Daftar Isi
💢💢💢💢💢💢💢
📨 PERTANYAAN:
Assalamu ‘Alaikum Wr Wb. Benarkah memakai cadar itu wajib? Mereka beralasan dengan surat Al Ahzab ayat 59. Ada orang bilang, hanya ulama saja yang berbeda pendapat sedangkan Al Quran tidak. (dari 081256564xxx)
📬 JAWABAN
🍃🍃🍃🍃🍃
Wa ‘Alaikum Salam Wa Rahmatullah Wa Barakatuh. Bismillahirrahmanirrahim, alhamdulillah wash shalatu was Salamu ‘Ala rasulillah wa “Ala aalihi wa ashhabihi wa man waalah, wa ba’d:
Wajib tidaknya cadar, tentu terkait dengan status wajah wanita, aurat atau bukan. Sejak lama para ulama kita berselisih pendapat. Namun, mayoritas ulama mengatakan bahwa wajah dan telapak tangan wanita bukan termasuk aurat yang harus ditutup.
Benarkah anggapan dia bahwa Al Quran – dan syariat Islam- mewajibkan cadar? Kita lihat dalil-dalil berikut.
Dalil-Dalil Al Quran
Berikut ini adalah ayat-ayat yang memerintahkan kaum wanita menutup aurat:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya, dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An Nuur (24): 31)
Ayat ini tegas mewajibkan wanita menutup seluruh tubuhnya, kecuali yang biasa tampak. Tegas pula disebutkan bahwa hendaknya memanjangkan jilbabnya hingga menutup dadanya. Tak satu pun kata yang menyebut perintah menutup wajah. Ditambah lagi, sebelumnya Allah Ta’ala memerintahkan kaum laki-laki untuk menundukkan pandangannya. Maka, perintah tersebut menjadi tidak relevan jika wajah wanita ditutup, mau nunduk dari apa, sementara tidak nunduk saja sudah tidak terlihat apa-apa?
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah tentang surat An nuur ayat 31 di atas:
بدن المرأة كله عورة يجب عليها ستره، ما عدا الوجه والكفين قال الله تعالى (ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها)، أي ولا يظهرن مواضع الزينة، إلا الوجه والكفين، كما جاء ذلك صحيحا عن ابن عباس وابن عمر وعائشة
“Seluruh tubuh wanita adalah aurat, wajib atasnya untuk menutupnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya, Allah Ta’ala berfirman: “Janganlah para wanita menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya.”, yaitu jangan menampakkan tempat-tempat perhiasannya kecuali wajah dan kedua telapak tangan, sebagaimana yang diriwayatkan hal itu secara shahih dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Aisyah.” [1]
Mayoritas para ulama mengatakan wajah dan kedua telapak tangan bukan aurat. Sebagaimana tertera dalam tafsir Ibnu katsir berikut, ketika menafsirkan makna “Kecuali yang biasa nampak darinya”:
ويحتمل أن ابن عباس ومن تابعه أرادوا تفسير ما ظهر منها بالوجه والكفين، وهذا هو المشهور عند الجمهور
“Ibnu Abbas dan orang-orang yang mengikutinya memaknai maksud “Maa zhahara minha (apa-apa yang biasa nampak darinya)” adalah wajah dan kedua telapak tangan, inilah yang masyhur menurut mayoritas ulama. “ [2] Ini juga pendapat Ibnu Umar, Atha’, Ikrimah, Adh Dhahak, Abu Sya’tsa’, Said bin Jubeir, dan lain-lain. Sementara Az Zuhri mengatakan: cincin dan gelang kaki.[3]
Sementara Abdullah bin Mas’ud, Ibrahim An Nakha’i, Hasan Al Bashri, Ibnu Sirrin, Abu Al Jauzaa, dan lain-lain, mereka menafsirkan makna “Kecuali yang biasa nampak darinya” adalah pakaian dan selendang.[4] Dengan kata lain menurut mereka, wajah wanita adalah aurat. Namun, dalam riwayat lain dari Hasan Al Bashri, beliau menafsirkan: wajah dan pakaian.
Abdullah bin Abbas mengatakan maksud kalimat itu adalah celak, pewarna tangan, dan cincin. Sementara Said bin Jubeir dan Atha’ mengatakan: wajah dan kedua telapak tangan. Qatadah mengatakan: celak, gelang, dan cincin. Al Miswar bin Mukhramah mengatakan: cincin, celak, dan gelang. Mujahid berkata: cincin, pewarna tangan, dan celak mata. Ibnu Zaidmengatakan: celak mata, pewarna tangan, dan cincin, mereka mengatakan demikianlah yang dilihat oleh manusia. Al Auza’imengatakan: wajah dan dua telapak tangan. Adh Dhahak berkata: wajah dan dua telapak tangan. Sementara Hasan Al Bashri mengatakan: wajah dan pakaian. Sedangkan Imam Ibnu Jarir, setelah dia memaparkan berbagai tafsir ini, beliau mengatakan:
وأولى الأقوال في ذلك بالصواب: قول من قال: عنى بذلك: الوجه والكفان، يدخل في ذلك إذا كان كذلك: الكحل، والخاتم، والسوار، والخضاب.
“Pendapat yang paling unggul dan benar adalah pendapat yang mengartikannya dengan wajah dan dua telapak tangan, dan jika demikian maka celak, cincin, gelang, dan pewarna tangan termasuk di dalamnya.”[5]
Imam Al Muzani Rahimahullah juga mengatakan makna “Kecuali yang biasa nampak darinya” adalah wajah dan dua telapak tangan.[6]
Demikianlah pendapat pilihan mayoritas ulama salaf (terdahulu) dan khalaf (belakangan).
Ayat lainnya:
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)
Benarkah surat Al Ahzab ayat 59 ini tentang wajibnya cadar (menutup wajah)? Imam Ibnu Katsir berkata:
وروي عن سفيان الثوري أنه قال: لا بأس بالنظر إلى زينة نساء أهل الذمة، إنما ينهى عن ذلك لخوف الفتنة؛ لا لحرمتهن، واستدل بقوله تعالى: { وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ } .
“Diriwayatkan dari Sufyan Ats Tsauri, bahwa dia berkata: “Tidak apa-apa memandang perhiasan wanita ahlu dzimmah(orang kafir yang berada dalam perlindungan penguasa Islam). sesungguhnya larangan tersebut lantaran ditakutkan lahirnya fitnah, bukan karena haramnya mereka,” dia berdalil dengan firmanNya: dan wanita-wanita beriman ..”[7]
Imam Ibnu Hazm Rahimahullah berkata dalam kitabnya, Al Muhalla:
فأمرهن الله تعالى بالضرب بالخمار على الجيوب، وهذا نص على ستر العورة والعنق والصدر، وفيه نص على إباحة كشف الوجه، لا يمكن غير ذلك أصلا
“Maka Allah Ta’ala memerintahkan mereka (kaum wanita) menjulurkan kerudung mereka hingga ke dada. Ini adalahnash (dalil) tentang wajibnya menutup aurat, leher, dan dada. Dan di dalamnya juga terdapat nash kebolehan membuka wajah, sama sekali tidak mungkin memaknai selain itu.” [8] Ya, sama sekali tidak menyebutkan menutup wajah.
Imam Ibnu Jarir dalam tafsir Jami’ul Bayan-nya menyebutkan bahwa Ibnu Abbas dan ‘Ubaidah As Salmani mengatakan hendaknya kaum wanita merdeka jika keluar rumah mereka menutup kepala, dan wajah mereka, dan menampakkan satu mata saja. Sementara yang lain menafsirkan agar kaum wanita mengikat jilbabnya pada jidatnya, dan melabuhkan hingga ke hidungnya.[9]
Imam Asy Syaukani, dalam Fathul Qadir mengatakan bahwa para Ahli Tafsir menafsirkan kalimat: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”, hendaknya kaum wanita menutup kepala dan wajahnya kecuali satu mata, agar mereka sebagai wanita merdeka bisa dibedakan dengan para budak dan mereka pun tidak disakiti. Al Hasan mengatakan hendaknya menutup setengah wajahnya. Sementara Qatadah mengatakan melilitkan pada jidatnya dan mengikatnya lalu menjulurkan hingga hidung, meskipun nampak kedua matanya, ia menutup sebagian besar wajahnya dan dadanya. [10]
Imam Ibnul Jauzi dalam Zaadul Masir mengutip dari Ibnu Qutaibah, maksud kalimat itu adalah: menjulurkan selendang. Sementara yang lain: menutup kepala dan wajah, agar dikenal sebagai wanita merdeka.[11]
Imam Abul Hasan Ali bin Ahmad Al Wahidi An Naisaburi dalam tafsir Al Wajiz-nya berkata: hendaknya mereka menjulurkan selendang dan selimut mereka agar mereka diketahui bahwa mereka adalah wanita merdeka.[12]
Imam Ibnu Hayyan dalam tafsir Al Bahrul Muhith meyebutkan, bahwa jilbab lebih lebar dari khimar (kerudung). Sementara ‘Ubaidah As Salmani mengatakan, hendaknya wanita meletakkan selendangnya diatas hijabnya, lalu dililitkan, hingga mejulur ke hidungnya. As Sudi berkata, menutup salah satu matanya, jidatnya, dan bagian lain kecuali mata. Sedangkan Al Kisa’i berkata, hendaknya wanita menutupi dengan selendang yang meliputi mereka. Yang dimaksud dengan ‘meliputi’ di sini adalah idna’ (menjulurkan).[13]
Dari penjelasan para mufassir di atas, kita bisa dapati bahwa maksud menjulurkan jilbab ke seluruh tubuh adalahpertama, menutup kepala dan wajah dengan menampakkan satu mata, sebagaimana kata Ibnu Abbas, Ubaidah As Salmani, dan As Sudi. Ini amat menyulitkan bagi wanita, sebab dia harus memegangi terus jilbabnya agar tetap terlihat satu mata, padahal tangannya dibutuhkan untuk aktifitas lain seperti menggendong anak, belanja, mencuci, shalat, dan lain-lain. Ada pun pihak yang mewajibkan cadar, tidak bisa berdalil dengan tafsiran ini sebab cadar masih menampakkan dua mata, bukan satu mata. Kedua, mengikat jilbab pada jidat dan melabuhkan hingga hidung, sebagaimana kata Qatadah. Ketiga, menutup wajah dan menampakkan kedua matanya, sebagian besar wajah dan dadanya, sebagaimana kata Qatadah pula. Keempat, menutup sebagian wajah saja, sebagaimana kata Hasan Al Bashri. Kelima, menjulurkan selendang dan selimutnya, sebagaimana kata Ibnu Qutaibah dan Al Kisa’i.
Maka, Klaim bahwa ayat tersebut hanya bermakna adalah tentang wajibnya menutup wajah atau cadar adalah keliru, sebab para imam kaum muslimin, berbeda dalam menafsirkannya. Jika dikatakan bahwa menutup wajah merupakan salah satu kebiasaan sebagian wanita saat itu, bisa jadi benar. Yang jelas, tak ada satu keutamaan pendapat manusia di atas manusia lainnya, sebab ucapan manusia selain Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bisa diterima atau ditolak.
Anggaplah benar bahwa makna ayat ini adalah menutup wajah, tetapi apakah perintah ini menunjukkan wajib atau anjuran semata? Imam Ibnu Rusyd telah menjawab demikian:
اختلافهم في الامر والنهي الوارد لعلة معقولة المعنى، هل تلك العلة المفهومة من ذلك الامر، أو النهي قرينة تنقل الامر من الوجوب إلى الندب، والنهي من الحظر إلى الكراهة؟ أم ليست قرينة؟ وأنه لا فرق في ذلك بين العبادة المعقولة وغير المعقولة؟ وإنما صار من صار إلى الفرقفي ذلك، لان الاحكام المعقولة المعاني في الشرع أكثرها هي من باب محاسن الاخلاق، أو من باب المصالح وهذه في الاكثر هي مندوب إليه
“Mereka berbeda pendapat tentang perintah dan larangan yang maknanya bisa difahami dengan ‘illat (alasan) yang rasional, apakah alasan yang bisa difahami itu baik dalam hal perintah atau larangan, memiliki qarinah (indikasi) berubahnya hukum perintah dari wajib menjadi sunah, atau hukum larangan dari haram menjadi makhruh? Ataukah alasan tersebut bukanlah indikasi perubahan hukum? bahwa dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara ibadah yang bisa difahami dan tidak bisa difahami ? Sesungguhnya hukum-hukum yang bisa difahami maknanya dalam syariat sebagian besar masuk dalam BabMahasinul Akhlak (Keindahan Akhlak), atau Bab kemaslahatan, dan yang seperti ini kebanyakan menunjukkan mandub(anjuran) saja.”[14]
Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, imamnya para ahli tafsir, telah mengunggulkan bahwa pendapat yang benar adalah wajah dan dua telapak angan bukanlah aurat. Beliau telah menyimpulkan dari semua penafsiran, dan memberikantarjih (mengunggulkan yang paling benar) dengan berkata:
وأولى الأقوال في ذلك بالصواب: قول من قال: عنى بذلك: الوجه والكفان، يدخل في ذلك إذا كان كذلك: الكحل، والخاتم، والسوار، والخضاب.
وإنما قلنا ذلك أولى الأقوال في ذلك بالتأويل؛ لإجماع الجميع على أن على كلّ مصل أن يستر عورته في صلاته، وأن للمرأة أن تكشف وجهها وكفيها في صلاتها، وأن عليها أن تستر ما عدا ذلك من بدنها، إلا ما روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه أباح لها أن تبديه من ذراعها إلى قدر النصف. فإذا كان ذلك من جميعهم إجماعا، كان معلوما بذلك أن لها أن تبدي من بدنهاما لم يكن عورة، كما ذلك للرجال; لأن ما لم يكن عورة فغير حرام إظهاره
“Pendapat yang paling unggul dan benar adalah pendapat yang mengartikannya dengan wajah dan dua telapak tangan, dan jika demikian maka celak, cincin, gelang, dan pewarna tangan termasuk di dalamnya.”
Kami katakan bahwa yang demikian mendekati kebenaran adalah dengan mentakwilkan terhadap ijma’ semua orang bahwa manusia harus menutup auratnya dalam shalat, dan bahwa bagi wanita boleh membuka wajah dan dua telapak tangannya dalam shalat dan harus menutup bagian badan yang lain. Kecuali yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dibolehkannya bagi wanita menampakkan setengah hastanya. Jika yang demikian sudah ijma’ semua manusia, maka bisa dimaklumi bahwa wanita dibolehkan menampakkan badannya yang bukan aurat, sebagaimana yang berlaku bagi laki-laki, sebab yang bukan aurat tidak haram untuk menampakkannya.” [15]
Ayat lainnya:
“Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan isteri-isteri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali perempuan- perempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki. dan adalah Allah Maha mengawasi segala sesuatu.” (QS. Al Ahzab (33):52)
Lihatlah ayat ini baik-baik, khususnya kalimat, “meskipun kecantikannya menarik hatimu.” Dari manakah kita mengetahui bahwa wanita itu cantik? Apakah wanita yang tertutup wajahnya bisa diketahui kecantikannya? Nah, ayat ini menunjukkan bahwa wajah wanita pada saat itu terbuka, sehingga bisa diketahui kecantikan mereka.
Oleh karena itu Imam Al Jashash mengomentari ayat tersebut:
وَلَا يُعْجِبُهُ حُسْنُهُنَّ إلَّا بَعْدَ رُؤْيَةِ وُجُوهِهِنَّ
“Tidaklah dia kagum dengan kecantikan mereka melainkan setelah melihat pada wajah-wajah mereka.”[16]
Maka tidak ragu lagi bahwa, wajah dan dua telapak tangan wanita bukanlah aurat. Wallahu A’lam
Dalil-Dalil As Sunnah
Berikut adalah dalil-dalil dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang semakin menunjukkan bahwa wajah dan telapak tangan bukanlah aurat.
Hadits Asma binti Abu Bakar Radhiallahu ‘Anha
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ
قَالَ أَبُو دَاوُد هَذَا مُرْسَلٌ خَالِدُ بْنُ دُرَيْكٍ لَمْ يُدْرِكْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha dia berkata, bahwa Asma’ binti Abu bakar masuk kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia menggunakan pakaian yang tipis, maka Rasulullah berpaling darinya dan bersabda: “Wahai Asma’, sesungguhnya wanitu itu jika dia sudah mengalami haidh maka tidak boleh terlihat darinya kecuali ini dan ini, dia mengisyaratkan wajah dan telapak tangan.” Abu Daud berkata: Hadits ini mursal, karena Khalid bin Duraik belum pernah berjumpa ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha. [17]
Namun, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menguatkan hadits ini lantaran banyaknya syawahid (penguat) hadits ini, sehingga menurutnya derajatnya naik menjadi shahih.
Hadits-Hadits tentang Perintah Menahan Pandangan
Haditsnya cukup banyak, kami akan ringkas. Dari Abu Said Al Khudri, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamberkata kepada para sahabat tentang hak jalanan, di antaranya: “Tundukan pandangan …”[18]
Hadits tentang macam-macam zina, dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallambersabda: “Zinanya mata adalah memandang .. dan seterusnya.”[19]
Hadits dari Jabir bin Abdullah, “Aku bertanya kepada Rasulullah tentang pandangan spontan, lalu beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandangan.”[20]
Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, bahwa pada zaman nabi, di Madinah ada seorang anak muda memandang seorang wanita, keduanya sama-sama tertarik karena bisikan setan kepada dua-duanya, hingga akhirnya si pemuda menabrak tembok dan hidungnya berdarah. Dia berkata: “Demi Allah aku tidak akan membersihkan darah ini sebelum mengadu kepada Rasulullah atas peristiwa ini.” Setelah ia menemui nabi dan bercerita, maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Itu adalah hukuman atas dosamu.” Lalu beliau membaca ayat: “Katakanlah kepada mukmin laki-laki, hendaknya tundukanlah pandangan mereka.”[21]
Riwayat-riwayat ini dan yang semisalnya, menunjukkan bahwa kebiasaan wanita pada zaman itu adalah tidak menutup wajahnya. Sebab, jika mereka menutup seluruh tubuhnya termasuk wajah dan telapak tangannya, tidak akan ada perintah menundukkan pandangan kepada kaum laki-laki mukmin sebab hal itu menjadi tidak relevan. Jika wanita menutup seluruh tubuh serta wajahnya, maka tidak akan ada seorang laki-laki yang saling pandang terhadap wanita hingga dia terbentur wajahnya. Intinya, apakah ada laki-laki bersyahwat, atau lahir rasa tertarik, dengan wanita yang lewat yang berpakaian serba hitam dari atas hingga ke bawah tanpa celah sedikit pun, hingga akhirnya mereka diperintah menundukkan pandangan? Menunduk dari apakah? Akhirnya, kenapa harus menundukan pandangan, bukankah wanita tersebut sudah tertutup semua dari ujung kaki ke ujung rambut, depan, belakang, atas, dan bawah? Maka, mustahil syariat memintahkan sesuatu yang tidak ada ‘sebab’ atau latar belakangnya. Kami kira berbagai keterangan ini sudah sangat jelas bahwa, menutup wajah bukanlah kewajiban bagi seorang wanita muslimah.
Hadits-Hadits yang Menunjukkan Kekaguman Terhadap Wanita
Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, aku dengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Apabila diantara kamu tertarik dengan wanita, hingga terkesan di hatinya, maka datangilah isterinya dan bergaulah dengannya, sebab yang demikian itu akan menolak gangguan yang ada di dalam jiwanya.”[22]
Jabir bin Abdullah pun meriwayatkan, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah melihat seorang wanita, lalu dia mendatangi Zainab yang saat itu sedang menyamak kulit, maka dia penuhi keinginannya terhadap Zainab.[23]
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa wajah wanita tidaklah tertutup. Dari manakah lahirnya ketertarikan awal laki-laki kepada wanita? Sebab apakah syahwat laki-laki kepada wanita? apakah Rasulullah lahir keinginan terhadap wanita hingga akhirnya dia memenuhi hajatnya kepada Zainab? Sungguh, kaum laki-laki tertarik kepada wanita bukan karena jempol kakinya!
Hadits Tentang Anggota Wajah Yang Sujud
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Aku diperintahkan sujud di atas tujuh tulang: di atas jidat, dan beliau mengisyaratkan dengan tangan kanan beliau ke hidung, dua tangan, dua lutut, dan ujung-ujung dua telapak kaki.”[24]
Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah memberikan keterangan sebagai berikut:
وَنَقَلَ اِبْن الْمُنْذِرِ إِجْمَاع الصَّحَابَة عَلَى أَنَّهُ لَا يُجْزِئ السُّجُود عَلَى الْأَنْف وَحْده ، وَذَهَبَ الْجُمْهُور إِلَى أَنَّهُ يُجْزِئُ عَلَى الْجَبْهَة وَحْدهَا ، وَعَنْ الْأَوْزَاعِيِّ وَأَحْمَد وَإِسْحَاق وَابْن حَبِيب مِنْ الْمَالِكِيَّة وَغَيْرهمْ يَجِب أَنْ يَجْمَعهُمَا وَهُوَ قَوْلٌ لِلشَّافِعِيِّ أَيْضًا
“Dikutip dari Ibnul Mundzir adanya ijma’ (kesepakatan) sahabat nabi bahwa menempelkan hidung saja tidaklah cukup ketika sujud. Sedangkan jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa menempelkan jidat saja sudah cukup. Sedangkan dari Al Auza’i, Ahmad, Ishaq, Ibnu Habib dari kalangan Malikiyah dan selain mereka mewajibkan menggabungkan antara jidat dan hidung. Ini juga pendapat Asy Syafi’i.”[25]
Maka, menurut hadits ini wajah harus terbuka. Bagaimana bisa orang menempelkan jidat dan hidungnya jika wajah tertutup? Padahal shalat adalah keadaan yang lebih layak bagi aurat untuk ditutup. Maka, ketika jidat dan hidung disyariatkan harus menempel, maka itu membuktikan bahwa dia bukan aurat, jika wajah aurat, tidak mungkin diperintahkan untuk dibuka ketika shalat.
Memang ada ulama zaman ini yang tetap mewajibkan wanita menutup wajahnya ketika shalat jika ada kaum laki-laki sebab khawatir mengundang fitnah. Namun, pendapat ini menyelisihi nash (teks) hadits di atas.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:
وَأَمَّا سَتْرُ ذَلِكَ فِي الصَّلَاةِ فَلَا يَجِبُ بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ بَلْ يَجُوزُ لَهَا إبْدَاؤُهُمَا فِي الصَّلَاةِ عِنْدَ جُمْهُورِ الْعُلَمَاءِ كَأَبِي حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيِّ وَغَيْرِهِمَا وَهُوَ إحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ أَحْمَد
“Ada pun menutup wajah dalam shalat tidaklah wajib dengan kesepakatan kaum muslimin, bahkan boleh bagi wanita menampakkan wajah dan kedua telapak tangan dalam shalat menurut jumhur ulama, seperti Abu Hanifah, Asy Syafi’i, dan lainnya, serta satu riwayat dari Ahmad.”[26]
Imam Al Bahuti Rahimahullah berkata:
لَا خِلَافَ فِي الْمَذْهَبِ أَنَّهُ يَجُوزُ لِلْمَرْأَةِ الْحُرَّةِ كَشْفُ وَجْهِهَا فِي الصَّلَاةِ ذَكَرَهُ فِي الْمُغْنِي وَغَيْرِهِ
“Tidak ada perbedaan pendapat dalam madzhab (Hambali), bahwa boleh bagi wanita merdeka membuka wajahnya dalam shalat, sebagaimana disebutkan dalam Al Mughni dan lainnya.”[27]
Sementara Imam An Nawawi mengatakan, jika membuka wajah itu wajib, maka itu musykil, maka untuk kehati-hatian lebih baik memang wajah dan telapak tangan dibuka, paling tidak salah satunya.[28] Sementara ulama lain mengatakan makruh bagi wanita menutup wajahnya ketika shalat, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abdil Bar dalam At Tamhid dan Ibnu Qudamah dalam Asy Syarh Al Kabir.
Hadits Larangan Menutup Wajah Bagi Wanita Ketika Ihram
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
وَلَا تَنْتَقِبْ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ
“Wanita yang berihram janganlah memakai cadar.”[29]
Berkata Imam Ibnul Mundzir Rahimahullah:
أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الْمَرْأَة تَلْبَس الْمَخِيط وَالْخِفَاف ، وَلَهَا أَنْ تُغَطِّيَ رَأْسهَا لَا وَجْههَ
“Mereka telah ijma’ (sepakat) bahwa bagi wanita memakai pakaian berjahit, khuf (sepatu yang ringan), dan baginya menutup kepalanya bukan wajahnya.”[30]
Berkata Imam Ibnu Hajar Rahimahullah:
وَمَعْنَى قَوْله ” وَلَا تَنْتَقِب ” أَيْ لَا تَسْتُر وَجْههَا كَمَا تَقَدَّمَ
“Makna dari sabdanya: “jangan bercadar” yaitu jangan menutup wajahnya, sebagaimana penjelasan terdahulu.”[31]
Sebagaimana shalat, ihram adalah kondisi lebih tepat untuk menutup aurat, ternyata justru dilarang menutup wajah. Ini membuktikan wajah bukanlah aurat.
Bahkan Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan:
ولانه يحرم على المحرمة سترهما بالقفازين كما يحرم ستر الوجه بالنقاب
“Karena sesungguhnya diharamkan bagi wanita yang sedang ihram menutup kedua telapak tangannya dengan sarung tangan, sebagaimana diharamkan menutup wajah dengan cadar.”[32]
Sementara dalam kitabnya yang lain, beliau berkata:
فَأَجْمَعَ أَكْثَرُهُمْ عَلَى أَنَّ لَهَا أَنْ تُصَلِّيَ مَكْشُوفَةَ الْوَجْهِ
“Maka, kebanyakan ulama telah sepakat bahwa bagi kaum wanita shalatnya dengan membuka wajah.”[33]
Hadits Perintah Melihat Wanita Yang Akan Dipinang
Abu Hurairah menceritakan, ketika bersama dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ada seorang laki-laki datang dan mengatakan akan menikahi wanita Anshar, nabi menanyakan apakah laki-laki sudah melihat wanita itu?, laki-laki itu menjawab: “Belum.” Maka, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Pergilah, dan lihatlah, karena pada mata orang Anshar terdapat sesuatu.”[34]
Imam Muslim meletakkan hadits ini dalam Bab An Nadb An Nazhar ilal Wajhil Mar’ah wa Kaffaiha Liman Turidu Tazawwujaha (Bab Anjuran Melihat Wajah Wanita dan Kedua Telapak Tangannya Bagi Yang Hendak Menikahinya). Nah, perintah melihat wajah wanita yang akan dinikahi menunjukkan bahwa wajah bukan aurat, sebab sangat mustahil RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan sahabatnya untuk sengaja melihat aurat. Jika benar wajah adalah aurat, maka aurat tetaplah aurat, tidak boleh ditampakkan kepada laki-laki asing kapan pun, kecuali untuk keperluan darurat.
Selain itu, perintah melihat wajah ini juga menjadi tidak bermanfaat, jika ternyata si wanita menutup wajahnya, apanya yang dilihat? Hal ini juga menunjukkan bahwa membuka wajah merupakan kebiasaan pada saat itu. Dan, jika wajah ditutup, bagaimana bisa seorang laki-laki mengenal yang mana wanita yang akan dinikahinya?
Bahkan, jika wajah ditutup, dari mana seseorang mengetahui identitas tetangganya? Bagaimana Rasulullah mengetahui wanita ini adalah si anu? Banyak riwayat menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berbicara dengan kaum wanita yang sudah dikenalnya, dan bukan mahramnya, seperti Ummu Hani’ (anak Abu Thalib, statusnya adalah sepupu dan bukan mahram), Dhiba’ah binti Zubeir bin Abdul Muthalib (anak paman dari pihak ayah, statusnya sepupu dan bukan mahram), Asma’ bin Umais (isteri dari sepupu, statusnya bukan mahram), Halah bnti Khuwaild (ipar beliau, statusnya bukan mahram). Ini semua diriwayatkan dalam hadits-hadits shahih.
Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi mengatakan:
ولا خلاف بين أهل العلم في اباحة النظر إلى وجهها لانه ليس بعورة وهو مجمع المحاسن وموضع النظر ولا يباح له النظر إلى ما يظهر عادة وحكي عن الاوزاعي أنه ينظر إلى مواضع اللحم وعن داود أنه ينظر إلى جميعها لظاهر قوله عليه السلام ” انظر إليها ” ولنا قوله تعالى (ولا يبدين زينتهن الا ما ظهر منها) روى عن ابن عباس أنه قال هو الوجه وباطن الكف ولان النظر أبيح للحاجة فيختص بما تدعوا الحاجة إليه
“Tidak ada perbedaan pendapat antara para ulama tentang kebolehan melihat wajah wanita (yang dilamar) karena itu bukan termasuk aurat, dan wajah merupakan tempat berkumpulnya keindahan dan tempat bagi pandangan, dan tidak dibolehkan melihat bagian yang tidak biasa tampak. Diceritakan dari Al Auza’i bahwa melihat itu adalah pada bagian isinya. Dari Daud Azh Zhahiri bahwa melihat itu pada seluruh tubuhnya, sesuai zhahir hadits: “lihatlah kepadanya.” Dan pendapat kami adalah firmanNya, “Jangan mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya,” diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa itu adalah wajah dan bagian dalam telapak tangan, karena melihat dibolehkan karena adanya kebutuhan, maka dikhususkan hal ini karena adanya kebutuhan untuk memandangnya.”[35]
Hadits-hadits Tentang Kebiasaan Membuka Wajah Bagi Para Wanita pada Zaman Nabi, walau ayat Hijab untuk Para Isteri Nabi sudah turun
Ayat yang memerintahkan agar isteri-isteri nabi menggunakan hijab (penghalang) ketika berbicara dengan laki-laki lain sudah diturunkan. Namun, kenyataannya para wanita lain tetap membuka wajahnya. Ini menunjukkan menutup wajah adalah kekhususan bagi isteri-isteri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Berikut ini adalah bukti-buktinya.
– Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu berkata, ketika hari ‘Id Rasulullah mendatangi jamaah kaum wanita dan menasehati mereka agar banyak sedekah, karena kebanyakan mereka menjadi bahan bakar neraka. Maka berdirilah seorang wanita yang pipinya kemerah-merahan, lalu bertanya: “Kenapa Ya Rasulullah?”, Nabi menjawab: karena kalian banyak mengeluh dan mengkufuri pergaulan dari suami.”[36]
Inilah riwayat yang sangat jelas dan terang, tak mungkin diingkari kecuali, bahwa wajah wanita tersebut jelas terbuka. Tahu dari mana Jabir bin Abdullah bahwa wanita itu pipinya kemerah-merahan? Ya, karena wajahnya terbuka.
– Zaid bin Aslam, dari ayahnya dia berkata: “Saya pernah keluar bersama Umar bin Al Khathab ke pasar, maka seorang wanita muda menemui Umar lalu berkata: …dst.”[37]
Kisah ini juga menunjukkan bahwa wanita tersebut tidak menutup wajah. Sebab jika ditutup, maka tidak akan diketahui, apakah wanita itu masih muda atau sudah tua.
– Kisah tenar, dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, menceritakan tentang Al Fadhl bin Abbas yang berboncengan dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan Al Fadhl bin Abbas adalah seorang pemuda yang tampan. Saat itu RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendatangi kumpulan manusia untuk memberikan fatwa, lalu datanglah seorang wanitaKhats’amiyah yang berparas cantik, dan mereka berdua saling berpandangan, lalu Rasulullah memegang dagu Al Fadhl dan memalingkan wajahnya dari wanita itu.[38]
Kisah ini juga menunjukkan bahwa wanita tersebut terbuka wajahnya, jika tertutup maka tidak akan ada saling memandang antara mereka berdua. Ini juga menunjukkan bahwa wajah wanita itu bukan aurat, jika itu aurat maka pastilah Rasulullah langsung akan memerintahkan menutupnya, bukan sekadar memalingkan wajah Al Fadhl bin Abbas.
Imam Ibnu Hajar mengutip dari Imam Ibnu Baththal sebagai berikut:
قَالَ اِبْن بَطَّال : فِي الْحَدِيث الْأَمْر بِغَضِّ الْبَصَر خَشْيَة الْفِتْنَة ، وَمُقْتَضَاهُ أَنَّهُ إِذَا أُمِنَتْ الْفِتْنَة لَمْ يَمْتَنِع
“Berkata Ibnu Baththal: Dalam hadits ini terdapat petunjuk perintah untuk menundukkan pandangan karena dikhawatirkan fitnah dan segala akibatnya, tapi jika aman dari fitnah maka tidak dilarang memandang.”
Lalu beliau melanjutkan:
وَفِيهِ دَلِيل عَلَى أَنَّ نِسَاء الْمُؤْمِنِينَ لَيْسَ عَلَيْهِنَّ مِنْ الْحِجَاب مَا يَلْزَم أَزْوَاج النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، إِذْ لَوْ لَزِمَ ذَلِكَ جَمِيع النِّسَاء لَأَمَرَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْخَثْعَمِيَّة بِالِاسْتِتَارِ وَلَمَا صَرَفَ وَجْه الْفَضْل ، قَالَ : وَفِيهِ دَلِيل عَلَى أَنَّ سَتْر الْمَرْأَة وَجْههَا لَيْسَ فَرْضًا لِإِجْمَاعِهِمْ عَلَى أَنَّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تُبْدِي وَجْههَا فِي الصَّلَاة وَلَوْ رَآهُ الْغُرَبَاء
“Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa bagi wanita mukmin tidaklah diwajibkan berhijab (wajahnya) sebagaimana lazimnya isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Seandainya itu lazim bagi semua wanita, niscaya Nabi akan memerintahkan wanita Khats’amiyah itu untuk menutup wajahnya, tidak perlu memalingkan wajah Al Fadhl. Ini juga dalil bahwa bagi wanita, menutup wajah tidaklah wajib, karena menurut kesepakatan mereka (para ulama) bahwa wanita harus menampakkan wajahnya ketika shalat, walau dilihat oleh orang asing.”[39]
– Atha bin Rabah berkata, Ibnu Abbas berkata kepadaku: “Maukah aku tunjukkan seorang wanita calon penghuni surga? “ Saya jawab: “Tentu.” Dia berkata: “Wanita yang hitam inilah ….”[40]
Riwayat ini, dan riwayat lain yang menceritakan sifat wanita; cantik, putih, hitam, atau kemerahan, menunjukkan bahwa hal yang biasa mereka menampakkan wajahnya. Dan, itu terjadi di luar shalat dan di hadapan non mahramnya. Walau, memang ada riwayat shahih pula yang menunjukkan tentang wanita yang memakai cadar, tetapi itu jumlahnya sedikit dan tidak lazim.
Masih banyak lagi riwayat yang senada dengan ini, tetapi kami kira dalil-dalil Al Quran dan As Sunnah ini sudah lebih dari cukup menunjukkan bahwa wajah wanita bukan aurat, dan tidak wajib bercadar.
Pandangan Para Imam Ahlus Sunnah
Berikut adalah pandangan para fuqaha dari madzhab terkenal umat Islam, khususnya Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Madzhab Hanafiyah
Imam As Sarkhasi mengatakan dalam Al Mabsuth, tentang Ihram–nya wanita:
فلهذا تلبس المخيط والخفين وتغطي رأسها ولا تغطي وجهها لأن الرأس منها عور
Oleh karena itu, hendaknya memakai pakaian berjahit, khuf (alas kaki yang sampai menutupi mata kaki), menutup kepalanya, tidak menutup wajahnya, sebab kepala wanita adalah aurat.[41]
Imam Kamaluddin bin Al Hummam berkata dalam Fathul Qadir-nya:
أَيْ إحْرَامُهُ فِي رَأْسِهِ فَيَكْشِفُهُ وَإِحْرَامُهَا فِي وَجْهِهَا فَتَكْشِفُهُ
“Yaitu ihram-nya laki-laki adalah pada kepalanya maka ia harus membukanya, dan ihramnya wanita adalah pada wajahnya, maka dia harus membukannya.”[42]
Dia juga mengatakan:
وَبَدَنُ الْحُرَّةِ كُلِّهَا عَوْرَةٌ إلَّا وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ { الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ مَسْتُورَةٌ } وَاسْتِثْنَاءُ الْعُضْوَيْنِ لِلِابْتِدَاءِ بِإِبْدَائِهِمَا
“Tubuh wanita merdeka semuanya adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak tangannya, sesuai hadits: “Wanita adalah aurat yang tertutup” dikecualikan dua anggota badan itu sebagai ujian dengan menampakkannya.”[43]
Bahkan Beliau mengatakan bahwa tumit hingga telapak kaki bukanlah aurat, katanya:
وَيُرْوَى أَنَّهَا لَيْسَتْ بِعَوْرَةٍ وَهُوَ الْأَصَحُّ
“Diriwayatkan bahwa telapak kaki bukanlah aurat, dan itulah yang lebih benar.”[44]
Imam Abu Hanifah berpendapat bagian tumit ke bawah dari kaki wanita bukanlah aurat dan boleh terlihat, agar mereka tidak mengalami kesulitan dalam berinteraksi sosial, seperti jual beli. Bahkan pendapat ini didukung oleh Imam Ibnu Taimiyah. Beliau berkata:
فكذلك القدم يجوز إبداؤه عند أبي حنيفة، وهو الأقوي
“Demikian pula dengan tumit, boleh ditampakkan menurut Abu Hanifah, dan itu pendapat yang lebih kuat.”[45]
Demikianlah Pendapat fuqaha madzhab Hanafiyah.
Madzhab Malikiyah
Imam Abui Walid Sulaiman bin Khalaf Al Baji mengatakan dalam Syarah Al Muwaththa’:
وَذَلِكَ أَنَّ جَمِيعَ بَدَنِ الْمَرْأَةِ عَوْرَةٌ إِلَّا الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ
“Dan, yang demikian itu, sesungguhnya tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangan.”[46]
Dalam Bidayatul Mujtahid disebutkan oleh Imam Ibnu Rusyd:
وهي حد العورة من المرأة، فأكثر العلماء على أن بدنها كله عورة، ما خلا الوجه، والكفين. وذهب أبو حنيفة إلى أن قدمها ليست بعورة.
“Itu adalah batasan aurat bagi wanita, maka mayoritas ulama menyatakan bahwa seluruh badannya adalah aurat, kecuali wajah dan dua telapak tangan. Sedangkan menurut Abu Hanifah tumitnya bukan aurat.”[47]
Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah berkata:
وَجْهُ الْمَرْأَةِ وَكَفَّاهَا غَيْرُ عَوْرَةٍ وَجَائِزٌ أَنْ يَنْظُرَ ذَلِكَ مِنْهَا كُلُّ مَنْ نَظَرَ إلَيْهَا بِغَيْرِ رِيبَةٍ وَلَا مَكْرُوهٍ ، وَأَمَّا النَّظَرُ لِلشَّهْوَةِ فَحَرَامٌ وَلَوْ مِنْ فَوْقِ ثِيَابِهَا فَكَيْفَ بِالنَّظَرِ إلَى وَجْهِهَا ؟
“Wajah wanita dan dua telapak tangannya bukanlah aurat, dan boleh melihatnya, jika tiap kali melihatnya tanpa ada kebimbangan, dan itu tidak dimakruhkan. Ada pun melihat dengan syahwat, maka haram walau hanya melihat pakaian luarnya, maka apalagi melihat wajahnya?”[48]
Imam Al Haththab berkata, dalam Mawahib Al Jalil :
وَذَلِكَ الْوَجْهُ وَالْكَفَّانِ عَلَى مَا قَالَهُ أَهْلُ التَّأْوِيلِ فَجَائِزٌ لِلرَّجُلِ أَنْ يَنْظُرَ إلَى ذَلِكَ مِنْ الْمَرْأَةِ عِنْدَ الْحَاجَةِ وَالضَّرُورَةِ
“Demikian pula wajah dan dua telapak tangan, seperti apa yang dikatakan ahli takwil, bahwa dibolehkan bagi laki-laki memandangnya ketika ada keperluan dan darurat.”[49]
Imam Al Kharrasyi berkata dalam Syarh Mukhtashar Khalil:
وَالْمَعْنَى أَنَّ عَوْرَةَ الْحُرَّةِ مَعَ الرَّجُلِ الْأَجْنَبِيِّ جَمِيعُ بَدَنِهَا حَتَّى دَلَالِيّهَا وَقُصَّتُهَا مَا عَدَا الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ ظَاهِرَهُمَا وَبَاطِنَهُمَا فَيَجُوزُ النَّظَرُ لَهُمَا بِلَا لَذَّةٍ وَلَا خَشْيَةِ فِتْنَةٍ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلَوْ شَابَّةً وَقَالَ مَالِكٌ تَأْكُلُ الْمَرْأَةُ مَعَ غَيْرِ ذِي مَحْرَمٍ وَمَعَ غُلَامِهَا وَقَدْ تَأْكُلُ مَعَ زَوْجِهَا وَغَيْرِه
“Maknanya adalah bahwa aurat wanita merdeka di depan laki-laki asing adalah adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan dua telapak tangan, baik bagian luar atau dalam. Maka, boleh melihatnya tanpa berlezat-lezat, dan tidak dikhawatiri lahirnya fitnah, boleh tanpa ada udzur walau pun masih muda. Imam Malik berkata: Wanita boleh makan bersama orang lain tanpa mahramnya namun ditemani oleh anaknya, dan dia makan bersama suaminya dan orang lain.”[50]
Imam Muhammad bin Ahmad ‘Alisy Al Maliki berkata dalam Manahal Jalil Syarh Mukhtashar Khalil:
فَالْوَجْهُ وَالْكَفَّانِ لَيْسَا عَوْرَةً فَيَجُوزُ لَهَا كَشْفُهُمَا لِلْأَجْنَبِيِّ وَلَهُ نَظَرُهُمَا إنْ لَمْ تُخْشَ الْفِتْنَةُ فَإِنْ خِيفَتْ الْفِتْنَةُ بِهِ فَقَالَ ابْنُ مَرْزُوقٍ مَشْهُورُ الْمَذْهَبِ وُجُوبُ سَتْرِهِمَا وَقَالَ عِيَاضٌ لَا يَجِبُ سَتْرُهُمَا وَيَجِبُ عَلَيْهِ غَضُّ بَصَرِهِ
“Maka, wajah dan dua telapak tangan bukanlah aurat, boleh keduanya dibuka didepan laki-laki ajnabi (asing), dan dia melihat keduanya jika tidak khawatir timbul fitnah. Jika takut lahirnya fitnah, maka Ibnu Marzuq berkata –ini merupakan pendapat terkenal dalam madzhab (Malik)- wajib baginya menutup keduanya. Berkata ‘Iyadh: Tidak wajib menutupnya, tetapi wajib bagi si laki-laki menundukkan pandangannya.”[51]
Demikianlah pendapat fuqaha madzhab Malikiyah.
Madzhab Asy Syafi’iyah
Imam Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu berkata:
وعلى المراة ان تغطي في الصلاة كل بدتها ما عدا كفها ووجهها
“Dan wajib bag wanita menutup seluruh tubuhnya dalam shalat, kecuali telapak tangan wajah wajahnya.”
Lalu beliau berkata lagi:
وأنه يجزي الرجل والمرأة كل واحد أن يصلى متوارى العورة وعورة الرجل ما وصفت وكل المرأة عورة إلا كفيها ووجهها
“Cukuplah bagi masing-masing laki-laki dan wanita melaksanakan shalat dengan menutup auratnya. Aurat bagi laki-laki seperti yang sudah saya jelaskan. Wanita semua bagian tubuhnya adalah aurat kecuali telapak tangan dan wajahnya.”[52]
Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan dalam Raudhatuth Thalibin sebagai berikut:
نظر الرجل إلى المرأة فيحرم نظره إلى عورتها مطلقا وإلى وجهها وكفيها إن خاف فتنة وإن لم يخف فوجهان قال أكثر الأصحاب لا سيما المتقدمون لا يحرم لقول الله تعالى ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها وهو مفسر بالوجه والكفين لكن يكره قاله الشيخ أبو حامد وغيره
“Laki-laki melihat wanita, maka diharamkan melihat auratnya secara mutlak dan juga melihat ke wajah dan dua telapak tangannya jika khawatir mengundang fitnah. Jika tidak khawatir mengundang fitnah, maka ada dua pendapat, kebanyakan para sahabat kami apalagi generasi terdahulu mengatakan tidaklah haram, sesuai firman Allah Ta’ala, “Kecuali yang biasa nampak darinya,” yang ditafsirkan sebagai wajah dan dua telapak tangan, tetapi Abu Hamid (Al Ghazali) dan lainnya memakruhkan.”[53]
Dalam kitabnya yang lain, Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, Imam An Nawawi mengatakan:
وأما الحرة فجميع بدنها عورة الا الوجه والكفين لقوله تعالي (ولا يبدين زينتهن الا ما ظهر منها) قال ابن عباس وجهها وكفيها ولان النبي صلي الله عليه وسلم ” نهي المرأة الحرام عن لبس القفازين والنقاب ” ولو كان الوجه والكف عورة لما حرم سترهما ولان الحاجة تدعو الي ابراز الوجه للبيع والشراء والي إبراز الكلف للاخذ والعطاء فلم يجعل ذلك عورة
“Ada pun wanita merdeka, maka seluruh badannya adalah aurat, kecuali wajah dan dua telapak tangan, karena firmanNya: “Jangan mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya,” berkata Ibnu Abbas yakni wajahnya dan dua telapak tangannya, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “melarang wanita yang ihram memakai sarung tangan dan cadar”. Seandai pun wajah dan dua telapak tangan adalah aurat, maka karena adanya kebutuhan bagi wanita maka wanita menampakkan wajah dalam jual beli, mengangkat beban, mengambil dan memberi. Maka, hal ini membuatnya tidak termasuk dalam aurat.”[54]
Sementara, Imam Sayyid Al Bakr Ad Dimyathi Rahimahullah mengatakan:
يجب أن تستر سائر بدنها حتى باطن قدمها ما عدا وجهها وكفيها، وذلك لقوله تعالى: (ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها) قال ابن عباس وعائشة: هو الوجه والكفان.
“Wajib bagi wanita menutup seluruh badannya hingga bawah telapak kakinya, kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Demikian itu karena Allah Ta’ala berfirman: “Jangan mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya,” berkata Ibnu Abbas dan ‘Aisyah: itu adalah wajah dan dua telapak tangan.”[55]
Imam Zakaria Al Anshari Rahimahullah mengatakan dalam Fathul Wahhab:
(و) عورة (حرة غير وجه وكفين) ظهرا وبطنا إلى الكوعين لقوله تعالى: (ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها) وهو مفسر بالوجه والكفين وإنما لم يكونا عورة لان الحاجة تدعو إلى إبرازهما
“Dan aurat wanita merdeka adalah selain wajah dan dua telapak tangannya, baik luar atau dalamnya hingga ke pergelangan tangan, karena Allah Ta’ala berfirman: “Jangan mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya,” yang ditafsirkan dengan wajah dan dua telapak tangan, sesungguhnya keduanya tidak dikategorikan aurat karena kebutuhan si wanita untuk menampakkannya.”[56]
Dalam kitabnya yang lain, Asnal Mathalib, Imam Zakaria Al Anshari mengatakan:
( وَعَوْرَةُ الْحُرَّةِ فِي الصَّلَاةِ وَعِنْدَ الْأَجْنَبِيِّ ) وَلَوْ خَارِجَهَا ( جَمِيعُ بَدَنِهَا إلَّا الْوَجْهَ ، وَالْكَفَّيْنِ ) ظَهْرًا وَبَطْنًا إلَى الْكُوعَيْنِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى { وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا } قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَغَيْرُهُ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَجْهُهَا وَكَفَّاهَا وَإِنَّمَا لَمْ يَكُونَا عَوْرَةً ؛ لِأَنَّ الْحَاجَةَ تَدْعُو إلَى إبْرَازِهِمَا وَإِنَّمَا حُرِّمَ النَّظَرُ إلَيْهِمَا ؛ لِأَنَّهُمَا مَظِنَّةُ الْفِتْنَةِ
“Aurat wanita merdeka dalam shalat di depan laki-laki asing, dan juga diluar shalat, adalah seluruh badannya kecuali wajah dan dua telapak tangan baik bagian luar atau dalamnya hingga pergelangan tangan, karena Allah Ta’ala berfirman: “Jangan mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya,” berkata Ibnu Abbas dan lainnya, yang biasa tampak darinya adalah wajah dan telapak tangan. Keduanya bukan termasuk aurat, karena adanya kebutuhan menampakkan keduanya. Sesungguhnya diharamkan melihatnya lantaran adanya kekhawatiran lahirnya fitnah.”[57]
Imam Abdul Karim Ar Rafi’i Rahimahullah mengatakan dalam Fathul ‘Aziz Syarh Al Wajiz:
اما المرأة فان كانت حرة فجميع بدنها عورة الا الوجه واليدين لقوله تعالي (ولا يبدين زينتهن الا ما ظهر منها) قال المفسرون هو الوجه والكفان
“Adapun wanita, jika dia wanita merdeka, maka seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak tangan, karena Allah Ta’ala berfirman: “Jangan mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya,” para ahli tafsir mengatakan itu adalah wajah dan dua telapak tangan.”[58]
Nampaknya, jika saya sebutkan satu persatu akan sangat banyak. Berikut adalah kitab-kitab madzhab Syafi’iyah yang berpendapat sama dengan di atas:
– Syarh Al Bahjah Al Wardiyah, Juz. 3, Hal. 456, karya Imam Zakaria Al Anshari
– Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, Juz. 6, Hal. 238, karya Imam Ibnu Hajar Al Haitami
– Mughni Muhtaj ila Ma’rifati AlFazh Al Minhaj, Juz. 2, Hal. 453, karya Imam Muhammad Al Khathib Asy Syarbini
– Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, Juz. 4, Hal. 424, karya Imam Syihabuddin Ar Ramli
– Hasyiah Al Bajirumi ‘alal Minhaj, Juz. 4, Hal. 78, karya Imam Sulaiman bin Umar bin Muhammad Al Bajirumi Asy Syafi’i
Dan lain-lain.
Madzhab Hambaliyah
Berkata Imam Musa Al Hijawi Rahimahullah dalam Al Iqna’ :
القول في عورة الحرة وعورة الحرة غير الوجه والكفين ظهرا وبطنا إلى الكوعين لقوله تعالى: (ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها) وهو مفسر بالوجه والكفين، وإنما لم يكونا عورة لان الحاجة تدعو إلى ابرازهما
“Pendapat tentang aurat wanita merdeka. Aurat wanita merdeka adalah selain wajah dan dua telapak tangan baik luar atau dalamnya hingga ke pergelangan tangan, sesuai firmanNya: “Jangan mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya,” ini ditafsirkan dengan wajah dan dua telapak tangan. Sesungguhnya keduanya tidak termasuk aurat karena adanya kebutuhan untuk menampakkan keduanya.”[59]
Selanjutnya, Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi mengatakan dalam Asy Syarh Al Kabir:
ولا خلاف بين أهل العلم في اباحة النظر إلى وجهها لانه ليس بعورة وهو مجمع المحاسن وموضع النظر ولا يباح له النظر إلى ما يظهر عادة وحكي عن الاوزاعي أنه ينظر إلى مواضع اللحم وعن داود أنه ينظر إلى جميعها لظاهر قوله عليه السلام ” انظر إليها ” ولنا قوله تعالى (ولا يبدين زينتهن الا ما ظهر منها) روى عن ابن عباس أنه قال هو الوجه وباطن الكف ولان النظر أبيح للحاجة فيختص بما تدعوا الحاجة إليه
“Tidak ada perbedaan pendapat antara para ulama tentang kebolehan melihat wajah wanita (yang dilamar) karena itu bukan termasuk aurat, dan wajah merupakan tempat berkumpulnya keindahan dan tempat bagi pandangan, dan tidak dibolehkan melihat bagian yang tidak biasa tampak. Diceritakan dari Al Auza’i bahwa melihat itu adalah pada bagian isinya. Dari Daud Azh Zhahiri bahwa melihat itu pada seluruh tubuhnya, sesuai zhahir hadits: “lihatlah kepadanya.” Dan pendapat kami adalah firmanNya, “Jangan mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya,” diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa itu adalah wajah dan bagian dalam telapak tangan, karena melihat dibolehkan karena adanya kebutuhan, maka dikhususkan hal ini karena adanya kebutuhan untuk memandangnya.”[60]
Beliau juga berkata:
رُخِّصَ لَهَا فِي كَشْفِ وَجْهِهَا وَكَفَّيْهَا ؛ لِمَا فِي تَغْطِيَتِهِ مِنْ الْمَشَقَّةِ ، وَأُبِيحَ النَّظَرُ إلَيْهِ لِأَجْلِ الْخِطْبَةِ ؛ لِأَنَّهُ مَجْمَعُ الْمَحَاسِنِ .
“Diberikan keringanan buat wanita untuk menampakkan wajahnya dan kedua telapak tangannya, lantaran jika ditutup akan membawa kesulitan. Dan dibolehkan pula memandangnya karena untuk melamarnya, sebab wajah merupakan tempat berkumpulnya keindahan.”[61]
Imam Al Bahuti Rahimahullah berkata:
لَا خِلَافَ فِي الْمَذْهَبِ أَنَّهُ يَجُوزُ لِلْمَرْأَةِ الْحُرَّةِ كَشْفُ وَجْهِهَا فِي الصَّلَاةِ ذَكَرَهُ فِي الْمُغْنِي وَغَيْرِهِ
“Tidak ada perbedaan pendapat dalam madzhab (Hambali), bahwa boleh bagi wanita merdeka membuka wajahnya dalam shalat, sebagaimana disebutkan dalam Al Mughni dan lainnya.”[62] Menurut Imam Ar Rahibani ini adalah pendapat jumhur ulama.[63]
Demikian pendapat para Imam dalam Madzhab Hambaliyah.
Madzhab Zhahiriyah
Ini adalah salah satu madzhab yang pernah ada di kalangan Ahlus Sunnah, dengan tokohnya Imam Daud Azh Zhahiri dan Imam Abu Muhammad bin Hazm.
Imam Ibnu Hazm Rahimahullah berkata dalam kitabnya, Al Muhalla:
فأمرهن الله تعالى بالضرب بالخمار على الجيوب، وهذا نص على ستر العورة والعنق والصدر، وفيه نص على إباحة كشف الوجه، لا يمكن غير ذلك أصلا
“Maka Allah Ta’ala memerintahkan mereka (kaum wanita) menjulurkan kerudung mereka hingga ke dada. Ini adalahnash (dalil) wajibnya menutup aurat, leher, dan dada. Dan di dalamnya juga terdapat nash kebolehan membuka wajah, sama sekali tidak mungkin memaknai selain itu.” [64]
Setelah beliau menyampaikan hadits Ibnu Abbas, ketika shalat ‘Id, katanya: “Maka aku melihat mereka menurunkan tangan mereka untuk melemparkan (perhiasannya) ke baju Bilal.” Imam Ibnu Hazm berkata:
فهذا ابن عباس بحضرة رسول الله صلى الله عليه وسلم رأى أيديهن، فصح ان اليد من المرأة والوجه ليساعورة، وما عداهما ففرض عليها ستره
“Inilah Ibnu Abbas yang dihadapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melihat tangan-tangan mereka, maka benarlah bahwa (telapak) tangan wanita dan wajahnya bukan aurat, ada pun selain keduanya maka wajib ditutup.”[65]
Selain itu, setelah menyebutkan kisah Al Abbas yang saling berpandangan dengan wanita cantik, Imam Ibnu Hazm berkata:
فلو كان الوجه عورة يلزم ستره لما أقرها عليه السلام على كشفه بحضرة الناس، ولامرها أن تسبل عليه من فوق، ولو كان وجهها مغطى ما عرف ابن عباس أحسناء هي أم شوهاء؟ فصح كل ما قلناه يقينا.
“Seandainya wajah adalah aurat yang mesti ditutup niscaya Nabi tidak akan menyetujuinya membuka wajah di depan banyak manusia, dan Beliau akan memerintahkan wanita itu untuk menutupnya dari atas. Dan seandainya wajah wanita itu tertutup, maka Ibnu Abbas tidak akan tahu apakah ia cantik atau buruk? Maka benarlah semua yang kami katakan secara meyakinkan.” [66]
Pandangan Para Imam Mufassir
Sebenarnya apa yang sudah kami apaprkan telah mencukupi, namun untuk lebih menguatkan maka berikut kami paparkan pandangan para pakar tafsir. Mereka adalah para imam yang diakui kedalaman ilmunya dalam bidang ini, dan telah mendapatkan pengakuan dari zaman ke zaman.
Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari
Dalam tafsir Jami’ul Bayan-nya, yang menjadi kitab induk tafsir Al Quran, ia menegaskan bahwa wajah dan dua telapak tangan wanita bukanlah aurat. Ini sudah kami paparkan sebelumnya.
Imam Al Qurthubi
Beliau berkata ketika menafsirkan “Kecuali yang biasa nampak darinya”:
هذا قول حسن، إلا أنه لما كان الغالب من الوجه والكفين ظهورهما عادة وعبادة وذلك في الصلاة والحج، فيصلح أن يكون الاستثناء راجعا إليهما.
“Ini pendapat yang baik, karena menampakkan wajah dan kedua telapak tangan dalam adat dan ibadah adalah hal biasa, juga saat shalat dan haji, maka selayaknya pengecualian itu dikembalikan kepada keduanya.”[67]
Imam Abu Bakar Ar Razi Al Jashash
Beliau berkata tentang makna “Kecuali yang biasa nampak darinya”:
وَقَالَ أَصْحَابُنَا : الْمُرَادُ الْوَجْهُ وَالْكَفَّانِ ؛ لِأَنَّ الْكُحْلَ زِينَةُ الْوَجْهِ وَالْخِضَابَ وَالْخَاتَمَ زِينَةُ الْكَفِّ ، فَإِذْ قَدْ أَبَاحَ النَّظَرَ إلَى زِينَةِ الْوَجْهِ وَالْكَفِّ فَقَدْ اقْتَضَى ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ إبَاحَةَ النَّظَرِ إلَى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ
وَيَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ مِنْ الْمَرْأَةِ لَيْسَا بِعَوْرَةٍ أَيْضًا أَنَّهَا تُصَلِّي مَكْشُوفَةَ الْوَجْهِ وَالْيَدَيْنِ ، فَلَوْ كَانَا عَوْرَةً لَكَانَ عَلَيْهَا سَتْرُهُمَا كَمَا عَلَيْهَا سَتْرُ مَا هُوَ عَوْرَةٌ ؛ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ جَازَ لِلْأَجْنَبِيِّ أَنْ يَنْظُرَ مِنْ الْمَرْأَةِ إلَى وَجْهِهَا وَيَدَيْهَا بِغَيْرِ شَهْوَةٍ
“Para sahabat kami mengatakan, bahwa yang dimaksud adalah wajah dan dua telapak tangan. Sesungguhnya celak adalah perhiasan mata, sedangkan gelang dan cincin adalah perhiasan tangan. Maka jika dibolehkan melihat perhiasan tersebut, maka membawa konsekuensi kebolehan melihat tempatnya perhiasan tersebut yakni wajah dan dua telapak tangan.
Yang juga menunjukkan bahwa wajah dan dua telapak tangan bukanlah aurat adalah wanita shalat dengan membuka wajah dan dua telapak tangannya, maka jika keduanya aurat maka wajib baginya untuk menutupnya sebagaiama menutup bagian yang termasuk aurat. Maka, jika demikian, dibolehkan bagi laki-laki asing memandang wajah wanita dan dua telapak tangannya dengan tana syahwat.”[68]
Imam Abu Bakar Ibnu Al ‘Arabi
Beliau berkata dalam kitabnya yang berjudul sama dengan Imam Al Jashash, yakni Ahkamul Quran:
وَالصَّحِيحُ أَنَّهَا مِنْ كُلِّ وَجْهٍ هِيَ الَّتِي فِي الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ ، فَإِنَّهَا الَّتِي تَظْهَرُ فِي الصَّلَاةِ
وَفِي الْإِحْرَامِ عِبَادَةً ، وَهِيَ الَّتِي تَظْهَرُ عَادَةً
“Yang benar bahwa semua perhiasan wajah dan tangan adalah yang berada pada wajah dan dua telapak tangan, dan sesungguhnya keduanya ditampakkan dalam shalat dan ibadah ihram, dan juga ditampakkan pada adat (kebiasaan).”[69]
Imam Al Baghawi
Beliau berkata:
وإنما رُخص في هذا القدر أن تبديه المرأة من بدنها لأنه ليس بعورة وتؤمر بكشفه في الصلاة
“Sesungguhnya wanita diberikan keringan untuk menampakkan kadar tertentu dari badannya, karena itu bukan aurat, dan diperintahkan dibuka di dalam shalat.”[70]
Beliau juga berkata ketika menafsirkan, “janganlah menampakkan perhiasan mereka:
يعني:الزينة الخفية التي لم يبح لهن كشفها في الصلاة ولا للأجانب، وهو ما عدا الوجه والكفين
Yakni perhiasan yang tersembunyi yang tidak boleh dibuka dalam shalat dan di depan laki-laki asing, dan itu adalah selain wajah dan dua telapak tangan.”[71]
Imam Fakhruddin Ar Razi
Beliau mengutip dari Al Qaffal, ketika menafsirkan “Kecuali yang biasa nampak darinya” sebagai berikut:
فقال القفال معنى الآية إلا ما يظهره الإنسان في العادة الجارية ، وذلك في النساء الوجه والكفان
“Al Qaffal berkata, makna ayat adalah kecuali yang biasa ditampakkan oleh manusia dalam kebiasaan hariannya, dan hal itu bagi wanita adalah wajah dan dua telapak tangan.”[72]
Imam Al Khazin
Beliau berkata ketika menafsirkan, “kecuali yang biasa nampak darinya”:
وإنما رخص في هذا القدر للمرأة أن تبديه من بدنها لأنه ليس بعورة وتؤمر بكشفه في الصلاة
“Sesungguhnya wanita diberikan keringanan dalam kadar tertentu untuk menampakkan bagian tubuhnya karena itu bukan aurat, dan diperintahkan membuka wajah dalam shalat.” [73]
Beliau juga berkata ketika menafsirkan, “Jangan mereka menampakkan perhiasan mereka…”:
يعني الخفية التي لم يبح لهن كشفها في الصلاة ولا للأجانب وهي ما عدا الوجه والكفين
“Yakni perhiasan tersembunyi yang tidak dibolehkan ditampakkannya dalam shalat dan di depan laki-laki asing, dan itu adalah selain wajah dan kedua telapak tangan.”[74]
Syahidul Islam Sayyid Quthb
Beliau berkata:
فأما ما ظهر من الزينة في الوجه واليدين ، فيجوز كشفه . لأن كشف الوجه واليدين مباح لقوله صلى الله عليه وسلم لأسماء بنت أبي بكر : « يا أسماء إن المرأة إذا بلغت المحيض ، لم يصلح أن يرى منها إلا هذا وأشار إلى وجهه وكفيه »
“Ada pun apa-apa yang tampak dari perhiasan pada wajah dan tangan, maka dibolehkan untuk membukanya. Karena membuka wajah dan dua telapak tangan adalah boleh, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda kepada Asma binti Abi Bakar: “Wahai Asma’, sesungguhnya wanitu itu jika dia sudah mengalami haidh maka tidak boleh terlihat darinya kecuali ini dan ini, dia mengisyaratkan wajah dan telapak tangan.”[75] Dan lain-lain.
Imam Abul Hasan An Naisaburi Rahimahullah
Beliau mengatakan:
{ إلاَّ ما ظهر منها } وهو الثِّياب ، والكحل ، والخاتم والخضاب ، والسِّوار ، فلا يجوز للمرأة أن تظهر إلاَّ وجهها ويديها إلى نصف الذِّراع
(Kecuali yang biasa tampak darinya) yaitu pakaiannya, celak, cincin, gelang, maka tidak boleh bagi wanita menampakkan kecuali wajah dan kedua tangannya hingga setengah hasta.[76]
Dalil-Dalil Pihak Yang Mewajibkan dan Tanggapannya
Pihak yang mewajibkan cadar memeliki beberapa alasan. Namun, alasan-alasan mereka tidak memiliki landasan yang kuat dan pasti, melainkan alasan yang muhtamal (banyak penafsiran), dhaif dari sisi periwayatan, dan sekali pun shahihtidak ada indikasi perintah tentang cadar.
Alasan pertama
Kelompok ini berdalil dengan surat Al Ahzab 59:
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)
Ayat ini, khususnya kalimat, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka,” dijadikan alasan wajibnya menutup wajah, sebab wajah adalah bagian dari tubuh juga.
Tanggapan:
Ayat ini tidak bisa dijadikan dalil pasti kewajiban bercadar. Telah menjadi kenyataan para imam ahli tafsir sejak generasi terdahulu memiliki banyak penafsiran. Ini sudah kami jelaskan ada halaman yang lalu. Sebagai berikut:
Dari penjelasan para mufassir di atas, kita bisa dapati bahwa maksud menjulurkan jilbab ke seluruh tubuh adalahpertama, menutup kepala dan wajah dengan menampakkan satu mata, sebagaimana kata Ibnu Abbas, Ubaidah As Salmani, dan As Sudi. Ini amat menyulitkan bagi wanita, sebab dia harus memegangi terus jilbabnya agar tetap terlihat satu mata, padahal tangannya dibutuhkan untuk aktifitas lain seperti menggendong anak, belanja, mencuci, shalat, dan lain-lain. Ada pun pihak yang mewajibkan cadar, tidak bisa berdalil dengan tafsiran ini sebab cadar masih menampakkan dua mata, bukan satu mata. Lagi pula, terdapat keanehan yakni pendapat Ibnu Abbas, yang justru beliau berpendapat bahwa wajah dan dua telapak tangan bukanlah aurat, sebagaimana telah masyhur riwayatnya dalam kitab-kitab tafsir. Kedua, mengikat jilbab pada jidat dan melabuhkan hingga hidung, sebagaimana kata Qatadah. Ketiga, menutup wajah dan menampakkan kedua matanya, sebagian besar wajah dan dadanya, sebagaimana kata Qatadah pula. Keempat, menutup sebagian wajah saja, sebagaimana kata Hasan Al Bashri. Kelima, menjulurkan selendang dan selimutnya, sebagaimana kata Ibnu Qutaibah dan Al Kisa’i.
Maka, Klaim bahwa ayat tersebut hanya bermakna adalah tentang wajibnya menutup wajah atau cadar adalah keliru, sebab para imam kaum muslimin, berbeda dalam menafsirkannya. Jika dikatakan bahwa menutup wajah merupakan salah satu kebiasaan sebagian wanita saat itu, bisa jadi benar. Yang jelas, tak ada satu keutamaan pendapat manusia di atas manusia lainnya, sebab ucapan manusia selain Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bisa diterima atau ditolak.
Anggaplah benar bahwa makna ayat ini adalah menutup wajah, tetapi apakah perintah ini menunjukkan wajib atau anjuran semata? Imam Ibnu Rusyd telah menjawab demikian:
اختلافهم في الامر والنهي الوارد لعلة معقولة المعنى، هل تلك العلة المفهومة من ذلك الامر، أو النهي قرينة تنقل الامر من الوجوب إلى الندب، والنهي من الحظر إلى الكراهة؟ أم ليست قرينة؟ وأنه لا فرق في ذلك بين العبادة المعقولة وغير المعقولة؟ وإنما صار من صار إلى الفرقفي ذلك، لان الاحكام المعقولة المعاني في الشرع أكثرها هي من باب محاسن الاخلاق، أو من باب المصالح وهذه في الاكثر هي مندوب إليه
“Mereka berbeda pendapat tentang perintah dan larangan yang maknanya bisa difahami dengan ‘illat (alasan) yang rasional, apakah alasan yang bisa difahami itu baik dalam hal perintah atau larangan, memiliki qarinah (indikasi) berubahnya hukum perintah dari wajib menjadi sunah, atau hukum larangan dari haram menjadi makhruh? Ataukah alasan tersebut bukanlah indikasi perubahan hukum? bahwa dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara ibadah yang bisa difahami dan tidak bisa difahami ? Sesungguhnya hukum-hukum yang bisa difahami maknanya dalam syariat sebagian besar masuk dalam BabMahasinul Akhlaq (Keindahan Akhlak), atau Bab kemaslahatan, dan yang seperti ini kebanyakan menunjukkan mandub(anjuran) saja.”[77]
Alasan kedua
Mereka juga beralasan dengan ayat:
“ … apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), Maka mintalah dari belakang tabir. cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka ..” (QS. Al Ahzab (33): 53)
Tanggapan:
Ayat ini juga tidak bisa dijadikan alasan. Sebab tidak ada sama sekali pembicaraan tentang wajah wanita adalah aurat yang mesti ditutup. Terlalu jauh membawa makna ayat ini tentang auratnya wajah wanita. Ayat ini berbicara tentang bagaimana menjaga kesucian hati di antara isteri-isteri nabi dan para sahabat yang berbicara dengan mereka, yakni berbicara dengan diberikan penghalang (hijab). Ini pun khusus untuk isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sebab, jika semua wanita berbicara dengan penghalang, maka hadits-hadits justru membuktikan para wanita zaman nabi berbicara dan berinteraksi langsung dengan tanpa penghalang sampai-sampai mereka bisa diketahui kecantikannya, putih, hitam, atau kemerahan pipinya. Bagaimana mungkin jual beli di pasar menggunakan penghalang antara si pembeli dan penjual, hanya karena mereka lain jenis? Bagaimana bisa tetangga selalu membawa kain penghalang ketika ingin berbicara dengan wanita? Jelas itu merupakan kekhususan bagi isteri-isteri nabi, sesuai ayat lain:
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya] dan ucapkanlah Perkataan yang baik.” (QS. Al Ahzab (33): 32)
Jika, mereka katakan, “Bukankah isteri-isteri nabi adalah teladan bagi kaum wanita mukminah?” Jawab: Ya! Tetapi nash ayat telah menunjukkan adanya kekhususan buat para isteri nabi, bukan untuk wanita umum, oleh karena itu dalam lanjutan ayat tersebut disebutkan, bahwa para isteri Nabi, – dan ini menjadi kekhususan mereka- tidak boleh menikah lagi setelah Nabi wafat.
“… dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri- isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah Amat besar (dosanya) di sisi Allah.” (QS. Al Ahzab (33): 53)
Sedangkan, wanita lain selain isteri-isteri nabi, jelas boleh-boleh saja menikah lagi setelah suami mereka wafat. Maka, jelaslah bahwa ayat tentang ‘meminta di belakang tabir’ itu adalah kekhususan bagi para isteri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Jika itu berlaku untuk umum, maka bukan hanya ‘meminta di belakang tabir’ yang mesti diteladani, tetapi kaum wanita juga dilarang untuk menikah lagi jika suami mereka wafat! Jelas ini pemahaman yang sangat jauh bukan? Tak ada satu nash pun larangan buat kaum muslimah untuk menikah lagi, setelah suami mereka wafat.
Alasan Ketiga
Hadits riwayat Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Al Bahaqi, dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata:
“Ada sekelompok musafir yang melewati kami, tatkala kami sedang berihram bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Jika mereka mendekati kami, maka salah seorang kami menjulurkan jilbabnya dari kepala ke wajah, dan jika mereka sudah berlalu maka kami membukanya kembali.”
Tanggapan:
Hadits ini tidak bisa dijadikan dalil, karena beberapa sebab:
Pertama. Hadits ini dhaif (lemah). Di dalam sanadnya terdapat perawi bernama Yazid bin Abu Ziyad. Tentang Yazid ini, Imam Ad Darquthni berkata dalam Al ‘Ilal: “Dia Seorang Syaikh yang tidak bisa dipercaya.”[78] Imam Ibnu Hajar juga mengatakan dalam taqribut tahdzib, dia adalah seorang yang dhaif,[79] dan periwayatan darinya tidak bisa dijadikan hujjah(dalil).[80]
Al Hakim mengatakan, bahwa menurut para ulama hadits, Yazid ini bukanlah orang yang kuat. Ibnu Sa’ad mengatakan, Yazid dahulunya orang yang bisa dipercaya (tsiqah), tetapi pada akhir hayatnya terjadi campur aduk hapalannya, sehingga banyak keanehan-keanehan dibuatnya. An Nasa’i mengatakan, Yazid tidak kuat hapalannya.[81] Sementara Imam Adz Dzahabi mengatakan bahwa Yazid seorang yang buruk hapalannya. Sedangkan Imam Yahya bin Ma’in mengatakan, tidak kuat dan tidak bisa dijadikan hujjah.[82]
Maka, hadits ini tidak bisa dijadikan dalil karena kedhaifannya.
Kedua. Sekali pun hadits ini shahih, tidaklah bisa dijadikan hujjah wajibnya bercadar. Sebab itu hanyalah perilaku dari inisiatif isteri nabi sendiri bukan perintah dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bagaimana bisa perbuatan selain nabi menjadi terhukum wajib, padahal perbuatan nabi sendiri saja belum tentu menunjukkan wajib?
Ketiga. Sekali pun hadits ini shahih, maka menurut teks hadits, sangat jelas itu adalah perilaku isteri nabi, yang memang kekhususan buat mereka.
Keempat. Sekali pun hadits ini shahih, justru hadits ini menunjukkan Tidak Wajib-nya bercadar. Sebab, mereka kembali membuka wajahnya ketika rombongan musafir tersebut menjauh. Kalau memang wajib, tentu mereka tidak akan membukanya, sebab mereka sedang ihram, dan ihram itu pasti di luar rumah yang akan berinteraksi dengan masyarakat luas yang terdapat kaum laki-laki.
Kelima. Sekali pun hadits ini shahih, tidak bisa dijadikan dalil. Sebab hadits ini hanyalah khabar (informasi) bahwa isteri nabi pernah menutup wajah ketika ada serombongan laki-laki lewat. Tak ada nash yang menunjukkan perintah wajib bagi muslimah lain untuk melakukan hal serupa.
Namun, ternyata hadits ini adalah dhaif, maka lengkap sudah kelemahan hujjah mereka.
Alasan Keempat
Dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَان
“Wanita adalah aurat, jika dia keluar maka syetan akan mengawasinya.”[83]
Imam At Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan gharib. Sedangkan Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini,[84] dan Imam Al Haitsami mengatakan semua rijal (periwayat) hadits ini tsiqat (bisa dipercaya).[85]
Tanggapan:
Bagaiamanakah memahami hadits ini? Apakah bermakna seluruh tubuhnya adalah aurat? Tidak. Ini adalah haditsmuthlaq dan ‘aam (umum), yang bermakna pada dasarnya wanita adalah aurat. Dalam kaidah ushul, tidak boleh berdalil dengan hadits muthlaq dan ‘aam, jika ada hadits yang lebih khusus dan rinci. Oleh karena itu para ahli ushul membuat kaidah,Hamlul Muthlaq ilal Muqayyad (Dalil yang muthlaq (umum) harus dibatasi oleh yang khusus). Nah, hadits yang membatasinya adalah:
Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha dia berkata, bahwa Asma’ binti Abu bakar masuk kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia menggunakan pakaian yang tipis, maka Rasulullah berpaling darinya dan bersabda: “Wahai Asma’, sesungguhnya wanitu itu jika dia sudah mengalami haidh maka tidak boleh terlihat darinya kecuali ini dan ini, dia mengisyaratkan wajah dan telapak tangan.” Abu Daud berkata: Hadits ini mursal, karena Khalid bin Duraik belum pernah berjumpa ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha. [86]
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menguatkan hadits ini lantaran banyaknya syawahid (penguat) hadits ini, sehingga menurutnya derajatnya naik menjadi shahih (lihat Shahih Sunan Abi Daud).
Syaikh Al Albani Rahimahullah mengatakan: “ … bahwa hadits ini secara fiqih tidak terkait dengan auratnya wajah wanita, jumhur ulama mengatakan bahwa wajah wanita bukan aurat, dan saya sudah menjelaskannya dalam kitab Jilbab Mar’ah Muslimah …”.[87]
Alasan kelima
Mereka beralasan dengan hadits larangan bercadar ketika ihram. Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
وَلَا تَنْتَقِبْ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ
“Wanita yang berihram janganlah memakai cadar.”[88]
Menurut mereka, hadits ini menunjukkan bahwa kebiasaan kaum wanita saat itu adalah memakai cadar, sebab jika memang sebelumnya tidak bercadar, maka buat apa lagi dilarang bercadar?
Tanggapan:
Tafsiran dan alasan mereka terhadap hadits ini jelas wajib bagi mereka untuk mendatangkan dalil dan petunjuknya, jika tidak ada, maka itu mengada-ngada, dan penafsiran yang terlalu jauh. Justru hadits ini menjadi dalil buat kami. Sebab, menutup aurat ketika beribadah (seperti shalat dan ihram) tentu lebih ditekankan, dibanding di luar ibadah, sebab saat itu mereka sedang menghadap Tuhannya. Apakah mungkin mereka menutup aurat ketika di luar ibadah, tetapi justru membukanya ketika beribadah? Renungkanlah!
Maka, kami kira mereka tidak memiliki dalil yang cukup yang mengatakan wajibnya bercadar. Masih bagus jika dikatakan itu adalah perbuatan yang disunahkan saja.
Penutup
Demikianlah. Begitu panjang pembahasan ini, yang pasti Al Quran, As Sunnah, umumnya para sahabat, umumnya para mufassir (ahli tafsir), umumnya para fuqaha (ahli fiqih), serta mayoritas ulama terdahulu dan belakangan dari lima madzhab fiqih, serta pendapat umumnya ulama kontemporer seperti Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Syaikh Yusuf Al Qaradhawi, Syaikh Sayyid Quthb, Syaikh Abdul Halim Abu Syuqqah, Syaikh Muhammad Al Ghazali, Syaikh Ali Ath Thanthawi, Syaikh Sayyid Ath Thanthawi, Syaikh Ali Jum’ah, dan lain-lain, mereka telah menggambarkan bahwa wajah dan kedua telapak tangan wanita bukanlah aurat. Ini tidak bisa diingkari, barangsiapa yang mengingkari kenyataan ini, maka dia telah buta terhadap hakikat, atau lebih menjual dirinya kepada fanatisme hawa nafsu yang kotor. Kami hanya bisa mengatakan, Laa Haulaa walaa Quwwata Illa billah.
Benar, bahwa sebagian imam kaum muslimin ada yang mengatakan bahwa wajah dan telapak tangan adalah aurat dan wajib ditutup, itu pun tidak boleh diingkari dan berasal dari pemahaman yang layak dihargai pula. Namun yang tidak benar adalah sikap menjelek-jelekkan dan meremehkan ulama seperti yang dilakukan oleh segelintir manusia yang bukan ahli ilmu, mereka mengatakan, “Itu’kan pendapat ulama.” Padahal para ulama tersebut telah bersusah payah menggali hukum melalui kajian terhadap Al Quran dan As Sunnah, bukan akal-akalan dan hawa nafsu mereka.
Semoga pembahasan ini bermanfaat, bagi siapa saja yang menginginkan kebenaran dan kebaikan, serta menjadi nasihat bagi kita yang masih berlisan tajam terhadap perbedaan fiqih di antara ulama. Wallahu A’lam
Farid Nu’man Hasan
Daftar Pustaka:
– Al Quran
– Jami’ul Bayan, karya Imam Ibnu Jarir Ath Thabari
– Al Jami’ul Ahkam, karya Imam Al Qurthubi
– Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, karya Imam Ibnu Katsir
– Fathul Qadir, karya Imam Asy Syaukani
– Ahkamul Quran, karya Imam Abu Bakar Al Jashash
– Ahkamul Quran, karya Imam Al Qadhi Abu Bakar bin Al ‘Arabi
– Fi zhilalil Quran, karya Syaikh Sayyid Quthb
– Ma’alim At Tanzil, karya Imam Al Baghawi
– Mafatih Al Ghaib, karya Imam Fakhruddin Ar Razi
– Lubab At Takwil, karya Imam Al Khazin
– Zaadul Masir, karya Imam Abul Faraj bin Al Jauzi
– Al Wajiz fi Tafsiril Quran, karya Imam Abul Hasan Al Wahidi
– Al Bahrul Muhith, karya Imam Abu Hayyan bin Yusuf bin Ali bin Hayyan
– Shahih Bukhari, karya Imam Bukhari
– Shahih Muslim, karya Imam Muslim
– Sunan Abu Daud, Karya Imam Abu Daud
– Sunan At Tirmdzi, karya Imam At Tirmidzi
– Shahih Ibnu Hibban, Karya Imam Ibnu Hibban
– Shahih Ibnu Khuzaimah, karya Imam Ibnu Khuzaimah
– Al Mushannaf , karya Imam Ibnu Abi Syaibah
– Al Mushannaf , karya Imam Abdurrazzaq
– Silsilah Ash Shahihah, karya Syaikh Al Albani
– Shahih Sunan Abi Daud, karya Syaikh Al Albani
– Lisanul Mizan, karya Imam Ibnu Hajar
– Tahdzibut Tahdzib, karya Imam Ibnu Hajar
– Taqribut Tahdzib, karya Imam Ibnu Hajar
– Mizanul I’tidal, karya Imam Adz Dzahabi
– Fathul Bari, karya Imam Ibnu Hajar
– ‘Aunul Ma’bud, karya Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi
– Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa’, karya Imam Abul Walid bin Sulaiman Khalaf Al Baji
– Al Umm, karya Imam Asy Syafi’i
– Fiqhus Sunnah, karya Syaikh Sayyid Sabiq
– Majmu’ Fatawa, karya Imam Ibnu Taimiyah
– Al Mughni, karya Imam Ibnu Qudamah
– Asy Syarh Al Kabir, karya Imam Ibnu Qudamah
– Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, karya Imam An Nawawi
– Raudhatut Thalibin, karya Imam An Nawawi
– Al Mukhtashar, karya Imam Al Muzani
– Al Muhalla, karya Imam Ibnu Hazm Al Andalusi
– Bidayatul Mujtahid, karya Imam Ibnu Rusyd
– Kasysyaf Al Qina’, karya Imam Al Bahuti
– Al Iqna’, karya Imam Musa Al Hijawi
– Al Mabsuth, karya Imam As Sarkhasi
– Fathul Qadir, karya Imam Kamaluddin Al Hummam
– At Tajj Al Iklil, karya Imam Abu Abdillah bin Yusuf Al Abdari Al Mawwaq
– Syarh Muktashar Khalil, karya Imam Al Kharrasi
– Manaha Jalil, karya Imam Muhammad bin Ahmad ‘Alisy Al Maliki
– Mawahib Al Jalil, karya Imam Syamsuddin Al Haththab
– Fathul Wahhab, karya Imam Zakaria Al Anshari
– Asnal Mathalib, karya Imam Zakaria Al Anshari
– Fathul Aziz, karya Imam Abdul Karim Ar Rafi’i
– I’anatuth Thalibin, karya Imam Sayyid Al Bakr Ad Dimyathi
– Mathalib Ulin Nuha, karya Imam Ar Rahibani
– Syarh Al Bahjah Al Wardiyah, karya Imam Zakaria Al Anshari
– Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, karya Imam Ibnu Hajar Al Haitami
– Mughni Muhtaj, karya Imam Muhammad Al Khathib Asy Syarbini
– Nihayatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, karya Imam Syihabuddin Ar Ramli
– Hasyiah Al Bajirumi. Karya Imam Sulaiman bin Umar bin Muhammad Al Bajirumi
[1] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 127. Darul Kutub al Araby, Beirut Libanon.
[2] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Juz. 6, Hal. 45 Daru Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’, 1999M/1420H.
[4] Imam Ibnu Katsir, Ibid. Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Quran, Juz. 19, Hal. 156.
[5] Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Ibid, Juz. 19, Hal. 156-158.
[6] Imam Al Muzani, Mukhtashar, Hal. 163. Darul Ma’rifah.
[7] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, Juz. 6, Hal. 482.
[8] Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, Juz. 3, Hal. 216. Darul Fikr.
[9] Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Quran, Juz. 20, Hal. 324-325.
[10] Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, Juz. 6, Hal. 79. Mawqi’ Ruh Al Islam
[11] Imam Ibnul Jauzi, Zaadul Masir, Juz. 5, Hal. 150. Mawqi’ At Tafasir
[12] Imam Abul Hasan Ali bin Ahmad Al Wahidi, Al Wajiz fi Tafsiril Quran, Juz. 1, Hal. 738.
[13] Imam Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf bin Ali bin Hayyan, Al Bahrul Muhith, Juz. 9, Hal. 174.
[14] Imam Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz. 1, Hal. 65.
[15] Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Ibid, Juz. 19, Hal. 158-159. Muasasah Ar risalah.
[16] Imam Al Jashash, Ahkamul Quran, Juz. 8, Hal. 166.
[17] HR. Abu Daud, dia berkata hadits ini mursal, yakni perawinya bernama Khalid bin Duraik belum pernah berjumpa dengan Aisyah. Lihat Sunan Abu Daud, Kitab Al Libas, Bab Fima Tabdi al Mar’ah min Zinatiha, No. 4104. Hadits ini dikuatkan oleh Syaikh Al Albany dalam Shahih Sunan Abu Daud Juz 9, Hal. 104. no. 4104. lihat juga tahqiqnya terhadap Hijab al Mar’ah al Muslimah no.24. Imam Al Baihaqi meriwayatkan dalam As Sunan Al Kubra No. 3034, 13274, juga Syu’abul Iman No. 7796, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 19115.
Sebagian ulama mendhaifkan hadits ini, karena Khalid bin Duraik belum pernah berjumpa dengan ‘Aisyah, berarti hadits ini munqathi’ (terputus sanadnya), lalu dalam sanadnya terdapat Sa’id bin Basyir seorang dhaif, dan Al Walid bin Muslim seorang mudallis (perawi yang suka menggelapkan sanad atau matan). (Lihat Takhrij Azh Zhilal, Hal. 574)
[18] HR. Bukhari, Kitab Al Mazhalim Bab Afniyah Ad Duur wal Julus fiha, No. 2465. Muslim, Kitab Al Libas waz Zinah Bab An Nahyi ‘anil Julus fi Thuruqat .., No. 2121.
[19] HR. Bukhari, Kitab Al Qadar Bab Wa Haraam ‘ala Qaryatin Ahlaknaaha, No. 6243. Muslim, Kitab Al Qadar Bab Quddira ‘ala Ibni Adam Hazhzhuhu min Zina wa Ghairihi, No. 2657.
[20] HR. Muslim, Kitab Al Adab Bab Nazharatul Fuja’ah, No. 2159.
[21] Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, Juz. 5, Hal. 211
[22] HR. Muslim, Kitab An Nikah Bab Nadbi Man Ra’a Imra’atan fawaqa’a fi Nafsihi an Ya’tiya Imra’atahu aw Jariyatahu Fayuwaqi’aha, No. 1403.
[24] HR. Bukhari, Kitabul Abwab Al Adzan Bab As Sujud ‘alal Anfi, No. 812
[25] Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Juz. 3, Hal. 204, No. 767.
[26] Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Juz. 22, Hal. 114. Majma’ Al Malik Fahd Lithiba’ah Al Mushhaf Asy Syarif
[27] Imam Al Bahuti, Kasysyaf Al Qina’, Juz. 2, Hal. 247.
[28] Imam An Nawawi, Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, Juz. 2, Hal. 52.
[29] HR. Bukhari, Kitab Al Hajj Bab Ma Yanha min Ath Thibi Lil Muhrim wal Muhrimah, No. 1838. Abu Daud, Kitab Al Manasik Maa Yalbasu Al Muhrim, No. 1826. Malik, Kitab Al Hajj Bab Takhmiril Muhrim Wajhah, No. 717.
[30] Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi, ‘Aunul Ma’bud, Juz. 5, Hal. 190. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah
[31] Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Juz. 4, Hal. 54. Darul Fikr
[32] Imam Ibnu Qudamah, Asy Syarh Al Kabir, Juz. 1, Hal. 458
[33] Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, Juz. 3, Hal. 53.
[34] HR. Muslim, Kitab An Nikah Bab An Nadb An Nazhar ilal Wajhil Mar’ah wa Kaffaiha Liman Turidu Tazawwujaha, No. 1424.
[35] Imam Ibnu Qudamah, Asy Syarh Al Kabir, Juz. 7, Hal. 342. Darul Kutub Al ‘Arabi.
[36] HR. Muslim, Kitab Ash Shalah ‘Idain, No. 885.
[37] HR. Bukhari, Kitab Al Maghazi Bab Ghazwatul Hudaibiyah, No. 3916.
[38] HR. Bukhari No. 1513, 1855. Muslim No.1334
[39] Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Juz. 11, Hal. 10. Darul Fikr
[40] HR. Bukhari No. 5652. Muslim No. 2576
[41] Imam As Sarkhasi, Al Mabsuth, Juz. 4, Hal. 30. Darul Fikr
[42] Imam Kamaluddin bin Al Hummam, Fathul Qadir, Juz. 5, Hal. 87.
[45] Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Juz. 22, Hal. 114. Majma’ Al Malik Fahd Lithiba’ah Al Mushhaf Asy Syarif
[46] Imam Abu Sulaiman bin Khalaf Al Baji, Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa’, Hal. 2, Hal. 252, No. 633.
[47] Imam Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz. 1, Hal. 95.
[48] Imam Abu Abdillah bin Yusuf Al Abdari Al Mawwaq , At Tajj Al Iklil Li Mukhtashar Khalil, Juz. 1, Hal. 384.
[49] Imam Syamsuddin Al Haththab Ar Ru’yani, Mawahib Al Jalil fi Syarh Mukhtashar Syaikh Al Khalil, Juz. 16, Hal. 91.
[50] Imam Al Kharrasyi, Syarh Mukhtashar Khalil, Juz. 3, Hal. 201.
[51] Imam Muhammad bin Ahmad ‘Alisy Al Maliki, Manahal Jalil Syarh Mukhtashar Khalil, Juz. 1, Hal. 476.
[52] Imam Asy Syafi’i, Al Umm, Juz. 1, Hal. 109.
[53] Imam An Nawawi, Raudhatuth Thalibin, Juz. 2, Hal. 455.
[54] Imam An Nawawi, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, Juz. 3, Hal. 167. Darul Fikr.
[55] Imam Sayyid Al Bakr Ad Dimyathi, I’anatuth Thalibin, Juz. 1, Hal. 133.
[56] Imam Zakaria Al Anshari, Fathul Wahhab, Juz. 1, Hal. 88. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah.
[57] Imam Zakaria Al Anshari, Asnal Mathalib, Juz. 3, Hal. 41.
[58] Imam Abdul Karim Ar Rafi’i, Fathul ‘Aziz Syarhul Wajiz, Juz. 4, Hal. 87-88. Darul Fikr.
[59] Imam Musa Al Hijawi, Al Iqna’, Juz. 1, Hal. 113.
[60] Imam Ibnu Qudamah, Asy Syarh Al Kabir, Juz. 7, Hal. 342. Darul Kutub Al ‘Arabi.
[61] Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, Juz. 3, Hal. 53.
[62] Imam Al Bahuti, Kasysyaf Al Qina’, Juz. 2, Hal. 247.
[63] Imam Ar Rahibani, Mathalib Ulin Nuha Syarh Ghayah Al Muntaha, Juz. 2, Hal. 321.
[64] Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, Juz. 3, Hal. 216. Darul Fikr.
[67] Imam Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkamil Quran, Juz.12, Hal. 229. Dar Ihya’ At Turats Al ‘Arabi
[68] Imam Abu Bakar Al Jashsash, Ahkamul Quran, Juz. 7, Hal. 494.
[69] Imam Abu Bakar bin Al ‘Arabi, Ahkamul Quran, Juz. 6, Hal. 64.
[70] Imam Al Baghawi, Ma’alim At Tanzil, Juz. 6, Hal. 34.
[72] Imam Fakhruddin Ar Razi, Mafatih Al Ghaib, Juz. 11, Hal. 305.
[73] Imam Al Khazin, Lubab At Ta’wil fi Ma’ani At Tanzil, Juz. 4, Hal. 499.
[75] Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Quran, Juz. 5, Hal. 277. Al Maktabah Asy Syamilah
[76] Imam An Naisaburi, Al Wajiz, Juz. 1, Hal. 590
[77] Imam Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz. 1, Hal. 65. Al Maktabah Asy Syamilah
[78] Imam Ibnu Hajar, Lisanul Mizan, Juz. 3, Hal. 123.
[79] Imam Ibnu Hajar, Taqribut Tahdzib, Juz. 2, Hal. 324. Darul Maktabah Al ‘Ilmiah.
[80] Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, Juz. 7, Hal. 240. Darul Fikr.
[82] Imam Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, Juz. 4, Hal. 423. Darul Ma’rifah.
[83] HR. At Tirmidzi No. 1173, katanya: hasan gharib. Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, Juz. 2, Hal. 227. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir, Juz. 8, Hal. 233, No. 9368. Ibnu Hibban No. 329 – Mawarid Azh Zham’an. Ibnu Khuzaimah No. 1685. Al Bazzar No. 2061. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 6690
[84] Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Silsilah Ash Shahihah, Juz. 6, Hal. 187. Juga Tahqiq Misykah mashabih, No. 3109, Al Irwa’ No. 273, dll
[85] Imam Al Haitsami, Majma’ Az Zawaid, Juz. 2, Hal. 35.
[86] Lihat takhrij hadits ini pada catatan kaki No. 17
[87] Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Silsilah Ash Shahihah, Juz. 6, Hal. 187.
[88] Lihat takhrij hadits ini pada catatan kaki No. 29