Bangun Dari Sujud Menapakkan Tangan Atau Mengepalkan Tangan?

▪▪▪▫▫▫

(Berawal dr pertanyaan bbrp orang)

Bangun dari duduk istirahat disunnahkan untuk bertumpu tangan, sebagaimana dijelaskan kalangan Syafi’iyah.

Imam Abu Bakar Syatha Ad Dimyathiy berkata:

( قوله ويسن اعتماد على بطن كفيه إلخ ) وذلك لأنه أعون على القيام وأشبه بالتواضع مع ثبوته عنه صلى الله عليه وسلم
فقد ثبت أنه كان يقوم كقيام العاجز

Disunnahkan bertopang pada bagian dalam dua telapak tangan, hal ini lebih membantu saat bangun, dan menunjukkan ketawadhuan, dan memang ini Shahih dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, telah Shahih bahwa Beliau bangun seperti orang yang sudah tua.

(I’aanah Ath Thalibin, 1/168)

Ini juga dikatakan oleh Syaikh Al Albani:

وجملة القول : أن الاعتماد على اليدين عند القيام سنة ثابتة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم

Secara global bahwa bertumpu pada kedua tangan saat bangun adalah Sunnah yg Shahih dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. (As Silsilah Adh Dhaifah, 2/393)

📌 Namun bagaimanakah cara bertumpunya itu?

Yaitu dgn membuka telapak tangan mengarah ke kiblat seperti yg diterangkan di atas. Cara ini tidak diperselisihkan para ulama.

Bagaimana dgn mengepalkan tangan? Ada haditsnya tapi masih dibincangkan ulama keshahihannya.

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu Anhuma:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إذا قام في صلاته وضع يده على الأرض كما يضع العاجن

Bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam jika bangun dari shalatnya meletakkan yang tangannya di atas yg tanah seperti ‘aajin (orang yang membuat adonan kue).

Sebagian org mengartikan makna ‘aajin (seperti membuat adonan kue) pada hadits ini dengan mengepalkan tangan.

Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

فهو حديث ضعيف أو باطل لا أصل له

Hadits ini dha’if, atau bathil, tidak ada dasarnya. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdab, 3/442)

Imam Ar Ramliy juga mengatakan: dhaif atau bathil. (Nihaayatul Muhtaj, 1/549)

Imam Ibnush Shalah mengatakan:

هَذَا الْحَدِيثُ لَا يَصِحُّ وَلَا يُعْرَفُ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُحْتَجَّ بِهِ

Hadits ini tidak Shahih, tidak dikenal, dan tidak boleh berhujjah dengannya. (Talkhish Al Habir, 1/625-626)

Ada pun secara makna, mereka juga menolak hadits itu disebut ‘Aajin (org yg membuat adonan kue), yg benar adalah ‘Aajiz (orang sdh lemah/tua).

Ada pun, Syaikh Al Albani mendukung maknanya adalah seperti orang membuat adonan kue yaitu mengepal.

Sementara Ibnu Umar bangun dari duduknya dgn cara ‘ajin (mengepal), seperti yg diriwayatkan Ath Thabrany dalam Al Awsath. (At Talkhish, 1/626)

Kesimpulan, mereka sepakat membuka telapak tangan. Tapi, mereka tidak sepakat dalam hal mengepal, rata-rata ulama mengingkarinya, kecuali sebagian saja berdasarkan perilaku Ibnu Umar.

Saya pribadi ikut yang umumnya dan itu disepakati, yaitu membuka telapak tangan, dan lebih tidak memunculkan kontroversi. Namun tidak pula megingkari bagi yang ingin mengepalkan tangan.

Masalah ini bukan masalah pokok agama, ini cabang dari cabang, .. luwes dan toleran saja ..

Demikian. Wallahu a’lam

🌸🍃🌻☘🌷🌺🎋🌵

✍ Farid Nu’man Hasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top