Allah Berfirman,
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ (24) تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (25)
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada Setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (Ibrahim: 24-25)
Setiap orang pasti senang dan terhibur melihat indahnya pemandangan pohon. Suka berteduh di bawahnya. Menikmati buah lezatnya. Memanfaatkan oksigen yang dihasilkannya dan menyerap karbon dioksida yang kita keluarkan. Bahkan memanfaatkan setiap helai daun, serabut akarnya dan kayunya untuk berbagai macam kepentingan. Pohon adalah paru-paru dunia. Itulah perumpamaan seorang muslim.
Di dalam Al-Quran atau hadits, banyak perumpamaan (matsal) untuk mendekatkan pemahaman terhadap sesuatu yang logis abstrak (ma’qul) dengan sesuatu yang bisa diindra (mahsus). Seperti halnya ayat di atas yang mengumpamakan seorang mukmin dengan pohon.
Tentang “kalimat” dalam ayat itu, para ahli tafsir memiliki dua penafsiran; sebagian menyatakan bahwa yang dimaksud adalah keimanan di dalam dada dan sebagian lagi menyatakan sebagai orang mukmin itu sendiri. Kedua pendapat ini sebenarnya bisa dikompromikan yakni seorang mukmin dengan keimanannya ibarat sebuah pohon dengan sifat-sifat yang disebutkan setelahnya. Tentang pohon yang menjadi perumpamaan, sebagian ulama menyebutnya sebagai pohon kurma. Sebagian lagi menyatakan pohon sempurna itu hanya ada di surga.
Allah mengumpamakan seorang mukmin dengan keimanannya ibarat pohon dengan empat sifat; pohon yang baik, akarnya kuat menghunjam ke dalam tanah, batang dan dahannya menjulang tinggi ke langit, yang memberikan buahnya setiap saat tak kenal musim. Semua itu terjadi dengan izin Allah. Perumpamaan ini dibuat oleh Allah agar manusia mengambil pelajaran.
Imam Fakrur Razi dalam buku tafsirnya menjelaskan bahwa seorang mukmin memiliki empat karakter mendasar seperti karakter pohon. Masing-masing sifat pohon itu memiliki padanan sifat (karakter) yang harus dimiliki oleh seorang mukmin.
-
Daftar Isi
Pohon Yang Baik (Thayyib)
“kalimat yang baik seperti pohon yang baik”
Karena tidak semua pohon itu baik, subur, banyak manfaat. Perumpaan seorang mukmin ibarat pohon yang baik. itu disebut “thayyib” apabila memiliki empat sifat mendasar;
Pertama, bentuk luar, dari akar hingga pucuk daunnya indah dipandang. Ia layak menjadi pemandangan indah untuk “cuci mata”. Maknanya, secara fisik penampilan seorang mukmin harus indah dan bersih. Wajah dan senyumnya harus menyenangkan orang lain.
Rasulullah Sallallu Alaihi wa Sallam, “Allah juga Maha Indah dan mencintai keindahan.” (HR. Muslim)
Bahkan kebersihan dan kesucian badan, tempat dan pakaian dari najis menjadi prasyarat sahnya setiap ibadah kepada Allah. Dalam momen tertentu seperti Jumat dan shalat hari raya, seorang mukmin dianjurkan untuk mengenakan pakaian terbaik yang dimilikinya. Seorang mukmin dianjurkan senantiasa menjaga sunanul fitrah (memotong kuku, memotong kumis, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan dan rambutnya). Untuk tampil indah, tentu tidak mesti ganteng dan cantik , menor atau mengenakan aksesori yang berlebihan. Sebab Allah sekali-kali tidak melihat tampilan fisik seseorang. Allah menilai seseorang dari takwanya. Sederhana namun tetap kelihatan bersih dan pantas tentu lebih baik.
Rasulullah Sallallu Alaihi wa Sallam bersabda, “Senyummu di wajah saudaranya adalah sedekah” (HR. Tirmidzi)
Seorang mukmin tidak perlu menampakkan kemurungannya kepada orang lain. Sebaliknya, ia harus menampakkan wajah sumringahnya.
Kedua, pohon memiliki aroma yang sedap bahkan wangi, semisal kayu gaharu atau pohon yang menghasilkan bungah dan dedauan yang wangi. Maknanya, seorang mukmin juga harus menjaga aroma tubuhnya agar tetap wangi, atau minimal tidak menimbulkan bau yang tidak sedap. Seorang mukmin harus memperhatikan bau mulut dan tubuhnya jangan sampai mengganggu orang disekitarnya. Seorng mukmin harus mampu membuat orang di sekitarnya merasa nyaman.
Rasulullah Sallallu Alaihi wa Sallam bersabda, “Aku dikaruniai rasa cinta dari dunia kalian yakni kepada wanitanya dan minyak wanginya. Dan dijadikan penyejuk hatiku ketika dalam shalat.” (HR. Baihaqi)
Karenanya, Rasulullah melarang seseorang makan bawang kemudian datang ke masjid. Sebab, efek makanan itu akan berimbas kepada aroma tubuh dan mulutnya. Bukan hanya karena ia akan menghadap kepada Allah, namun hal itu juga dikhawatirkan akan mengganggu kekhusuan jamaah lainnya di masjid.
Ketiga, pohon itu memiliki buah yang harum dan lezat rasanya. Maknanya, seorang mukmin harus senantiasa menjaga lisannya. Kata-kata yang diucapkan harus senantiasa menentramkan, menenangkan, menghibur. Jika tidak, hendaklah dia diam. Jangan sampai lisannya mengeluarkan kata-kata yang menyakiti dan menusuk hati orang lain, apalagi kata-kata gombal (bohong) dan gunjingan dan namimah. Konsekswensi keimanan mengharuskan seseorang berkata baik, jika tidak bisa maka dia harus diam.
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari )
Lisan adalah juru bicara hati. Maka untuk menjaga hati, otomatis harus menjaga lisannya.
Keempat, pohon, baik dari akar, batang dan dedaunannya memiliki manfaat dan khasiat bagi lingkungan sekitarnya. Maknanya, keberadaan seorang mukmin harus memberikan manfaat kepada orang lain. Seorang mukmin harus menjadi solusi dan jawaban atas sebuah masalah bukan menciptakan masalah.
“Manusia yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat di antara manusia. Amal yang paling dicintai Allah adalah menggembirakan dan menghibur orang muslim.” (HR. Baihaqi )
-
Pohon Yang Memiliki Akar Yang Kuat
“akarnya teguh”
Semakin kuat akar sebuah pohon maka manfaatnya akan semakin banyak. Akar yang kuat membuktikan kesuburan pohon tersebut dan akan bisa bertahan lebih lama. Maknanya, seorang mukmin harus memiliki akidah, prinsip, pendirian dan mental kuat yang “tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan”. Seorang mukmin senantiasa harus bisa menjaga imannya, memperbaruinya dan menghiasi hati dengan keimanan itu. Sebab, meski dia seorang mukmin, tetap saja tidak keluar dari dimensi kemanusiannya. Ia memiliki keterbatasan kekuatan fisik dan akal. Suatu saat akan mengalami kelesuan. Sehingga ia perlu memperbaruinya. Iman ibarat pakaian yang selalu dikenakan, pasti akan mengalami lecek dan kusam sehingga perlu dibersihkan.
“Allah menciptakan keimanan laksana pakaian. Karenanya, mintalah kepada Allah agar memperbarui keimanan kalian.” (HR. Disahihkan oleh Al-Albani)
“Iman itu bertambah dan berkurang. Bertambah dengan ketataan dan berkurang dengan keimanan.” (HR. Muslim)
-
Pohon Yang Memiliki Dahan dan Ranting Kuat dan Tinggi
“dan cabangnya (menjulang) ke langit,”
Batang dan dahan yang kuat dan tinggi sebuah pohon dihasilkan oleh akarnya yang kuat. Sebuah pohon tanpak sempurna jika ia memiliki batang dan dahan kuat menjulang ke langit. Keduanya saling terkait. Semakin tinggi dan kuat sebuah pohon maka akan semakin rindang dedaunannya dan akan memberikan manfaat oksigen bagi manusia. Orang juga akan semakin merasa nyaman berteduh di bawahnya.
Maknanya, ruhiah (hubungan spiritualnya dengan Allah) mukmin dan akhlaknya sesama manusia harus tinggi dan kuat. Setinggi dan sekuat sebuah pohon. Semakin tinggi ruhiyah seorang mukmin maka orang lain akan semakin nyaman dengannya. Sama halnya sebuah bangunan rumah, semakin tinggi atapnya maka semakin adem orang yang tinggal di dalamnya.
Selain itu, ini filosofi ini juga bermakna, maka seorang mukmin harus bugar dan kuat secara fisik. Sebab dengan kesehatan dan kekuatan fisik saja, perintah-perintah Allah bisa dilaksanakan secara sempurna.
“Orang mukmin yang kuat lebih baik daripada orang mukmin yang lemah.” (HR. Muslim)
-
Pohon Yang Memberikan Buahnya Tak Kenal Musim
Ini sifat penyempurna dari sifat-sifat sebelumnya. Dengan keindahan, akar kuat, dahan tinggi, sebuah pohon belum bermanfaat secara sempurna kalau dia tidak berbuah. Atau berbuah namun hanya sekali sepanjang usianya. Atau hanya berbuah secara musiman. Pohon akan semakin sempurna bila berbuah sepanjang tahun dan tak kenal musim.
Maknanya, seorang mukmin itu harus beramal yang bermanfaat untuk dirinya, keluarga dan orang lain secara berkesinambungan dan istiqamah. Dilakukan dalam kondisi apapun. Inilah simpul ajaran Islam. Amal salih tidak bermakna jika hanya dilakukan sekali atau hanya dilakukan karena trend tertentu.
Istiqamah inilah yang menyebabkan Rasulullah saw beruban.
“Surat Hud (yang ada perintah istiqomah “istiqamahlah terhadap apa yang aku perintahkan” (Hud: 112) telah membuatku beruban.” (HR. Tirmidzi )
Karenanya, salah satu sifat orang bertakwa ada berinfak dalam kondisi leluasa (berpunya) atau dalam keadaan kekurangan sesuai dengan kadar kemampuannya.
“Yakni orang yang berinfak dalam keadaan leluasa dan sempit.” (Ali Imran: 134)
Jika ingin istiqamah, seseorang harus memiliki energi kesabaran di atas rata-rata. Hanya dengan kesabaran dan istiqamah itulah seseorang akan bisa menyudahi tugasnya dengan happy ending atau lebih tepatnya husnul khatimah.
Semua itu Dengan Izin Allah
“Dengan izin Allah”
Kebaikan, manfaat dan amal salih seseorang hanya bisa terwujud dengan taufiq, hidayah dan izin Allah. Seseorang tak layak membusungkan dada dan berkacak pinggang saat mampu menorehkan prestasi kebaikan. Sebab pada dasarnya ia tidak memiliki daya apa-apa kecuali dari Allah.
“Tidaklah aku menginginkan kecuali perbaikan dan aku tidak akan mendapatkan taufiq kecuali dari Allah.” (Hud: 88)
Karenanya, seorang mukmin harus meminta hidayah taufiq kepada Allah setiap hari 17 kali dalam setiap rakaat shalatnya. Para menjelaskan bahwa yang dimaksud dalam ayat,
“Tunjukkanlah kami ke dalam jalan lurus” (Al-Fatihah: 6) adalah hidayah taufiq yakni seseorang diberi Allah persetujuan, izin dan kemampuan yang mampu melakukan kebajikan.
“Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.”
Lantas maukah hati dan fikiran kita terbuka merenungi perumpaan ini? Maukah mengevaluasi seberapa jauh kesesuaian kita dengan sifat-sifat tersebut? Wallahu a’lam
Oleh: Ahmad Tarmuli LC. MHI