Pro Kontra Ucapan Selamat Hari Raya Non Muslim

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

(Dikutip dari *Fiqih Praktis Sehari-Sehari*, karya _Farid Nu’man Hasan,_ hal. 76-92, Penerbit: Gema Insani)

Bismillah al Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d:

Pada sebuah agama, hari raya merupakan salah satu simbol utamanya. Bukan sekedar hari biasa; itu hari raya bergembira, makan-makan, juga beribadah. Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَإِنَّ عِيدَنَا هَذَا الْيَوْمُ

Sesungguhnya setiap kaum ada hari rayanya masing-masing, dan sesungguhnya hari raya kita adalah hari ini. [1]

Ketika manusia bergembira, biasanya saudaranya memberikan ucapan selamat, termasuk selamat hari raya seperti selamat Natal, Paskah, Nyepi, dll. Lalu, bagaimana Islam memandang hal ini?

Dalam hal ini ada dua pendapat ulama, khususnya ulama masa kini: yaitu haram mengucapkan selamat, dan ada yang membolehkan jika untuk basa basi komunikasi saja.

Pertama. Pihak yang mengharamkan

Ada sejumlah alasan yang dikemukakan, di antaranya:

1. Ucapan selamat hari raya agama lain tidak pernah dilakukan generasi awal Islam, baik Rasulullah ﷺ, para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan imam yang empat. Padahal mereka juga hidup berdampingan dengan non muslim, tapi kita belum dapatkan riwayat tentang itu.

2. Secara khusus, Rasulullah ﷺ melarang mengawali ucapan salam/selamat kepada Yahudi dan Nasrani, sebagaimana hadits berikut: Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ

“Janganlah memulai salam kepada Yahudi dan Nasrani.” [2]

3. Mengucapkan selamat, menunjukkan pembenaran dan pengakuan atas aqidah mereka, sebab mereka bergembira atas hari raya agama mereka yang kafir menurut Islam. Walau di hati pengucapnya tidak ada perasaan seperti itu, tetaplah non muslim tersebut merasa mu’taraf (diakui) kebenaran aqidahnya. Seharusnya yang dilakukan seorang muslim adalah menunjukkan kekeliruan aqidah mereka bukan justru ikut bergembira atas perayaan mereka.

4. Mengucapkan selamat, biasanya didasari pula “tidak enak hati” kepada mereka, yang sebenarnya ini menunjukkan kekalahan mental kita terhadap mereka. Padahal mereka sendiri tidak pernah “tidak enak hati” kepada umat Islam, ketika menuduh Allah ﷻ punya anak –misalnya, atau menuduh Allah ﷻ adalah satu di antara tiga.

5. Mengucapkan selamat, kepada maksiat seperti orang yang berjudi, mabuk, dan zina saja tidak pantas, maka apalagi mengucapkan selamat kepada maksiat tertinggi yaitu penuhanan kepada selain Allah, atau menuduh Allah ﷻ punya anak. Maka, ini lebih tidak pantas lagi.

Maka dari itu, kita tidak dapati perbedaan pendapat tentang larangan menampakkan kegembiraan dan mengucapkan selamat hari raya, pada ulama-ulama terdahulu di berbagai madzhab. Perbedaan itu baru ada di abad 20 saja.

Sebagai contoh:

1. Hanafiyah

Imam Ibnu Nujaim Al Hanafiy Rahimahullah menyebutkan bahwa sekedar ikut senang saja sudah diharamkan apalagi mengucapkan selamat:

قال أبو حفص الكبير رحمه الله : لو أن رجلا عبد الله تعالى خمسين سنة ثمجاء يوم النيروز وأهدى إلى بعض المشركين بيضة يريد تعظيم ذلك اليوم فقد كفر وحبط عمله وقال صاحب الجامع الأصغر إذا أهدى يوم النيروز إلى مسلم آخر ولم يرد به تعظيم اليوم ولكن على ما اعتاده بعض الناس لا يكفر ولكن ينبغي له أن لا يفعل ذلك في ذلك اليوم خاصة ويفعله قبله أو بعده لكي لا يكون تشبيها بأولئك القوم , وقد قال صلى الله عليه وسلم } من تشبه بقوم فهو منهم { وقال في الجامع الأصغر رجل اشترى يوم النيروز شيئا يشتريه الكفرة منه وهو لم يكن يشتريه قبل ذلك إن أراد به تعظيم ذلك اليوم كما تعظمه المشركون كفر, وإن أراد الأكل والشرب والتنعم لا يكفر

“Abu Hafs Al-Kabir berkata: Apabila seorang muslim yang menyembah Allah selama 50 tahun lalu datang pada Hari Nairuz (hari raya kaum Majusi) dan memberi hadiah telur pada sebagian orang musyrik dengan tujuan untuk ikut memuliakan hari itu, maka dia kafir dan terhapus amalnya.

“Berkata penulis kitab Al Jami’ Al Asghar: Apabila memberi hadiah kepada sesama muslim dan tidak bermaksud mengagungkan hari itu, tetapi hanya karena itu telah menjadi tradisi sebagian manusia maka tidak kafir, akan tetapi sebaiknya tidak melakukan itu pada hari itu secara khusus dan melakukannya sebelum atau setelahnya supaya tidak menyerupai dengan kaum tersebut. Nabi ﷺ bersabda: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia bagian dari mereka.” Penulis kitab Al Jami’ Al Asghar berkata: Seorang lelaki yang membeli sesuatu yang dibeli orang kafir pada hari Nairuz dia tidak membelinya sebelum itu maka apabila ia melakukan itu ingin mengagungkan hari itu sebagaimana orang kafir maka ia kafir. Apabila berniat untuk makan minum dan bersenang-senang saja, maka tidak kafir.” [3]

2. Malikiyah

Imam Ibnul Haj Al Malikiy Rahimahullah menyatakan:

ومن مختصر الواضحة سئل ابن القاسم عن الركوب في السفن التي يركب فيها النصارى لأعيادهم فكره ذلك مخافة نزول السخط عليهم لكفرهم الذي اجتمعوا له . قال وكره ابن القاسم للمسلم أن يهدي إلى النصراني في عيده مكافأة له . ورآه من تعظيم عيده وعونا له على مصلحة كفره . ألا ترى أنه لا يحل للمسلمين أن يبيعوا للنصارى شيئا من مصلحة عيدهم لا لحما ولا إداما ولا ثوبا ولا يعارون دابة ولا يعانون على شيء من دينهم ; لأن ذلك من التعظيم لشركهم وعونهم على كفرهم وينبغي للسلاطين أن ينهوا المسلمين عن ذلك , وهو قول مالك وغيره لم أعلم أحدا اختلف في ذلك

“Dari Mukhtashar Al Waadhihah, Ibnu Al Qasim ditanya soal menaiki perahu yang dinaiki kaum Nasrani pada hari raya mereka. Ibnu Qasim tidak menyukai (memakruhkan) hal itu karena takut turunnya kemurkaan (Allah) atas mereka, lantaran berkumpulnya mereka di atas kekufuran. Ibnu Al Qasim juga tidak menyukai seorang muslim memberi hadiah pada Nasrani pada hari rayanya sebagai hadiah. Dia berpendapathal itu termasuk mengagungkan hari rayanya dan menolong kemaslahatan kufurnya. Tidakkah engkau tahu bahwa tidak halal bagi muslim membelikan sesuatu untuk kaum Nasrani untuk kemaslahatan hari raya mereka baik berupa daging, baju; tidak meminjamkan kendaraan dan tidak menolong apapun dari agama mereka karena hal itu termasuk mengagungkan kesyirikan mereka dan menolong kekafiran mereka. Dan hendaknya penguasa melarang umat Islam melakukan hal itu. Ini pendapat Malik dan lainnya. Saya tidak tahu pendapat yang berbeda.” [4]

3. Syafi’iyyah

Imam Ibnu Hajar Al Haitami Asy Syafi’iy Rahimahullah mengatakan:

ثم رأيت بعض أئمتنا المتأخرين ذكرما يوافق ما ذكرته فقال : ومن أقبح البدع موافقة المسلمين النصارى في أعيادهم بالتشبه بأكلهم والهدية لهم وقبول هديتهم فيه وأكثر الناس اعتناء بذلك المصريون وقد قال صلى الله عليه وسلم } من تشبه بقوم فهو منهم { بل قال ابن الحاج لا يحل لمسلم أن يبيع نصرانيا شيئا من مصلحة عيده لا لحما ولا أدما ولا ثوبا ولا يعارون شيئا ولو دابة إذ هو معاونة لهم على كفرهم وعلى ولاة الأمر منع المسلمين من ذلك ومنها اهتمامهم في النيروز… ويجب منعهم من التظاهر بأعيادهم

“Aku melihat sebagian imam kita muta’akhirin (generasi belakangan) menyatakan pendapat yang sama denganku, lalu dia berkata: Termasuk dari bid’ah terburuk adalah persetujuan kaum muslimin kepada Nasrani di hari raya mereka dengan melakukan tasyabbuh (menyerupai), yaitu dengan makanan, memberi hadiah, dan menerima hadiah pada hari itu. Kebanyakan orang yang melakukan itu adalah Mishriyun (orang-orang Mesir). Nabi ﷺ bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia bagian dari mereka”. Ibnu Al Haj berkata: Tidak halal bagi muslim menjual sesuatu pada orang Nasrani untuk kemasalahan hari rayanya baik berupa daging, kulit atau baju. Hendaknya tidak meminjamkan sesuatu walupun berupa kendaraan karena itu menolong kekufuran mereka. Dan bagi pemerintah hendaknya mencegah umat Islam atas hal itu. Salah satunya adalah perayaan Nairuz … dan wajib melarang umat Islam menampakkan diri pada hari raya orang kafir.” [5]

Imam Ibnu Hajar Al Haitamiy Rahimahullah juga berkata:

يُعَزَّرُ مَنْ وَافَقَ الْكُفَّارَ فِي أَعْيَادِهِمْ وَمَنْ يَمْسِكُ الْحَيَّةَ وَمَنْ يَدْخُلُ النَّارَ وَمَنْ قَالَ لِذِمِّيٍّ يَا حَاجُّ وَمَنْ هَنَّأَهُ بِعِيدِهِ وَمَنْ يُسَمِّي زَائِرَ قُبُورِ الصَّالِحِينَ حَاجًّا وَالسَّاعِي بِالنَّمِيمَةِ لِكَثْرَةِ إفْسَادِهَا بَيْنَ النَّاسِ قَالَ يَحْيَى بْنُ كَثِيرٍ يُفْسِدُ النَّمَّامُ فِي سَاعَةٍ مَا لَا يُفْسِدُهُ السَّاحِرُ فِي سَنَة

Dita’zir (dihukum) orang yang menyepakati orang kafir pada hari raya mereka, orang yang memegang ular, yang masuk api, orang yang berkata pada kafir dzimmi “Hai Haji”, orang yang mengucapkan selamat pada hari raya (agama lain), orang yang menyebut peziarah kubur orang saleh dengan sebutan haji, dan pelaku adu domba karena banyaknya menimbulkan kerusakan antara manusia. Berkata Yahya bin Abu Katsir: “Kerusakan pengadu domba selama satu jam sama seperti kerusakan ahi sihir dalam setahun.” [6]

4. Hambaliyah

Imam Al Buhutiy Al Hambaliy Rahimahullah mengatakan:

(وَيَحْرُمُ تَهْنِئَتُهُمْ وَتَعْزِيَتُهُمْ وَعِيَادَتُهُمْ) ؛ لِأَنَّهُ تَعْظِيمٌ لَهُمْ أَشْبَهَ السَّلَامَ. (وَعَنْهُ تَجُوزُ الْعِيَادَةُ) أَيْ: عِيَادَةُ الذِّمِّيِّ (إنْ رُجِيَ إسْلَامُهُ فَيَعْرِضُهُ عَلَيْهِ وَاخْتَارَهُ الشَّيْخُ وَغَيْرُهُ) لِمَا رَوَى أَنَسٌ «أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَادَ يَهُودِيًّا، وَعَرَضَ عَلَيْهِ الْإِسْلَامَ فَأَسْلَمَ فَخَرَجَ وَهُوَ يَقُولُ: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ بِي مِنْ النَّارِ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَلِأَنَّهُ مِنْ مَكَارِمِ الْأَخْلَاقِ. (وَقَالَ) الشَّيْخُ (وَيَحْرُمُ شُهُودُ عِيدِ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى) وَغَيْرِهِمْ مِنْ الْكُفَّارِ (وَبَيْعُهُ لَهُمْ فِيهِ) . وَفِي الْمُنْتَهَى: لَا بَيْعُنَا لَهُمْ فِيهِ (وَمُهَادَاتُهُمْ لِعِيدِهِمْ) لِمَا فِي ذَلِكَ مِنْ تَعْظِيمِهِمْ فَيُشْبِهُ بَدَاءَتَهُمْ بِالسَّلَامِ

“Haram mengucapkan tahni’ah (selamat), ta’ziyah (ziarah orang mati), iyadah (jenguk orang sakit) kepada non-muslim karena itu berarti menghormati mereka sama dengan menyerupai (mengucapkan) salam. *Boleh menjenguk sakitnya kafir dzimmi apabila diharapkan Islamnya dan hendaknya mengajak masuk Islam.* Karena, dalam sebuah hadits riwayat Bukhari, Nabi ﷺ pernah iyadah pada orang Yahudi dan mengajaknya masuk Islam lalu si Yahudi masuk Islam lalu berkata, “Alhamdulillah Allah telah menyelamatkan aku dari neraka.” Dan karena menjenguk orang sakit termasuk akhak mulia. Haram menghadiri perayaan mereka karena hari raya mereka, karena hal itu termasuk mengagungkan mereka sehingga hal ini menyerupai memulai ucapan salam.” [7]

Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah menjelaskan:

وَأَمَّا التَّهْنِئَةُ بِشَعَائِرِ الْكُفْرِ الْمُخْتَصَّةِ بِهِ فَحَرَامٌ بِالِاتِّفَاقِ مِثْلَ أَنْ يُهَنِّئَهُمْ بِأَعْيَادِهِمْ وَصَوْمِهِمْ، فَيَقُولَ: عِيدٌ مُبَارَكٌ عَلَيْكَ، أَوْ تَهْنَأُ بِهَذَا الْعِيدِ، وَنَحْوَهُ، فَهَذَا إِنْ سَلِمَ قَائِلُهُ مِنَ الْكُفْرِ فَهُوَ مِنَ الْمُحَرَّمَاتِ، وَهُوَ بِمَنْزِلَةِ أَنْ يُهَنِّئَهُ بِسُجُودِهِ لِلصَّلِيبِ، بَلْ ذَلِكَ أَعْظَمُ إِثْمًا عِنْدَ اللَّهِ وَأَشَدُّ مَقْتًا مِنَ التَّهْنِئَةِ بِشُرْبِ الْخَمْرِ وَقَتْلِ النَّفْسِ وَارْتِكَابِ الْفَرْجِ الْحَرَامِ وَنَحْوِهِ. وَكَثِيرٌ مِمَّنْ لَا قَدْرَ لِلدِّينِ عِنْدَهُ يَقَعُ فِي ذَلِكَ، وَلَا يَدْرِي قُبْحَ مَا فَعَلَ، فَمَنْ هَنَّأَ عَبْدًا بِمَعْصِيَةٍ أَوْ بِدْعَةٍ أَوْ كُفْرٍ فَقَدْ تَعَرَّضَ لِمَقْتِ اللَّهِ وَسَخَطِهِ

“Adapun memberi ucapan selamat (tahniah) pada syiar-syiar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, imlek, waisak, dll. pen) *adalah hal yang diharamkan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.* Misalnya memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan yang semacamnya. Jika memang orang yang mengucapkan itu bisa selamat dari kekafiran, namun itu termasuk dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan itu lebih besar dosanya di sisi Allah.

Ucapan selamat semacam ini lebih dimurkai Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya. Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut, dan dia tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia layak mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.” [8]

Apa yang dikatakan Imam Ibnul Qayyim menegaskan adanya kesepakatan ulama masa lalu tentang haramnya mengucapkan selamat hari raya non muslim.

Kedua. Pihak yang membolehkan ucapan Selamat untuk basa basi

Sebagian ulama zaman sekarang membolehkannya, hanya untuk basa basi agar tidak ada hambatan komunikasi antara umat Islam dengan mereka. Apalagi bagi yang hidup bertetanggaan dengan non muslim seperti di daerah minoritas muslimnya, atau teman kantor, atau bahkan masih kerabat dekat dan masih ada pertalian keluarga. Mereka pun memberikan syarat dalam pembolehan yaitu tidak boleh untuk kafir harbiy, penjajah seperti Zionis, dan tidak sampai menunjukkan ridha terhadap aqidah mereka.

Mereka punya sejumlah alasan, di antaranya:

1. Keumuman anjuran berkata-kata yang baik kepada siapa pun. Kepada Fir’aun, Allah ﷻ memerintahkan kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ‘Alaihimassalam perkataan yang lemah lembut (qaulan layyina). Kepada kedua orang tua Allah ﷻ memerintahkan kita perkataan yang mulia (qaulan kariima). Kepada sesama orang beriman Allah ﷻ memerintahkan perkataan yang benar (qaulan sadiida).

2. Allah ﷻ tidak melarang kita berbuat baik dan adil kepada orang kafir yang tidak memerangi dan mengusir kaum muslimin dari negerinya, yang Allah ﷻ larang adalah jika kita berbuat baik kepada orang kafir yang menzalimi kita.

Allah ﷻ berfirman:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al Mumtahanah: 8)

3. Khusus tentang Natal, mereka beralasan dengan ucapan Nabi ‘Isa ‘Alaihissalam yang mengucapkan selamat atas kelahiran dirinya:

وَالسَّلَامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا

Dan keselamatan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” (QS. Maryam: 33)

Ayat ini dijadikan dasar, bahwa Nabi ‘Isa ‘Alaihissalam sendiri mengucapkan selamat atas hari kelahirannya. Pemahaman dan pendalilan seperti ini tidak kita jumpai pada kitab-kitab tafsir salaf. Ditambah lagi, dalam konsep Nasrani, Natal itu bukan kelahiran seorang Nabi dan Rasul, tapi kelahiran Tuhan Anak. Dengan kata lain, tidak apple to apple (tidak selaras) menjadikan ayat ini sebagai dasar kebolehan ucapan selamat Natal.

4. Bagi pihak yang membolehkan, fatwa pengharaman di masa lalu itu bisa dimaklumi, karena masih dekatnya hidup para ulama tersebut dengan masa perang Salib. Sehingga fatwa pun muncul dan dipengaruhi suasana politik saat itu. Alasan ini juga tidak pas, sebab zaman sekarang pun suasana peperangan (lebih tepatnya penjajahan) itu masih ada dan bahkan lebih meluas. Seperti yang dialami umat Islam di Palestina, Rohingnya, Uighur, Moro, Iraq, Afghanistan, dan perang global bernama Ghazwul Fikri.

Berikut ini beberapa ulama masa kini yang menyatakan kebolehannya:

1. Syaikh Dr. Nashr Farid Waashil Hafizhahullah, mantan Mufti Mesir

Beliau menjelaskan:

لا مانع شرعًا من تهنئة غير المسلمين في أعيادهم ومناسباتهم، وليس في ذلك خروج عن الدين كما يدَّعي بعض المتشددين غير العارفين بتكامل النصوص الشرعية ومراعاة سياقاتها وأنها كالجملة الواحدة، وقد قَبِلَ النبي صلى الله عليه وآله وسلم الهدية من غير المسلمين، وزار مرضاهم، وعاملهم، واستعان بهم في سلمه وحربه حيث لم يرَ منهم كيدًا، كل ذلك في ضوء تسامح المسلمين مع مخالفيهم في الاعتقاد

Tidaklah terlarang secara syar’iy memberikan selamat kepada non muslim pada hari raya dan acara-acara mereka. Hal itu bukanlah perilaku yang membuat keluar dari Islam sebagaimana yang diklaim sebagian orang-orang ekstrim yang tidak memahami konfrehensifitas dalil-dalil syar’iy dan tidak memperhatikan konteksnya, dan hal itu sesungguhnya adalah satu kesatuan. Nabi ﷺ pernah menerima hadiah dari non muslim, menjenguk yang sakit diantara mereka, berinteraksi dengan mereka, serta meminta bantuan mereka dalam keadaan damai dan perang selama tidak Beliau melihat tidak ada tipu daya di dalamnya. Semua ini ada dalam cakupan toleransi kaum muslimin walau menyelisihi mereka dalam aqidah. [9]

2. Syaikh Wahbah Az Zuhailiy Rahimahullah (pakar fiqih dari Siria, alumni Al Azhar)

Beliau ditanya:

ما حكم تهنئة النصارى بأعيادهم ؟
لا مانع من مجاملة النصارى في رأي بعض الفقهاء في مناسباتهم على ألا يكون من العبارات ما يدل على إقرارهم على معتقداتهم

Apa hukum memberikan selamat kepada kaum kaum Nasrani saat hari raya mereka?

Jawaban: “Menurut sebagian fuqaha, tidak ada larangan berbasa basi kepada Nasrani pada acara-acara mereka, asalkan jangan sampai terucap perkataan yang membenarkan aqidah mereka.” [10]

3. Syaikh Yusuf Al Qaradhawiy Hafizhahullah (Alumni Al Azhar, mufti Qatar dan mantan Ketua Ikatan Ulama Intermnasional)

Beliau berkata:

وتتأكد مشروعية تهنئة القوم بهذه المناسبة إذا كانوا –كما ذكر السائل- يبادرون بتهنئة المسلم بأعياده الإسلامية، فقد أمرنا أن نجازي الحسنة بالحسنة، وأن نرد التحية بأحسن منها، أو بمثلها على الأقل، كما قال تعالى: “وَإِذَا حُيِّيْتُم بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّواْ بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا” )النساء:86(

ولا يحسن بالمسلم أن يكون أقل كرما، وأدنى حظا من حسن الخلق من غيره، والمفروض أن يكون المسلم هو الأوفر – حظا، والأكمل خلقا، كما جاء في الحديث “أكمل المؤمنين إيمانا أحسنهم خلقا” وكما قال عليه الصلاة والسلام: “إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلا

Legalitas ucapan selamat kepada mereka dalam berbagai kesempatan, menjadi kuat bilamana mereka –seperti yang dikatakan saudara penanya- memulai memberikan ucapan selamat kepada orang muslim pada harihari besar Islam. Karena kita diperintah membalas kebaikan dengan kebaikan dan membalas ucapan selamat dengan yang lebih baik daripadanya, atau paling tidak sama dengannya.

Firman Allah ﷻ :

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا

Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu. (QS. An Nisa: 86)

Tidak baik bagi seorang muslim untuk menjadi pihak yang paling sedikit kemurahan, dan paling minim bagiannya dalam etika yang baik daripada pihak lain. Seharusnya seorang muslim menjadi orang yang paling dominan dalam kebaikan dan paling sempurna akhlaknya, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

“Orang beriman yang paling sempurna imannya adalah yang paling bagus akhlaknya.” [11]

Kemudian, Syaikh Al Qaradhawiy juga mengatakan bolehnya ucapan selamat namun tetap terlarang ikut berkumpul dengan mereka di hari raya mereka:

فلا مانع إذن أن يهنئهم الفرد المسلم، أو المركز الإسلامي بهذه المناسبة، مشافهة أو بالبطاقات التي لا تشتمل على شعار أو عبارات دينية تتعارض مع مبادئ الإسلام مثل (الصليب) فإن الإسلام ينفي فكرة الصليب ذاتها “وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَـكِن شُبِّهَ لَهُمْ” )النساء157 (

والكلمات المعتادة للتهنئة في مثل هذه المناسبات لا تشتمل على أي إقرار لهم على دينهم، أو رضا بذلك، إنما هي كلمات مجاملة تعارفها الناس.ولا مانع من قبول الهدايا منهم، ومكافأتهم عليها، فقد قبل النبي –صلى الله عليه وسلم – هدايا غير المسلمين مثل المقوقس عظيم القبط بمصر وغيره، بشرط ألا تكون هذه الهدايا مما يحرم على المسلم كالخمر ولحم الخنزير.
ولا ننسى أن نذكر هنا أن بعض الفقهاء مثل شيخ الإسلام ابن تيمية وتلميذه العلامة ابن القيم قد شددوا في مسألة أعياد المشركين وأهل الكتاب والمشاركة فيها، ونحن معهم في مقاومة احتفال المسلمين بأعياد المشركين وأهل الكتاب الدينية، كما نرى بعض المسلمين الغافلين يحتفلون بـ(الكريسماس) كما يحتفلون بعيد الفطر، وعيد الأضحى، وربما أكثر، وهذا ما لا يجوز، فنحن لنا أعيادنا، وهم لهم أعيادهم، ولكن لا نرى بأسا من تهنئة القوم بأعيادهم لمن كان بينه وبينهم صلة قرابة أو جوار أو زمالة، أو غير ذلك من العلاقات الاجتماعية،التي تقتضي حسن الصلة، ولطف المعاشرة التي يقرها العرف السليم

“Jadi kalau begitu, tidak ada halangan bagi individu muslim atau atas nama Pusat Informasi Islam mengucapkan selamat kepada mereka dalam kesempatan ini (hari besar) baik secara lisan atau melalui kartu yang tidak memuat simbol atau ungkapan keagamaan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam seperti salib. Karena memang Islam menolak konsep salib itu sendiri:

وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ

Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, (tetapi yang mereka bunuh adalah) orang yang diserupakan dengan ‘Isa bagi mereka. (QS. An Nisa: 157)

Kata-kata yang biasa digunakan dalam ucapan selamat pada berbagai kesempatan tersebut tidak mengandung unsur pengakuan terhadap agama dan Tuhan mereka atau sikap ridha akan hal itu. Tetapi itu hanya ucapan basa basi yang lazim digunakan orang dalam pergaulan.

Juga tidak ada halangan untuk menerima hadiah dari mereka dan membalas hadiah mereka. Nabi ﷺ dulu menerima berbagai hadiah dari kalangan non muslim seperti dari Mukaukis, pempinan bangsa Koptik di Mesir, dan lain-lain, asalkan hadiah tersebut tidak terdiri dari barang-barang yang diharamkan terhadap orang muslim seperti minuman keras dan daging babi.

Kami tidak lupa dan kami sebutkan di sini bahwa sebagian ulama fiqih seperti Ibnu Taimiyah bersikap tegas dalam masalah yang berhubungan dengan hari-hari besar kaum musyrikin dan kaum ahli kitab, serta ikut bersama-sama merayakannya. Hal ini terdapat dalam kitabnya yang sangat berharga, Iqtidha’ Shirath Al Mustaqim Mukhalafatu Ahli Al Jahim.

Saya sependapat dengannya dalam mencegah ikut berkumpulnya umat Islam merayakan hari-hari besar kaum musyrikin dan ahli kitab –sebagaimana kita saksikan sekarang kaum muslimin ikut terlibat dalam perayaan Natal sebagaimana mereka merayakan hari Idul Fithri dan Idul Adha-, atau malah lebih meriah dari itu, dan inilah yang tidak dibenarkan. Bagi kita hari-hari raya kita, dan bagi mereka adalah hati-hari raya mereka. Tapi saya tidak melihat ada masalah untuk mengucapkan selamat mereka sehubungan dengan tibanya hari-hari raya bagi orang yang memiliki antara dirinya dengan mereka hubungan kekerabatan, hubungan bertetangga, persahabatan, dan sebagainya di antara hubungan-hubungan sosial yang menuntut kasih sayang dan persaudaraan yang diakui oleh adat istiadat yang sehat. [12]

Dan masih banyak lagi, seperti Syaikh Rasyid Ridha (Ahli Hadits dan Tafsir, Mesir), Syaikh Ali Jum’ah (mantan mufti Mesir), Syaikh Mushthafa Az Zarqa’ (Siria), Syaikh Ahmad Shurbasyi (Al Azhar-Mesir) dan lainnya. Jika kita lihat, rata-rata yang membolehkan adalah ulama Mesir atau alumni Al Azhar Mesir. Bahkan Syaikh Mushtahfa Az Zarqa yang asli Siria, pernah pula mengenyam pendidikan di Mesir, di Universitas Fuad I (Saat ini Kairo University).

Hal ini mengingatkan kita pada ucapan Imam Ibnu Hajar Al Haitamiy Rahimahullah yang telah kami kutip sebelumnya:

“Aku melihat sebagian imam kita muta’akhirin (generasi belakangan) menyatakan pendapat yang sama denganku, lalu dia berkata: Termasuk dari bid’ah terburuk adalah persetujuan kaum muslimin kepada Nasrani di hari raya mereka dengan melakukan tasyabbuh (menyerupai), yaitu dengan makanan, memberi

hadiah, dan menerima hadiah pada hari itu. Kebanyakan orang yang melakukan itu adalah Mishriyun (orang-orang Mesir).”

Lalu, bagaimana sikap kita?

Setelah kita lihat perbedaan pendapat dalam masalah ini dan hujjah mereka masing-masing. Maka, silahkan bagi yang mengambil salah satu pendapat dari dua pendapat ini. Walau kami lebih mengikuti pendapat yang pertama untuk lebih berhati-hati. Hendaknya umat Islam tetap bersaudara jangan sampai disibukkan oleh perdebatan yang selalu muncul tiap tahun ini. Mereka yang Natal, kita yang ribut. Saat menjelang Idul Adha kita pun ribut lagi, memasuki Ramadhan kita pun ribut lagi, apakah memang umat Islam hobi ribut?

Kalau boleh kami memberikan saran, bagi mereka yang tidak ada keperluan apa pun untuk mengucapkan selamat, baik karena tidak ada perlunya, tidak berhubungan dengan non muslim baik di kantor, keluarga, perkawanan, maka tidak perlu baginya mengucapkan selamat. Sedangkan bagi mereka yang sehari-hari berhubungan dengan non muslim, baik sebagai kerabat, keluarga, kawan, teman kantor, atasan, dia bisa berbuat baik kapan pun sehingga itu tetap terpatri dalam jiwa non muslim, dan tidaklah itu ternoda hanya karena tidak mengucapkan selamat hari raya. Jikalau pun terpaksa, maka ucapkan selamat berbahagia, selamat libur, adalah lebih aman secara sosial dan aqidah, dan tentunya lebih minim perdebatan dibanding selamat hari raya mereka.

Kesimpulan:

– Ulama terdahulu dari empat madzhab sepakat keharaman mengucapkan selamat hari raya orang kafir.

– Kesepakatan ini “pecah” di zaman ini, cukup banyak ulama yang membolehkan, khususnya kalangan Mesir, atau alumni Al Azhar. Sementara ulama Arab Saudi tetap mengharamkan.

Demikian. Wallahu A’lam

🍃🌻🌷🌸🌿🍀🌳

✍ Farid Nu’man Hasan


🍃🍃🍃🍃🍃🍃

[1] HR. Bukhari no. 3931, disebutkan bahwa saat itu sedang Idul Fithri atau Idul Adha

[2] HR. Muslim No. 2167

[3] Imam Ibnu Nujaim, Al Bahr Al Raiq Syarah Kanz Ad Daqaiq, 8/555

[4] Imam Ibnu Al Hajj, Al Madkhal, 2/46-48

[5] Imam Ibnu Hajar Al Haitamiy, Al Fatawa Al Fiqhiyah Al Kubra, 4/238-239

[6] Imam Ibnu Hajar Al Haitamiy, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, 9/181

[7] Imam Al Buhutiy, Kasysyaaf Al Qinaa’, 1/131

[8] Imam Ibnul Qayyim, Ahkam Ahlu Adz Dzimmah, 1/441

[9] http://www.dar-alifta.org/ar/ViewFatwa.aspx?sec=fatwa&ID=13259

[10] http://www.shariaa.net/forum/showthread.php?t=22917

[11] Syaikh Yusuf Al Qaradhawiy, Fatwa-Fatwa Kontemporer 3, Hal. 979-980

[12] Ibid, Hal. 980-981

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top