[Tata Cara Shalat] – Bangun dari Ruku’ dan I’tidal

⏫⏫⏫⏫⏫⏫⏫⏫⏫⏫

Yaitu bangun kembali berdiri tegak dan mengembalikan anggota badan ke posisinya secara stabil.

Hal ini berdasarkan hadits:

ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا

Kemudian bangunlah sampai lurus tegak berdiri.

(HR. Muslim no. 397)

Pada posisi ini juga diwajibkan thuma’ninah sebagaimana ruku’.

Apa yang dibaca saat bangun dari ruku’?

Yaitu sami’allahu liman hamidah.

Sebagaimana hadits berikut:

كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ وَإِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوعِ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ رَفَعَهُمَا كَذَلِكَ أَيْضًا وَقَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وَكَانَ لَا يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السُّجُودِ

Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat tangannya sejajar dengan pundaknya ketika memulai shalat, ketika takbir untuk rukuk dan ketika bangkit dari rukuk dengan mengucapkan:

‘SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH RABBANAA WA LAKAL HAMDU (Semoga Allah mendengar orang yang memuji-Nya. Ya Rabb kami, milik Engkaulah segala pujian) ‘. Beliau tidak melakukan seperti itu ketika akan sujud.”

(HR. Bukhari no. 735)

Demikianlah yang dibaca oleh IMAM dan orang yang SHALAT SENDIRI.

Lalu, apa yang dibaca oleh makmum saat bangkit dari ruku’? Apakah sama atau rabbana walakal hamd?

Dalam hal ini, ada dua pendapat ulama.

Pertama. Kelompok yang mengatakan bahwa makmum hanya membaca “Rabbana wa Lakal Hamdu”, bukan membaca “Sami’allahu liman Hamidah.”

Alasan kelompok ini adalah hadits berikut:

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda:

……وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ….

…. Ketika (Imam) membaca “Sami’allahu liman Hamidah” maka bacalah oleh kalian: “Rabbana wa Lakal Hamdu…..” (HR. Al Bukhari No. 689, 732, 805, Muslim No. 411)

Inilah pendapat sebagian sahabat nabi dan Imam Malik, Imam Ahmad bin Hambal, seperti keterangan Imam At Tirmidzi berikut ini:

والعمل عليه عند بعض أهل العلم من أصحاب النبي صلى الله عليه و سلم ومن بعدهم أن يقول الإمام سمع الله لمن حمده [ ربنا ولك الحمد ] ويقول من خلف الإمام ربنا ولك الحمد وبه يقول أحمد

Hadits ini diamalkan oleh sebagian ulama dari kalangan sahabat Nabi ﷺ dan setelah mereka, bahwasanya Imam membaca “Sami’allahu Liman Hamidah Rabbana walakal Hamdu.” Lalu makmum membaca “Rabbana walakal Hamdu.” Ini juga pendapat Imam Ahmad.

(Sunan At Tirmidzi, No. 267)

Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah mengatakan:

يستدل به من يقول إن التسميع مختص بالإمام فإن قوله: “ربنا ولك الحمد” مختص بالمأموم وهو اختيار مالك رحمه الله

Hadits ini menjadi dasar bagi pihak yang mengatakan bahwa “tasmi’” (Ucapan Sami’allahu Liman Hamidah) adalah khusus bagi imam, sedangkan ucapannya “Rabbana walakal Hamdu” adalah khusus bagi makmum. Inilah yang dipilih Imam Malik Rahimahullah. (Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdah Al Ahkam, Hal. 141)

Imam Ibnu Abdil bar mengatakan:

وقال مالك وأبو حنيفة وأصحابهما والثوري وأحمد بن حنبل لا يقول المأموم سمع الله لمن حمده وإنما يقول ربنا ولك الحمد فقط وحجتهم حديث أنس هذا وحديث أبي موسى المذكور في هذا الباب

Malik, Abu Hanifah, dan para sahabat mereka berdua, lalu Ats Tsauri, Ahmad bin Hambal, mereka mengatakan makmum tidak membaca “Sami’allahu liman hamidah”, tapi hanya membaca “Rabbana wa lakalhamdu”, dalilnya adalah hadits Anas ini, dan hadits Abu Musa yang disebutkan dalam bab ini. (At Tamhid, 6/150)

Kedua. Kelompok yang mengatakan bahwa makmum juga membaca “Sami’allahu liman hamidah,” lalu dilanjutkan dengan “Rabbana walakal hamdu.”

Inilah pendapat para imam seperti Imam Ibnu Sirin, Imam Asy Syafi’i, Imam Ishaq bin Rahuya (Rahawaih), dan lainnya. Bagi kelompok ini, maksud hadits di atas adalah bentuk pengajaran Rasulullah ﷺ kepada para sahabatnya, tentang apa yang mesti di baca ketika i’tidal, yaitu “Rabbana walakal hamdu,” yang dibacanya setelah mereka membaca “Sami’allah liman hamidah.”

Imam At Tirmdzi berkata:

وقال ابن سيرين وغيره يقول من خلف الإمام سمع الله لمن حمده ربنا ولك الحمد مثل ما يقول الإمام وبه يقول الشافعي و إسحق

Ibnu Sirin dan lainnya mengatakan bahwa siapa yang menjadi makmum dan imam membaca “Sami’allahu Liman Hamidah Rabbana wa Lakal Hamdu” hendaknya mengucapkan seperti yang diucapkan oleh imam juga. Inilah pendapat Asy Syafi’i dan Ishaq. (Ibid)

Imam Ibnu Abdil Bar mengatakan:

وقال الشافعي ويقول المأموم أيضا سمع الله لمن حمده ربنا لك الحمد كما يقول الإمام المنفرد لأن الإمام إنما جعل ليؤتم به

Asy Syafi’i berkata: makmum juga mengatakan “Sami’allahu liman hamidah rabbana wa lakal hamdu” sebagaimana yang dibaca oleh imam seorang diri, sebab imam dijadikan untuk diikuti. (At Tamhid, 6/149-150)

Imam An Nawawi dan Imam Ash Shan’ani menguatkan pendapat ini.

Jadi, para imam kaum muslimin telah berselisih masalah ini. Tapi, perselisihan ini bukan dalam masalah batal atau tidaknya shalat. Semua pilihan bacaan tersebut sah dan baik, tidak membatalkan shalat sama sekali.

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

Beberapa bacaan saat i’tidal

Ada beberapa versi, di antaranya:

Pertama.

اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءَ السَّمَاوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ وَمِلْءَ مَا بَيْنَهُمَا وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ

ALLAHUMMA RABBANAA LAKAL HAMDU MILAS SAMAAWAATI WA MILAL ARDHI WA MILA MAA BAINAHUMAA WA MILA MAAS YITA MIN SYAIIN BA’DU (Ya Allah, Tuhan kami, untuk-Mulah segala puji sepenuh langit dan bumi, dan sepenuh ruang antara keduanya, dan sepenuh apa yang Engkau kehendaki setelah itu).

(HR. Muslim no. 771)

Kedua.

عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ قَالَ كُنَّا يَوْمًا نُصَلِّي وَرَاءَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرَّكْعَةِ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ الْمُتَكَلِّمُ آنِفًا فَقَالَ الرَّجُلُ أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلًا

Dari Rifa’ah bin Rafi’ dia berkata; “Suatu hari aku shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan saat mengangkat kepalanya dari ruku’ beliau mengucapkan, ‘Sami’allahu liman hamidah”. Tiba-tiba seseorang di belakangnya mengucapkan, ‘Rabbana wa lakal hamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fiih (Wahai Rabb kami, untuk-Mu segala pujian-pujian yang banyak serta baik, dan diberkahi) ‘. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selesai shalat, beliau bertanya, ‘Siapa yang berbicara saat shalat? ‘Lalu ada seorang laki-laki berkata; ‘Aku wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam! ‘ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh, aku melihat tiga puluh lebih malaikat yang berebut untuk menulisnya pertama kali.”

(HR. An Nasa’ i no. 1062, shahih)

💢💢💢💢💢💢💢💢

Saat i’tidal, apakah tangan sedekap (al Qabdh) ataukah diluruskan saja di samping badan (al Irsaal)?

Dalam hal ini para ulama terbagi atas tiga pendapat:

1. Sedekap saat i’tidal

– Ini adalah pendapat sebagian Hanafiyah.

Misal, Imam al Kasani yg mengutip sebuah hadits:

إنا – معشرَ الأنبياء – أمرنا أن نضعَ أيماننا على شمائلنا في الصلاة

“Kami – para nabi- diperintahkan untuk meletakkan tangan kanan kami di atas tangan kiri kami di saat shalat.”

Menurut al Kasani, hadits ini berlaku umum tidak ada pembedaan antara diri yang satu atas lainnya, dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Sehingga baik saat berdiri membaca alfatihah dan surat, atau diri i’tidal, sama saja yaitu bersedekap. Alasan lainnya:

ولأنَّ القيام من أركان الصلاة، والصلاة خدمة الرب تعالى، وتعظيمٌ له، والوضع في التعظيم أبلغُ من الإرسال، كما في الشاهد، فكان أَولى

Karena berdiri adalah rukun shalat, dan shalat adalah bentuk  khidmah kepada Allah Ta’ala dan mengagungkanNya, dan meletakkan tangan (sedekap) lebih mantap pengagungannya dibanding irsal, maka itu lebih utama. (Bada’i Shana’i, 1/201)

Imam Badruddin al ‘Aini Rahimahullah mengatakan:

وقت وضْع اليدين، والأصل فيه: أنَّ كلَّ قيام فيه ذكر مسنون يعتمد فيه، أعني: اعتماد يده اليمنى على اليسرى

Waktu meletakkan kedua tangan pada dasarnya adalah di setiap posisi berdiri yang di dalamnya terdapat dzikir yang disunnahkan, dia melakukan i’timad. I’timad artinya meletakkan tangan kanan dibatas tangan kiri.  (‘Umdatul Qari, 9/22)

– Ini juga pendapat sebagian Syafi’ iyyah.

Imam an Nawawi Rahimahullah mengatakan:

قال النَّوويُّ: (فإذا اعتدَل قائمًا حطَّ يديه)

Jika sdg berdiri i’tidal maka letakkanlah kedua tangan.

(Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 3/417. Raudhatuth Thalibin, 1/252)

Imam Ibnu Hajar al Haitami Rahimahullah ditanya:

هل يضعُ المصلِّي يديه حين يأتي بذِكر الاعتدال كما يضعهما بعد التحرُّم أو يرسلهما؟

Apakah org shalat meletakkan  kedua tangannya saat dzikir i’tidal, seperti saat setelah takbiratul ihram ataukah irsal saja?

Beliau menjawab:

الذي دلَّ عليه كلامُ النَّووي – في شرح المهذب – أنه يضع يديه في الاعتدال كما يضعهما بعد التحرُّم، وعليه جريتُ في شرحي على الإرشاد وغيره، والله سبحانه وتعالى أعلم بالصواب)

Menurut perkataan An Nawawi dalam Syarh al Muhadzdzab, bahwasanya kedua tangan saat i’tidal itu sedekap seperti saat setelah takbiratul ihram. Ini juga menjadi penjelasanku dalam memberikan pengajaran dan lainnya. Wallahu A’lam

(al Fatawa al Fiqhiyah al Kubra, 1/139)

– Ini juga pendapat madzhab Zhahiri, Imam Ibnu Hazm Rahimahullah mengatakan:

ويستحبُّ أن يضعَ المصلي يده اليمنى على كوع يده اليسرى في الصلاة في وقوفه كله فيه

Disunnahkan meletakkan tangan kanan di atas siku tangan kiri saat shalat dan disemua posisinya.

(Al Muhalla, 3/29)

– Syaikh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullah mengatakan:

إذا رفَع واعتدل واطمأنَّ قائمًا وضع يديه على صدره، هذا هو الأفضل، وقال بعض أهل العلم: يرسلهما، ولكن الصواب أن يضعَهما على صدره، فيضع كفَّ اليمنى على كف اليسرى على صدره، كما فعل قبل الركوع وهو قائم، هذه هي السنَّة

Jika bangun i’tidal dan berdiri secara thuma’ninah, letakkan kedua tangan di dada. Inilah yang lebih utama. Sebagian ulama mengatakan diluruskan (irsal). Tapi, yang benar adalah meletakkannya di dada, yaitu tangan kanan di atas tangan kiri di atas dada. Sebagaimana yang dilakukan sebelum ruku’ saat berdiri. Inilah yang sunnah.

(Majmu’ Fatawa, 11/30)

– Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin

Dia berkata:

الصوابُ: أنَّ وَضْعَ اليد اليمنى على اليسرى بعد الرفع من الركوع هو السنَّة، ودليلُ ذلك ما ثبت في صحيح البخاري عن سهل بن سعد – رضي الله عنه – قال: “كان الناسُ يؤمَرون أن يضع الرجلُ يده اليمنى على ذراعه اليسرى في الصلاة”

Yang benar adalah meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri ketika bangun dr ruku’ adalah sunnah. Dalilnya adalah hadits Shahih Bukhari, dari Sahl bin Sa’ad Radhiallahu ‘Anhu berkata:
“Dahulu manusia diperintahkan meletakkan tangan kanannya di atas hasta tangan kirinya saat shalat.”

(Majmu Fatawa war Rasail, 13/160)

Menurut Syaikh Utsaimin, Hadits di atas dinilai berlaku umum saat berdiri, baik sebelum ruku atau sesudahnya.

2. Tidak sedekap

Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Bahwa tidak dianjurkan bersedekap saat i’tidal.

– Hanafiyah. (al Fatawa al Hindia, 1/73. Majma’ al Anhar, 1/141, Bada’i Shana’i, 1/201)

– Malikiyah, bagi mereka tidka ada sedekap sama sekali baik sebelum ruku’ atau i’tidal. (asy Syarh al Kabir, 1/250, Syarh Mukhtashar Khalil, 1/286)

– Syafi’iyyah (Mughni Muhtaj, 1/166, Tuhfatul Muhtaj, 2/67)

– Sebagian Hambaliyah. (al Inshaf, 2/47)

– Syaikh al Albani, menurutnya tidak ada dasarnya sama sekali meletakkan tangan di dada saat i’tidal, baik haditsnya atau perilaku salaf. (Shifat Shalah an Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, 2/701)

3. Bebas memilih baik sedekap atau tidak

Ini adalah pendapatnya Imam Ahmad dan sebagian pengikutnya. Hal ini disebabkan tidak ada hadits yang benar2 jelas dalam masalah ini.

Imam Al Mardawi berkata:

قال المرداويُّ: (قال الإمام أحمد: إذا رفَع رأسه من الركوع، إن شاء أرسَل يديه، وإن شاء وضَع يمينه على شِماله)

Berkata Imam Ahmad: “Jika dia bangun dari ruku’, dia bisa irsalkan kedua tangannya jika mau, dan jika dia mau silahkan letakkan tangan kanan di atas tangan kirinya.” (al Inshaf, 2/47)

Imam al Bahuti berkata:

(ثم إن شاء أرسل يديه) من غيرِ وضعِ إحداهما على الأخرى (وإن شاء وضَع يمينه على شِماله نصًّا)، أي: نصَّ أحمدُ على تخييره بينهما

(Kemudian jika mau dia irsalkan kedua tangannya) dengan tidak meletakkan yang satu atas lainnya. (Jika dia mau, letakkan tangan kanan di tangan kirinya sebagaimana perkataan) yaitu perkataan Imam Ahmad yang memberikan opsional atas kedua hal itu.

(Kasyaaf al Qinaa’, 1/348)

Demikian. Wallahu A’lam

Bersambung..

🌴🍄🌷🌱🌸🍃🌵🌾🌹

✍ Farid Nu’man Hasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top