💥💦💥💦💥💦
Kisah Israiliyat adalah riwayat atau kisah-kisah yang bersumber/berasal dari Bani Israel, baik sejarah mereka, dan kitab mereka, lalu masuk ke budaya kaum muslimin, baik melalui kitab hadits, tafsir, sejarah, akhlak, yang disusun oleh ulama Islam.
Riwayat Israiliyat ini banyak, sebagian ada yang masyhur, shahih secara sanad, dan ada juga yg dhaif dan palsu.
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:
وقد ذكر كثير من المفسرين من السلف والخلف، هاهنا قصصا وأخبارا أكثرها إسرائيليات، ومنها ما هو مكذوب لا محالة
Banyak ahli tafsir baik salaf dan khalaf yang menceritakan kisah-kisah dan khabar yang mayoritas Israiliyat, di antaranya ada yang jelas-jelas dusta.
(Al Bidayah wan Nihayah)
Contoh riwayat-riwayat Israiliyat:
– Kisah katak dan kalelawar yang berdoa agar Allah memadamkan api yang membakar Baitul Maqdis. Sedangkan cicak justru meniupkan agar api tetap nyala dan membesar. Imam Al Baihaqi mengatakan kisah ini shahih, tapi Israiliyat.
– Kisah Juraij, ahli ibadah yang disumpah oleh ibunya karena dia tidak menyahut saat dipanggil ibunya karena dia sedang shalat. Kisah ini Shahih, Bukhari dan Muslim.
– dll
Bagaimanakah menyikapi ini? Bolehkah meyakininya? Jika boleh, dalam batas saja ?
Ada empat sikap:
1. Menolaknya jika jelas-jelas dusta atau palsu
2. Tidak boleh dijadikan rujukan aqidah dan menetapkan halal halal haram, kecuali yang sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah yg shahih lainnya. Seperti awal mula disyariatkan shaum ‘asyura, karena otang Yahudi berpuasa dalam rangka memperingati hari selamatnya Nabi Musa ‘Alaihissalam dari kejaran musuhnya. Maka, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menegaskan bahwa umat Islam lebih berhak mengikuti Nabi Musa dibanding mereka. Lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan para sahabat untuk shaum ‘asyura. (HR. Muslim no. 1130)
3. Tidak diambil dan tidak juga menolak, sebagaimana hadits:
إِذَا حَدَّثَكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَلَا تُصَدِّقُوهُمْ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ وَقُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ فَإِنْ كَانَ حَقًّا لَمْ تُكَذِّبُوهُمْ وَإِنْ كَانَ بَاطِلًا لَمْ تُصَدِّقُوهُمْ
“Jika ada Ahli Kitab yang menceritakan kepada kalian, janganah kalian benarkan mereka, juga kalian dustakan mereka. Katakanlah, ‘kami beriman kepada Allah, kitab-kitab-Nya dan para rasul-Nya. Jika memang itu benar, maka kalian tidak mendustakannya. Jika memang batil maka kalian tidak membenarkannya mereka.”
(HR. Ahmad no. 16592)
4. Boleh diambil pelajaran dalam urusan akhlak, nasihat, dan mental spiritual, selama kisah tersebut shahih. Seperti kisah Juraij yang isinya mengajarkan tentang ketaatan kepada ibu, dan hati-hati dengan sumpah.
Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ
Dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa-apa.
(HR. Bukhari no. 3461)
Dasarnya adalah dari Abdullah bin Amr, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallambersabda:
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
Sampaikan dariku walau satu ayat, dan ceritakanlah oleh kalian dari Bani Israil, tidak apa-apa. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di neraka. (HR. Bukhari No. 3461, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 29175)
Imam Bukhari memasukkan hadits ini dalam Bab Maa Dzukira ‘An Bani Israil – Apa-apa yang Diceritakan Dari Bani Israil.
Berikut ini pandangan para ulama Islam tentang kebolehan mengutip dari kitabnya kaum Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani).
Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani Rahimahullah berkata:
أي لا ضيق عليكم في الحديث عنهم لأنه كان تقدم منه صلى الله عليه و سلم الزجر عن الأخذ عنهم والنظر في كتبهم ثم حصل التوسع في ذلك وكأن النهي وقع قبل استقرار الأحكام الإسلامية والقواعد الدينية خشية الفتنة ثم لما زال المحذور وقع الإذن في ذلك لما في سماع الأخبار التي كانت في زمانهم من الاعتبار وقيل معنى قوله لا حرج لا تضيق صدوركم بما تسمعونه عنهم من الأعاجيب فإن ذلك وقع لهم كثيرا
Yaitu tidaklah sempit bagimu untuk menceritakan dari mereka karena telah berlalu larangan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengambil kisah dari mereka dan hati-hati terhadap kitab-kitab mereka, namun kemudian hal itu diberikan kelapangan untuk menceritakan dari mereka. Larangan itu terjadi sebelum mantapnya hukum-hukum Islam dan kaidah-kaidah agama, dan khawatir adanya fitnah. Lalu ketika hal yang demikian telah berlalu, maka diberikanlah izin untuk mendengarkan kabar-kabar yang pernah terjadi pada zaman mereka dahulu yang memiliki i’tibar (pelajaran). Dikatakan juga makna sabdanya “tidak apa-apa” adalah tidak menyempitkan dadamu jika kamu mendengarkannya dari mereka berupa keajaiban-keajaiban mereka, sebab hal itu memang banyak terjadi pada mereka. (Fathul Bari, 6/498. Darul Ma’rifah)
Syaikh Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarkafuri Rahimahullahmengatakan:
قال السيد جمال الدين ووجه التوفيق بين النهي عن الاشتغال بما جاء عنهم وبين الترخيص المفهوم من هذا الحديث أن المراد بالتحدث ها هنا التحدث بالقصص من الآيات العجيبة كحكاية عوج بن عنق وقتل بني إسرائيل أنفسهم في توبتهم من عبادة العجل وتفصيل القصص المذكورة في القرآن لأن في ذلك عبرة وموعظة لأولي الألباب وأن المراد بالنهي هناك النهي عن نقل أحكام كتبهم لأن جميع الشرائع والأديان منسوخة بشريعة نبينا صلى الله عليه و سلم انتهى
Berkata As Sayyid Jamaluddin dengan mengkompromikan antara larangan menyibukkan diri dengan riwayat dari mereka dan yang memberikan keringanan untuk itu, bahwa hadits ini bisa dipahami maksud dari menceritakan di sini adalah menceritakan (mengutip) kisah-kisah dari ayat-ayat yang mengagumkan seperti kisah ‘Auj bin ‘Unuq, kisah bunuh dirinya Bani Israil dalam rangka pertobatan dari peribadatan mereka terhadap Sapi (Al ‘ijl), dan rincian kisah-kisah yang juga disebutkan dalam Al Quran, karena yang demikian itu terdapat ‘ibrah (pelajaran) bagi Ulil Albab. Ada pun larangan di sini adalah larangan menukil hukum-hukum yang ada pada kitab mereka, karena semua syariat dan agama telah dihapus (mansukh) oleh syariat Nabi kita Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Selesai. (Tuhfah Al Ahwadzi, 7/360. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan:
وقال في حديث عبد الله بن عمرو: حدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج بنو إسرائيل اليهود والنصارى إذا قالوا قولا فحدث عنهم ولا حرج عليك بشرط أن لا تعلم أنه مخالف للشريعة لأن بني إسرائيل عندهم كذب يحرفون الكلم عن مواضعه ويكذبون فإذا أخبروك بخير فلا بأس أن تحدث به بشرط أن لا يكون مخالفا لما جاء في شريعة
الرسول صلى الله عليه وسلم فإن كان مخالفا له فإنه لا يجوز أن يحدث إلا إذا حدث به ليبين أنه باطل فلا حرج والله أعلم .
Nabi bersabda dalam hadits Abdullah bin Amr: “Ceritakanlah dari Bani Israil, tidak apa-apa.” Bani Israil, baik Yahudi dan Nasrani, jika mereka mengatakan sebuah perkataan maka kutiplah dari mereka, tidak apa-apa atasmu, dengan syarat tidak diketahui bahwa itu bertentangan dengan syariat, karena Bani Israil memiliki kebohongan berupa merubah kata-kata dari tempatnya dan mereka berdusta. Jika mereka mengabarkan kepadamu yang baik-baik maka tidak apa-apa menceritakannya dengan syarat tidak bertentangan dengan syariat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Jika bertentangan, maka tidak boleh mengutipnya, kecuali jika mengutipnya untuk menjelaskan kebatilannya, maka itu tidak apa-apa. (Syaikh Utsaimin, Syarh Riyadhush Shalihin, Hal. 1583. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Imam Ibnul Atsir Rahimahullah mengatakan:
فمعْنَى قوله : حَدّثوا عن بني اسرائيل ولا حرَج : أي لا بَأسَ ولا إثْم عليكم أن تُحَدّثُوا عَنْهم ما سَمِعْتم
Makna sabdanya: (dan ceritakanlah oleh kalian dari Bani Israil, tidak apa-apa) yaitu tidak apa-apa dan tidak berdosa atasmu menceritakan dari mereka tentang apa yang kamu dengar. (An Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, 1/928)
Imam Abu Ja’far Ath Thahawi Rahimahullah mengatakan:
قوله لأمته وحدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج فكان ذلك عندنا والله أعلم إرادة منه أن يعلموا ما كان فيهم من العجائب التي كانت فيهم ولأن أمورهم كانت الأنبياء تسوسها كما
Sabdanya kepada umatnya: dan ceritakanlah oleh kalian dari Bani Israil, tidak apa-apa,menurut kami maknanya adalah –wallahu a’lam- hendaknya mereka mengetahui apa yang terjadi pada mereka (Bani Israil), berupa keistimewaan-keistimewaan yang ada pada mereka karena mereka dahulu pernah dibimbing para nabi. (Bayan Musykil Al Atsar, 1/73)
Syaikh Abdul Muhsin Hamd Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah menjelaskan:
يعني: أن يتحدث بأحاديثهم والأشياء التي تؤثر عنهم وتنقل عنهم، وأن مثل ذلك لا بأس به، لكن هذا كما هو معلوم إذا كان في أمور ليس فيها باطل؛ لأن الحديث بالباطل ونشر الباطل لا يجوز
Yakni menceritakan dengan perkataan-perkataan mereka dan segala hal yang di-atsarkan dari mereka dan mengutip dari mereka, sesungguhnya yang seperti itu tidak apa-apa, tetapi sebagaimana diketahui hal itu jika dalam perkara yang tidak terdapat kebatilan di dalamnya. Sebab perkataan dengan kebatilan dan menyebarkan kebatilan tidak diperbolehkan. (Syarh Sunan Abi Daud, 19/306)
Syaikh Dr. Abdullah Al Faqih Hafizhahullah mengatakan:
فالمعنى واحد وهو: أنه يجوز للمسلم أن ينقل كلامهم وأخبارهم الموجودة في كتبهم دون تقيد بالبحث عن صحة الإسناد، بل تحكى أخبارهم كما هي للعبرة والاتعاظ، إلا ما علم أنه كذب
Maknanya adalah satu, yaitu boleh saja bagi seorang muslim menukil perkataan mereka (ahli kitab) dan kabar tentang mereka yang terdapat dalam kitab-kitab mereka tanpa terikat dengan upaya pencarian kebenaran sanadnya, bahkan menceritakan berita-berita mereka menjadikannya sebagaimana halnya sebagai ibrah dan mau’izhah, kecuali jika diketahui bahwa berita itu adalah dusta. (Fatawa Asy Syabkah Al Islamiyah, Fatwa No. 9067)
Beliau juga mengatakan:
فما رود إلينا من أخبار أهل الكتاب يقسمه العلماء إلى ثلاثة أقسام:-
الأول : ما يوافق القرآن فهذا نصدقه ونحدث به.
الثاني : ما يكذبه القرآن فهذا يجب علينا تكذيبه.
الثالث : أخبار لم يكذبها القرآن ولم يصدقها، فهذه نحدث بها على جهة الاستئناس بها، مع عدم تصديقها أو تكذيبها. بل نقول: آمنا بالذي أنزل إلينا وأنزل إليكم.
ويدل على هذا قول النبي صلى الله عليه وسلم “وحدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج” رواه البخاري وغيره. والله أعلم.
Apa saja yang sampai kepada kita berupa kisah dan berita yang berasal dari Ahli kitab, para ulama membaginya menjadi tiga bagian:
Pertama, yang sesuai dengan Al Quran maka ini kita membenarkannya dan berbicara dengannya pula.
Kedua, yang diingkari oleh Al Quran maka kita wajib mengingkarinya juga.
Ketiga, kabar yang tidak diingkari Al Quran dan tidak pula dibenarkannya. Maka, kita membicarakannya dengan welcome, sembari tidak membenarkannya dan tidak pula mendustakannya. Bahkan kita katakan: “Kami beriman wahyu dengan yang diturunkan kepada kami dan kalian.”
Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Ceritakanlah oleh kalian dari bani Israil, tidak apa-apa.” Riwayat Bukhari dan lainnya. Wallahu A’lam. (Ibid, Fatwa No. 16467)
Dan masih banyak perkataan ulama lainnya yang serupa dengan ini. So, tidak mengapa jika sekedar kisah-kisah untuk pelajaran dan hikmah saja, ada pun berkaitan tentang aqidah dan syariah, maka tidak boleh dari mereka kecuali yang dibenarkan oleh Al Quran dan As Sunnah.
Wallahu A’lam
🌷☘🌺🌴🌻🍃🌸🌾
✏ Farid Nu’man Hasan