Beli Hewan Qurban Gak Boleh Nawar?

 

Pertanyaan:

Assalamu ‘Alaikum …… Ust, ana mau tanya, apabila mau beli kambing qurban, harganya gak usah ditawar, apa benar itu ada sunahnya? (dari 02191680xxx)

Jawaban:

Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa Ashhabihi wa Man waalah, wa ba’d:

Ya, hal itu memang tersiar dari mulut ke mulut. Tentunya ini menjadi kabar menggembirakan buat pedagang hewan.

Kita mengetahui bahwa jika dikatakan “tidak boleh menawar” harga hewan qurban, maka hal tersebut harus ditunjukkan oleh nash-nash agama. Jika tidak ada petunjuknya dalam nash, maka kembali kepada hukum awal urusan jual beli, yakni mubah alias boleh-boleh saja menawar secara wajar. Berqurban memang urusan ibadah, tetapi membeli hewan qurbannya adalah bab muamalah.  Sama halnya dengan haji, dia adalah ibadah, tetapi menentukan ongkos haji adalah  semata-mata urusan duniawi. Tentunya ongkos haji bisa ditekan bukan? Dan, tidak ada yang mengatakan bahwa ongkos haji tidak bisa ditawar. Shalat adalah ibadah, dan mesti menutup aurat secara sempurna, maka kita membutuhkan pakaian yang menutup aurat secara sempurna seperti kain sarung, mukena, jilbab, dan lainnya; yang harga barang-barang ini juga boleh-boleh saja ditawar.

Lalu … bagaimana bisa terjadi pemahaman bahwa hewan qurban tidak bisa ditawar? Wallahu A’lam, bisa jadi orang yang mengatakan itu mendasarkan pendapatnya itu pada hadits berikut.

Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أمرنا رسول الله صلى الله عليه و سلم في العيدين أن نلبس أجود ما نجد و أن نتطيب بأجود ما نجد و أن نضحي بأسمن ما نجد

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kami pada dua hari raya untuk memakai pakaian terbaik yang kami punya, dan memakai wangi-wangian yang terbaik yang  kami punya, dan berkurban dengan hewan yang paling mahal yang kami punya. (HR. Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 7560, katanya: “Kalau bukan karena kemajhulan Ishaq bin Bazraj, akan hukumi ini sebagai hadits shahih.” Hal serupa juga dikatakan Imam Adz Dzahabi. Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 2756, dari Al Hasan bin Ali. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 3715. Ath Thahawi dalam Musykilul Aatsar No. 4730)

Dalam hadits ini disebutkan bahwa kita diperintahkan membeli hewan qurban yang paling mahal. Maka, secara sederhana kita menangkap bahwa hal ini tidak akan terjadi jika kita menawar harga hewan qurban. Sebab, dari penawaran itulah harga akan menjadi turun, dan tidak lagi dikatakan paling mahal. Oleh karenanya, supaya tetap paling mahal, jangan ditawar!

Kita lihat dulu status hadits ini ………..

Para ulama telah mengisyaratkan kelemahan hadits ini. Imam Al Hakim berkata: “Kalau bukan karena kemajhulan Ishaq bin Barzakh, akan aku hukumi ini sebagai hadits shahih.” Ucapan Beliau mengindikasikan kedhaifan hadits ini yakni karena majhul (tidak dikenal)-nya Ishaq bin Bazraj.

Tetapi, Imam Ash Shan’ani Rahimahullah mengomentari:

قلت : ليس بمجهول فقد ضعفه الأزدي ووثقه ابن حبان. ذكره في التلخيص.

 

Aku berkata: dia bukan orang yang majhul, Al Azdi telah mendhaifkannya, dan Ibnu Hibban telah men-tsiqah-kannya. Sebagaimana disebut dalam At Talkhish. (Subulus Salam, 2/72. Lihat juga Imam Ibnul Mulqin, Al Badrul Munir, 5/46)

Selain Ishaq bin Bazraj, ada rawi lain yang dipermasalahkan dalam hadits ini yakni Abdullah bin Shalih, yang didhaifkan oleh mayoritas muhadditsin.

Berkata Imam Al Haitsami:

رواه الطبراني في الكبير وفيه عبد الله بن صالح قال عبد الملك بن شعيب بن الليث : ثقة مأمون . وضعفه أحمد وجماعة

 

Diriwayatkan oleh Ath Thabarani dalam kitab Al Kabir, di dalamnya terdapat Abdullah bin Shalih. Berkata Abdul Malik bin Syu’aib bin Al Laits: “terpercaya dan amanah.” Tetapi Ahmad dan jamaah ahli hadits mendhaifkannya.  (Majma’ Az Zawaid, 4/16. Darul Fikr)

Demikianlah hadits ini, nampak ada dua perawi yang umumnya di-jarh (dinilai cacat) oleh para imam …

Kalau pun hadits ini shahih, substansinya adalah anjuran  agar   kita memilih hewan qurban yang paling berkualitas yakni sehat dan bersih dari cacat, dan paling banyak memberikan manfaat yakni besar atau gemuk. Biasanya hal itu hanya pada hewan yang mahal harganya. Tetapi  bukan mustahil hewan bagus dan besar memiliki harga yang murah. Dan, hadits ini sama sekali tidak ada indikasi larangan menawar harga hewan qurban.

 

Wallahu A’lam

 

 

 

 

 

Menghidupkan Budaya Tabayyun

💦💥💦💥💦💥💦💥

Mujahid Rahimahullah bercerita:

أرسل رسول الله الوليد بن عقبة إلى بني المصطلق ليُصدّقهم، فتلقوه بالصدقة، فرجع فقال: إن بني المصطلق قد جمعت لك لتقاتلك -زاد قتادة: وإنهم قد ارتدوا عن الإسلام-فبعث رسول الله خالد بن الوليد إليهم، وأمره أن يتثبت ولا يعجل. فانطلق حتى أتاهم ليلا فبعث عيونه، فلما جاءوا أخبروا خالدا أنهم مستمسكون بالإسلام، وسمعوا أذانهم وصلاتهم، فلما أصبحوا أتاهم خالد فرأى الذي يعجبه، فرجع إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فأخبره الخبر، فأنزل الله هذه الآية. قال قتادة: فكان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: “التَّبيُّن من الله، والعَجَلَة من الشيطان”

Rasulullah ﷺ mengutus Al Walid bin ‘Uqbah menuju Bani Al Mushthaliq untuk mengambil zakat mereka, lalu mereka memberikan zakat kepadanya, lalu Al Walid pulang, kemudian berkata:

“Sesungguhnya Bani Mushthaliq telah berkumpul untuk memerangi Engkau (Rasulullah) –Qatadah menambahkan: mereka telah murtad dari Islam.”

Maka, Rasulullah ﷺ mengutus Khalid bin Al Walid kepada mereka, dan memerintahkannya untuk menginvestigasi (tatsabbut) dan jangan tergesa-gesa. Lalu, Khalid pun berangkat sampai kepada mereka dimalam hari, kemudian menyebarkan mata-matanya. Ketika mereka (mata-mata) itu datang, mereka memberikan kabar kepada Khalid bahwa Bani Al Mushthaliq masih konsisten terhadap Islam, mereka masih mendengarkan adzan dan shalatnya mereka.

Pagi harinya, Khalid sendiri yang mendatangi mereka (Bani Al Mushthaliq) maka Khalid melihat keadaan mereka yang mengagumkan baginya.

Lalu, Khalid kembali kepada Rasulullah ﷺ dan memberikan kabar kepadanya. Maka Allah ﷻ menurunkan ayat ini.”

Qatadah berkata: “Maka, Rasulullah ﷺ bersabda: “Tabayyun (meneliti berita) itu dari Allah, dan tergesa-gesa itu dari syetan.”

(Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 7/372)

Ayat apakah yang dimaksud turun setelah kejadian itu? Yaitu ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. Al Hujurat: 6)

Lebih dari satu ulama salaf yang mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan peristiwa di atas, seperti Ibnu Abi Laila, Yazid bin Ruman, Adh Dhahak, Muqatil bin Hayyan, dan lainnya. (Ibid)

📚 Pelajaran Penting:

📌 Jangan tergesa-gesa menerima, mempercayai, dan menyikapi berita, apalagi menyebarkannya

Dari Hafsh bin ‘Ashim Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

Cukuplah seseorang dikatakan berdusta jika dia selalu mengatakan setiap apa-apa yang dia dengar. (HR. Muslim No. 6)

📌 Periksalah berita, apalagi menyangkut aib dan kehormatan saudara sesama muslim

📌 Adil-lah dalam menerima berita. Bertabayyun jangan hanya ketika ada berita buruk tentang orang yang kita sukai, tapi kita tidak bertabayyun ketika ada berita buruk tentang orang yang kita musuhi, sebab itu termasuk curang dalam timbangan

📌 Bertabayyun hendaknya dillakukan langsung kepada sumber yang diberitakan agar mendapatkan penjelasan, data, dan fakta primer tingkat tinggi

📌 Atau, kepada orang dekatnya yang tahu masalah, terpercaya, dan jujur

Wallahu A’lam. Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🍃🌾🌸🌴🌺☘🌷🌻

✏ Farid Nu’man Hasan

Perlawanan Terhadap Pemimpin Zalim; antara Ahlul Haq, Bughat, atau Khawarij?

Oleh: Farid Nu’man Hasan

Sebagian kecil kalangan menyebut, lebih tepatnya menuduh, bahwa setiap bentuk perlawanan kepada pemimpin yang zalim adalah khawarij. Pelakunya layak diperangi sebagaimana dahulu diperangi oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, di daerah Nahrawan. Padahal, Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu adalah pemimpin yang shalih dan adil, bukan pemimpin yang zalim. Sedangkan perlawanan yang dimaksud adalah kepada pemimpin yang zalim. Dengan kata lain, berdalil dengan perbuatan jelas tidak pas dan amat jauh.

Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah menjelaskan tentang pemimpin yang adil:

وأحسن ما فسر به العادل أنه الذي يتبع أمر الله بوضع كل شيء في موضعه من غير إفراط ولا تفريط

Tafsir terbaik tentang pemimpin yang adil adalah orang yang mengikuti perintah Allah dengan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya tanpa berlebihan dan menguranginya. (Fathul Bari, 2/145, 1379H. Darul Ma’rifah Beirut)

Maka, tidak benar menyamakan antara perlawanan kepada pemimpin yang zalim, pemimpin yang meninggalkan Al Quran dan As Sunnah,  dengan perlawanan kepada pemimpin yang adil, yang masih berpegang teguh kepada Al Quran dan As Sunnah. Padahal keduanya jelas berbeda.  Sebagian orang mengartikan zalim sekadar dan membatasi berbuat aniaya, menyiksa, menangkap, dan membunuh, padahal meninggalkan Al Quran dan As Sunnah lebih zalim dari itu. Sikap simplistis (penyederhanaan) yang mereka lakukan tentu sangat berbahaya, berpotensi leluasanya para pemimpin zalim atas kezalimannya, dan  menjadikan pemikiran  dan fatwa mereka sebagai tameng  untuk menyurutkan aktifis Islam.

Sayangnya, dengan lihai mereka menganggap itulah satu-satunya pendapat resmi Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Benarkah demikian?

Bersama Para Imam Ahlus Sunnah

Kita lihat para Imam Ahlus Sunnah tidaklah seperti klaim mereka. Para imam telah terjadi dinamika pemikiran, ijtihad, dan fatwa. Sebagian mereka,  tidaklah menyamakan antara  perlawanan terhadap pemimpin zalim karena kezalimannya, dengan  perlawanan terhadap pemimpin adil, atau perlawanan semata-mata ingin merebut kekuasaan.

Al Hafizh Al Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani Rahimahullah (w. 852H)

Di antara ulama yang membedakan adalah Al Hafizh Ibnu Hajar. Beliau membedakan hukum pemberontakan antara melawan kezaliman penguasa, dengan semata-mata merebut kekuasaan.  Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah menjelaskan:

وهم على قسمين أيضا قسم خرجوا غضبا للدين من أجل جور الولاة وترك عملهم بالسنة النبوية فهؤلاء أهل حق ومنهم الحسن بن علي وأهل المدينة في الحرة والقراء الذين خرجوا على الحجاج وقسم خرجوا لطلب الملك فقط سواء كانت فيهم شبهة أم لا وهم البغاة

Dan mereka (para pemberontak) ada dua macam juga:

Pertama. Mereka yang melakukan perlawanan karena kemarahan yang didasari oleh agama, karena kezaliman pemimpin dan perbuatan mereka meninggalkan sunnah nabi, maka mereka ini adalah AHLUL HAQ. Di antaranya: Al Husein bin Ali, penduduk Madinah di peristiwa Al Harrah, dan para ahli Qurra, yang telah melakukan perlawanan kepada Al Hajjaj.

Kedua. Mereka yang melakukan perlawanan semata-mata untuk mengambil kekuasaan saja, baik mereka punya alasan atau tidak, maka mereka inilah yang disebut Al Bughat (pemberontak). (Fathul Bari, 12/286)

Demikianlah Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah, dengan jeli Beliau membedakan jenis perlawanan dengan jitu, bahwa perlawanan terhadap pemimpin zalim yang dilakukan kaum muslimin adalah perlawanan Ahlul Haq. Bahkan, terhadap yang benar-benar Khawarij pun tidak asal diperangi sebagaimana yang dikatakan Khalifah Ali Radhiallahu ‘Anhu.

Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah, mengutip perkataan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu berkata, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ibnu Jarir Ath Thabari dengan sanad yang shahih:

إن خالفوا إماما عدلا فقاتلوهم وإن خالفوا إماما جائرا فلا تقاتلوهم فإن لهم مقالا قلت وعلى ذلك يحمل ما وقع للحسين بن علي ثم لأهل المدينة في الحرة ثم لعبد الله بن الزبير ثم للقراء الذين خرجوا على الحجاج في قصة عبد الرحمن بن محمد بن الأشعث والله أعلم

Jika mereka menyelisihi pemimpin yang adil maka perangilah mereka, dan jika mereka menyelisihi pemimpin yang zalim maka jangan memerangi mereka, karena sesungguhnya mereka punya alasan (untuk melawan).

Aku (Ibnu Hajar) berkata: dan atas dasar inilah apa yang terjadi pada Al Husein bin Ali, lalu penduduk Madinah dalam peristiwa Al Harrah, Abdullah bin Az Zubeir, dan para Qurra yang memberontak melawan Al Hajjaj dalam kasus Abdurrahman bin Muhammad bin Al Asy’ats. Wallahu A’lam. (Ibid, 12/301)

Al Imam Ibnu Hajar Al Haitami (w. 974H)

Beliau Rahimahullah berkata:

( مُخَالِفُو الْإِمَامِ ) وَلَوْ جَائِرًا لِحُرْمَةِ الْخُرُوجِ عَلَيْهِ أَيْ لَا مُطْلَقًا بَلْ بَعْدَ اسْتِقْرَارِ الْأَمْرِ الْمُتَأَخِّرِ عَنْ زَمَنِ الصَّحَابَةِ وَالسَّلَفِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَلَا يَرِدُ خُرُوجُ الْحُسَيْنِ بْنِ عَلِيٍّ وَابْنِ الزُّبَيْرِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا وَمَعَهُمَا كَثِيرٌ مِنْ السَّلَفِ عَلَى يَزِيدَ وَعَبْدِ الْمَلِكِ

Orang-orang yang menyelisihi pemimpin walau pemimpin itu zalim, karena haramnya pemberontakan terhadap mereka maka itu tidak mutlak dikatakan pemberontakan, kecuali jika setelah stabilnya urusan ini pada masa-masa akhir para sahabat nabi dan salaf Radhiallahu ‘Anhum, maka tidaklah termasuk pemberontakan apa yang dilakukan oleh Al Husein bin Ali, Ibnu Az Zubeir Radhiallahu ‘Anhuma, dan yang bersama keduanya dari kalangan salaf ketika melawan Yazid dan Abdul Malik. (Tuhfatul Muhtaj, 4/97. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Tahqiq: Abdullah Mahmud Umar Muhammad)

Al ‘Allamah Ibnu Khaldun Rahimahullah (w. 808H)

Beliau Rahimahullah mengatakan bahwa perlawanan terhadap pemimpin yang zalim juga dilakukan oleh Al Husein bin Ali Radhiallahu ‘Anhuma, saat itu para sahabat nabi dan tabi’in tidak ada yang mengingkarinya, walau mereka sendiri melarang hal itu.

Al ‘Allamah Ibnu Khaldun Rahimahullah menjelaskan:

وأما غير الحسين من الصحابة الذين كانوا بالحجاز ومع يزيد بالشام، والعراق ومن التابعين لهم، فرأوا أن الخروج على يزيد وإن كان فاسقاً لا يجوز لما ينشأ عنه من الهرج والدماء فأقصروا عن ذلك ولم يتابعوا الحسين، ولا أنكروا عليه، ولا أثموه، لأنه مجتهد وهو أسوة المجتهدين.

Ada pun selain Al Husein, dari kalangan sahabat nabi yang tinggal di Hijaz, dan di Syam bersama Yazid, di Iraq, dan para tabi’in, mereka berpendapat bahwa berontak melawan Yazid walau dia fasiq adalah tidak boleh, karena hal itu bisa menimbulkan huru hara dan pertumpahan darah, maka mereka menahan dari dari itu dan tidak mengikuti Al Husein, mereka juga tidak mengingkari Al Husein, dan tidak menganggapnya berdosa, karena dia seorang mujtahid, dan dia seorang teladan para mujtahid. (Tarikh Ibnu Khaldun, 1/217, Cet. 4, Darul Ihya At Turats, Beirut)

Pandangan para ulama ini, secara akademik menjadi ruang diskusi yang belum final dan tidak boleh dimatikan, apalagi langsung dituduh sebagai sebuah kejahatan terhadap agama dengan menuduhnya khawarij. Namun, satu hakikat yang tidak bisa dielakkan adalah bahwa pemberontakan baik yang dilakukan untuk melawan pemimpin yang adil maupun zalim, memang pada akhirnya akan melahirkan huru hara dan pertumpahan darah, dan jelas itu merupakan kerugian bagi umat yang seharusnya dipikirkan matang-matang akibatnya. Hal ini tidak bisa disamaratakan di masing-masing negeri, dan masing-masing penguasa. Bisa pas dan bisa tidak.

Memerangi Pemberontak dan Khawarij adalah Wajib

Ada pun memerangi Ahlul Bughah (pemberontak) dan Khawarij adalah wajib, dan tidak ada perselisihan para ulama. Hal ini jika BENAR-BENAR bahwa mereka adalah pemberontak dan khawarij, bukan tuduhan. Sayangnya saat ini tuduhan khawarij begitu murah meriah ditembakkan ke sembarang orang, pemikir, ulama, dan gerakan da’wah. Dikira mereka, semua yang kontra dengan pemimpin dan kebijakannya adalah khawarij. Menasihati dan mengkritik penguasa disamakan dengan pemberontakan, dan itu khawarij.  Jelas ini adalah gagal paham tingkat paling mengherankan.

Memerangi pemberontak dan khawarij adalah wajib, Itu pun mesti didahului peringatan dan pertanyaan kepada mereka, alasan apa mereka memberontak. Itulah yang dilakukan oleh Khalifah Ali Radhiallahu ‘Anhu, saat memerangi Khawarij, dengan mengutus Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma terlebih dahulu kepada mereka untuk mencari tahu alasan mereka melawan pemerintahan Ali Radhiallahu ‘Anhu, juga menasihati mereka, sebelum mereka di perangi di Nahrawan, ketika mereka tidak ada perubahan.

Imam An Nawawi Rahimahullah (w. 676H) menjelaskan:

هَذَا تَصْرِيحٌ بِوُجُوبِ قِتَال الْخَوَارِج وَالْبُغَاة ، وَهُوَ إِجْمَاع الْعُلَمَاء ، قَالَ الْقَاضِي : أَجْمَعَ الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّ الْخَوَارِج وَأَشْبَاهَهُمْ مِنْ أَهْل الْبِدَع وَالْبَغْي مَتَى خَرَجُوا عَلَى الْإِمَام وَخَالَفُوا رَأْي الْجَمَاعَة وَشَقُّوا الْعَصَا وَجَبَ قِتَالهمْ بَعْد إِنْذَارهمْ ، وَالِاعْتِذَار إِلَيْهِمْ

Ini merupakan petunjuk wajibnya memerangi khawarij dan para pemberontak dan ini merupakan ijma’ ulama. Al Qadhi berkata: “Para ulama telah ijma’ bahwa khawarij dan yang semisal mereka dari para ahlul bid’ah dan pemberontak, ketika mereka melakukan perlawanan kepada pemimpin dan menyelisihi pendapat jamaah umat Islam dan mereka memecah belah tongkat (persatuan), maka wajib memrangi mereka setelah mereka diberikan peringatan dan ditanyakan alasan mereka.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/169-170.  Cet. 2, 1392H. Dar Ihya At Turats. Beirut)

Imam Abul Hasan Al Mawardi Rahimahullah (w. 450H) menjelaskan:

فَإِذَا قَلَّدَ الْإِمَامُ أَمِيرًا عَلَى قِتَالِ الْمُمْتَنِعِينَ مِنْ الْبُغَاةِ قَدَّمَ قَبْلَ الْقِتَالِ إنْذَارَهُمْ وَإِعْذَارَهُمْ ، ثُمَّ قَاتَلَهُمْ إذَا أَصَرُّوا عَلَى الْبَغْيِ كِفَاحًا وَلَا يَهْجُمُ عَلَيْهِمْ غِرَّةً وَبَيَاتًا .

Jika seorang pemimpin mengangkat seseorang menjadi komandan untuk memerangi para pemberontak, maka sebelum memerangi mereka hendaknya memberikan peringatan dahulu dan meminta mereka untuk minta maaf. Lalu, memerangi mereka  jika mereka masih membangkang tapi tidak dibolehkan menyerang mereka secara mendadak. (Al Ahkam As Sulthaniyah, Hal. 100)

Pemberontakan Bukan Jalan Terbaik

Bagian ini bukan membicarakan boleh atau tidak boleh, tetapi memikirkan dampaknya terhadap umat.  Setelah kita membicarakan wacana legalitas, maka yang krusial dipahami  oleh umat secara umum, dan khususnya para aktifis Islam adalah maslahat madharat dari perlawanan dan pemberontakan.

Dalam hal ini, ada pandangan bagus dari Asy Syaikh Al ‘Allamah Dr. Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullah:

“Mereka –kelompok-kelompok radikal- kupa pada perkara yang lebih penting, yaitu bahwa yang mereka kemukakan di sini adalah teks-teks syariat yang bersifat umum dan  mutlak, yang dikhususkan atau diikat oleh teks-teks lainnya. Memerintahkan bersabar atas kezaliman penguasa dan kezaliman para pemimpin, walau mereka berbuat aniaya terhadap hak-hak individu dengan merampas harta dan membunuh, selama kekafiran mereka belum terang-terangan. Karena menurut kami, dalam hal ini ada keterangan dari Allah ﷻ, bahwa sikap perlawanan dilakukan tidak melupakan tujuan untuk menjaga kesatuan umat dan kestabilan negara, dengan menghindari pertumpahan darah, memelihara keselamatan jiwa dan harta, dan khawatir akan terbukanya pintu-pintu fitnah yang tidak terkendali.

Banyak hadits menekankan masalah ini sehingga orang-orang wara’ dan militan tidak tergesa-gesa untuk memberontak kepada penguasa yang sah, dengan segala sesuatu yang mereka pandang menyimpang yang tidak termasuk masalah-masalah krusial dalam agama.

Sejarah masa lalu dan sekarang menegaskan bahwa pemberontakan-pemberontakan bersenjata terhadap para penguasa tidak menemui kesuksesan dan gagal, kecuali sedikit saja di antaranya. Di balik itu juga, umat tidak mendapatkan apa pun selain kekacauan, hilang rasa aman, dan pertumpahan darah yang tidak sedikit.” (Fiqih Jihad, Hal. 871. Cet. 1, 1431H-2010M. Mizan, Bandung)

Demikian. Wallahu A’lam

Mengenal Riba Untuk Dijauhi

💦💥💦💥💦💥

‘Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu berkata:

من اتجر قبل أن يتفقه ارتطم في الربا ثم ارتطم ثم ارتطم

Barang siapa yang berdagang namun belum memahami ilmunya, maka dia akan terjerumus kepada riba, terjerumus dan terjerumus. (Imam Muhammad Khathib Asy Syarbini, Mughni Muhtaj, 2/22)

1. Definisi     

A. Secara Bahasa:

Riba diambil dari kata rabaa – ربا, tertulis dalam kitab Lisanul ‘Arab:

( ربا ) رَبا الشيءُ يَرْبُو رُبُوّاً ورِباءً زاد ونما وأَرْبَيْته نَمَّيته

(Rabaa) rabasy syai’u yarbuu rubuwan wa ribaa-an, artinya bertambah dan tumbuh. Wa arbaytuhu wa nammaytuhu – aku menumbuhkan dan mengembangkan. (Syaikh Ibnu Manzhur, Lisanul ‘Arab, 3/1572. Darul Ma’arif)

Allah  ﷻ  berfirman:

ويُرْبي الصدَقات

Dan Dia (Allah) menyuburkan sedekah … (QS. Al Baqarah: 276)

B. Secara Syariat:

Dalam kitab Al Qamus Al Fiqhi disebutkan:

اسم لمقابلة عوض بعوض مخصوص غير معلوم التماثل في معيار الشرع حالة العقد، أو تأخر في البدلين، أو أحدهما

Sebuah nama dari akad pertukaran barang yang khusus (spesisfik) dengan tidak diketahui (bahwa barang yang ditukar) itu sama dalam timbangan syari’at,  yang dilakukan saat akad atau dengan cara  mengakhirkan dua barang yang ditukarkan atau salah satunya. (Syaikh Sa’diy Abu Jaib, Al Qamus Al Fiqhiy, Hal. 143.  Cet.2, 1408-1988M. Damaskus. Siria)

Ada juga yang mengatakan:

الزيادة في أشياء مخصوصة

Tambahan pada hal-hal tertentu. (Ibid)

Syaikh Ali Ash Shabuni mengatakan:

زيادة على أصل المال يأخذها الدائن من المدين

Tambahan atas harta pokok yang diambil oleh pemberi hutang kepada yang berhutang. (Shafwatut Tafasir, 1/143)

2. Hukumnya

Hukumnya haram berdasarkan Al Quran, As Sunnah, dan Ijma’.

A. Dalam Al Quran:

Allah ﷻ berfirman:

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Dan Allah telah halalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. Al Baqarah: 275)

Ayat lainnya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Al Baqarah: 278)

Ayat lainnya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba…” (QS. Ali ‘Imran: 130)

B. Dalam As sunnah

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ وَمَا هُنَّ قَالَ  … وَأَكْلُ الرِّبَا

“Jauhilah oleh kalian tujuh hal yang membinasakan.” Mereka bertanya: “Apa saja itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: (Salah satunya) .. memakan riba .. (HR. Al Bukhari No. 2766, Muslim No. 89)

Dari Jabir Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه وقال هم سواء

Rasulullah ﷺ melaknat pemakan riba, yang memberinya, pencatatnya, dan yang menjadi saksinya. Beliau berkata: semua sama. (HR. Muslim No. 1598)

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

هذا تصريح بتحريم كتابة المبايعة بين المترابيين والشهادة عليهما وفيه تحريم الاعانة على الباطل والله أعلم

Ini merupakan penjelasan keharaman penulisan transaksi antara para pelaku riba, juga menjadi saksinya, dan dalam hadits ini terdapat pengharaman pertolongan terhadap kebatilan. Wallahu A’lam. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 11/26)

3. Kecaman Terhadap Riba dan Pelakunya

A. Seperti Orang kerasukan syetan

Allah ﷻ berfirman:

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ

Orang-orang yang makan (mengambil) riba  tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila (QS. Al Baqarah : 275)

Kondisi yang digambarkan dalam ayat ini, menurut para mufassir seperti Abdullah bin Mas’ud, Muqatil bin Hayyan, dan lainnya, adalah di hari kiamat nanti. (Ima Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/708)

Abdullah bin ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma mengatakan:

آكل الربا يبعث يوم القيامة مجنونا يُخْنَق

Para pemakan riba dibangkitkan pada hari kiamat nanti dalam keadaan gila dan tercekik. (Ibid)

 

 B. Neraka Tempatnya Bagi Yang Terus-Menerus Mengambil Riba

Allah ﷻ berfirman:

وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. Al Baqarah: 275)

C. Allah dan Rasulullah Proklamirkan Perang Kepada Pelaku Riba

Allah ﷻ berfirman:

فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

 Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS. Al Baqarah: 279)

Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma berkata:

يقال يوم القيامة لآكل الربا: خذ سلاحك للحرب

Dikatakan kepada pemakan riba pada hari kiamat nanti: “Ambil senjatamu untuk berperang.” (Ibid)

Ar Rabi’ bin Anas berkata:

أوعد الآكلَ الرّبا بالقتل

Allah telah menjanjikan pemakan riba dengan peperangan. (Tafsir Ath Thabari, 6/26)

D. Dosanya Melebihi 36 kali zina

Dari Abdullah bin Hanzhalah Radhilallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

دِرْهَمٌ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ ، أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِينَ زَنْيَةً

Satu Dirham yang dimakan seseorang dan dia tahu itu adalah riba, itu lebih besar dosanya dibanding 36 kali zina. (HR. Ahmad No. 21957. Para ulama berbeda tentang keshahihan hadits ini. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: dhaif, yang benar adalah ini ucapan Ka’ab Al Ahbar, bukan ucapan Nabi . Selengkapnya lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 21956. Sementara Syaikh Al Albani menshahihkannya dalam beberapa kitabnya. Lihat Ghayatul Maram No. 172, Shahih At Targhib wat Tarhib No. 1855, Misykah Al Mashabih No. 2825)

E. Dosa minimal seperti menikahi/menzinai ibunya sendiri

Dari Abdullah bin Mas’d Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

الرِّبَا ثَلَاثَةٌ وَسَبْعُونَ بَابًا أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ، وَإِنَّ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ

Riba adalah salah satu 73 pintu dosa, dan paling ringan adalah seperti menzinai ibunya sendiri. Sedangkan riba yang paling besar adalah seorang muslim yang menciderai kehormatan saudaranya.  (HR. Al Baihaqi, Syu’abul Iman No. 5131. Imam Al Baihaqi berkata: isnadnya shahih. Syaikh Al Albani menshahihkan. (Lihat Shahihul Jami’ No. 3539). Al Hakim berkata: shahih sesuai syarat Al Bukhari dan Muslim. Lihat Al Mustadrak No. 2259)

F. Riba Penyebab Turunnya Adzab

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

 إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ حَلُّوا بِأَنْفُسِهِمْ كِتَابَ اللهِ

Jika zina dan riba sudah muncul di sebuah negeri maka mereka telah menghalalkan azab Allah ﷻ  (HR. Al Baihaqi, Syu’abul Iman No. 5416. Al Hakim, Al Mustadrak No. 2261, kata Al Hakim: shahihul isnad. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahihul Jami’ No. 679).    

 

Wallahu A’lam

🌻🍃🌴☘🌷🌸🌾🌺

Farid Nu’man Hasan

 

 

 

scroll to top