Malik, Imam Sufyan ats Tsauri, menegaskan khitan di hari ketujuh setelah lahir itu makruh.

📌 Imam Hasan al Bashri dan Imam Malik mengatakan itu menyerupai Yahudi, sementara Imam Sufyan ats Tsauri mengatakan itu bahaya/beresiko (Khathr). (Ibid, Hal. 120)

📌 Kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hambaliyah juga menyatakan makruh dihari ketujuh. Sedangkan Syafi’iyah mengatakan justru sunnah dihari ketujuh. Berdasarkan hadits bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengaqiqahkan al Hasan dan al Husein dihari ketujuh kelahiran, dan sekaligus mengkhitannya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah) Hanya saja kalimat khitan di hari ketujuh adalah dhaif.

📌 Imam Ibnul Mundzir Rahimahullah berkata: “Dalam masalah waktu khitan tidak ada dalil shahih tentang larangannya, tidak ada khabar yang bisa dijadikan dasar, dan tidak ada sunnah yang bisa digunakan, maka apa pun boleh-boleh saja, tidak boleh melarang-larang tanpa hujjah, dan saya tidak ketahui hujjah pihak yang melarang hari ketujuh.” (Ibid)

📌 Imam Al Laits bin Sa’ad, ulama Mesir hidup sezaman dengan Imam Malik, mengatakan bahwa khitan anak laki-laki itu kisaran usia tujuh sampai sepuluh tahun.

📌Ini juga pendapat Malikiyah dan Hambaliyah, krn usia 7 sd 10 itulah usia perintah shalat.

📌 Wahab bin Munabbih mengatakan hal yang mustahab (sunnah) mengkhitan dihari ketujuh, karena itu lebih ringan dan justru anak tsb tidak merasakan sakit.

📌 Dari Makhul dan lainnya “diceritakan” bahwa Nabi Ibrahim mengkhitan Ishaq diusia tujuh hari, sementara Ismail diusia 13 tahun. “Diriwayatkan” bahwa Fathimah mengkhitan anaknya diusia tujuh hari. (Ibid)

📌 Riwayat di atas tidak bisa dipastikan keshahihannya, karena menggunakan shighat tamridh (bentuk kata adanya indikasi penyakit/cacat dalam sebuah hadits) yaitu kata hukiya (dihikayatkan/diceritakan), dan ruwiya (diriwayatkan).

📌 Maka, tidak ada riwayat yang benar-benar kuat dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kapankah usia khitan. Namun, umumnya ulama menyatakan jangan menunda khitan setelah baligh (misal di atas 15 th), kecuali bagi para muallaf. Jika sudah baligh, maka wajib baginya khitan agar shalatnya sah dan terhindar dari najis.

📌 Maka khitan diusia berapa pun asalkan belum baligh, silahkan saja, yang penting anak tersebut sudah mau dan siap. Tugas orang tualah yang menyiapkan mental anaknya.

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Selamat Berjuang Ayah

💢💢💢💢💢💢💢💢

Dari Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى وَلَدِهِ صِغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيرَيْنِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَإِنْ كَانَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يُعِفُّهَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ رِيَاءً وَمُفَاخَرَةً فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ

Jika seseorang keluar rumah untuk bekerja menafkahi anaknya yang masih kecil maka dia keluar dalam rangka FISABILILLAH, jika keluar untuk menafkahi kedua orang tuanya yang sudah jompo maka itu FISABILILLAH, jika dia kerja untuk dirinya agar ‘iffah (menjaga kehormatan) maka itu FISABILILLAH, jika dia keluar kerja karena riya dan sombong maka itu di jalan syetan.

(HR. Ath Thabarani dalam Mu’jam al Kabir No. 282. Al Haitsami: “Para perawi dalam al Kabir adalah perawi shahih.” (Majma’ az Zawaid, No. 7709). Lihat pula Shahihul Jaami’ No. 1428)

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi Shahbihi wa Sallam

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Selama Penegak Amar Ma’ruf Nahi Munkar Masih Ada maka Amanlah Sebuah Negeri

💢💢💢💢💢💢💢💢

📌 Hidupnya amar ma’ruf nahi munkar di sebuah negeri, adalah salah satu faktor tertahannya hukuman Allah Ta’ala atas mereka

📌 Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهۡلِكَ ٱلۡقُرَىٰ بِظُلۡمٖ وَأَهۡلُهَا مُصۡلِحُونَ

Dan Tuhanmu tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zhalim, selama penduduknya mushlihun (orang-orang yang mengajak berbuat kebaikan).

(QS. Hud, Ayat 117)

📌 Mushlihun bukan hanya shalih untuk dirinya sendiri, tapi dia mengajak orang lain untuk shalih dan menjauh dari kemaksiatan

📌 Amar ma’ruf (mengajak kebaikan) relatif lebih ringan dan aman dan banyak pemainnya. Sebab, umumnya manusia – walau pun jahat- sudah tahu dan sepakat “kebaikan adalah kebaikan”.

📌 Nahi munkar (mencegah kemungkaran) lebih sedikit pemainnya, karena resikonya yang besar. Sebab, tidak jarang pelaku kemungkaran akan melawan pencegahan itu. Mata pencaharian mereka terganggu.

📌 Belum lagi fitnah, tuduhan, dan stigma, sampai ancaman fisik, yang setiap saat bisa menyerang balik mereka.

📌 Kemungkaran itu banyak, seperti judi, mabuk, zina, merampok, pembegalan, korupsi, menjual aset negara kepada asing ..dll.

📌 Siapa pun orangnya, entitas mana pun, yang mencegahnya maka dia layak diapresiasi. Sebab, dia telah membantu negara dan menjadi sebab tertahannya musibah pada sebuah negeri.

📌 Siapa pun yang melakukan nahi munkar maka mereka perlu disupport, diperkuat, dijaga keberadaannya, bukan justru dihilangkan atau dibubarkan.

📌 Polarisasi keberpihakan, menunjukkan mentalitas, jiwa, dan keberagamaan seseorang.

📌 Sebab, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

الأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ، وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ

Ruh itu bagaikan prajurit yang berkelompok-kelompok, jika saling mengenal mereka akan menjadi akrab, dan jika saling bermusuhan maka mereka akan saling berselisih. (HR. Bukhari no. 3336)

📌 Maka, jikalau kita tidak bisa dan tidak mampu menjadi pelaku amar ma’ruf nahi munkar, minimal kita jiwa kita bersama mereka, mendukung langkah-langkah mereka yang positif dengan apa pun yang kita punya, dan doakan mereka.

📌 Jangan menjadi nyinyiriyun sebagaimana orang-orang fasiq dan zindiq, apalagi justru memusuhi pelaku amar ma’ruf nahi munkar.

📌 Seharusnya negara dan aparatnya bersama mereka, melindungi, menjaganya, dan menjadikannya partner.

ﺍﻟﻠﻬُﻢَّ ﺃَﺭِﻧَﺎ ﺍﻟﺤَﻖَّ ﺣَﻘّﺎً ﻭَﺍﺭْﺯُﻗْﻨَﺎ ﺍﻟﺘِﺒَﺎﻋَﺔَ ﻭَﺃَﺭِﻧَﺎ ﺍﻟﺒَﺎﻃِﻞَ ﺑَﺎﻃِﻼً ﻭَﺍﺭْﺯُﻗْﻨَﺎ ﺍﺟْﺘِﻨَﺎﺑَﻪُ

Allahumma arinal-haqqa haqqa warzuqnat-tiba’ah, wa arinal-batila batila warzuqnaj-tinabah

“Ya Allah Tunjukilah kami kebenaran dan berikan kami jalan untuk mengikutinya, dan tunjukanlah kami kebatilan dan berikan kami jalan untuk menjauhinya”

Wallahul Muwafiq Ilaa Aqwaamith Thariq

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top