Syarah 10 Wasiat Imam Hasan Al Banna Rahimahullah (Bag. 3)

Wasiat ke-2:

اتل القران او طالع او استمع او اذكر الله و لا تصرف جزء من وقتك فى غير فائدة

Bacalah Al Quran, atau menelaahnya, atau mendengarkannya, atau berdzikirlah kepada Allah, dan jangan buang waktumu sedikit pun dengan hal yang tidak bermanfaat. (Al Washaya Al ‘Asyr No. 2)

2⃣ Menelaah Al Quran

Pada bagian ke-2 lalu, sudah kami bahas tentang wasiat Beliau yang pertama di wasiat yang ke-2 ini, yaitu membaca Al Quran. Di mana membaca Al Quran memiliki keutamaan yang sangat banyak dan mulia. Juga anjuran membacanya dengan baik dan benar.

Kemudian, Imam Al Banna juga mewasiatkan agar menelaah Al Quran. Ini merupakan tahapan selanjutnya agar nilai-nilai Al Quran bisa menjadi “hidup” di tengah manusia.

📒 Memahami Al Quran; antara mentadabburi dan menafsirkan

Berkata Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri Rahimahullah:

والتفسير كشف المراد عن اللفظ المشكل

“Tafsir adalah menyingkap maksud dari lafaz yang mengandung musykil (kesulitan). (Tuhfah Al Ahwadzi, 8/177. Al Maktabah As Salafiyah, Madinah Al Munawarah)

Jika kita melihat definisi tafsir sebagaimana yang dikemukakan oleh Syaikh Al Mubarkafuri, maka upaya menafsirkan Al Quran bukanlah pekerjaan ringan dan begitu saja diserahkan kepada sembarang manusia. Di sinilah letak ketergelinciran sebagian manusia, awalnya hanya ingin tadabbur (merenungkan/memperhatikan) isi Al Quran dan mendapatkan hikmahnya, ternyata mereka telah melampaui batas apa yang mereka inginkan, jatuh pada tahap ngutak-ngatik makna-makna rumit yang menggelisahkan akalnya, hingga akhirnya dia menafsirkannya sendiri dengan hawa nafsu dan tanpa ilmu.

Allah Ta’ala memerintahkan kita agar mentadabburi Al Quran dan memahami isinya.

“Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad (47): 24)

“Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An Nisa (4): 82)

Tadabbur adalah upaya untuk mendapatkan pelajaran dari Al Quran dengan memikirkan hal-hal yang tersurat darinya. Kejernihan hati, keikhlasan niat, serta akal yang sehat merupakan media yang harus dipersiapkan agar mendapatkan bimbingan Al Quran. Imam Al Ghazali menerangkan bahwa membaca Al Quran yang paling baik adalah dengan melibatkan tiga unsur manusia ketika membacanya. Lisan sebagai penjaga huruf-hurufnya agar benar dan tartil. Akal untuk merenungkan isinya. Hati untuk menerima pelajaran dan bimbingan darinya. Inilah tadabbur yang benar.

Pada titik ini, maka upaya seorang muslim untuk memahami Al Quran dan mencari hikmahnya akan mendapatkan hasil yang baik, pelajaran yang banyak, dan berkah bagi pelakunya. Hendaknya seorang muslim memperhatikan betul masalah ini agar mereka tidak melangkah ke tempat yang bukan bagiannya, tidak berpikir ke wilayah yang bukan kekuasaannya, dan justru bertindak diluar koridor bimbingan Al Quran. Jika, dia menemukan kata-kata sulit dan makna-makna rumit yang belum difahaminya dan jauh dari pengetahuannya, maka hendaknya dia tundukkan hawa nafsu dan emosinya untuk mengembalikan itu semua kepada yang ahlinya. Sebab, saat itu para ahli tafsirlah yang memiliki otoritas, kecuali jika dia sudah layak juga disebut sebagai ahli tafsir dan telah memenuhi syarat-syaratnya, dan manusia pun telah mengakuinya.

📒 Kaidah-Kaidah Memahami Al Quran

Bagian ini akan saya tujukan kepada dua golongan.

Pertama, golongan awam yang masih awal mempelajari Al Quran. Kedua, golongan terpelajar, penuntut ilmu dan ulama.

↪Pertama. Golongan awam

Kepada mereka hendaknya bertanya kepada ahli ilmu, ahlinya Al Quran. Allah Ta’ala berfirman:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada Ahludz Dzikri jika kalian tidak mengetahui.” (QS. An Nahl (16): 43)

Siapakah Ahludz Dzikri yang dimaksud oleh ayat yang mulia ini?

Berkata Imam Al Qurthubi Rahimahullah (w. 671H) dalam kitab tafsirnya:

وقال ابن عباس: أهل الذكر أهل القرآن وقيل: أهل العلم، والمعنى متقارب.

Berkata Ibnu ‘Abbas: “Ahludz Dzikri adalah Ahlul Quran (Ahlinya Al Quran), dan dikatakan: Ahli Ilmu (ulama), maknanya berdekatan.” (Imam Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkamil Quran,10/108. Daru ‘Alim Al Kutub, Riyadh)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di Rahimahullah (w. 1376H) mengatakan tentang makna Ahludz Dzikri:

وعموم هذه الآية فيها مدح أهل العلم، وأن أعلى أنواعه العلم بكتاب الله المنزل. فإن الله أمر من لا يعلم بالرجوع إليهم في جميع الحوادث

“Secara umum ayat ini merupakan pujian buat ahlul ‘ilmi (ulama), dan jenis yang paling tinggi darinya adalah ilmu terhadap Kitabullah. Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang yang tidak tahu agar merujuk kepada mereka (para ulama) dalam semua peristiwa.” (Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Taisir Karim Ar Rahman fi Tafsir Kalam Al Manan, Hal. 441. Mu’asasah Ar Risalah)

Juga dalam hadits, dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersada: “Jika lenyapnya amanah maka tunggulah saat kehancurannya.” Abu Hurairah bertanya: “Bagaimanakah lenyapnya amanah ya Rasulullah?” Beliau menjawab:

إذا وسد الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة

“Jika urusan disandarkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah saat kehancurannya (kiamat).” (HR. Bukhari, Bab Man Suila ‘Ilman wa Huwa Musytaghilun fi Haditsihi, No. 59, lihat juga Bab Raf’ul Manah, No. 6131 )

Ini menunjukkan Islam sangat menghormati kaidah ilmu, sebab masing-masing bidang ada ahlinya. Bukan berarti Al Quran menjadi kitab elitis.

Menafsirkan Al Quran Tanpa Ilmu adalah Perbuatan Terlarang

Ketentuan ini berlaku bagi siapa saja. Menafsirkan Al Quran tanpa ilmu, bukan hanya merusak pemahaman terhadap agama, membawa absurditas, serta membawa kerusakan bagi manusia lantaran Al Quran dijadikan bahan permainan akal manusia dan hawa nafsunya. Melainkan juga pelakunya mendapatkan ancaman dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

من قال في القرآن بغير علم فليتبوأ مقعده من النار

“Barangsiapa yang berkata tentang (isi) Al Quran dengan tanpa ilmu, maka disediakan baginya tempat duduk di neraka.” (HR. At Tirmidzi No. 4022, katanya: hasan shahih)

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ومن قال في القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النار

“Barangsiapa yang berkata tentang (isi) Al Quran dengan akal pikirannya semata, maka disediakan bagianya tempat duduk di neraka.” (HR. At Tirmidzi No. 4023, katanya: hasan)

Bagaimana maksud hadits yang mulia ini? Berkata Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri Rahimahullah (w. 1353H):

“ومن قال” أي من تكلم “في القرآن” أي في معناه أو قراءته “برأيه” أي من تلقاء نفسه من غير تتبع أقوال الأئمة من أهل اللغة والعربية المطابقة للقواعدالشرعية بل بحسب ما يقتضيه عقله وهو مما يتوقف على النقل بأنه لا مجال للعقل فيه كأسباب النزول والناسخ والمنسوخ وما يتعلق بالقصص والأحكام

“Wa man qaala” yaitu barang siapa yang berbicara, “fil Quran” yaitu tentang makna Al Quran atau bacaannya, “bi Ra’yihi ” yaitu sesuai dengan nafsunya dengan tanpa mengikuti perkataan para imam ahli bahasa dan arab, (tanpa) menyesuaikan dengan kaidah-kaidah syariat. Bahkan akalnya harus mengikuti apa-apa yang disikapi oleh dalil, karena sesungguhnya tidak ada tempat bagi akal di dalamnya, seperti masalah asbabun nuzul, nasikh mansukh, dan hal yang terkait dengan kisah dan hukum.” (Tuhfah Al Ahwadzi, 8/278-279)

Oleh karena itu, Imam Ibnu Katsir Rahimahullah (w. 774H) dengan tegas mengharamkan tafsir bir ra’yi (tafsir dengan akal/rasio), dengan ucapannya:

فأما تفسير القرآن بمجرد الرأي فحرام

“Ada pun tafsir Al Quran semata-mata dengan ra’yu, maka itu haram.” Lalu beliau menyebutkan hadits-hadits di atas. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/10. Dar Thaibah Lin Nasyr wat Tauzi’)

Menafsirkan Al Quran dengan akal yakni tafsir bir ra’yi tidak selamanya terlarang, selama orang tersebut melakukannya dengan ijtihad yang benar, memahami seluk beluk bahasa Arab dengan baik dan niat yang besih. Dan ini jelas tidak semua orang mampu melakukannya. Insya Allah akan dibahas pada bagiannya nanti.

↪ Kedua. Golongan Terpelajar dan Ulama

Untuk golongan ini, mereka telah menemuh langkah selanjutnya, mereka sudah menapaki jalan yang seharusnya mereka lalui. Pengkajian, penelitian, bahkan tarjih (mengunggulkan satu argumen di antara berbagai argumen). Mereka hendaknya mengkuti Qawaidud Tafsir agar tidak tergelincir.

Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah membagi ta’wil menjadi tiga dalam kitab, Lum’ah al I’tiqad, Hal. 19 (saya ringkas saja):

1. Dilakukan melalui ijtihad dan niat yang baik. Maka ini dimaafkan.

2. Dilakukan karena hawa nafsu dan fanatisme, dan memiliki argumentasi bahasa Arab, maka pelakunya fasiq, kecuali jika pendapatnya itu terdapat penguarangan atau aib terhadap Allah maka itu bisa kufur.

3. Dilakukan karena hawa nafsu dan fanatisme, dan tanpa memiliki argumentasi bahasa Arab. Keloimpok ini kufur, kaena pada hakikatnya kedustaan yang tidak berdasar. (demikian dari Syaikh Ibnu Utsaimin)

#⃣ Lalu, bagaimanakah cara terbaik memahami Al Quran?

Pertanyaan ini telah dijawab oleh Imam Ibnu Katsir Rahimahullah dalam kitab tafsirnya secara detil dan memuaskan sepanjang tiga halaman (saya akan kutip secara ringkas), katanya:

“Sesungguhnya metode paling benar dalam menafsirkan Al Quran adalah menafsirkan Al Quran dengan Al Quran, sebab secara global, suatu ayat akan ditafsirkan dalam ayat lainnya. Jika itu menyulitkanmu, maka tafsirkanlah dengan As Sunnah sebab As Sunnah merupakan penjelas dan penerang bagi Al Quran. Bahkan Imam Asy Syafi’i Rahimahullah telah berkata:

كل ما حكم به رسول الله صلى الله عليه وسلم فهو مما فهمه من القرآن

“Semua hal yang dihukumi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam merupakan hasil pemahamannya terhadap Al Quran.”

Allah Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.” (QS. An Nisa’ (4): 105)

Juga Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan Al Quran dan sesuatu sepertinya bersamanya.” Yakni As Sunnah.

As Sunnah pun turun kepada Rasulullah dengan wahyu, yang berbeda hanyalah dia tidak dibacakan sebagaimana Al Quran. Inilah pendapat Imam Asy Syafi’i dan imam selainnya dengan dalil yang banyak, namun bukan di sini kita membahasnya.

Jika kita tidak menemukan tafsirnya dalam Al Quran dan As Sunnah, maka kita merujuk kepada para sahabat, karena menyaksikan ketika ayat itu turun dari waktu ke waktu dan berbagai peristiwanya secara khusus. Itulah sebabnya kenapa pemahaman mereka utuh, ilmunya benar, dan amalnya pun shalih, apalagi kalangan pembesar mereka dari empat khulafa ar rasyidin, dan pemimpin mereka yang medapatkan petunjuk, serta Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu. Diriwayatkan dari Masruq, bahwa Abdullah bin Mas’ud berkata: “Demi Allah, tidaklah satu ayat diturunkan melainkan akulah yang paling tahu, tentang siapa ayat tersebut? di mana ayat tersebut turun? Seandainya aku tahu ada orang lain yang lebih tahu dariku, maka aku akan datangi dia.”

Juga, tintanya umat ini, yakni Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhu, yang disebut sebagai ‘penterjemah Al Quran’ lantaran berkah doa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepadanya:
“اللهم فقهه في الدين، وعلمه التأويل”

“Ya Allah fahamkanlah dia ilmu agama, dan ajarkanlah dia takwil (Al Quran)”

Jika tidak ditemukan tafsir dari Al Quran, As Sunnah, dan para sahabat, maka kita merujuk kepada tafsir para tabi’in, seperti Mujahid dan Said bin Jubeir, karena mereka berguru kepada para sahabat. Mujahid senantiasa bertanya kepada Ibnu Abbas tentang arti ayat pertama hingga penutup. Sehingga Sufyan Ats Tsauri mengatakan:

إذا جاءك التفسير عن مجاهد فحسبك به

“Jika datang tafsir dari Mujahid maka itu telah mencukupi bagimu.”

Sedangkan jika terjadi perbedaan tafsir dikalangan tabi’in, maka dikembalikan menurut bahasa Al Quran, As Sunnah, umumnya bahasa Arab, atau pendapat sahabat.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/7-10. Dar Ath Thaibah Lin nasyr wat Tauzi’)

Demikian. Wallahu A’lam

(Bersambung … masih wasiat ke-2)

🌺🌸🍃🌹🍀🌾🌴🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top