🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾
📨 PERTANYAAN:
Assalamu’alaikum, Wr Wb. Ust, ada seseoang yang bertanya pada saya perihal menceritakan peristiwa kurang baik yang menimpa seseorang tanpa menyebut orang yang mengalami dan bertujuan untuk memberikan pelajaran bagi orang yang mendengarnya. Apakah hal itu termasuk kategori membuka aib orang atau ghibah. Mohon disertai dalil terkait hal tersebut. Jazakallah
📬 JAWABAN
Wassalamu’alaikum WaRahmatullah wa Barakatuh .. Bismillah wal Hamdulillah ..
Sebenarnya apa yang ditanyakan sudah jelas, yakni jika kita tidak menyebut namanya, tidaklah mengapa sebab kita bicara secara umum yang manusia manapun bisa melakukannya. Jadi, yang boleh kita bicarakan secara vulgar adalah perbuatannya bukan orangnya.
Hal ini pun langsung dicontohkan oleh Allah Ta’ala:
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS.Al Hasyr(59):19)
Ayat ini menceritakan perbuatannya yaitu nasullaha (melupakan Allah) tetapi tidak disebut siapa saja orang yang melakukannya. Kita diperintahkan agar bisa terhindar dari perbuatan seperti itu juga. Nah, biasanya ketika kita bebicara aib orang, dengan tujuan nasihat, adalah agar kita mampu menghindar pebuatan itu bukan?
Ada pun jika kita berbuat ghibah (membicarakan aib orang lain yang sedang tidak ada) lalu menyebut namanya, maka ini salah satu perilaku buruk yang oleh Allah Ta’ala disebut dengan makan daging bangkai saudaranya.
“ … Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.“(QS.Al Hujurat(49):12)
Bahkan pelakunya diancam dengan siksaan yang pedih:
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.” (QS. An Nur (24): 19)
Namun, membicarakan aib –yang diistilahkan ghibah- tidak terlarang mutlak. Ada beberapa ghibah yang diperbolehkan, sebagaimana yang tertera dalam Riyadhus Shalihin-nya Imam An Nawawi Rahimahullah. Saya ringkas sebagai berikut: (Hal. 366-367, Maktabatul Iman, Al Manshurah)
1. Mengadukan kepada hakim, tentang kejahatan orang yang menganiaya.
2. Minta tolong supaya menasehati orang yang berbuat mungkar kepada orang yang dianggap sanggup menasehatinya.
3. Karena minta fatwa: fulan menganiaya saya, bagaimana cara menghindarinya?
4. Bertujuan menasehati, agar orang lain tidak terpedaya oleh orang tersebut.
5. Terhadap orang yang terang-terangan melakukan kejahatan, maka yang demikian bukan ghibah, sebab ia sendiri yang menampakannya.
6. Untuk memperkenalkan orang dengan gelar yang sandangnya, seperti Al A’masy (buram matanya), Al A’raj (Si Pincang), Al A’ma (Si Buta), Al ‘Asham (Si Tuli), Al Ahwal (si Juling), semua ini adalah gelar yang pernah disandang oleh sebagian ulama hadits.
Sekian. Wallahu A’lam
🍃🌸🌾🌻🌴🌺☘🌷
✍ Farid Nu’man Hasan