◼◽◼◽◼◽◼◽
Daftar Isi
1⃣6⃣ Mencicipi makanan saat puasa bolehkah?
Mencicipi saja dilidah, lalu dibuang, sekedar untuk mengetahui rasa atau suatu hajat, bukan untuk menikmatinya adalah tidak apa-apa.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
وقال ابن عباس: لا بأس أن يذوق الطعام الخل، والشئ يريد شراءه. وكان الحسن يمضغ الجوز لابن ابنه وهو صائم، ورخص فيه إبراهيم
“Berkata Ibnu Abbas: ‘Tidak mengapa mencicipi asamnya makanan, atau sesuatu yang hendak dibelinya.’ Al Hasan pernah mengunyah-ngunyah kelapa untuk cucunya, padahal dia sedang puasa, dan Ibrahim memberikan keringanan dalam hal ini.”
(Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/462)
Syaikh Abdullah Al Faqih mengatakan:
فلا خلاف بين الفقهاء في أن ذوق الصائم للطعام لا يبطل صومه ما لم يصل شيء من ذلك إلى جوفه. وهو جائز من غير كراهة إذا دعت إليه الحاجة
Tidak ada perbedaan pendapat diantara fuqaha, tentang mencicipi makanan bagi seorang yang berpuasa bahwa itu tidak membatalkan puasanya selama tidak sampai ke rongga perutnya. Hal itu dibolehkan dan tidak makruh jika memang disebabkan adanya keperluan untuk itu.
(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 6363)
1⃣7⃣ Mencium aroma yang sedap bolehkah?
Tidak apa-apa, itu bukan materi. Ini sama seperti aroma masakan saat seorg wanita masak dan dia sedang puasa.
Syaikh Sulaiman bin Manshur Al Jamal Rahimahullah berkata:
لِأَنَّهُ لَيْسَ عَيْنًا وَيُؤْخَذُ مِنْ هَذَا أَنَّ وُصُولَ الدُّخَانِ الَّذِي فِيهِ رَائِحَةُ الْبَخُورِ أَوْ غَيْرُهُ إلَى جَوْفِهِ لَا يَضُرُّ وَإِنْ تَعَمَّدَ ذَلِكَ
.. karena itu bukan materi. Dari sinilah bahwasanya sampainya asap wewangian bukhur (dupa) atau lainnya sampai ke rongga perut tidaklah masalah, walau dia sengaja melakukannya.
(Hasyiyah Al Jamal, 2/318)
Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata:
وَشَمُّ الرَّوَائِحِ الطَّيِّبَةِ لَا بَأْسَ بِهِ لِلصَّائِمِ
“Mencium harum-haruman adalah tidak mengapa bagi orang berpuasa.”
(Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Fatawa Al Kubra, 5/376)
1⃣8⃣ Bolehkah menikah saat Ramadhan?
Tidak ada larangan nikah di bulan Ramadhan, atau di bulan apa pun.
Hanya saja .., nikah di bulan Ramadhan bagaimana dgn pesta walimahnya? Sebab ketika siang tamu umumnya berpuasa, kalau malam mereka juga terawih. Kecuali jika ingin akadnya saja di malam hari.
Lalu kuatkah menahan diri? Biasanya penganten baru itu maunya berduaan terus, khawatir tidak kuasa nahan diri, akhirnya mereka merusak puasanya disiang hari ..
Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah mengatakan:
ليس في الشريعة أي نهي عن الزواج في رمضان لذات رمضان ، ولا في غيره من الأشهر ، بل الزواج جائز في أي يوم من أيام السنة
Dalam syariat tidak ada larangan menikah di bulan Ramadhan semata-mata Ramadhannya. Begitu pula tidak ada larangan dibulan lainnya. Tetapi, nikah boleh dilakukan waktu kapan pun dihari-hari sepanjang tahun.
لكن الصائم في رمضان يمتنع عن الطعام والشراب والجماع من الفجر إلى غروب الشمس ، فإن كان يملك نفسه , ولا يخشى أن يفعل ما يفسد صيامه , فلا حرج عليه من الزواج في رمضان
Tetapi orang yang sdg berpuasa terlarang untuk makan, minum, dan jima’ sejak terbitnya fajar sampai terbenam matahari. Jika dia mampu menguasai diri, dan tidak khawatir akan melakukan hal yang bisa merusak puasa, maka tidak apa-apa baginya nikah di bulan Ramadhan.
والظاهر أن الذي يريد أن يبدأ حياته الزوجية في رمضان ، – غالباً – لا يستطيع الصبر عن زوجته الجديدة طوال النهار ، فيُخشى عليه من الوقوع في المحظور ، وانتهاك حرمة هذا الشهر الفضيل ، فيقع في الإثم الكبير ، مع وجوب القضاء والكفارة المغلظة ، وهي عتق رقبة ، فإن لم يجد فصيام شهرين متتابعين ، فإن لم يستطع فإطعام ستين مسكينًا ، وإذا تكرر الجماع في عدة أيام تكررت معه الكفارة بعدد الأيام
Kenyataannya, orang yang akan menilai kehidupan suami istri dibulan Ramadhan -biasanya- tidak mampu bersabar atas istrinya disepanjang siang. Khawatirnya dia melakukan hal terlarang di siang hari. Dengan itu dia merusak kehormatan bukan Ramadhan, dosa besar, dan wajib baginya qadha, jg kafarat, yaitu dgn membebaskan budak, kalau tidak mampu maka puasa dua bulan berturut-turut, kalau tidak mampu maka memberi makan 60 org miskin. Jika ini terjadi berulang-ulang, maka sebanyak itu pula kafarat yang dia lakukan.
(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 65736)
1⃣9⃣ Bolehkah Mencium istri saat puasa
Boleh, selama bisa menahan diri. Jika tidak bisa menahan diri maka makruh.
Diriwayatkan dari Umar Radhilallahu ‘Anhu:
عنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ هَشَشْتُ يَوْمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ قُلْتُ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفِيمَ
Suatu hari bangkitlah syahwat saya, lalu saya mencium isteri, saat itu saya sedang puasa. Maka saya datang kepada Rasulullah ﷺ, saya berkata: Hari ini, Aku telah melakukan hal yang besar, aku mencium isteri padahal sedang puasa. Rasulullah ﷺ bersabda: Apa pendapatmu jika kamu bekumur-kumur dengan air dan kamu sedang berpuasa?, Saya (Umar) menjawab: Tidak mengapa. Maka Rasulullah ﷺ a bersabda: Lalu, kenapa masih ditanya?
(HR. Ahmad No. 138. Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan: shahih, sesuai syarat Muslim. Lihat Taliq Musnad Ahmad No. 138)
Dalam hadits lain, dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha:
كان يباشر و هو صائم ، ثم يجعل بينه و بينها ثوبا . يعني الفرج
“Rasulullah bermubasyarah padahal sedang puasa, lalu dia membuat tabir dengan kain antara dirinya dengan kemaluan (‘Aisyah).”
(HR. Ahmad No. 24314, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 24314)
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berikut:
قال ابن المنذر رخص في القبلة عمر وابن عباس وأبو هريرة وعائشة، وعطاء، والشعبي، والحسن، وأحمد، وإسحاق. ومذهب الاحناف والشافعية: أنها تكره على من حركت شهوته، ولا تكره لغيره، لكن الاولى تركها. ولا فرق بين الشيخ والشاب في ذلك، والاعتبار بتحريك الشهوة، وخوف الانزال، فإن حركت شهوة شاب، أو شيخ قوي، كرهت. وإن لم تحركها لشيخ أو شاب ضعيف، لم تكره، والاولى تركها. وسواء قبل الخد أو الفم أو غيرهما. وهكذا المباشرة باليد والمعانقة لهما حكم القبلة
Berkata Ibnul Mundzir: Umar, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Aisyah, Atha’, Asy Sya’bi, Ahmad dan Ishaq, mereka memberikan rukhshah (keringanan) dalam hal mencium (isteri).
Madzhab Hanafi dn Asy Syaf’i: Mencium itu makruh jika melahirkan syahwat, dan tidak makruh jika tidak bersyahwat, tetapi lebih utama meninggalkannya.
Dalam hal ini, tak ada perbedaan antara anak muda dan orang tua, yang menjadi pelajaran adalah munculnya syahwat (rangsangan) itu, dan kekhawatiran terjadinya inzal (keluarnya mani). Maka, munculnya syahwat, baik anak muda dan orang tua yang masih punya kekuatan, adalah makruh.. Namun, jika tidak menimbulkan syahwat, baik untuk orang tua atau anak muda yang lemah, maka tidak makruh, dan lebih utama adalah meninggalkannya. Sama saja, baik mencium pipi, atau mulut, atau lainnya. Begitu pula mubasyarah (hubungan-cumbu) dengan tangan atau berpelukan, hukumnya sama dengan mencium.
(Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah , 1/461)
2⃣0⃣ Bolehkah menghirup obat flu atau menyemprot obat asma?
Tidak apa-apa, selama tidak sampai ke perut. Demikian yang difatwakan ulama kontemporer.
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullah mengatakan:
وبخاخ الربو لا يفطّر لأنه غاز مضغوط يذهب إلى الرئة وليس بطعام ، وهو محتاج إليه دائما في رمضان وغيره
Semprotan asma tidak membatalkan puasa karena itu adalah gas yang ditekan kearah paru-paru dan bukan makanan, dan dia selalu membutuhkannya baik di Ramadhan atau lainnya. (Fatawa Ad Da’wah no. 997)
Berkata Syaikh Utsaimin Rahimahullah:
هذا البخاخ يتبخر ولا يصل إلى المعدة ، فحينئذٍ نقول : لا بأس أن تستعمل هذا البخاخ وأنت صائم ، ولا تفطر بذلك
Semprotan ini menguap dan tidak sampai ke perut, maka saat itu kami katakan tidak apa-apa menggunakan semprotan ini disaat Anda puasa dan anda tidak batal karenanya. (Fatawa Arkanul Islam no. 475)
2⃣1⃣ Obat tetes mata, bolehkah?
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
الاكتحال: والقطرة ونحوهما مما يدخل العين، سواء أوجد طعمه في حلقه أم لم يجده، لان العين ليست بمنفذ إلى الجوف. وعن أنس: ” أنه كان يكتحل وهو صائم “. وإلى هذا ذهبت الشافعية، وحكاه ابن المنذر، عن عطاء، والحسن، والنخعي، والاوزاعي، وأبي حنيفة، وأبي ثور. وروي عن ابن عمر، وأنس وابن أبي
أوفى من الصحابة. وهو مذهب داود. ولم يصح في هذا الباب شئ عن النبي صلى الله عليه وسلم، كما قال الترمذي
“Bercelak dan meneteskan obat atau lain-lain ke dalam mata, semuanya adalah sama. Walau pun terasa dalam keronkongan atau tidak, karena mata bukanlah bukanlah jalan menuju rongga perut. Dari Anas: “Bahwa beliau bercelak padahal sedang berpuasa. Inilah madzhab Syafi’iyyah, dan menurut cerita Ibnul Mundzir, ini juga pendapat Atha, Al Hasan, An Nakhai, Al Auzai, Abu Hanifah dan Abu Tsaur. Diriwayatkan pula dari Ibnu Umar, Anas, dan Ibnu Abi Aufa dari golongan sahabat. Ini juga madzhab Daud, dalam masalah ini tak ada satu pun yang shahih dari Nabi ﷺ (yang menunjukkan larangan, pen) sebagaimana yang dikatakan oleh Imam At Tirmidzi. (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 460)
2⃣2⃣ Obat tetes telinga, apakah juga boleh?
Tidak apa-apa untuk pengobatan yang dengannya dapat menghilangkan sakit yang dialaminya. Tapi, jika bukan untuk pengobatan sebaiknya jangan dilakukan.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar Rahimahullah menjelaskan:
ابتلى بوجع فى أذنه لا يحتمل معه السكون الا بوضع دواء يستعمل فى دهن أو قطن و تحقق التخفيف أو زوال الألم به بأن عرف نفسه أو أخبره طبيب جاز ذلك و صح صومه للضرورة
Seseorang tertimpa rasa sakit ditelinganya dan itu membuatnya tidak nyaman kecuali dengan meletakkan obat yang digunakan pada minyak atau kapas, yang dengannya dia menjadi lebih ringan atau hilang sakitnya, hal ini telah dia ketahui dan memberitahukannya ke seorang dokter maka itu boleh dan puasanya tetap sah karena darurat.
(Bughiyah Al Mustarsyidin, Hal. 182)
2⃣3⃣ Gosok gigi bolehkah?
Tidak apa-apa, bahkan Sunnah, selama dia bisa menjaga jangan sampai tertekan airnya.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:
ويستحب للصائم أن يتسوك أثناء الصيام، ولا فرق بين أول النهار وآخره. قال الترمذي: ” ولم ير الشافعي بالسواك، أول النهار وآخره بأسا “. وكان النبي صلى الله عليه وسلم يتسوك، وهو صائم
Disunahkan bersiwak bagi orang yang berpuasa ketika ia berpuasa, tak ada perbedaan antara di awal siang dan akhirnya. Berkata At Tirmidzi: Imam Asy Syafi’i menganggap tidak mengapa bersiwak pada awal siang dan akhirnya. Dan Nabi ﷺ bersiwak, padahal dia sedang puasa.
(Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1,Hal. 459)
Beliau menambahkan:
والصائم والمفطر في استعماله أول النهار وآخره سواء، لحديث عامر بن ربيعة رضي الله عنه
Dan disunnahkan bagi orang yang berpuasa dan tidak, untuk bersiwak baik di awal siang atau di akhirnya, sama saja.
Diriwayatkan dari Amir bin Rabi’ah Radhiallahu ‘Anhu:
وَيُذْكَرُ عَنْ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَاكُ وَهُوَ صَائِمٌ مَا لَا أُحْصِي أَوْ أَعُدّ
Disebutkan dari Amir bin Rabi’ah, dia berkata: “Aku melihat Nabi ﷺ bersiwak, dan dia sedang puasa, dan tidak terhitung jumlahnya.” (HR. Bukhari, Bab Siwak Ar Rathbi wal Yaabis Lish Shaa-im)
Imam Al Bukhari membuat judul Bab dalam kitab Jami’ush Shahih-nya:
بَاب سِوَاكِ الرَّطْبِ وَالْيَابِسِ لِلصَّائِمِ
“Siwak dengan yang kayu basah dan yang kering bagi orang Berpuasa”
Imam Ibnu Hajar berkata dalam Al Fath:
وَأَشَارَ بِهَذِهِ التَّرْجَمَةِ إِلَى الرَّدِّ عَلَى مَنْ كَرِهَ لِلصَّائِمِ الِاسْتِيَاكَ بِالسِّوَاكِ الرَّطْبِ كَالْمَالِكِيَّةِ وَالشَّعْبِيِّ ، وَقَدْ تَقَدَّمَ قَبْلُ بِبَابِ قِيَاسِ اِبْنِ سِيرِينَ السِّوَاكَ الرَّطْبَ عَلَى الْمَاء الَّذِي يُتَمَضْمَضُ بِهِ
“Keterangan ini mengisyaratkan bantahan atas pihak yang memakruhkan bersiwak bagi orang yang berpuasa, yakni bersiwak dengan kayu basah, seperti kalangan Malikiyah dan Asy Sya’bi, dan telah dikemukakan sebelumnya tentang qiyas-nya Ibnu Sirin, bahwa bersiwak dengan yang basah itu sama halnya seperti air yang dengannya kita berkumur-kumur (yakni boleh, pen). (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 4/158)
2⃣4⃣ Berbekam, ambil darah buat lab, cabut gigi, bolehkah?
Tidak apa-apa jika tidak sampai melemahkan badan. Madzhab Hambaliy tidak membolehkan tapi dalil yang lebih kuat adalah boleh.
Dalilnya:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجَمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ وَاحْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi ﷺ berbekam dan beliau sedang ihram, dan pernah berbekam padahal sedang berpuasa.” (HR. Bukhari No. 1938)
Dari Tsabit Al Bunani:
سُئِلَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَكُنْتُمْ تَكْرَهُونَ الْحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ قَالَ لَا إِلَّا مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ
“Anas bin Malik ditanya: “Apakah Anda memakruhkan berbekam bagi orang puasa?” beliau menjawab: “Tidak, selama tidak membuat lemah.” (HR. Bukhari No. 1940)
Imam Ibnu Hajar Rahimahullah berkata:
قَالَ اِبْن عَبْد الْبَرّ وَغَيْره : فِيهِ دَلِيل عَلَى أَنَّ حَدِيث ” أَفْطَرَ الْحَاجِم وَالْمَحْجُوم ” مَنْسُوخ لِأَنَّهُ جَاءَ فِي بَعْض طُرُقه أَنَّ ذَلِكَ كَانَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاع
“Berkata Ibnu Abdil Bar dan lainnya: “Hadits ini merupakan dalil, bahwa hadits yang berbunyi _“Orang yang membekam dan yang dibekam, hendaknya berbuka”, telah mansukh (dihapus) karena telah ada beberapa riwayat lain bahwa hal itu (berbekam ketika ihram) terjadi pada haji wada’ (perpisahan). (Fathul Bari, 4/178. Darul Marifah)
Dari keterangan ini maka jelaslah kebolehkan berbekam, kecuali jika melemahkan, maka ia makruh sebagaimana yang dikatakan Anas bin Malik Radhiallahu Anhu. Hal ini sama dengan orang yang mendonorkan darahnya, tidak apa-apa jika tidak melemahkannya. Inilah pendapat yang lebih kuat dalam hal ini. Wallahu A’lam
2⃣5⃣ Kumur-kumur dan Menghirup air lewat hidung, apa boleh juga?
Dari Laqith bin Shabrah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
أَسْبِغْ الْوُضُوءَ وَخَلِّلْ بَيْنَ الْأَصَابِعِ وَبَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا
“Bersungguh-sungguhlah berwudhu’ dan gosok-gosoklah antara jari jemari kalian, dan bersungguhlah dalam menghirup air, kecuali jika kalian puasa.”
(HR. Abu Daud No. 2366, At Tirmidzi No. 788, katanya: hasan shahih)
Hadits ini menunjukkan bolehnya menghirup air ke rongga hidung, namun makruh jika berlebihan, oleh karena itu Imam At Tirmidzi memberi judul Bab Ma Jaa Fi Karahiyah Mubalaghah Al Istinsyaq Li Shaim (Apa-apa saja yang dimakruhkan, berupa menghirup air bagi orang berpuasa secara berlebihan/mubalaghah).
Apakah batasan berlebihan? Berkata Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri ketika mengomentari hadits di atas:
فَلَا تُبَالِغْ لِئَلَّا يَصِلَ إِلَى بَاطِنِهِ فَيُبْطِلَ الصَّوْمَ
“Maka janganlah berlebihan, yakni hingga sampainya (air) ke rongga perutnya, sehingga batal-lah puasa.” (Tuhfah Al Ahwadzi, 3/418. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Diriwayatkan dari Umar Radhilallahu ‘Anhu:
عنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ هَشَشْتُ يَوْمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ قُلْتُ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفِيمَ
Suatu hari bangkitlah syahwat saya, lalu saya mencium isteri, saat itu saya sedang puasa. Maka saya datang kepada Rasulullah ﷺ, saya berkata: Hari ini, Aku telah melakukan hal yang besar, aku mencium isteri padahal sedang puasa. Rasulullah ﷺ bersabda: Apa pendapatmu jika kamu bekumur-kumur dengan air dan kamu sedang berpuasa?, Saya (Umar) menjawab: Tidak mengapa. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Lalu, kenapa masih ditanya? (HR. Ahmad No. 138. Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan: shahih, sesuai syarat Muslim. Lihat Taliq Musnad Ahmad No. 138)
Hadits ini menunjukkan bahwa berkumur-kumur tidaklah mengapa, dan disamakan dengan mencium isteri, selama tidak sampai berlebihan.
2⃣6⃣ Mandi siang-siang, gimana?
Boleh, dan Nabi ﷺ melakukannya, asalkan bisa yakin menjaga jangan sampai tertelan airnya.
Abu Bakar berkata, telah ada yang bercerita kepadaku seseorang:
لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْعَرْجِ يَصُبُّ الْمَاءَ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ الْعَطَشِ أَوْ مِنْ الْحَر
“Aku telah melihat Rasulullah ﷺ mengguyurkan air ke kepalanya, lantaran rasa haus dan panas.”
(HR. Malik, Al Muwaththa, No. 561, riwayat Yahya Al Laits. Ahmad No. 16602. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. Ta’liq Musnad Ahmad No. 16602)
Disebutkan dalam Imam Abu Sulaiman Walid Al Baji Rahimahullah mengatakan:
وَقَدْ بَلَغَ بِهِ شِدَّةُ الْعَطَشِ أَوْ الْحَرِّ أَنْ صَبَّ الْمَاءَ عَلَى رَأْسِهِ لِيَتَقَوَّى بِذَلِكَ عَلَى صَوْمِهِ وَلِيُخَفِّفْ عَنْ نَفْسِهِ بَعْضَ أَلَمِ الْحَرِّ أَوْ الْعَطَشِ وَهَذَا أَصْلٌ فِي اسْتِعْمَالِ مَا يَتَقَوَّى بِهِ الصَّائِمُ عَلَى صَوْمِهِ مِمَّا لَا يَقَعُ بِهِ الْفِطْرُ مِنْ التَّبَرُّدِ بِالْمَاءِ وَالْمَضْمَضَةِ بِهِ ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ يُعِينُهُ عَلَى الصَّوْمِ وَلَا يَقَعُ بِهِ الْفِطْرُ ؛ لِأَنَّهُ يَمْلِكُ مَا فِي فَمِهِ مِنْ الْمَاءِ وَيَصْرِفُهُ عَلَى اخْتِيَارِهِ
“Beliau mengalami haus atau panas yang sangat, sehingga beliau mengguyurkan air ke kepalanya untuk menguatkan puasanya, dan meringankan sebagian rasa sakit yang dialami dirinya lantaran panas atau haus. Ini adalah hukum dasar dalam memakai apa saja yang bisa menguatkan orang berpuasa, yakni tidaklah membatalkan puasa, baik berupa menyejukkan diri dengan air dan berkumur-kumur dengannya. Karena hal itu bisa membantunya dalam puasa dan tidaklah membatalkan puasanya, karena dia mampu menjaga mulutnya dari air dan bisa mengatur air. (Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa’ , Juz. 2, Hal. 172, Mawqi’ Al Islam)
Tentang hadits di atas, berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah:
فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ يَجُوزُ لِلصَّائِمِ أَنْ يَكْسِرَ الْحَرَّ بِصَبِّ الْمَاءِ عَلَى بَعْضِ بَدَنِهِ أَوْ كُلِّهِ ، وَقَدْ ذَهَبَ إلَى ذَلِكَ الْجُمْهُورُ ، وَلَمْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ الْأَغْسَالِ الْوَاجِبَةِ وَالْمَسْنُونَةِ وَالْمُبَاحَةِ
وَقَالَتْ الْحَنَفِيَّةُ : إنَّهُ يُكْرَهُ الِاغْتِسَالُ لِلصَّائِمِ ، وَاسْتَدَلُّوا بِمَا أَخْرَجَهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ عَلِيٍّ مِنْ النَّهْيِ عَنْ دُخُولِ الصَّائِمِ الْحَمَّامَ
“Dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya bagi orang puasa mengurangi rasa panas dengan mengguyurkan air ke sebagian badannya atau seluruhnya (seperti mandi, pen), demikianlah madzhab jumhur (mayoritas ulama), dan mereka tidak membedakan antara mandi wajib, sunah, dan mubah (semuanya hukumnya sama).
Kalangan Hanafiyah berkata: Sesungguhnya mandi adalah makruh bagi orang berpuasa, mereka beralasan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, dari Ali, berupa larangan bagi orang puasa untuk memasuki kamar mandi. (Nailul Authar, 4/585. Lihat Aunul Mabud, 6/352)
Tetapi riwayat larangan tersebut adalah dhaif, sebagaimana dikatakan Al Hafizh Ibnu Hajar. (Ibid)
2⃣7⃣ Berenang saat puasa gimana?
Imam Abul Walid Al Baji Rahimahullah mengatakan:
وَيُكْرَهُ لَهُ الِانْغِمَاسُ فِي الْمَاءِ لِئَلَّا يَغْلِبَهُ الْمَاءُ مَعَ ضِيقِ نَفَسِهِ فَيَفْسُدَ صَوْمُهُ فَإِنْ فَعَلَ فَسَلِمَ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ
Dan dimakruhkan berendam dalam air karena air telah menguasai (menutupi) dirinya dan membuatnya disempitkan dengan air tersebut, sehingga puasanya bisa dirusak olehnya. Tetapi jika dia melakukan itu, dan selamat dari hal itu, maka tidak apa-apa.” (Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa’ , Juz. 2, Hal. 172, Mawqi’ Al Islam)
2⃣8⃣Suntik saat puasa bagaimana?
Syaikh Ahmad bin Umar Asy Syathiriy Rahimahullah menjelaskan:
أما حكم الإبرة قالوا إن الإبرة التى يحقن بها المريض تمر بالعروق و تصل إلى الجوف فتفسد الصوم لكن قال بعض العلماء كل ما يدخل الى الجسم من منفذ غير طبيعى فإنه لا يبطل به الصوم
Ada pun hukum suntikan, para ulama mengatakan bahwa suntikan yang diinjeksi kepada orang sakit yang melewati urat/pembuluh darahnya dan sampai ke lambung maka dapat merusak puasanya. Tetapi sebagian ulama mengatakan semua yang masuk ke tubuh dari jalan yang tidak alami maka itu tidak membatalkan puasa.
(Syarh Al Yaqut An Nafis, Hal. 307)
2⃣9⃣ Kawan saya buka puasa di waktu Isya, sedangkan kita Berbuka puasa di Maghrib, apakah ada dalilnya?
Mereka yang berbuka Isya, Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
Kemudian sempurnakanlah puasa kalian sampai Lail (malam). (QS. Al Baqarah: 187)
Mereka anggap isya itulah makna dari Lail (malam).
Apa arti Al Lail?
“اللَّيْلُ : من مَغْرِبِ الشمسِ إلى طُلوعِ الفَجْرِ الصادِقِ أو الشمسِ”
Lail (malam) itu dimulai dari terbenam matahari sampai terbitnya fajar Ash Shadiq atau matahari.
(Qamus Al Muhith, Hal. 1364)
Dalam Lisanul ‘Arab:
اللَّيْلُ : عقيب النهار ، ومَبْدَؤُه من غروب الشمس” انتهى
Al Lail artinya setelah siang, dimulainya dari terbenamnya matahari.
(Lisanul ‘Arab, 11/607)
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkata tentang ayat di atas:
يقتضي الإفطار عند غُرُوب الشمس حكمًا شرعيًا
Ayat ini menunjukkan bahwa berbuka puasa adalah saat terbenam matahari secara hukum syar’iy.
(Tafsir Ibnu Katsir, 1/517)
Dalil hadits:
إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَا هُنَا ، وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَا هُنَا ، وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ ، فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ
Jika malam telah datang dari sini, dan siang telah tertutup dari sini, dan matahari terbenam, maka itu waktu berbuka bagi yg puasa.
(HR. Bukhari no. 1954)
Dalam hadits lain:
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَمَّا غَرَبَتْ الشَّمْسُ قَالَ لِبَعْضِ الْقَوْمِ يَا فُلَانُ قُمْ فَاجْدَحْ لَنَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ أَمْسَيْتَ قَالَ انْزِلْ فَاجْدَحْ لَنَا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَلَوْ أَمْسَيْتَ قَالَ انْزِلْ فَاجْدَحْ لَنَا قَالَ إِنَّ عَلَيْكَ نَهَارًا قَالَ انْزِلْ فَاجْدَحْ لَنَا فَنَزَلَ فَجَدَحَ لَهُمْ فَشَرِبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ إِذَا رَأَيْتُمْ اللَّيْلَ قَدْ أَقْبَلَ مِنْ هَا هُنَا فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ
Dari ‘Abdullah bin Abu Awfa Radliallahu ‘Anhu berkata; Kami pernah bersama Rasulullah ﷺ dalam suatu perjalanan dan Beliau berpuasa. Ketika matahari terbenam, Beliau berkata kepada sebagian rombongan; “Wahai fulan, bangun dan siapkanlah minuman buat kami”. Orang yang disuruh itu berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana jika kita menunggu hingga sore”. Beliau berkata: “Turunlah dan siapkan minuman buat kami”. Orang itu berkata, lagi: “Wahai Rasulullah, bagaimana jika kita menunggu hingga sore”. Beliau berkata, lagi: “Turunlah dan siapkan minuman buat kami”. Orang itu berkata, lagi: “Sekarang masih siang”. Beliau kembali berkata: “Turunlah dan siapkan minuman buat kami”. Maka orang itu turun lalu menyiapkan minuman buat mereka. Setelah minum lalu Nabi ﷺ berkata: “Apabila kalian telah melihat malam sudah datang dari arah sana maka orang yang puasa sudah boleh berbuka.”
(HR. Bukhari no. 1955)
3⃣0⃣ Berbukanya Nabi ﷺ pakai apa? Apa betul dengan yang manis-manis?
Apa yang Nabi ﷺ konsumsi pertama kali saat berbuka dipaparkan dalam hadits berikut:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى رُطَبَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَتُمَيْرَاتٌ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تُمَيْرَاتٌ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
Dari Anas bin Malik dia berkata, Nabi ﷺ selalu berbuka dengan kurma basah sebelum shalat, jika beliau tidak mendapatinya, maka (beliau berbuka) dengan kurma kering dan jika tidak mendapatkan kurma kering, beliau berbuka dengan meneguk air tiga kali.
(HR. At Tirmidzi no. 696, Shahih)
Inilah yang Sunnah. Tidak ada hadits tentang berbuka dengan yang MANIS, .. itu iklan minuman, bukan hadits.
Mungkin karena Kurma berasa manis jadi dikiaskan dengan apa pun yang manis-manis.
3⃣1⃣ Apa boleh setelah adzan Maghrib langsung jima’?
Boleh, dan itu justru dilakukan para sahabat Nabi ﷺ.
Imam Al Ghazali Rahimahullah berkata:
يحكى عن ابن عمر رضي الله عنهما، وكان من زهاد الصحابة وعلمائهم انه كان يفطر من الصوم على الجماع قبل الأكل الخ وذلك لتفريغ القلب لعبادة الله
Dikisahkan oleh Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa di antara bentuk zuhudnya para sahabat nabi dan para ulama mereka adalah mereka berbuka puasa dengan berjima’ dulu sebelum makan dan seterusnya .., hal itu demi totalitas hati mereka dalam ibadah kepada Allah.
(Ihya ‘Ulumuddin, Juz. 2, Hal. 27)
(Bersambung …)
Demikian. Wallahu a’lam
🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷💐
✍ Farid Nu’man Hasan