Meminta maaf dan memberikan maaf adalah perkara mutlak yang tidak terikat oleh waktu, kapan saja kita bisa melakukannya
Meminta maaf bukan berarti dan tidak mesti sebelumnya kita punya salah, tapi bisa juga sebagai kesantunan dalam komunikasi sosial.
Jika ada yg berkata, “Maaf Pak, tahu alamat ini?” Tidak mungkin dijawab, “Maaf? Lu salah apa ama gue?”
Ini hanyalah tradisi manusia, khususnya umat Islam di Indonesia, jika tradisi ini sejalan dengan prinsip Islam, tidak ada hal yang bertentangan, maka Islam menguatkannya, Bukan menghilangkannya.
Itulah mengapa para ulama Hanafi dan Syafi’i mengatakan:
الثابت بالعرف كالثابت بالنص
Ketetapan hukum karena tradisi itu seperti ketetapan hukum dengan Nash/dalil. (Syaikh Muhammad ‘Amim Al Mujadidiy At Turkiy, Qawa’id Al Fiqhiyah, no. 101)
Maka, sungguh mengherankan atas pihak yang membid’ahkan kebiasaan maaf-maafan di hari raya. Mungkin mereka menyangka dan menyamakannya dengan ibadah ritual, padahal itu bukan ritual ibadah. Itu adat manusia yg hukum asalnya mubah.
Syaikh Utsaimin pernah membahas tentang tradisi salam-salaman setelah shalat ‘Id:
هذه الأشياء لا بأس بها ؛ لأن الناس لا يتخذونها على سبيل التعبد والتقرب إلى الله عز وجل ، وإنما يتخذونها على سبيل العادة ، والإكرام والاحترام ، ومادامت عادة لم يرد الشرع بالنهي عنها فإن الأصل فيها الإباحة
Semua ini tidak apa-apa, karena manusia tidak menjadikannya sebagai ibadah ritual dan sarana taqarrub ilallah, mereka hanyalah menjadikan itu sebagai kebiasaan saja, pemuliaan dan penghormatan. Maka, selama sebuah kebiasaan tidak ada larangan dalam syariat maka itu diperbolehkan.
(Majmu’ Fatawa Ibni ‘Utsaimin, 16/208-210)
Wallahu Waliyut Taufiq
✍️ Farid Nu’man Hasan