💢💢💢💢💢💢💢💢
📌 Bekerja di sini bukanlah bekerja rumah tangga pada umumnya, tapi membantu suami menghidupi keluarga
📌 Wanita bekerja bukanlah kewajiban, bukan pula sunnah, itu hanya boleh dengan syarat izin suami, pekerjaan halal, tetap menjaga aurat, adab pergaulan, dan tidak menelantarkan suami dan anak
📌 Ada kalanya bekerja menjadi wajib saat wanita menjanda, punya anak, dan tidak ada siapa pun yang peduli dengan keadaannya.
📌 Tapi umumnya wanita bekerja karena membantu suami yang penghasilannya tidak cukup memenuhi kebutuhan keluarga: sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan.
📌 Beragam ujian mulai muncul ketika wanita bekerja dengan posisi atau penghasilan lebih tinggi dari suami. Dia merasa mandiri dan perkasa, suami pun direndahkannya.
📌 Bahkan dia malu punya suami seperti itu, saat bersama koleganya orang-orang menengah dan atas, dia lebih suka seorang diri tanpa suami yang bisa dibanggakan dirinya secara ekonomi. Akhirnya lupa diri dan minta cerai.
📌 Ujian juga muncul karena kesibukan tuntutan pekerjaan, serta ambisi pribadi, yg akhirnya habis waktu tidak tersisa buat suami dan anak. Hubungan kering dan hambar. Tidak ada keakraban, yg ada adalah bom waktu.
📌 Ujian juga muncul saat di tempat kerja mesti berinteraksi dengan lawan jenis. Awalnya biasa saja, lama-lama dekat, lalu terjadilah perselingkuhan. Apalagi dia lihat laki-laki ini memiliki kelebihan dibanding suaminya.
📌 Akhirnya, musibah besar terjadi.. Allah Ta’ala cabut keberkahan dalam hidupnya, Allah cabut kemampuannya bersyukur atas nikmatNya, Allah cabut kelembutan hati yang biasa ada pada seorang ibu dan istri shalihah ….
📌 Namun, belum terlambat baginya untuk berubah. Kembali “mensuamikan” laki-laki yang telah mengizinkannya bekerja sampai dia sukses, yang bisa jadi karena doa suami untuknya. Kembali bersama anak-anak yang telah lama dia zalimi haknya.
📌 Kembali menjadi seorang wanita muslimah yang taat kepada Allah, Rasul, dan suami, terhormat, menjaga diri, dan meriah kelembutan yang lama hilang.
Wallahu A’lam wa Lillahil ‘Izzah
🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴
✍ Farid Nu’man Hasan