Makan atau Minum Bekas Non Muslim

💦💥💦💥💦💥💦

📨 PERTANYAAN:

Bolehkah minum bekas gelas atau wadah non muslim ?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillah wal hamdulilah ..

Tidak ada yang najis, kecuali yang disebutkan oleh syariat. Oleh karenanya, jika tak ada keterangan yang menyebutkan bahwa tubuh kaum Ahli Kitab adalah najis, maka tubuh mereka adalah suci sebagaimana sucinya tubuh kaum muslimin. Bahkan, ini juga berlaku bagi kaum musyrikin. Telah menjadi ijma’ –sebagaimana dikatakan Imam An Nawawi, bahwa tubuh mereka adalah suci, yang najis adalah aqidah mereka yang musyrik, bukan tubuhnya.

Tentang ayat yang berbunyi: “Sesungguhnya orang-orang muysrik itu najis.” Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah:

بِأَنَّ الْمُرَادَ أَنَّهُمْ نَجَسٌ فِي الِاعْتِقَادِ وَالِاسْتِقْذَارِ وَحُجَّتهمْ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَبَاحَ نِكَاح نِسَاء أَهْلِ الْكِتَابِ

“Sesungguhnya maksud bahwa mereka najis adalah najis pada aqidahnya dan kotor. Hujjah mereka (mayoritas ulama) adalah sesungguhnya Allah Ta’ala membolehkan menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). “ (Fathul Bari, 1/390)

Jadi, bagaimana mungkin syariat membolehkan menikahi wanita mereka, namun di sisi lain menajiskan tubuh mereka?

Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

وَذَكَرَ الْبُخَارِيّ فِي صَحِيحه عَنْ اِبْن عَبَّاس تَعْلِيقًا : الْمُسْلِم لَا يَنْجُس حَيًّا وَلَا مَيِّتًا . هَذَا حُكْم الْمُسْلِم . وَأَمَّا الْكَافِر فَحُكْمه فِي الطَّهَارَة وَالنَّجَاسَة حُكْم الْمُسْلِم هَذَا مَذْهَبنَا وَمَذْهَب الْجَمَاهِير مِنْ السَّلَف وَالْخَلَف . وَأَمَّا قَوْل اللَّه عَزَّ وَجَلَّ : { إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَس } فَالْمُرَاد نَجَاسَة الِاعْتِقَاد وَالِاسْتِقْذَار ، وَلَيْسَ الْمُرَاد أَنَّ أَعْضَاءَهُمْ نَجِسَة كَنَجَاسَةِ الْبَوْل وَالْغَائِط وَنَحْوهمَا . فَإِذَا ثَبَتَتْ طَهَارَة الْآدَمِيّ مُسْلِمًا كَانَ أَوْ كَافِرًا ، فَعِرْقه وَلُعَابه وَدَمْعه طَاهِرَات سَوَاء كَانَ مُحْدِثًا أَوْ جُنُبًا أَوْ حَائِضًا أَوْ نُفَسَاء ، وَهَذَا كُلّه بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ كَمَا قَدَّمْته فِي بَاب الْحَيْض

“Imam Bukhari menyebutkan dalam Shahihnya, dari Ibnu Abbas secara mu’alaq (tidak disebut sanadnya): Seorang muslim tidaklah najis baik hidup dan matinya. Ini adalah hukum untuk seorang muslim. Ada pun orang kafir maka hukum dalam masalah suci dan najisnya adalah sama dengan hukum seorang muslim (yakni suci). Ini adalah madzhab kami dan mayoritas salaf dan khalaf. Ada pun ayat (Sesungguhnya orang musyrik itu najis) maka maksudnya adalah najisnya aqidah yang kotor, bukan maksudnya anggota badannya najis seperti najisnya kencing, kotorannya , dan semisalnya. Jika sudah pasti kesucian manusia baik dia muslim atau kafir, maka keringat, ludah, darah, semuanya suci, sama saja apakah dia sedang berhadats, atau junub, atau haid, atau nifas. Semua ini adalah ijma’ kaum muslimin sebagaimana yang telah lalu saya jelaskan dalam Bab Haid.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/87. Mawqi’ Ruh Al Islam) selesai

Untuk kaum musyrikin, sebenarnya tidak ada ijma’ dalam sucinya tubuh mereka sebagaimana klaim Imam An Nawawi. Sebab, Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma berpendapat bahwa sesuai zahir ayat: innamal musyrikun najasun – (sesungguhnya orang musyrik itu najis), maka tubuh orang musyrik itu najis sebagaimana najisnya babi dan anjing. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Al Hasan Al Bashri, katanya: “Barang siapa yang bersalaman dengan mereka maka hendaknya berwudhu.” (Lihat Tafsir Ayat Al Ahkam, 1/282)

Ini juga menjadi pendapat kaum zhahiriyah. Berkata Imam Ibnu Katsir Rahimahullah:

فالجمهور على أنه ليس بنجس البدن والذات؛ لأن الله تعالى أحل طعام أهل الكتاب، وذهب بعض الظاهرية إلى نجاسة أبدانهم

Maka, menurut jumhur bukanlah najis badan dan zatnya, karena Allah Ta’ala menghalalkan makanan Ahli Kitab, dan sebagian Zhahiriyah menajiskan badan mereka. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 4/131)

Namun yang shahih adalah pendapat jumhur bahwa mereka adalah suci, sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Ayat Al Ahkam berikut ini:

الترجيح : الصحيح رأي الجمهور لأن المسلم له أن يتعامل معهم ، وقد كان عليه السلام يشرب من أواني المشركين ، ويصافح غير المسلمين والله أعلم

Tarjih: yang shahih adalah pendapat jumhur (mayoritas) karena seorang muslim berinteraksi dengan mereka, dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam minum dari wadah kaum musyrikin, dan bersalaman dengan non muslim. Wallahu A’lam (Ibid)

Untuk wadah ( Al Aaniyah) milik mereka, berikut keterangannya:

ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ ، وَهُوَ أَحَدُ قَوْلَيْنِ عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ : إِلَى جَوَازِ اسْتِعْمَال آنِيَةِ أَهْل الْكِتَابِ إِلاَّ إِذَا تَيَقَّنَ عَدَمَ طَهَارَتِهَا . وَصَرَّحَ الْقَرَافِيُّ الْمَالِكِيُّ بِأَنَّ جَمِيعَ مَا يَصْنَعُهُ أَهْل الْكِتَابِ مِنَ الأَْطْعِمَةِ وَغَيْرِهَا مَحْمُولٌ عَلَى الطَّهَارَةِ . وَمَذْهَبُ الشَّافِعِيَّةِ ، وَالرِّوَايَةُ الأُْخْرَى عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ : أَنَّهُ يُكْرَهُ اسْتِعْمَال أَوَانِي أَهْل الْكِتَابِ ، إِلاَّ أَنْ يَتَيَقَّنَ طَهَارَتَهَا فَلاَ كَرَاهَةَ

Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat, dan ini salah satu pendapat Hanabilah: bahwa boleh saja menggunakan wadah-nya Ahli Kitab, kecuali jika diyakini sudah hilang kesuciannya. Al Qarrafi Al Maliki menjelaskan bahwa semua yang dibuat oleh Ahli Kitab baik berupa makanan dan selainnya, dimungkinkan kesuciannya. Sedangkan pendapat Syafi’iyah, dan riwayat lain dari Hanabilah: bahwa makruh menggunakan wadah Ahli Kitab, kecuali jika sudah diyakini kesuciannya, maka tidak makruh. (Al Mausu’ah, 7/143)

Maka, jika kita lihat keterangan ini, semua madzhab sepakat bahwa bolehnya menggunakan wadah mereka jika wadah itu suci. Jika hilang kesuciannya, maka tidak boleh menggunakannya. Ini pun, sebenarnya juga berlaku bagi wadah umat Islam, yakni harus suci. Tidak mungkin syariat membolehkan wadah yang najis, hanya karena dia adalah milik seorang muslim. Yang jelas, milik siapa pun wadah itu, jika sudah disucikan maka tidak apa-apa menggunakannya.

Namun demikian, bagi seorang muslim yang wara’ (hati-hati dengan yang haram) mereka akan mengutamakan wadah-wadah milik kaum muslimin. Sebab hampir bisa dipastikan kaum muslimin tidak akan memasukkan zat-zat najis ke dalam wadah mereka, seperti lemak babi, arak, dan semisalnya. Ada pun kaum Ahli Kitab dan musyrik, ada kemungkinan mereka pernah menggunakan zat-zat najis ke dalam wadah mereka, walaupun sekali dalam hidupnya.

Oleh karenanya, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam walaupun membolehkan makan menggunakan wadah Ahli Kitab jika suci, Beliau tetap lebih mendahulukan tidak menggunakannya selama masih ada alternatif wadah (baik piring, mangkok, nampan, ember, panci, wajan, bak) milik kaum muslimin.

Dari Abu Tsa’labah Al Khusyani Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

قُلْتُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِنَّا بِأَرْضِ قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أَفَنَأْكُلُ فِي آنِيَتِهِمْ ….

Aku berkata: “Wahai Nabiyallah, sesungguhnya kami tinggal di negerinya kaum Ahli Kitab, apakah kami boleh makan di wadah mereka …. dst

Jawaban nabi adalah:

أَمَّا مَا ذَكَرْتَ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَإِنْ وَجَدْتُمْ غَيْرَهَا فَلَا تَأْكُلُوا فِيهَا وَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَاغْسِلُوهَا وَكُلُوا فِيهَا

Ada pun apa yang kamu ceritakan tentang Ahli Kitab, maka jika kamu mendapatkan selain bejana mereka, maka kamu jangan memakan menggunakan wadah mereka. Jika kamu tidak mendapatkan wadah lain, maka cuci saja wadah mereka dan makanlah padanya .. (HR. Bukhari No. 5478)

Wallahu A’lam

🍃🌻☘🌷🌺🌸🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top