🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾
Kaidahnya:
الأصل في العبادات البطلان حتى يقوم دليل على الأمر
“Asal dari ibadah adalah batil, sampai tegaknya dalil yang memerintahkannya” (Lihat Imam Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqi’in, 1/344. 1968M-1388H. Maktabah Al Kulliyat Al Azhariyah. Syaikh Zakariya bin Ghulam Qadir Al Bakistani, Ushul Al Fiqh ‘Ala Manhaj Ahli Al Hadits, Hal. 45, Cet. 1. 2002M-1423H. Darul Kharaz)
Kaidah ini membimbing kita untuk tidak merekayasa dan mengarang amalan ibadah ritual (mahdhah) tertentu yang tidak dikenal dalam sumber-sumber pokok syariat Islam. Sebab hal itu menjadi sia-sia, bahkan dapat membawa pelakunya pada sebuah dosa.
Kaidah ini diinspirasikan dari hadits:
عَنْ أُمِّ المُؤمِنِينَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهَا – قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Dari Ummul Mu’minin, Ummu Abdillah, ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata: “Barangsiapa yang menciptakan hal baru dalam urusan kami ini (yakni Islam), berupa apa-apa yang bukan darinya, maka itu tertolak.” (HR. Bukhari No. 2550, Muslim No. 1718)
Riwayat lainnya:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak kami kami perintahkan dalam agama kami maka itu tertolak.” (HR. Bukhari, beliau meriwayatkan secara mu’allaq (tanpa menyebut sanad) dalam kitab Shahihnya, Kitab Al I’tisham bil Kitab was Sunnah Bab Idza Ijtahada Al ‘Amil aw Al Hakim Fa Akhtha’a Khilafar Rasuli min Ghairi ‘Ilmin fahukmuhu Mardud. (lalu disebutkan hadits: man ‘amila ‘amalan .. dst, dan dengan shighat jazm (bentuk kata pasti): Qaala Rasulullah ….), Muslim No. 1718)
Selanjutnya, ibadah hasil rekaan manusia disebutkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan muhdatsatul umuur (perkara-perkara baru) dan bid’ah.
Dari Irbadh bin Sariyah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘ Alaihi wa Sallam bersabda:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى بَعْدِي اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Maka, sesungguhnya barang siapa di antara kalian yang hidup setelah aku, akan melihat banyak perselisihan. Oleh karena itu, peganglah sunahku dan sunah khulafa ar rasyidin yang telah mendapatkan petunjuk, dan gigitlah dengan geraham kalian sunah itu, dan hati-hatilah dengan perkara yang baru, sesungguhnya setiap hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Ibnu Majah No. 42, Ahmad No. 16521, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 10/114, Al Hakim, Al Mustadrak, No. 330 Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ No. 2455, Al Misykah No. 165)
Dalam riwayat lain tertulis, dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
“Sesungguhnya, sebenar-benarnya perkataan adalah kitabullah, dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruknya perkara adalah hal yang diada-adakan, dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan adalah di neraka.” (HR. An Nasa’i No. 1578, Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir, No. 8441, Ibnu Khuzaimah No. 1785, dan sanadnya shahih, Lihat Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 1578)
Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan:
فَلَيْسَ لِأَحَدِ أَنْ يَعْبُدَ اللَّهَ إلَّا بِمَا شَرَعَهُ رَسُولُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ وَاجِبٍ وَمُسْتَحَبٍّ لَا يَعْبُدُهُ بِالْأُمُورِ الْمُبْتَدَعَةِ
“Maka, tidak boleh bagi seorang pun menyembah Allah kecuali dengan apa-apa yang telah disyariatkan oleh RasulNya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, baik berupa kewajiban atau sunah, serta tidak menyembahNya dengan perkara-perkara yang baru (Al Umur Al Mubtadi’ah) .” (Majmu’ Fatawa, 1/12. Mawqi’ Al Islam)
Murid beliau, Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan:
…أنه لا واجب إلا ما أوجبه الله ولا حرام إلا ما حرمه الله ولا دينا إلا ما شرعه الله
“ … sesungguhnya tidak ada kewajiban kecuali sesuatu yang diwajibkan oleh Allah, dan tidak ada keharaman kecuali sesuatu yang diharamkan Allah, dan tidak ada agama kecuali yang Allah syariatkan. (I’lamul Muwaqi’in, 1/344)
Beliau juga mengatakan:
…أن الله سبحانه لا يعبد إلا بما شرعه على ألسنة رسله فإن العبادة حقه على عباده
“ … sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah disembah kecuali dengan apa-apa yang disyariatkanNya melalui lisan para RasulNya, karena ibadah adalah hakNya atas hambaNya .. (Ibid)
📌 Contoh Penerapan Kaidah Ini:
✅ Ada seorang atau sekelompok orang yang mengadakan ritual shalat tahajud secara khusus pada malam tertentu saja, dan tidak pada malam lainnya. Lalu ritual tersebut dilakukan terus menerus dan menjadi adat baru. Maka, menurut kaidah ini, pengkhususan ritual ini adalah batil karena telah membuat cara baru dalam tahajud. Cara pengkhususan tersebut tidak pernah ada dalam Al Quran, As Sunnah, perilaku sahabat, tabi’in, dan imam empat madzhab ahlus sunnah. Sebab, ibadah tahajud adalah ibadah mutlak yang dapat dilakukan pada malam apa saja, bukan pada malam tertentu saja. Maka, dari sudut pandang waktu (Az Zaman), tidak dibenarkan melakukan ibadah pada waktu-waktu khusus dengan keyakinan tertentu pula, yang tidak ada contohnya dalam sumber-sumber syariat. Tp, jika dia melakukan tahajud di malam tertentu karena memang malam itulah yang dia sempat, bukan karena meyakini adanya fadilah tertentu, maka tidak apa-apa.
✅ Sekelompok ibu-ibu berziarah ke tempat tertentu, yang di dalamnya terdapat kuburan seseorang yang dianggap wali. Mereka menganggap tempat itu memiliki keutamaan, sehingga mereka shalat di kuburnya, meminta pertolongan kepada penghuni kubur, dan bernazar untuknya, maka ini semua adalah bid’ah munkar, bahkan memiliki unsur syirik yang yang sangat jelas, yakni meminta-minta kepada orang mati dan bernazar untuknya. Maka, mengistimewakan tempat (Al Makan) tertentu tanpa memiliki dalil agama, adalah perbuatan yang membutuhkan dalil, jika tidak ada, maka itu tertolak.
✅ Menurut Al Hafizh Ibnu Hajar pada dasarnya menyusun dzikir sendiri, selama tidak bertentangan dengan dzikir ma’tsur tidak masalah, berdasarkan hadits Rifa’ah bin Raafi’. Tapi seorang menetapkan jumlah wirid-wirid tertentu hasil karangannya, bahwa membaca anu sebanyak 500 kali, ini 1000 kali, dan seterusnya, yang jika dibaca akan berfadhilah ini dan itu. Maka, dari sudut pandangan jumlah (Al ‘Adad) yang seperti harus juga mendatangkan dalil, jika tidak ada, maka angka-angka ini dengan fadhilahnya merupakan perbuatan mengada-ada, dan harus ditinggalkan. Ada pun wirid ba’da shalat membaca tasbih, tahmid, dan takbir masing-masing 33 kali, atau seorang sehari semalam membaca istighfar 70 sampai 100 kali, atau membaca laa ilaha illallahu wahdahu laa syarika lahu .. sebanyak 10 kali seusai shalat maghrib, maka semua ini memiliki tuntunan dan petunjuk dalam sunah.
Dan lain sebagainya. Wallahu a’lam
🌺🌸🍃🌹🍀🌾🌴🌾
✏ Farid Nu’man Hasan