Daftar Isi
1. Apakah pemilik qurban boleh memakan qurbannya?
Jika itu qurban sunah, pemilik qurban boleh memakannya bahkan itu sunah. Allah Ta’ala berfirman:
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
“.. Maka makanlah (olehmu) sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al Hajj: 28)
Rasulullah ﷺ sendiri juga memakan qurbannya:
فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ
Lalu Beliau memakan qurbannya (HR. Ahmad dan At Tirmidzi)
Ayat dan hadits ini menunjukkan bahwa pemilik hewan qurban berhak memakannya, lalu dibagikan untuk orang sengsara dan faqir, mereka adalah pihak yang lebih utama untuk mendapatkannya. Selain mereka pun boleh mendapatkannya, karena qurban adalah haqqul jamii’ (haq semua orang), bukan hanya fakir miskin.
Dalam Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah:
فإن السنة في حق المضحي أن يأكل من لحم أضحيته ويتصدق ويدخر
Sunah bagi orang yang berqurban memakan daging qurbannya, menyedekahkan, dan menyimpannya. (Fatwa no. 44065)
2. Jika qurban yang wajib apakah boleh dimakan juga oleh pemiliknya?
Ada pun untuk qurban wajib, seperti qurban karena nazar, maka ini diperselisihkan ulama apakah boleh pemilik qurban memakannya.
Tertulis dalam Al Mausu’ah:
أَمَّا إِذَا وَجَبَتِ الأْضْحِيَّةُ فَفِي حُكْمِ الأْكْل مِنْهَا اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءِ
Ada pun jika qurban wajib maka tentang hukum memakan sebagian darinya, hal itu diperselisihkan ahli fiqih. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 6/115)
Kalangan Malikiyah dan pendapat yang shahih dari Hanabilah, bahwa qurban nazar boleh dimakan oleh pemiliknya.
Sementara sebagian Hanabilah, dan ucapan Imam Ahmad bin Hambal bahwa tidak boleh pemilik qurban memakan qurban nazarnya.
Ada pun Syafi’iyah mengatakan tidak boleh memakannya dan ini pendapat resmi mazhab Syafi’i, sementara ulama Syafi’iyah lainnya mengatakan boleh memakannya secara mutlak.
Dalam mazhab Hanafi, menurut Al Kasani boleh secara mutlak memakannya bahkan ini ijma’ di internal mazhab Hanafi. Baik qurban sunnah atau qurban wajib. Sementara seorang ahli hadits yang fiqihnya Hanafi yaitu Imam Az Zaila’i mengatakan tidak boleh memakannya.
Demikian ringkasan dari Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah. Lalu, bagaimana sikap terbaik?
Untuk kehati-hatian dan sikap yang lebih aman, lebih baik tidak memakan qurban nazarnya sendiri, dengan demikian sikap tsb bisa keluar dari perdebatan. Hal ini sama seperti seorang yang berzakat tentu tidak pantas dia memakan zakatnya sendiri.
Syaikh Husamuddin ‘Afanah mengatakan:
والذي أميل إليه أن الأضحية المنذورة يتصدق بها كلها ، ولا يأكل منها شيئاً خروجاً من الخلاف.
Aku cenderung pada pendapat bahwa qurban nazar hendaknya disedekahkan semua, dan tidak memakannya sedikit pun dalam rangka keluar dari perselisihan pendapat. (Al Mufashshal fi Ahkamil Udhhiyah, hal. 157)
3. Adakah takaran atau batasan khusus dalam pembagian?
Tidak ada takaran dan batasan khusus dalam pembagian qurban, oleh karenanya kaum salaf berbeda-beda dalam hal ini.
Ada yang menganjurkan setengah untuk pemiliknya, setengah untuk disedekahkan. Ada pula yang menganjurkan sepertiga untuk pemiliknya, sepertiga untuk kerabatnya, sepertiga untuk sedekah. Sebab, keabsahan qurban sudah tuntas disaat ditumpahkan darah saat penyembelihan.
Khadimus Sunnah, Syaikh Sayyid Sabiq menjelaskan:
للمهدي أن يأكل من هديه الذي يباح له الاكل منه أي مقدار يشاء أن يأكله، بلا تحديد، وله كذلك أن يهدي أو يتصدق بما يراه. وقيل: يأكل النصف، ويتصدق بالنصف .وقيل: يقسمه أثلاثا، فيأكل الثلث، ويهدي الثلث، ويتصدق بالثلث.
“Si pemiliki hewan kurban dibolehkan makan bagian yang dibolehkan baginya sesuai keinginannya tanpa batas. Dia pun boleh menghadiahkan atau mensedekahkan sesuka hatinya. Ada pula yang mengatakan dia boleh memakannya setengah dan mensedekahkan setengah. Dan dikatakan: dibagi tiga bagian, untuknya adalah sepertiga, dihadiahkan sepertiga, dan disedekahkan sepertiga”. (Fiqhus Sunnah, 1/742-743)
4. Apakah non muslim boleh menerima daging qurban?
Para ulama berbeda pendapat tentang ini.
– Boleh, ini pendapat jumhur (mayoritas ulama), yaitu kepada kafir zimmi. Allah Ta’ala berfirman:
( لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ)
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah: 8).
Seperti Hasan al Bashri, Abu Hanifah, Abu Tsaur, umumnya ulama Syafi’i dan Hambali. Sebab, qurban sama dengan sedekah sunah, dan sedekah sunah boleh untuk non muslim. Mazhab Syafi’i mengatakan boleh pada qurban sunah tapi tidak boleh pada qurban wajib.
– Makruh, ini pendapat Maliki dan Laits. Makruh membagikan kulit dan dagingnya ke kafir dzimmi. Laits bin Sa’ad mengatakan seandainya dimasak maka kafir dzimmi boleh memakannya bersama kaum muslimin.
– Haram, ini sebagian Syafi’i.
(Al Majmu’ Syarh al Muhadzab, 8/425, Al Mughni, 9/450)
5. Bolehkah disalurkan ke luar daerah pemilik qurban?
Pada dasarnya anjuran qurban baik pelaksanaan dan pendistribusian adalah di negeri sendiri bahkan di kampung sendiri. Dengan demikian pemilik qurban dapat melaksanakan tiga sunnah:
1. Menyembelih sendiri jika mampu
2. Jika tidak mampu, maka disunnahkan menyaksikan qurbannya saat disembelih
3. Ikut memakan daging qurban tersebut
Ketiga sunnah ini akan sulit bahkan tidak bisa diraih jika qurban di luar daerahnya.
Distribusi qurban ke negeri lain ada dua bentuk:
1. Mengirim uangnya ke luar daerahnya dan diamanahkan ke seseorang atau sekelompok orang sebagai tawkil (perwakilan) dari pemilik qurban.
2. Bisa juga disembelih di negeri sendiri oleh sebuah lembaga lalu diolah menjadi matang atau dibekukan (frozen) untuk dikirim ke luar negeri.
Umumnya ulama melarang qurban di luar daerah pemilik qurban, ada pula yang memakruhkan kecuali di luar daerah tersebut lebih membutuhkan dibanding daerahnya, maka ini boleh.
Syaikh Wahbah Az Zuhaili menjelaskan sbb:
– Hanafiyah: sah tapi makruh, kecuali di luar daerah yang dituju ada kerabatnya atau kondisi di sana lebih membutuhkannya.
– Malikiyah: tidak boleh, yaitu jika jarak “luar daerah” yg dituju sudah sama dengan jarak dibolehkannya shalat qashar atau lebih. Kecuali kondisi di luar daerah tersebut lebih membutuhkan. Maka, boleh sebagian besar diberikan ke daerah yang membutuhkan itu, dan bagian yang sedikit bisa di berikan di tempatnya.
– Syafi’iyyah dan Hanabilah, sama dengan Malikiyah, yaitu tidak boleh di daerah luar yg jaraknya sudah boleh shalat qashar atau lebih. Bagi mereka qurbannya tetap sah tapi haram, kecuali di luar lebih butuh.
(Al Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, jilid. 4, hal. 282)
Jika melihat semua pendapat empat mazhab, maka semuanya sepakat bahwa qurban itu terlarang di luar daerah domisili pequrban. Tetapi, mereka juga sepakat hal itu dibolehkan jika di luar sana kondisinya lebih membutuhkan dibanding daerah si mudhahi (pequrban), misal di Palestina.
Hal ini diperkuat oleh penjelasan para imam berikut. Di antaranya:
Imam Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi Rahimahullah:
سواء كان بلده او موضعه من السفر بخلاف الهدى فإنه يختص بالحرم و فى نقل الأضحية وجهان حكاهما الرافعى و غيره تخريجا من نقل الزكاة
(Qurban itu sebaiknya di tempat sendiri) Sama saja baik di negerinya sendiri atau di negeri singgah saat dia safar, berbeda dengan Al Hadyu (qurban jamaah haji), itu khusus di tanah haram. Adapun pemindahan hewan qurban ada dua sudut pandang, hal itu diceritakan oleh Ar Rafi’iy dan lainnya, hukum dikeluarkannya sama seperti pendistribusian zakat (yakni BOLEH).
(Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 7/404)
Ulama nusantara, Syaikh Nawawi Al Bantani:
و فى نقل الأضحية وجهان قياسا على نقل الزكاة و الصحيح هنا الجواز
Dalam masalah distribusi hewan qurban (ke luar daerah) ada dua pendapat diqiyaskan pada distribusi zakat, pendapat yang BENAR adalah BOLEH. (Tsimar Al Yani’ah, Hal. 82)
Juga difatwakan oleh para ulama dunia di zaman modern, di antaranya Al Ittihad Al ‘Alami Li ‘Ulamail Muslimin (Ikatan Ulama Muslimin Sedunia), yang dirintis oleh Al Imam Yusuf Al Qaradhawi Rahimahullah, yang saat ini diketuai oleh Syaikh Ali Al Qurrah Daghi Hafizhahullah. Berikut ini fatwanya:
ترى اللجنة جواز نقل الأضحية – ولو مجمدة أو معبئة- من بلد لآخر إن كان ينقلها إلى ذي قرابة، أو إلى قوم هم أحوج إليها من بلده، وهو رأي جماهير الفقهاء، أما إن لم يكن هناك حاجة أو داع لنقلها، فالخلاف بين الفقهاء مشتهر، بين القول بالكراهة، أو بالجواز، أو بالحرمة مع كونها تجزئه. وترجح اللجنة أن نقلها مجزئ مطلقا، وهو ما ذهب إليه غالب الفقهاء المعاصرين ، وبخاصة أن الحاجة ماسة إليها في الدول التي تكثر فيها الحروب والطوارئ وتقع فيها المجاعات، وعلى رأس ذلك اليوم ما أصاب أهل غزة، فيشرع نقلها من بلد المزكي إلى غزة أو السودان ، وما شابههما من بلاد المسلمين الذين هم أحوج ما يكونون إلى الطعام والشراب المعتاد فضلا عن حاجتهم إلى اللحوم التي قد تقيم صلبهم أياما وأسابيع.
Lajnah Fatwa berpendapat bolehnya naqlul udhhiyah (distribusi qurban) baik dalam keadaan beku (frozen) atau dikemas dari satu negeri ke negeri lainnya, jika dia mendistribusikan ke kerabatnya, atau kaum yang lebih membutuhkannya dibanding negerinya, dan ini adalah pendapat mayoritas para fuqaha.
Akan tetapi, jika tidak ada keperluan dan alasan untuk mendistribusikannya, maka terjadi perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha antara yang mengatakan makruh, boleh, dan haram namun tetap sah.
Lajnah fatwa mentarjih bahwa pendistribusian ini adalah sah secara mutlak, dan ini adalah pendapat mayoritas ahli fiqih kontemporer, khususnya teruntuk negeri yg kebutuhannya mendesak seperti di negara-negara yg banyak terjadi peperangan, keadaan darurat, serta kelaparan, terutama saat ini yang terjadi di penduduk Gaza.
Sehingga diperbolehkan didistribusikan dari negara asal ke Gaza atau Sudan, dan negara-negara serupa di negara-negara Islam, yang sangat membutuhkan makanan dan minuman yang secara normal, terutama kebutuhan mereka thdp daging yang dapat menguatkan tulang punggung mereka selama berhari-hari dan berminggu-minggu. Wallahu A’lam
(https://iumsonline.org/ar/ContentDetails.aspx?ID=35317)
6. Bolehkah didistribusikan dalam keadaan matang?
Hal tersebut bebas saja, amrun waasi’, perkara yang lapang.
Dalam fatwa yang dirilis oleh lembaga fatwa Al Ifta, milik kerajaan Jordania tertulis:
لا مانع من أن توزع هذه اللحوم مطبوخة أو غير مطبوخة ما دام يقصد بها الفقراء، فإن في ذلك تحقيقاً لما يراد من هذه الأضحية
Tidak terlarang bagi yang mendistribusikan daging qurban sudah matang atau mentah, selama maksudnya kepada fuqara, sebab hal itu merupakan realisasi dari makna qurban ini. (https://iftaa.om/fatwa_dis-698-4228.html)
Juga dalam fatwa Al Lajnah Ad Daimah:
والأمر في توزيعها مطبوخة أو غير مطبوخة واسع، وإنما المشروع فيها أن يأكل منها، ويهدي، ويتصدق
Perintah dalam penyalurannya baik dalam keadaan sudah matang atau mentah adalah perkara yang lapang, sebab yang disyariatkan adalah makan darinya, menghadiahkan, dan menyedekahkan. (Fatwa no. 9563)
Demikian. Wallahu A’lam
Wa Shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam
✍ Farid Numan Hasan