Penjelasan Tentang “Hukum Hanya Milik Allah”

💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Ust ada seseorang yg bilang kepada ana kalimat ini laa hukma illa billah…sehingga terkadang beliau men “kafirkan seseorang yg belajar di fakultas hukum, pns dll”…..apakah arti dari kalimat tersebut dan bgmkah syarahnya

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim ..

Otoritas tertinggi dalam tasyri’, membuat UU adalah ditangan Allah Ta’ala. Maka, manusia tidak boleh merampas hak Allah Ta’ala dengan menjadikan dirinya sebagai Syaari’, pembuat UU. Khususnya pada aturan yg memang sudah ada penjelasannya dalam Islam, maka tidak ada opsi lain kecuali yang berasal dari syariat Islam. Disinilah letak ayat: inil hukmu Illa lillah – kedaulatan hukum tertinggi adalah hanya milik Allah semata.

Kemudian, .. bagaimana jika memproduk UU yg membahas hal-hal yg belum diatur oleh syariat? Hukum-hukum yang memang syariat belum rinci? Dengan kata lain syariat mendiamkannya?

Maka, silahkan manusia berijtihad sesuai dgn kondisi, kebutuhan, dan konteks zaman dan tempatnya, selama tidak bertentangan dgn syariat. Ini tidak apa-apa. Seperti peraturan, nomor plat ganjil genap dijalan-jalan utama di DKI, peraturan hari libur kepegawaian, seragam anak sekolah, dan semisalnya, ini masalah yg tidak pernah diatur secara khusus dalam syariat. Ini wilayah Al ‘Afwu – dimaafkan.

Nabi ﷺ bersabda:

الحلال ما أحل الله في كتابه والحرام ما حرم الله في كتابه وما سكت عنه فهو مما عفا عنه

“Yang halal adalah apa yang Allah halalkan dalam kitabNya, yang haram adalah yang Allah haramkan dalam kitabNya, dan apa saja yang di diamkanNya, maka itu termasuk yang dimaafkan.”

(HR. At Tirmidzi No. 1726, katanya: hadits gharib. Ibnu Majah No. 3367, HASAN)

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan:

وهو سبحانه لو سكت عن إباحة ذلك وتحريمه لكان ذلك عفوا لا يجوز الحكم بتحريمه وإبطاله فإن الحلال ما أحله الله والحرام ما حرمه وما سكت عنه فهو عفو فكل شرط وعقد ومعاملة سكت عنها فإنه لا يجوز القول بتحريمها فإنه سكت عنها رحمة منه من غير نسيان وإهمال

Dia –Subhanahu wa Ta’ala- seandainya mendiamkan tentang kebolehan dan keharaman sesuatu, tetapi memaafkan hal itu, maka tidak boleh menghukuminya dengan haram dan membatalkannya, karena halal adalah apa-apa yang Allah halalkan, dan haram adalah apa-apa yang Allah haramkan, dan apa-apa yang Dia diamkan maka itu dimaafkan. Jadi, semua syarat, perjanjian, dan muamalah yang didiamkan oleh syariat, maka tidak boleh mengatakannya haram, karena mendiamkan hal itu merupakan kasih sayang dariNya, bukan karena lupa dan membiarkannya.

(I’lamul Muwaqi’in, 1/344-345)

Ada pun para mahasiswa yang belajar difakultas hukum, dikampus-kampus umum, jika tujuannya adalah mempelajari hukum Jahiliyah, untuk melindungi org terzalimi. Menggunakan pisau musuh untuk melawan musuh. Ini tidak apa-apa.

Bukankah para ulama, para ustadz, rakyat kecil, yang terzalimi juga membutuhkan pembelaan? Di negeri ini “perang” argumentasi dipengadilan, tentu tidak menjadikan ayat Al Qur’an dan As Sunnah sebagai hujjah. Mereka tidak memakainya, tidak didengar. Tapi, kalau kita menggunakan hukum yang ada maka mereka mau dengar, maka kita bisa memanfaatkan “celah” ini untuk membela umat Islam yang terzalimi dan membutuhkan bantuan hukum. Tentunya harus dipelajari, bukan untuk dijadikan ideologi hidup, tapi untuk memanfaatkannya disaat dibutuhkan ..

Di negeri yang tidak menjadikan hukum Islam sebagai instrumen utama hukum dan perundangan, tentu kita sulit memberjuangkan hak-hak yang teraniaya tersebut kecuali dengan menggunakan hukum yang dipakai. Hal ini Sebagaimana Nabi Yusuf ‘Alaihissalam menjadi seorang pejabat disebuah negeri yang menggunakan UU rajanya, bukan UU yang berasal dari Allah Ta’ala.

Wallahu a’lam

🌾🌿🍃🌹🌻🌺🍀🌸

✏ Farid Nu’man Hasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top