💦💥💦💥💦💥
Daftar Isi
📨 PERTANYAAN:
Okta Ahmad Riduan:
Assalamualaikum ustadz, bagaimanakah sifat alkohol yg dcampurkan pd tiap parfum, apakah boleh untuk shalat..mhn penjelasanya
📬 JAWABAN
🍃🍃🍃🍃
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah .. Bismillah wal Hamdulillah …
Tentang kenajisan Alkohol (juga khamr), diperselisihkan ulama sejak dahulu. Berikut ini, tulisan saya tahun 2007, silahkan disimak.
📌AlKohol dan Khamr Najiskah?*
Keraguan kaum muslimin menggunakan minyak wangi beralkohol, berangkat dari kesadaran beragama yang baik, yakni kekhawatiran terhadap najisnya alkohol. Ini tentu semangat yang bagus, selain menunjukkan sikap peduli seorang muslim terhadap agamanya.
📌Khamr Belum Tentu AlKohol, Alkohol belum tentu Khamr
Minuman keras (khamr) yang memabukkan, belum tentu mengandung alkohol, dan Alkohol pun belum tentu khamr. Minuman apa saja yang memabukkan, maka dia adalah khamr, dan khamr adalah haram, walaupun tidak mengandung Alkohol.
Hal ini sesuai hadits, dari Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“Setiap yang memabukkan adalah haram.”[4]
Hadits lain, dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallambersabda:
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap yang memabukkan adalah haram.”[5]
Hal ini perlu digaris bawahi. Sebab, makanan yang kita makan sehari-hari pun sebenarnya mengandung ikatan kimia alkohol, walau dengan kadar sedikit. Seperti nasi dan jus buah-buahan. Oleh karena itu, tidak benar memukul rata bahwa penggunaan Alkohol PASTI HARAM dan NAJIS, walau untuk kesehatan atau minyak wangi yang dioles/semprot. Yang benar adalah jika Alkohol tersebut menjadi minuman, maka tidak ragu lagi, dia haram. Walau ada ulama yang membolehkan meminum minuman beralkohol yang kadarnya dibawah 0,05%, namun sikap yang lebih hati-hati adalah menjauhinya dan tidak meminumnya.
Tentunya juga minuman apa pun yang memabukkan, walau tidak mengandung alkohol, juga haram sebagaimana hadits di atas. Misalkan, ada seseorang yang membuat minuman tradisonal, walau tidak terbukti mengandung alkohol, namun ternyata bisa memabukkan, maka tidak syak lagi, dia termasuk khamr dan haram.
Kami melihat, yang menjadi masalah adalah pemahaman sebagian masyarakat yang menganggap alkohol pasti khamr, dan khamr pasti najis, kesimpulannya alkohol juga najis, sehingga alkohol juga haram digunakan untuk hal lain karena kenajisannya. Kesimpulan seperti ini boleh-boleh saja, tetapi untuk menunjukkan najis tidaknya suatu benda, bukanlah hasil kesimpulan sebab akibat, melainkan harus ada dalil yang menunjukkannya.
Para ulama kita telah membuat kaidah:
– Setiap yang najis, pasti haram dimakan. Seperti tinja, babi, darah mengalir, dan bangkai.
– Setiap yang haram dimakan, belum tentu najis. Seperti manusia, haram dimakan, tapi tidak najis untuk disentuh. Kucing haram dimakan, tetapi tidak najis di sentuh.
Nah, dengan kaidah ini, maka alkohol walau dia haram untuk diminum, tetapi dia tidak najis di sentuh, termasuk digunakan untuk minyak wangi dan obat-obatan. Sedangkan untuk menghukumi najis suatu benda, harus memiliki dalil dari Al Quran dan As Sunnah, namun dalam hal ini, tak ada satu pun dalil yang sharih (terang) dan shahih, yang menunjukkan kenajisan alkohol. Wallahu A’lam
📌 Khamr … najiskah dia?
Mayoritas ulama meyakini bahwa khamr adalah najis yaitu najis secara zat (najis ‘aini), yang lain mengatakan najis maknawi (najis secara nilai) sebagaimana najisnya orang musyrik dan patung (berhala), ini semua najis secara maknawi, bukan najis ‘aini(najis bendanya). Najisnya judi adalah najis perbuatannya, bukan najis benda yang dijudikannya. Najisnya khamr adalah najis perbuatan mabuknya, bukan najis air minumnya. Najisnya orang musyrik adalah najis aqidahnya, bukan jasad orangnya, sebab jika mereka najis tentu mereka pasti tidak boleh masuk masjid, namun pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kaum Kristen Bani Najran masuk ke mesjid, dan ini masyhur.[6] Najisnya patung (berhala), adalah najis aktifitas penyembahannya, bukan najis bendanya. Sebab, semua benda pada dasarnya adalah suci dan halal, selama tidak ada dalil yang menunjukkan kenajisan dan keharamannya.
Sumber perselisihan masalah ini, bermula pada penafsiran terhadap surat Al Maidah ayat 90, berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُون
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah , adalah rijs (kotor) termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maidah (5): 90)
Para ahli tafsir berselisih pendapat tentang makna rijs pada ayat tersebut, ada yang mengartikan najis, ada pula yang mengartikan kotor, azab, marah, suara petir yang keras, dan lainnya.
Syaikh Al Khalil bin Ahmad mengatakan: “Segala sesuatu yang kotor adalah Ar Rijs (الرِجْسٌ) seperti babi. Kata Rijsun dalam Al Quran adalah bermakna azab, sebagaimana kata Rijzun (الرجز). Sedangkan makna: Rijs Asy Syaithan adalah rasa was was dari syaitan dan gangguannya. Makna Ar Rijs juga bermakna suara keras karena petir.”[7]
Imam Abu Al Faraj bin Al Jauzi Rahimahullah mengomentari makna Ar Rijs:
فقال الزجاج : هو اسمٌ لكل ما اسْتُقْذِرَ من عمل ، يقال : رَجُس الرَّجل يرجُس ، ورَجِسَ يَرْجَسُ : إِذا عمل عملاً قبيحاً
“Az Zujaj berkata: itu adalah makna untuk segala amal yang kotor. Dikatakan: Rajusul rajul yarjus, wa Rajisa yarjus: (artinya) jika melakukan perbuatan yang kotor.” [8]
Sedangkan Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, mengatakan Ar Rijs adalah azab.[9]
Imam Fakhruddin Ar Razi mengatakan khamr diharamkan karena dia rijs, dan rijs adalah khabits (buruk/jelek/busuk).[10]
Sementara Abu Ali Al Farisi An Nahwi mengatakan bahwa Ar Rijs punya dua makna: yakni, azab dan najis, sesuai ayat innamal musyrikunna najasun (QS. At Taubah (9): 28), artinya kesucian hanya milik kaum muslimin, sedangkan selain mereka tidaklah suci.[11]
Imam An Nasafi mengatakan, rijs adalah najis atau kejahatan yang kotor.[12] Begitu pula Imam An Naisaburi juga mengatakan bahwa rijs adalah najis.[13] Ini juga pendapat Imam Abu Hasan Al Khazin.[14]
Imam Abul Hasan Al Mawardi mengatakan tentang makna rijs, ketika membahas bangkai:
وَقَوْلُهُ : فَإِنَّهُ رِجْسٌ دَلِيلٌ عَلَى تَنْجِيسِهِ
“FirmanNya: ‘Sesungguhnya dia adalah rijs,’ menunjukkan penajisannya.”[15]
Sementara dari para ulama salaf, tentang makna ayat: … rijsun min ‘amalisy syaithan (adalah rijs dan termasuk perbuatan syaitan) …, Ibnu Abbas mengatakan: kebencian(kemarahan). Ibnu Zaid mengatakan: keburukan.[16]
Tentang rijs, Ibnu Abbas mengatakan: syaitan. Sedangkan Mujahid mengatakan: segala sesuatu yang tidak baik. Dan Ibnu Zaid mengatakan: azab.. [17]
Ahli bahasa di daerah Kufah mengatakan, rajasah dan najasah adalah dua bahasa yang berbeda. Sedangkan ahli bahasa di daerah Bashrah mengatakan, rajasah dan najasah memiliki arti yang sama yakni azab.[18]
Demikianlah perbedaan tentang makna Ar Rijs, dan telah nampak bahwa kebanyakan para ulama salaf (terdahulu) tidak memaknainya sebagai najis. Inilah pendapat yang lebih kuat. Inilah pendapat Rabi’ah, Al Laits bin Sa’ad, Al Muzanni, Sa’ad bin Al Haddad Al Qarawi, Asy Syaukani, Yusuf Al Qaradhawi, dan lain-lain.
Menurut Sa’ad bin Al Haddad, dalil yang paling jelas tentang sucinya khamr adalah ketika diharamkannya khamr, para sahabat menumpahkannya di jalan-jalan kota Madinah dan terinjak-injak. Seandainya itu najis pasti para sahabat tidak melakukannya, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga akan melarangnya.
Dalam Shahih Ibnu Hibban tertulis:
أخبرنا أبو يعلى قال: حدثنا محمد بن عبد الملك بن زنجويه قال: حدثنا عبد الرزاق قال: أخبرنا معمر،
عن قتادة، وثابت وآخر معهم كلهم عن أنس بن مالك قال: لما حرمت الخمر قال
: إني يومئذ أسقي أحد عشر رجلا، قال: فأمروني فكفأتها، وكفأ الناس آنيتهم بما فيها حتى كادت السكك تمتنع من ريحها
Telah mengabarkan kami Abu Ya’la, bercerita kepada kami Muhammad bin Abdul Malik Zanjawaih, bercerita kepada kami Abdurrazzaq, mengabarkan kami Ma’mar, dari Qatadah, dari Tsabit dan lainnya, semuanya dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, Beliau berkata, “Ketika khamr diharamkan, aku biasanya menuangkan khamr untuk sebelas orang.Mereka menyuruhku lalu aku menumpahkan botol khamr itu dan manusia juga turut menumpahkan botol-botol khamr mereka. Sehingga jalan-jalan di kota Madinah tidak bisa dilalui karena dipenuhi bau khamr.” [19]
Kebanyakan, para imam yang mengatakan najis –seperti Imam Al Ghazali misalnya- karena mengqiyaskan khamr dengan najisnya anjing dan jilatannya. Tentu alasan ini tidak cukup, sebab keduanya, antara anjing dan khamr adalah hal yang berbeda.
Ada pun tentang hadits Abu Tsa’labah Al Khusyani:
يا رسول الله صلى الله عليه و سلم إنا بأرض قوم أهل الكتاب أفنأكل في آنيتهم قال : ( إن وجدتم غيرها فلا تأكلوا فيها وإن لم تجدوا فاغسلوها وكلوا فيها )
Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami tinggal bersama kaum ahli kitab, apakah kami boleh makan dengan wadah-wadah mereka? Beliau bersabda: “Jika kamu punya selainnya maka jangan makan dengannya, jika tidak punya, maka cucilah dan makanlah dengannya.”[20]
Dalam riwayat Ahmad dan Abu Daud:
إن أرضنا أرض أهل كتاب وإنهم يأكلون لحم الخنزير ويشربون الخمر فكيف نصنع بآنيتهم وقدورهم
Kami tinggal di kampungnya Ahli Kitab, mereka makan daging babi dan minum khamr, bagaimana yang kami perbuat terhadap wadah dan panci-panci mereka? ……..dst
Hadits ini ditakwil bahwa yang membuat lahirnya perintah untuk mensucikannya adalah daging babinya bukan khamrnya.
Taruhlah khamr itu najis, dan anggaplah ini pendapat yang lebih kuat sebagaimana pendapat jumhur. Tapi, apakah alkohol juga menjadi najis gara-gara itu? Padahal alkohol ada diberbagai zat makanan dan minuman lain yang sama sekali tidak memabukkan dan tidak pula najis? Dia secara alami ada di nasi, juice buah, durian, dan lainnya, baik sudah didestilasi atau belum, padahal itu semua bukan khamr. Maka menajiskan alkohol hanya karena dia adalah bahan dasar khamr, dan khamr itu najis, maka ini pendapat yang perlu dipertimbangkan lagi. Dampak pendapat itu adalah najis pula semua zat makanan yang sebenarnya memiliki kandungan alkohol secara alami walaupun sedikit.
Kesimpulannya, tidak mengapa menggunakan minyak wangi beralkohol, namun lebih utama adalah yang non alkohol, demi kehati-hatian dan keluar dari perselisihan pendapat.
Wallahu A’lam
🍃🍃🍃🍃🍃
🌸🍃🌷🍀🌺🌾🌻🌹🌴☘
✏ Farid Nu’man Hasan
Footnotes:
[4] HR. Bukhari, Kitab Al Maghazi Bab Ba’tsu Abi Musa wa Mu’adz …., Juz. 13, Hal. 240, No. 3997.
[5] HR. Muslim, Kitab Al Asyribah Bab Bayan Anna Kulla Muskirin Khamrun wa Anna Kulla Khamrin Haram, Juz. 10, Hal. 259, No. 3734.
[6] Jumhur (mayoritas) ulama salaf dan khalaf, juga para imam empat madzhab, mengatakan bahwa orang kafir tidaklah najis dzat (tubuh)nya, sebab Allah Ta’ala telah halalkan makanan mereka, dan telah shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa itu pernah dilakukan dan diucapkannya, yang menunjukkan bahwa tubuh mereka bukanlah najis, makan dan minum di bejana mereka, berwudhu dengannya, dan mereka masuk ke mesjid Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. (Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, Juz. 3, Hal. 239. )
[7] Syaikh Al Khalil bin Ahmad, Al‘Ain, Juz. 1, Hal. 465. Ash Shahib bin ‘Ibad, Al Muhith fil Lughah, Juz. 2, Hal. 90.
[8] Imam Abu Al Faraj bin Al Jauzi, Zaadul Masiir, Juz. 2, Hal. 259. Imam Fakhruddin Ar Razi, Mafatih Al Ghaib, Juz. 6, Hal. 146.
[9] Zaadul Masiir, Hal. 3, Hal. 2
[10] Mafatih Al Ghaib, Juz. 7, Hal. 268
[11] Ibid, Juz. 8, Hal. 354
[12] Imam Hafizhuddin Abu Al Barakat An Nasafi, Madarik At Tanzil wa Haqaiq At Ta’wil, Juz. 1, Hal. 305.
[13] Imam An Naisaburi, Tafsir An Naisaburi, Juz. 3, Hal. 369.
[14] Imam Abul Hasan Al Khazin, Lubab At Ta’wil fi Ma’ani At Tanzil, Juz. 2, Hal. 473
[15] Imam Abul Hasan Al Mawardi, Al Hawi Al Kabir, Juz. 1, Hal. 625.
[16] Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Jami’ul Bayan Fi Ta’wil Al Quran, Juz. 10, Hal. 565.
[17] Ibid, Juz. 12, Hal. 111
[18] Ibid, Juz. 12, Hal. 112
[19] HR. Ibnu Hibban No. 4945, Ahmad No. 13299. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan; shahih sesuai syarat syaikhan. Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 13299
[20] HR. Bukhari No. 5478