💢💢💢💢💢💢💢💢
Bismillahirrahmanirrahim..
Beberapa hari lalu, beberapa negeri muslim memfatwakan agar tidak shalat Jumat tapi diganti dengan zhuhur di rumah. Di antara sebab munculnya fatwa dibeberapa negeri timur tengah agar kaum laki-laki tidak mengadakan shalat Jumat, cukup shalat zhuhur saja di rumah, adalah alasan menghindari kerumunan atau konsentrasi massa. Yang sangat mungkin satu di antara ratusan atau ribuan manusia yang hadir ada yang terjangkit virus berbahaya yang saat ini sedang mewabah di banyak negara.
Sebenarnya, dalam kondisi yang tidak normal seperti ini, ada solusi yang masih bisa dicoba agar shalat Jumat tetap ada, tapi tidak ada kerumunan massa. Ini bisa dilakukan tanpa melibatkan banyak orang, yaitu dengan menilik pendapat sebagian imam yang membolehkan shalat Jumat hanya dengan dua jamaah atau lebih. Dalam kondisi normal pendapat ini tidak dipakai diumumnya negeri muslim, bahkan terkesan aneh. Tapi, dalam kondisi seperti ini, bisa jadi pendapat ini menjadi salah satu tawaran solusi.
Dari Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
اثْنَانِ فَمَا فَوْقَهُمَا جَمَاعَةٌ
“Dua orang atau lebih adalah jamaah.”
(HR. Ibnu Majah, No. 972. Al Hakim, Al Mustadrak ‘alash Shahihain, No. 7957. Al Haitsami mengatakan: “Di dalamnya ada Muslimah bin Ali seorang yang dhaif.” Majma’ Az Zawaid, 2/45)
Imam Bukhari telah menjadikan teks hadits ini menjadi judul salah satu Bab dalam kitab Shahih-nya, yakni Bab ke-7 dari Kitabul Jamaah wal Imamah yakni Bab: Itsnan famaa fauqahumaa Al Jama’ah (Dua orang dan lebih adalah jamaah).
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
والرأي الراجح أنها تصح باثنين فأكثر
“Dan pendapat yang kuat adalah shalat Jumat tetap sah dengan DUA orang atau lebih.”
(Fiqhus Sunnah, 1/305)
Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah:
وَقَدْ انْعَقَدَتْ سَائِر الصَّلَوَات بِهِمَا بِالْإِجْمَاعِ ، وَالْجُمُعَة صَلَاة فَلَا تَخْتَصّ بِحُكْمٍ يُخَالِف غَيْرهَا إلَّا بِدَلِيلٍ ، وَلَا دَلِيل عَلَى اعْتِبَار عَدَد فِيهَا زَائِد عَلَى الْمُعْتَبَر فِي غَيْرهَا
“Menurut ijma’ (kesepakatan), semua shalat sudah disebut berjamaah walau pun DUA ORANG, dan SHALAT JUMAT JUGA DEMIKIAN, tidak ada kekhususan hukum baginya yang berbeda dengan shalat lainnya, kecuali dengan dalil. Dan tidak dalil yang menunjukkan bahwa jumlah jamaah shalat Jumat mesti lebih dari shalat selainnya.”
(Nailul Authar, 5 289)
Hal ini perkuat oleh penelitian sebagian ulama bahwa tidak ada ketentuan baku yang menjadi standar jumlah minimal jamaah shalat Jumat.
Imam Asy Syaukani mengatakan pula:
وقد قال عبد الحق: إنه لا يثبت في عدد الجمعة حديث، وكذلك قال السيوطي: لم يثبت في شئ من الاحاديث تعيين عدد مخصوص
Abdul Haq telah berkata: “Tidak ada hadits yang shahih tentang jumlah jamaah shalat Jumat.” Begitu pula kata Imam As Suyuthi: “Tidak ada satu pun yang shahih dari hadits-hadits yang mengkhususkan jumlah tertentu.”
(Ibid, 5/289)
Adapun Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah menyebutkan dalam masalah Jumlah minimal ini ada 15 pendapat ulama. Artinya, ada ruang untuk merealisasikan pendapat yang paling mungkin dilaksanakan dalam kondisi tertentu. Ini bisa dipraktekkan, yaitu mengambil pendapat ulama yang tidak biasa, karena kondisi mengharuskan seperti itu.
Lalu, di mana dilaksanakannya? Tentu di masjid lebih utama, dan tidak akan ada kerumunan jika berdua atau lebih sedikit. Tapi, bagaimana jamaah lainnya? Sebab jumlah masjid dengan jumlah manusia jauh lebih banyak manusianya, apakah boleh dilakukan di selain masjid? Apakah di halaman depan rumah, teras rumah, taman, aula, dll. Menurut mayoritas ulama, shalat Jumat tidak disyaratkan harus di masjid.
Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah mengatakan:
لا يشترط للجمعة أن تقام بمسجد أو جامع ، عند جمهور الفقهاء من الحنفية والشافعية والحنابلة ، خلافا للمالكية
Tidak disyaratkan untuk shalat Jumat itu dilakukan di masjid atau masjid jami’, menurut mayoritas ahli fiqih baik Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah, kecuali Malikiyah.
(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 153872)
Inilah sisi atau sudut pandang yang berbeda, yang mungkin bisa jadi sumbangsih pemikiran dan solusi. Walau nampak aneh tapi ini ada dalam khazanah fiqih para ulama Islam.
Imam As Subki Rahimahullah menasehati dengan tajam:
وَكَذَلِكَ لَا يهون الْفَقِيه أَمر مَا نحكيه من غرائب الْوُجُوه وشواذ الْأَقْوَال وعجائب الْخلاف قَائِلا حسب الْمَرْء مَا عَلَيْهِ الْفتيا فَليعلم أَن هَذَا هُوَ المضيع للفقيه أَعنِي الِاقْتِصَار عَلَى مَا عَلَيْهِ الْفتيا فَإِن الْمَرْء إِذا لم يعرف علم الْخلاف والمأخذ لَا يكون فَقِيها إِلَى أَن يلج الْجمل فِي سم الْخياط
Demikian juga, seorang Faqih (ahli fiqih) janganlah meremehkan persoalan yang termasuk dalam pendapat-pendapat asing, perkataan yang janggal, dan perselisihan dalam perkara yg aneh-aneh. Lalu dia berkata: “Cukuplah bagi seseorang mencari pendapat yang bisa difatwakan saja”.
Maka hendaknya diketahui, faqih yang semodel ini adalah seorang menyia-nyiakan, yaitu sikapnya yang membatasi diri hanya berkutat pada pandangan yang difatwakan saja.
Sesungguhnya, seseorang jika tidak mengetahui ilmu yang diperselisihkan para ulama dan sumber pengambilannya, maka dia tidak akan pernah menjadi seorang ahli fiqih sampai unta masuk lubang jarum sekali pun.
(Thabaqat Asy Syafi’iyah Al Kubra, 1/319)
Wallahu a’lam Walillahil ‘Izzah
📙📘📕📒📔📓📗
🖋 Farid Nu’man Hasan