🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾
Sekelompok orang -termasuk di Indonesia- menuduhnya sebagai sufi yang menyimpang. Benarkah ini? Ataukah fitnah belaka? Bahkan lebih jauh lagi, benarkah dia seorang sufi?
Untuk menilai sufi atau bukan terhadap Syaikh Hasan Al Banna, maka harus merujuk ke referensi primer, bukan qiila wa qaala (dikatakan dan katanya). Banyak manusia yang terjebak dalam pemikiran sempit, menilai tanpa mau mengkaji, memvonis tanpa mau bersabar meneliti, namun anehnya begitu mudah menerima berita yang disimpangkan, baik dalam buku, majalah, internet, atau ceramah, yang menjelek-jelekkan Syaikh Hasan Al Banna Rahimahullah.
Perlu diketahui, sebenarnya tasawwuf hanyalah salah satu fase hidup dari Syaikh Hasan Al Banna, yakni pada masa-masa remaja yang akhirnya dia tinggalkan di usia sebelum genap 17 tahun. Sungguh, tidak dibenarkan menilai manusia dari masa lalunya, tanpa mau melihat fase-fase selanjutnya yang berbeda. Menilai Syaikh Hasan Al Banna hanya dari fase remaja saja, tanpa mau melihat perubahan hidupnya, adalah sikap zalim dan menunjukkan kecurangan dalam menilai sejarah hidup manusia. Fase perubahan hidup dan pemikiran tokoh Islam juga dialami oleh Imam Abul Hasan Al Asy’ary, Syaikh Sayyid Quthb, Syaikh Khalid Muhammad Khalid, dll.
Kita lihat langsung, apa kata Syaikh Hasan Al Banna tentang hubungan dan fase hidupnya dengan tasawwuf:
كانت أيام دمنهور ومدرسة المعلمين أيام الاستشراق في عاطفة التصوف والعبادة، ويقولون إن حياة الإنسان تنقسم إلى فترات، منها هذه الفترة التي صادفت السنوات التي أعقبت الثورة المصرية مباشرة من سنة 1920 إلى سنة 1923 م. وكانت سني إذ ذاك من الرابعة عشرة إلا أشهرا إلى السابعة عشرة إلا أشهرا كذلك، فكانت فترة استغراق في التعبد والتصوف، ولم تخل من مشاركة فعلية في الواجبات الوطنية التي ألقيت على كواهل الطلاب
“Hari-hari di kota Damanhur dan Madrasah Al Mu’allimin adalah hari-hari yang tenggelam dalam nuansa tasawwuf dan ibadah. Mereka mengatakan bahwa kehidupan manusia itu terbagi beberapa tahapan. Di antaranya adalah tahapan-tahapan yang pernah saya alami pada tahun-tahun di mana saya mengalami revolusi Mesir, dari tahun 1920 sampai 1923M. Saat itu usiaku 14 tahun kurang beberapa bulan, hingga 17 tahun kurang beberapa bulan. Ini merupakan fase di mana saya tenggelam dalam ibadah dan tasawwuf, meskipun tetap ambil bagian dalam berbagai kewajiban sebagai warga negara, khususnya sebagai pelajar.”
(Imam Hasan Al Banna, Mudzakkirat Ad Da’wah wad Da’iyyah, Hal. 26)
Apa yang dikisahkan oleh Syaikh Hasan Al Banna tentang fase hidupnya ini, merupakan sanggahan telak atas tudingan sebagian manusia terhadapnya. Namun anehnya, mereka menuding itu pun merujuk pada kitabnya ini, Mudzakkirat Ad Da’wah wad Da’iyyah, apakah mereka tdak membacanya, ataukah sengaja menutup-nutupinya kepada pembaca. Mereka berulang-ulang menyebut Hasan Al Banna itu sufi!
Nah, tulisan Beliau ini merupakan penyingkap kekeliruan –saya tidak menyebutnya kebohongan- para penuduh, yang entah apa penyebabnya tidak mau jujur dalam menukil.
Selain itu, kelirunya tuduhan mereka semakin lengkap ketika Syaikh Hasan Al Banna sendiri mengatakan bahwa jalan tasawwuf bukanlah jalan yang dipilihnya. Itulah yang menyebabkan Beliau meninggalkan tasawwuf ketika masih remaja, lantaran menurutnya tasawwuf adalah jalan yang ekslusif dan tidak memberikan solusi.
Berikut ini apa yang dikatakannya ketika masih remaja, dalam pelajaran Insya’ (karang mengarang disekolahnya):
والذي يقصد إلى هذه الغاية يعترضه مفرق طريقين، لكل خواصه ومميزاته، يسلك أيهما شاء:
أولهما: طريق التصوف الصادق، الذي يتلخص في الإخلاص والعمل، وصرف القلب عن الإشتغال بالخلق خيرهم وشرهم. وهو أقرب وأسلم.
والثاني: طريق التعليم والإرشاد، الذي يجامع الأول في الإخلاص والعمل، ويفارقه في الإختلاط بالناس، ودرس أحوالهم، وغشيان مجامعهم ووصف العلاج الناجع لعللهم. وهذه أشرف عند الله وأعظم، ندب إليه القرآن العظيم، ونادى بفضله الرسول الكريم. وقد رجح الثاني – بعد أن نهجت الأول – لتعدد نفعه، وعظيم فضله، ولأنه أوجب الطريقين على المتعلم، وأجملهما بمن فقه شيئاً”لينذروا قومهم إذا رجعوا إليهم لعلهم يحذرون”.
Orang yang ingin meraih tujun ini, di hadaoannya terdapat dua jalan, yang masing-masing memiliki karakter dan keistimewaan. Ia bisa memilih jalan mana yang dikehandakinya.
Pertama, jalan tasawwuf yang benar, yang tercermin dalam sikap ikhlas dan amal, serta memalingkan hati dan kesibukkan sesama makhluk, yang baik maupun yang buruk. Jalan ini lebih dekat dan lebih selamat.
Kedua, jalan ta’lim (pendidikan) dan irsyad (bimbingan) –sama seperti di atas- dalam hal sikap ikhlas dan amal, namun berbeda dalam hal mempergauli manusia, mempelajari keadaan mereka, menyelami perkumpulan-perkumpulan mereka, serta mencari tahu terapi macam apa yang tepat untuk mengobati berbagai enyakit yang dialami oleh umat. Ini lebih mulia dan lebih agung karena Al Quran menyarankannya dan Rasul pun menyatakan keutamaannya. Yang kedua ini lebih tepat, karena manfaatnya yang berlipat ganda dan keutamaannya yang agung, setelah saya mengalami jalan yang pertama.
Di antara dua jalan di atas, jalan kedua inilah yang lebih wajib bagi muta’allim (penuntut ilmu) dan yang terbaik pula bagi yang sudah faqih (berilmu).
“Agar mereka memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At Taubah (9): 122).
(Selengkapnya, Imam Hasan Al Banna, Ibid, Hal. 56-59)
Apa yang tertera di atas membuktikan, dengan bukti yang sangat jelas, bahwa Beliau bukanlah seorang sufi. Sebab, mana ada sufi yang memilih jalan selain tasawwuf seperti yang dilakukannya? Mana ada sufi yang mengakui adanya jalan lain yang lebih utama dari jalan tasawwuf? Dia memlilih jalan pendidikan dan bimbingan, dan itulah yang lebih utama, agung, dan layak diikuti. Walau demikian, Syaikh Al Banna tidak menolak hal-hal baik yang ada pada tasawwuf, yaitu tarbiyah ruhiyah wa akhlaqiyah, pembinaan mental dan akhlak.
📌 Sikap Pertengahan Terhadap Tasawwuf
Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata tentang kaum sufi:
وَلِأَجْلِ مَا وَقَعَ فِي كَثِيرٍ مِنْهُمْ مِنْ الِاجْتِهَادِ وَالتَّنَازُعِ فِيهِ تَنَازَعَ النَّاسُ فِي طَرِيقِهِمْ ؛ فَطَائِفَةٌ ذَمَّتْ ” الصُّوفِيَّةَ وَالتَّصَوُّفَ ” . وَقَالُوا : إنَّهُمْ مُبْتَدِعُونَ خَارِجُونَ عَنْ السُّنَّةِ وَنُقِلَ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْ الْأَئِمَّةِ فِي ذَلِكَ مِنْ الْكَلَامِ مَا هُوَ مَعْرُوفٌ وَتَبِعَهُمْ عَلَى ذَلِكَ طَوَائِفُ مِنْ أَهْلِ الْفِقْهِ وَالْكَلَامِ . وَطَائِفَةٌ غَلَتْ فِيهِمْ وَادَّعَوْا أَنَّهُمْ أَفْضَلُ الْخَلْقِ وَأَكْمَلُهُمْ بَعْدَ الْأَنْبِيَاءِ وَكِلَا طَرَفَيْ هَذِهِ الْأُمُورِ ذَمِيمٌ . وَ ” الصَّوَابُ ” أَنَّهُمْ مُجْتَهِدُونَ فِي طَاعَةِ اللَّهِ كَمَا اجْتَهَدَ غَيْرُهُمْ مِنْ أَهْلِ طَاعَةِ اللَّهِ فَفِيهِمْ السَّابِقُ الْمُقَرَّبُ بِحَسَبِ اجْتِهَادِهِ وَفِيهِمْ الْمُقْتَصِدُ الَّذِي هُوَ مِنْ أَهْلِ الْيَمِينِ وَفِي كُلٍّ مِنْ الصِّنْفَيْنِ مَنْ قَدْ يَجْتَهِدُ فَيُخْطِئُ وَفِيهِمْ مَنْ يُذْنِبُ فَيَتُوبُ أَوْ لَا يَتُوبُ . وَمِنْ الْمُنْتَسِبِينَ إلَيْهِمْ مَنْ هُوَ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ عَاصٍ لِرَبِّهِ . وَقَدْ انْتَسَبَ إلَيْهِمْ طَوَائِفُ مِنْ أَهْلِ الْبِدَعِ وَالزَّنْدَقَةِ ؛ وَلَكِنْ عِنْدَ الْمُحَقِّقِينَ مِنْ أَهْلِ التَّصَوُّفِ لَيْسُوا مِنْهُمْ : كَالْحَلَّاجِ مَثَلًا ؛ فَإِنَّ أَكْثَرَ مَشَايِخِ الطَّرِيقِ أَنْكَرُوهُ وَأَخْرَجُوهُ عَنْ الطَّرِيقِ . مِثْلُ : الجنيد بْنِ مُحَمَّدٍ سَيِّدِ الطَّائِفَةِ وَغَيْرِهِ
“Oleh karena itu banyak pembicaraan dan pertentangan tentang jalan para ahli tasawwuf, sebagian manusia mencela TASAWWUF dan SUFI, seraya berkata: “Sesungguhnya mereka adalah ahli-ahli bid’ah yang keluar dari sunnah.” Ucapan seperti ini juga didapatkan dari sebagian imam sebagaimana yang sudah diketahui, dan diikuti oleh berbagai kelompok ahli fiqih dan kalam.
Sedangkan golongan lain bersikap berlebihan terhadap ahli tasawwuf dan mendakwakan bahwa ahli tasawwuf adalah makhluk paling utama dan paling sempurna setelah para nabi.
Kedua golongan itu keliru, dan yang benar adalah bahwa ahli tasawwuf berusaha keras dalam mentaati Allah sebagaimana halnya orang lain juga berupaya keras mentaati Allah. Maka di antara mereka ada yang berada di garis depan dan selalu dekat dengan Allah sesuai ijtihad dan usahanya, dan ada pula yang sedang-sedang saja yang tergolong ahlul yamin (golongan kanan). Sementara itu, pada masing-masing dua golongan ada pula yang kadang melakukan ijtihad dan ijtihadnya keliru, dan ada yang berbat dosa, kemudian bertobat, dan ada pula yang tidak bertobat.
Di antara orang yang menisbatkan (menyandarkan) dirinya pada ahli tasawwuf, ada yang zalim terhadap dirinya sendiri dan bermaksiat kepada Tuhannya. Dan ada pula kelompok-kelompok ahli bid’ah dan zindik yang menyandarkan diri mereka kepada ahli tasawwuf, oleh para muhaqqiq (peneliti) mereka tidaklah dianggap sebagai ahli tasawwuf, seperti Al Hallaj, sebab kebanyakan para masyayikh telah mengingkarinya dan mengeuarkannya dari jalan tasawwuf, sebagaimana sikap Al Junaid sang pemuka Ath Thaifah dan lainnya.” (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Juz. 2, Hal. 442)
Semoga uraian ini semua bermanfaat bagi yang ingin mendapatkan kebenaran.
Wallahu A’lam
☘🌸🌴🌺🌻🌾🌷🍃
✍ Farid Nu’man Hasan