Boleh Melihat Tanpa Izin Wanitanya Atau Walinya
Dalam hadits-hadits yang memerintahkan melihat wanita yang akan dinikahi, Nabi ﷺ tidak menyebutkan adanya izin. Jika memang ada izin pasti Nabi ﷺ tidak akan lupa menyebutkannya. Oleh karena itu, mayoritas ulama (Hanafiyh, Syafi’iyah, Hanabilah) menyatakan bolehnya melihat baik dengan izin atau tanpa izin pihak wanita atau izin walinya, kecuali Malikiyah yang mengharamkan melihat tanpa izin.
Syaikh Wahbah Az Zuhailiy Rahimahullah menjelaskan:
فاذا اراد يتزوج امرأة و رغب فى زواوجها فلا شك فى جواز النظر اليها و يسن النظر اليها قبل الخطبة و ان لم تأذن هي و لا وليها اكتفاء باذن الشرع و لئلا تتزين فيفوت غرضه ولكن الاولى ان يكون باذنها خروجا من خلاف الإمام مالك فإنه يقول بحرمة النظر بغير إذنها فإن لم تعجبه سكت ولا يقول : لا أريدها لانهإيذاء
“Jika seorang laki-laki hendak menikahi wanita yang dia inginkan, maka tidak ragu lagi kebolehan melihatnya. Disunnahkan melihat wanita itu sebelum khitbah (lamaran), walau pun wanita itu tidak mengizinkan atau walinya juga tidak mengizinkan, maka cukuplah syariat yang telah mengizinkannya, agar wanita itu tidak berhias yang bisa menghilangkan tujuan dari melihatnya.” Tetapi yang lebih utama adalah melihat atas izin wanita tersebut dalam rangka keluar dari khilafiyah/perselisihan pendapat, sebab Imam Malik berpendapat haram melihatnya tanpa izinnya. Lalu, jika dia tidak tertarik hendaknya diam saja, dan jangan mengatakan: “Saya tidak mau”, sebab itu menyakitkan (Syaikh Wahbah Az Zuhailiy, Al Fiqh Asy Syafi’iyyah Al Muyassar, 2/36)
Maksud kalimat “agar wanita itu tidak berhias yang bisa menghilangkan tujuan dari melihatnya” adalah biasanya jika ada pemberitahuan atau izin, maka si wanita akan berias atau dandan dulu, sehingga tampak terlihat lebih cantik dan fresh, untuk menambah daya tarik bagi si laki-laki. Hal ini membuat ketertarikan atas kecantikan yang tidak alami, dan bukan itu tujuannya. Tujuannya adalah ketertarikan sesuatu yang tidak dibuat-buat. Betapa banyak wanita cantik karena polesan make up semata, begitu luntur atau tidak memakai make up, wajahnya pucat. Suami terkaget melihatnya seperti orang asing yang ada di rumahnya.
Wanita Berhias Agar Dilamar atau Saat Dilamar
Sebagian ulama mengatakan, justru berhias bagi gadis yang akan dilamar adalah sunah, seperti yang dikatakan Hanafiyah. Berikut ini keterangannya:
ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ إِلَى أَنَّ تَحْلِيَةَ الْبَنَاتِ بِالْحُلِيِّ وَالْحُلَل لِيَرْغَبَ فِيهِنَّ الرِّجَال سُنَّةٌ
Hanafiyah berpendapat bahwa para gadis yang berhias dengan berbagai perhiasan agar kaum laki-laki tertarik kepada mereka adalah sunnah. (Al Mausu’ah, 19/199)
Malikiyah berpendapat berhias itu hanya bagi janda yang akan dilamar. Ibnul Qaththan berkata:
وَلَهَا ( أَيْ لِلْمَرْأَةِ الْخَالِيَةِ مِنَ الأَْزْوَاجِ ) أَنْ تَتَزَيَّنَ لِلنَّاظِرِينَ ( أَيْ لِلْخُطَّابِ )
Bagi dia (yaitu wanita yang sudah cerai dari para suami) hendaknya berhias bagi orang-orang yang melihatnya (yaitu bagi para pelamar). (Mawahib Al Jalil, 3/405)
Berhias bagi wanita merupakan sindiran bagi kaum laki-laki untuk tertarik melamarnya. Hal ini seperti yang dikatakan seorang sahabat Nabi ﷺ, yakni Jabir Radhiallahu ‘Anhu secara marfu’:
يا معشر النساء اختضبن فإن المرأة تختضب لزوجها, وإن الأيم تختضب تعرض للرزق من الله عز وجل
Wahai kaum wanita, ber-riaslah, sesungguhnya seorang istri itu ber-rias untuk suaminya, sedangkan para wanita yang masih sendirian ber-rias untuk memancing rizki dari Allah ﷻ. (Imam Ibnu Muflih, Al Furu’, 5/532) [1]
Apa maksud ta’arradhu lirrizqi minallah – untuk memancing rizki dari Allah ﷻ ?
أَيْ لِتُخْطَبَ وَتَتَزَوَّج
Yaitu agar laki-laki melamarnya dan menikahinya. (Al Mausu’ah, 2/282)
‘Atha Al Khurasani berkata:
جاءت امرأة إلى النبي صلى الله عليه و سلم تبايعه فقال ما لك لا تختضبين ألك زوج قالت نعم قال فاختضبي فإن المرأة تختضب لأمرين إن كان لها زوج فلتختضب لزوجها وإن لم يكن لها زوج فلتختضب لخطبتها
Datang seorang wanita kepada Nabi ﷺ untuk membai’atnya. Beliau bertanya kepada wanita itu: “Kenapa kamu tidak mewarnai (tanganmu, pen) apakah kamu punya suami?” Wanita itu menjawab: “Ya” Nabi ﷺ bersabda: “Celuplah tanganmu (maksudnya hiasilah), sesungguhnya wanita menghias karena dua faktor, bagi yang sudah bersuami hendaknya dia mencelup tangannya untuk suaminya, bagi yang belum punya suami dia mencelup untuk laki-laki melamarnya .” (HR. Abdurrazzaq, Al Mushannaf No. 7931)
Ikhtidhaba – yakhtadhibu asal katanya adalah khadhaba yang artinya mencelup, mewarnai, yaitu mencelup dengan bentuk hiasan di jari dan tangan dengan henna. Ini sunah bagi wanita.
Dalam Shahih Muslim (No. 1484, dengan penomoran Syaikh Fuad Abdul Baqi), diceritakan tentang Subai’ah Al Aslamiyah, seorang shahabiyah istri dari Sa’ad bin Khawalah, yang wafat saat Haji Wada’. Saat wafat suaminya dia sedang hamil, saat masuk masa nifas, dia berhias agar ada laki-laki yang melamarnya. Maka, Abu Sanabil bin Ba’kak Radhiallahu ‘Anhu, dari Bani Abdid Daar yang datang melamarnya. Menurut Abu Sanabil, Subai’ah belum boleh menikah dulu sampai lewat 4 bulan 10 hari. Subai’ah bertanya tentang hal itu kepada Nabi ﷺ apakah dia sudah halal untuk menikah, maka Nabi ﷺ menjawab bahwa dia sudah halal dan memerintahkannya untuk menikah. (Karena ‘Iddahnya wanita hamil adalah sampai dia melahirkan, bukan 4 bulan 10 hari)
Bersambung …
[1] Syaikh Abdul Muhsin At Turki mengatakan: “Kami belum temukan lafaz yang begini, dan diriwayatkan oleh Abdurrazzaq yang seperti ini dalam Al Mushannaf No. 7931.” (Al Furu’, Cat kaki. No. 5)
✍ Farid Nu’man Hasan
Bahasan tentang khitbah:
Khitbah (Meminang/Melamar) Bag 1
Khitbah (Meminang/Melamar) Bag 2
Khitbah (Meminang/Melamar) Bag 3
Khitbah (Meminang/Melamar) Bag 4
Khitbah (Meminang/Melamar) Bag 5