Tata Cara Mandi Janabah/Mandi Besar/Mandi Wajib

💢💢💢💢💢💢

1. Niat

Niat ini sangat penting karena posisinya sebagai pembeda antara mandi biasa untuk bersih-bersih dan kesegaran tubuh, atau mandi janabah.[1] Mayoritas ulama mengatakan niat adalah fardhu (wajib) saat wudhu, tanpa niat mandi janabah tidak sah, sebagaimana ditegaskan Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah (Hambaliyah), berdasarkan hadits “amal itu berdaskan niat”. Ada pun Hanafiyah mengatakan sunnah.[2] Menurut Syaikh Abdul Wabah Khalaf, bagi Hambaliyah niat itu syarat sahnya mandi, bukan fardhu.[3] Semua ulama sepakat niat itu di hati, dan itu sudah cukup.[4] Ada pun melafazkan niat itu bukan syarat sahnya, namun itu sunnah menurut mayoritas ulama kecuali Malikiyah.[5]

2. Tasmiyah (Membaca Bismillah)

Syaikh Sayyid Sabiq menerangkan bahwa hal ini sunnah berdasarkan hadits-hadits tentang tentang itu. Pada dasarnya haditsnya dhaif, tapi jika dikumpulkan semua jalurnya hadits tersebut menjadi kuat. Mengawali dengan bismillah adalah hal yang baik dan pada dasarnya dianjurkan dalam mengawali kebaikan apa pun.[6] Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, kecuali Malikiyah yang mengatakan makruh dan tidak disyariatkan, dan Hambaliyah yang mengatakan wajib.[7]

3. Cuci tangan sebanyak tiga kali

Ini dilakukan diawal sebelum mandi dan disepakati kesunnahannya oleh semua ulama.[8] Ini berdasarkan hadits Maimunah Radhiallahu ‘Anha: “Aku letakkan air untuk mandi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mandi, Beliau mencuci tangannya dua atau tiga kali ..” [9] Juga hadits Aisyah Radhiallahu ‘Anha, Beliau bercerita: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika hendak mandi janabah Beliau memulai dengan mencuci kedua tangannya sebelum memasukkan tangannya ke bejana…” [10]

4. Mencuci kemaluan (cebok)

Hal ini berdasarkan hadits Maimunah sebelumnya: “Lalu Beliau memenuhi tangan kirinya dengan air dan mencuci kemaluannya.” [11] Bagi Hanafiyah ini adalah sunnah, Malikiyah mengatakan mandub (anjuran), sementara Syafi’iyah dan Hambaliyah mengatakan ini adalah sempurnanya mandi janabah.[12]

5. Wudhu seperti wudhu shalat

Hal ini berdasarkan hadits Aisyah Radhiallahu ‘Anha: “Lalu Beliau wudhu sebagaimana wudhunya shalat.” [13] Mayorutas ahli fiqih mengatakan wudhu ini sunnah secara tuntas. Tapi, mereka berbeda pendapat tentang apakah mencuci kaki wudhu diakhirkan diakhir mandi, ataukah saat akhir wudhu. Menurut Hanafiyah, dan yang lebih shahih dari Syafi’iyah, serta yang resmi dari Hambaliyah, kaki dicuci berbarengan dengan wudhu tersebut, tidak diakhirkan diakhir mandi. Ada pun salah satu pendapat Hanafiyah dan pendapat resmi Malikiyah hendaknya mencuci kaki diakhirkan.[14]

6. Meratakan air ke seluruh tubuh, rambut dan bulu tubuh, dan kulit

Ini adalah wajib dan disepakati semua ulama, [15] tanpa hal ini maka mandi janabah tidak sah. Seperti sela jari jemari tangan dan kaki, lekukan tubuh, dan rambut sampai akarnya. Hal ini berdasarkan lanjutan hadits Aisyah Radhiallahu ‘Anha di atas: “Kemudian Beliau memasukkan tangannya ke air, lalu jari jemarinya membersihkan dan menyelah rambutnya sampai dasarnya, lalu mengguyur kepalanya dengan air sepenuh dua telapak tangannya sebanyak tiga kali, lalu mengguyurkan air ke seluruh kulit tubuhnya.”

7. Saat mengguyur memulai dari tubuh bagian kanan

Ini disepakati kesunnahannya.[16] Hal ini berdasarkan hadits Asyah Radhiallahu ‘Anha bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyukai dalam hal apa pun memulainya dari kanan, seperti menyisir, memakai sendal, bersuci, dan lainnya.[17]

8. Saat mengguyur memulai dari tubuh bagian atas

Ini juga sunnah menurut Syafi’iyah, dan Malikiyah mengatakan anjuran.[18] Mulai dari kepala, leher, bahu, dada, perut, terus sampai kaki.

9. Mengulang tiga kali pada masing-masing bagian

Ini juga sunnah menurut umumnya madzhab, baik Hanafiyah, Syafi’iyyah, dan Hambaliyah. Sedangkan Malikiyah mengatakan mandub (anjuran). [19] Istilah mandub, sunnah, nafilah, mustahab, dan tathawwu’, adalah sama saja menurut Syafi’iyyah dan Hambaliyah.

📚 Beberapa catatan:

– Dalam mandi wajib, ada cara minimalis yaitu sekadar niat dan meratakan air keseluruh tubuh, kulit, dan bulu badan. Ini sudah ijza (cukup dan sah). Lalu cara sempurna yaitu menjalankan wajib, sunnah-sunnah, dan adab-adabnya.[20]

– Memakai sampo (keramas) bukanlah syarat, rukun, atau wajib, dalam mandi. Tapi, itu penyempurna saja, sebagai pembersih. Tidak dipakai tidak masalah. Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menganjurkan memakai as Sidr (daun bidara) sebagai pembersih saat mandi, “Hendaknya kalian mengambil air buat mandi, daun Sidr, dan bersuci sebaik-baiknya, tuangkan air ke kepalanya, lalu gosok kuat-kuat sampai ke dasar rambutnya.” [21]

– Khusus buat wanita, mandi karena junub (yaitu sebab jima’ dan mimpi basah) tidak mesti membuka ikatan atau kepang rambutnya, yang penting bisa dipastikan air sampai ke bagian dasar rambutnya. Hal ini berdasarkan hadits Ummu Salamah Radhiallahu ‘Anha, “Wahai Rasul, aku ini wanita yang mengikat rambut begitu kuat, apakah mesti dibuka saat mandi janabah?” Beliau bersabda: “Tidak, cukuplah bagimu menuangkan air di atas kepalamu tiga kali, lalu siramkan air di atas tubuhmu, maka kamu pun suci.” [22] Ini adalah pendapat umumnya ulama, bahwa ikat atau gulungan rambut tidak mesti dibuka saat mandi janabah.[23] Ada pun mandi karena nifas dan haid, wajib dibuka menurut mayoritas ulama sebagaimana hadits Aisyah Radhiallahu ‘Anha di atas. Sebagian mengatakan tidak wajib, tapi sunnah saja. Perbedaan ini karena kondisi junub lebih sering dibanding haid dan nifas. Tentunya akan berat bagi wanita jika membuka ikatan rambutnya dan membasahinya terlalu sering.

Demikian. Wallahu A’lam

💦💥💦💥💦💥💦

Syaikh Abu Bakar bin Jabir Al Jazairi Rahimahullah menjelaskan:

ان يقول : بسم الله ناويا رفع حدث الأكبر باغتساله, ثم يغسل كفيه ثلاثا, ثم يستنجى فيغسل ما بفرجيه و ما حولهما من أذى ثم يتوضأ وضوءه الأصغر, الا رجليه فان له ان يغسلهما مع وضوءه, و له ان يؤخرهما الى الفراغ من غسله, ثم يغمس كفيه فى الماء فخلل بهما اصول شعر رأسه ثم يغسل رأسه نع أذنيه ثلاث مرات بثلاث غرفات, ثم يفيض الماء على شقه الأيمن يغسله بذلك من اعلاه الى أسفله, ثم الايسر كذلك متتبعا أثناء الغسل الأماكن الخفية كالسرة, و تحت الابطين, و الركبتين و نحوها, ذلك لقول عائشة رضي الله عنها: ( كان رسول الله ﷺ إذا آراد ان يغتسل من الجنابة بدأ فغسل يديه قبل ان يدخلهما فى الإناء ثم غسل فرجه, و يتوضأ وضوءه للصلاة, ثم يشرب شعره الماء ثم يحثى رأسه ثلاث حثيات ثم يفيض الماء على سائر جسده. (رواه الترمذى صححه)

📌 Hendaknya membaca bismillah

📌 berniat dalam rangka menghilangkan hadats besar dengan mandinya itu,

📌 lalu mencuci kedua telapak tangan sebanyak tiga kali,

📌 lalu beristinja (cebok) dan membersihkan kemaluan dan duburnya dan bagian sekitarnya dari kotoran,

📌 lalu dia berwudhu kecil kecuali bagian kakinya,

📌 sebab bagian kaki akan dibasuh nanti bersama wudhunya dan mengakhirkannya sampai selesai mandinya,

📌 lalu mencelupkan kedua telapak tangannya ke air,

📌 lalu dengan kedua tangannya itu dia menyelah-nyelah rambut sampai akarnya,

📌 lalu menyiramkan kepalanya bersama kedua telinganya sebanyak tiga kali siraman,

📌 lalu mengguyurkan air ke tubuh sebelah kanan dimulai dari bagian atas lalu ke bawah,

📌 lalu menyiramkan bagian kiri sama persis dengan cara menyiram bagian kanan,

📌 kemudian dia mesti memperhatikan bagian-bagian tersembunyi seperti pusar, dalam ketiak, balik lutut, dan bagian tersembunyi lainnya.

📌 Hal ini sebagaimana perkataan ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha:

“Dahulu Rasulullah ﷺ jika hendak mandi janabah, memulainya dengan mencuci kedua tangannya sebelum memasukannya ke bejana, lalu mencuci kemaluannya, lalu dia wudhu seperti wudhu-nya shalat, lalu membasahi rambutnya dengan air, lalu menyiramkan kepalanya tiga kali, kemudian mengguyurkan air ke seluruh tubuhnya. (HR. At Tirmidzi, dia menyatakan shahih)

📚 Syaikh Abu Bakar bin Jabir Al Jazairi, Minhajul Muslim, Hal. 140. Cet. 4. 2012M/1433H. Maktabah Al ‘Ulum wal Hikam. Madinah Al Munawwarah

📒📔📙📘📗📕📓

Foot notes:

[1] Imam Ibnu Rajab, Jami’ al ‘ulum wa al hikam (Kairo: Dar Ibn al Jauzi, 2019), hal. 11

[2] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (Kuwait: Wizarah al Awqaf wa al Syu’un al Islamiyah), juz. 31, hal. 207

[3] Syaikh Abdul Wabah Khalaf, Al Fiqhu ‘ala al Madzahib al Arba’ah (Kairo: Dar Ibn al Jauzi, 2014), hal. 105

[4] Imam Ibnu Hajar al Haitami, Tuhfah al Muhtaj (Mesir: Maktabah at Tijariyah al Kubra, 1983), juz. 2, hal. 12

[5] Syaikh Wahbah az Zuhaili, Al Fiqhu al Islami wa Adillatuhu (Damaskus: Dar al Fikr), juz. 1, hal. 163

[6] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah (Beirut: Dar al Kitab al Arabi, 1977), Juz. 1, hal. 45

[7] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (Kuwait: Wizarah al Awqaf wa al Syu’un al Islamiyah), juz. 43, hal. 357-358

[8] Ibid, juz. 31, hal. 213

[9] Imam al Bukhari, Jami’ ash Shahih, Kitab al Ghusl, Bab al Ghusl Marrah Wahidah (Kairo: Dar Ibn al Jauzi, 2010), no hadits. 257

[10] Ibid, Kitab al Ghusl, Bab al Wudhu Qabla al Ghusl, no hadits. 248

[11] Imam al Bukhari, loc. cit.

[12] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyah (Kuwait: Wizarah al Awqaf wa al Syu’un al Islamiyah), juz. 31, hal. 213

[13] Imam al Bukhari, Jami’ ash Shahih, Kitab al Ghusl, Bab al Wudhu Qabla al Ghusl (Kairo: Dar Ibn al Jauzi, 2010), no hadits. 248

[14] Al Mausu’ah, op cit. Juz. 31, hal. 214

[15] Ibid, juz. 31, hal. 207

[16] Al Mausu’ah, loc cit.

[17] Imam al Bukhari, Jami’ ash Shahih, Kitab al Wudhu, Bab at Tayammun fi al Wudhu wa al Ghusl (Kairo: Dar Ibn al Jauzi, 2010), no hadits. 168

[18] Al Mausu’ah, op cit. Juz. 31, hal. 215

[19] Ibid

[20] Ibid, juz. 31, hal. 217

[21] Imam Muslim, Jami’ ash Shahih, Kitab al Haidh, Bab Istihbab Isti’mal al Mughtasilah min al Haidh Firshah min Miski fi Maudhi’ ad Dam (Kairo: Dar Ibn al Jauzi, 2010), no. 332

[22] Ibid, Bab Hukmi Dhafair al Mughtasilah, no. 330

[23] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyah (Kuwait: Wizarah al Awqaf wa al Syu’un al Islamiyah), juz. 26, hal. 106

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top