Daftar Isi
Pertanyaan
Saya mau bertanya. Kenapa banyak kajian ceramah mengatakan bahwa Allah itu berbentuk cahaya? Bukannya Allah yang menciptakan cahaya? Allah dzat yang maha Agung tidak sama seperti makhluknya termasuk cahaya dan rupa Allah tidak bisa dinalari manusia.sekian terimakasih (Hazieq-Indonesia)
Jawaban
Bismillahirrahmanirrahim..
Dalam ayat Al Qur’an dan hadits memang ada kalimat yg jika diartikan atau diterjemahkan secara harfiyah bermakna “Allah adalah cahaya”, sehingga sangat mungkin dalam benak pembacanya tergambar wujud Allah ﷻ adalah cahaya. Misalnya, pemahaman kalangan mujassimah. Mereka mengatakan Allah ﷻ adalah cahaya dan cahaya-Nya tidak sama dengan cahaya makhluk.
Tentu hal itu tidak benar dan tidak sejalan dengan pemahaman kaum salaf. Ketika ada seorang murid berkata kepada gurunya “Anda adalah cahaya”, tentu bukan bermaksud fisik gurunya adalah berwujud cahaya, tapi bagi murid tersebut guru tersebut laksana cahaya yang menerangi jalan dan hidupnya, sebagai pemandu, pembimbing, ke jalan yang benar, karena manfaat dan fungsi cahaya memang seperti itu. Dengan kata lain itu adalah majaz, kiasan, atau perumpamaan.
Imam Al Qurthubi berkata:
النور في كلام العرب: الأضواء المدركة بالبصر، واستعمل مجازاً فيما صح من المعاني ولاح، فيقال منه: كلام له نور، ومنه الكتاب المنير، ومنه قول الشاعر:
نسب كأن عليه من شمس الضحى … نوراً ومن فلق الصباح عموداً
والناس يقولون: فلان نور البلد، وشمس العصر وقمره، وقال: فإنك شمسٌ والملوك كواكبٌ
Cahaya (an-Nur) dalam bahasa Arab: “Sinar yang dapat ditangkap oleh penglihatan, dan digunakan sebagai kiasan untuk sesuatu yang benar dalam makna dan tampak jelas.” Maka dikatakan, “Ucapannya memiliki cahaya,” contoh lain: “kitab yang menerangi.” Sebagaimana dalam perkataan penyair:
“Nasab (keturunan) yang seolah-olah diterangi oleh cahaya matahari di waktu dhuha, dan oleh tiang fajar di pagi hari.”
Manusia juga berkata, “Fulan adalah cahaya kota,” “matahari zaman,” atau “bulannya.” Sebagaimana dikatakan: “Sesungguhnya engkau adalah matahari, sementara para raja adalah bintang-bintang.” (Tafsir Al Qurthubi, jilid. 12, hal. 256)
Dalam Al Qur’an, Allah ﷻ berfirman:
ٱللَّهُ نُورُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ
Secara harfiyah, ayat ini diterjemahkan:
Allah adalah cahaya langit dan bumi. [QS. An-Nur: 35]
Contoh lain, doa Rasulullah ﷺ dikala tahajud sebagaimana hadits shahih Bukhari dan Muslim:
Wa lakal hamdu anta nurus samawati wal ardhi wa man fi hinna. (Segala puji bagiMu, Engkau adalah Cahaya langit dan bumi dan siapapun yang ada di dalamnya)
Namun, para salaf dan para ulama yang mengikutinya tidaklah memahami kalimat pada ayat dan hadits tersebut secara harfiyah bahwa “Allah berwujud cahaya”.
1. Di antara mereka ada yang mengatakan makna “Allah adalah cahaya” yaitu Allah sebagai pemberi petunjuk (Al Hadi).
Misalnya, sahahat Nabi ﷺ yaitu Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma yang disebut imamnya para imam ahli tafsir, Beliau mengomentari ayat: _Allah adalah cahaya langit dan bumi_, dengan mengatakan:
هادي أهل السماوات والأرض
Allah adalah pemberi petunjuk bagi penduduk langit dan bumi. (Tafsir Ibnu Jarir Ath Thabari, jilid. 19, hal. 177)
Anas bin Malik berkata:
إن إلهي يقول: نوري هُداي.
Sesungguhnya Tuhanku berkata: “Cahaya-Ku adalah Petunjuk-Ku” (Tafsir Ibnu Jarir, Ibid)
2. Ada pula yang mengatakan Allah ﷻ adalah mudabbir (pengatur).
Dari Ibnu Juraij bahwa Mujahid dan Ibnu Abbas berkata:
يدبر الأمر فيهما ، نجومهما وشمسهما وقمرهما
Allah ﷻ yang mengatur urusan pada keduanya (langit dan bumi), begitu pula mengatur bintang, matahari, dan bulannya. (Tafsir Ibnu Jarir Ath Thabari, Ibid)
3. Ada pula yang mengartikan Cahaya yang berasal dari Allah ﷻ menerangi langit dan bumi.
Ibnu Jarir berkata:
وقال آخرون: بل عنى بذلك النور الضياء. وقالوا: معنى ذلك: ضياء السماوات والأرض
Sebagian yang lain berkata: “Bahkan, yang dimaksud dengan NUR (cahaya) di sini adalah ḍhiya’ (sinar terang).” Mereka mengatakan: “Maknanya adalah sinar terang langit dan bumi.”
Dari Ubay bin Ka’b mengenai firman Allah: ‘Allah adalah cahaya langit dan bumi’ (QS. An-Nur: 35), ia (Ubay) berkata: “Allah memulai dengan menyebut cahaya-Nya sendiri, lalu menyebut cahaya orang beriman.” (Tafsir Ibnu Jarir Ath Thabari, jilid. 19, hal. 178)
Dari ketiga penjelasan di atas, Imam Ibnu Jarir sendiri memilih penjelasan yang pertama, menurutnya itu lebih kuat bahwa makna Allah adalah cahaya adalah Allah sebagai Al Hadi, pemberi petunjuk.
Imam Al Qurthubi telah mengkritik keras pemahaman bahwa wujud Allah Ta’ala adalah cahaya. Beliau berkata:
فَيَجُوزُ أَنْ يُقَالَ: لِلَّهِ تَعَالَى نُورٌ مِنْ جِهَةِ الْمَدْحِ لِأَنَّهُ أَوْجَدَ الْأَشْيَاءَ وَنُورُ جَمِيعِ الْأَشْيَاءِ مِنْهُ ابْتِدَاؤُهَا وَعَنْهُ صُدُورُهَا وَهُوَ سُبْحَانَهُ لَيْسَ مِنَ الْأَضْوَاءِ الْمُدْرَكَةِ جَلَّ وَتَعَالَى عَمَّا يَقُولُ الظَّالِمُونَ عُلُوًّا كَبِيرًا.
وَقَدْ قَالَ هِشَامٌ الْجُوَالِقِيُّ وَطَائِفَةٌ مِنَ الْمُجَسِّمَةِ: هُوَ نُورٌ لَا كَالْأَنْوَارِ، وَجِسْمٌ لَا كَالْأَجْسَامِ. وَهَذَا كُلُّهُ مُحَالٌ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى عَقْلًا وَنَقْلًا عَلَى مَا يُعْرَفُ فِي مَوْضِعِهِ مِنْ عِلْمِ الْكَلَامِ.
Maka diperbolehkan untuk dikatakan: “Allah Ta’ala memiliki cahaya adalah ungkapan dari sudut pujian,” karena Dia yang menciptakan segala sesuatu. Cahaya segala sesuatu berasal dari-Nya sebagai permulaan dan dari-Nyalah muncul keberadaan segala sesuatu. Dia, Mahasuci dari segala kekurangan, bukanlah dari jenis cahaya yang dapat ditangkap oleh indera. Mahasuci dan Mahatinggi Allah dari apa yang dikatakan oleh orang-orang zalim, dengan ketinggian yang agung.
Hisyam al-Jawaliqi beserta sekelompok kaum mujassimah, berkata: ‘Dia (Allah) adalah cahaya, tetapi tidak seperti cahaya yang lain, dan Dia adalah tubuh, tetapi tidak seperti tubuh yang lain.’ Semua ini mustahil bagi Allah Ta’ala, baik menurut akal maupun dalil naqli, sebagaimana dijelaskan pada pembahasan ilmu kalam. (Tafsir Al Qurthubi, jilid. 12, hal. 256)
Menyebut bahwa Allah ﷻ berbentuk cahaya, atau zatnya terbuat dari cahaya, maka tentu ini tasybih (penyerupaan) dengan makhluk. Sebab, cahaya adalah makhluk, dan Malaikat pun tercipta cari cahaya. Maha Suci Allah dari serupa dengan makhluk-Nya, karena:
لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَيۡءٞۖ
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. (QS. Asy Syura: 11)
Demikian. Wallahu A’lam
Baca juga: Menyebut Rasulullah ﷺ dengan Cahaya, Apakah Berlebihan?
Farid Nu’man Hasan