▪▫▪▫▪▫▪▫
Bismillahirrahmanirrahim ..
Pada dasarnya tidak boleh berpisah dengan imam, sebab Rasulullah ﷺ berabda:
إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا، وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا، وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا، وَإِنْ صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا
Sesungguhnya imam dijadikan untuk diikuti. Jika dia bertakbir maka bertakbirlah, jika dia ruku’ maka ruku’lah, jika di sujud maka sujudlah, dan jika dia shalat berdiri maka berdirilah. (HR. Bukhari no. 378)
Tapi, ada kondisi atau sebab, dibolehkannya ma’mum berpisah dengan imam dan dia melanjutkan sendiri.
Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan:
وإن أحرم مأموما ثم نوى مفارقة الإمام وإتمامها منفردا لعذر جاز
Jika ma’mum sudah takbiratul ihram, lalu dia berniat mufaraqah (berpisah) dengan imam dan melanjutkan shalat sendiri karena adanya ‘UZUR, maka itu BOLEH. (Al Mughni, 2/171)
Bahkan, sebagian ulama menyatakan tetap sah shalatnya walau Mufaraqah-nya tanpa uzur.
Imam Husein Al Mahalliy Asy Syafi’iy Rahimahullah mengatakan:
ولو نوى المأموم مفارقة الإمام بلا عذر لم تبطل صلاته عند الشافعي، وأحمد
Seandainya ma’mum berniat memisahkan diri dari imam tanpa adanya ‘uzur, maka shalatnya tidak batal menurut Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad. (Mazid An Nimah, Hal. 136)
Apakah ‘uzur yang dimaksud?, Misal: Imam terlalu lama sedangkan ma’mum ada suatu keperluan atau sudah lemah, atau sebab lain yang memang ma’mum mengalami kesulitan, sehingga dia mesti berpisah.
Dari Jabir bin Abdillah Al Anshariy Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
اقْبَلَ رَجُلٌ بِنَاضِحَيْنِ وَقَدْ جَنَحَ اللَّيْلُ فَوَافَقَ مُعَاذًا يُصَلِّي فَتَرَكَ نَاضِحَهُ وَأَقْبَلَ إِلَى مُعَاذٍ فَقَرَأَ بِسُورَةِ الْبَقَرَةِ أَوْ النِّسَاءِ فَانْطَلَقَ الرَّجُلُ وَبَلَغَهُ أَنَّ مُعَاذًا نَالَ مِنْهُ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَشَكَا إِلَيْهِ مُعَاذًا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مُعَاذُ أَفَتَّانٌ أَنْتَ أَوْ أَفَاتِنٌ ثَلَاثَ مِرَارٍ فَلَوْلَا صَلَّيْتَ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى فَإِنَّهُ يُصَلِّي وَرَاءَكَ الْكَبِيرُ وَالضَّعِيفُ وَذُو الْحَاجَةِ
“Seorang laki-laki datang dengan membawa dua unta yang baru saja diberinya minum saat malam sudah gelap gulita. Laki-laki itu kemudian tinggalkan untanya dan ikut shalat bersama Mu’adz. Dalam shalatnya Mu’adz membaca surah Al Baqarah atau surah An Nisaa’, sehingga laki-laki tersebut meninggalkan Mu’adz. Maka sampailah kepadanya berita bahwa Mu’adz mengecam tindakannya. Akhirnya laki-laki tersebut mendatangi Nabi ﷺ dan mengadukan persoalannya kepada beliau. Nabi ﷺ lalu bersabda: “Wahai Mu’adz, apakah kamu membuat fitnah?” Atau kata Beliau: “Apakah kamu menjadi pembuat fitnah? -Beliau ulangi perkataannya tersebut hingga tiga kali- “Mengapa kamu tidak membaca saja surat ‘Sabbihisma rabbika’, atau dengan ‘Wasysyamsi wa dluhaahaa’ atau ‘Wallaili idzaa yaghsyaa’? Karena yang ikut shalat di belakangmu mungkin ada orang yang lanjut usia, orang yang lemah atau orang yang punya keperluan.” (HR. Bukhari no. 705)
Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan tentang kisah di atas:
وَلَمْ يَأْمُرْ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الرَّجُلَ بِالْإِعَادَةِ، وَلَا أَنْكَرَ عَلَيْهِ فِعْلَهُ، وَالْأَعْذَارُ الَّتِي يَخْرُجُ لِأَجْلِهَا، مِثْلُ الْمَشَقَّةِ بِتَطْوِيلِ الْإِمَامِ، أَوْ الْمَرَضِ، أَوْ خَشْيَةِ غَلَبَةِ النُّعَاسِ، أَوْ شَيْءٍ يُفْسِدُ صَلَاتَهُ، أَوْ خَوْفِ فَوَاتِ مَالٍ أَوْ تَلَفِهِ، أَوْ فَوْتِ رُفْقَتِهِ، أَوْ مَنْ يَخْرُجُ مِنْ الصَّفِّ لَا يَجِدُ مَنْ يَقِفُ مَعَهُ، وَأَشْبَاهُ هَذَا
Nabi ﷺ tidak memerintahkan laki-laki itu mengulangi shalatnya, dan tidak pula mengingkari perbuatannya. Ada pun berbagai ‘uzur yang menyebabkan bolehnya keluar dari jamaah adalah seperti rasa berat krn terlalu panjangnya bacaan imam, atau sakit, atau khawatir dikuasai oleh rasa kantuk, atau hal yang dapat merusak shalatnya, atau takut hartanya hilang atau rusak, atau ketinggalan teman seperjalanan, atau orang yang masuk shaf tapi tidak ada orang lain yang menemaninya, dan
lainnya yang semisal itu. (Al Mughniy, 2/171)
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah juga mengatakan:
يجوز لمن دخل الصلاة مع الامام أن يخرج منها بنية المفارقة ويتمها وحده ذا أطال الامام الصلاة
ويلحق بهذه الصورة حدوث مرض أو خوف ضياع مال أو تلفه أو فوات رفقة أو حصول غلبة نوم، ونحو ذلك
Dibolehkan bagi yang shalat bersama imam, dia keluar jamaah dengan niat memisahkan diri dan menyempurnakannya seorang diri, karena imam begitu panjang shalatnya. Begitu pula jika terjadi berbagai kondisi lainnya, seperti sakit, atau khawatir kehilangan harta, atau kehancurannya, atau ketinggalan teman, atau ngantuk berat, dan semisalnya. (Fiqhus Sunnah, 1/238)
Bahkan dalam madzhab Syafi’iy, dibolehkan mufaraqah jika imam meninggalkan sunnah seperti imam yang tidak tasyahud awal dan tidak berqunut (dalam shalat subuh). Mereka mufaraqah lalu menjalankan sunah itu sendiri. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 38/245)
Demikian. Wallahu A’lam
📙📘📕📒📔📓📗
🖋 Farid Nu’man Hasan
Artikel di atas, sangat menambah ilmu. Tapi saya ada pertanyaan dan ini menjadi pengganjal dalam sholat berjamaah saya secara pribadi. Jika kita (Makmum) mendahului gerakan imam, yang di sebabkan oleh Imam bergerak lambat, yang mana imam lebih Dahulu mengucapkan “Allahhhhhuakbar” tapi imam belum berdiri dari sujud atau belum bangkit dari Sujud untuk duduk, Sehingga kita Makmum pasti mendahului imam. Pertanyaanya. Apakah kita boleh memisahkan/terpisah dari imam? Apakah masih sahkah sholat makmum tersebut?
Ada beberapa keadaan ya:
1. Mendahului imam di saat takbiratul Ihram, imam belum takbiratul ihram, dia udah takbir duluan .. maka ini batal .. wajib ulangi. Begitu pula salam mendahului imam, ini juga batal, jika dia masih berniat menjadi makmumnya.
2. Jika dia mendahului imam saat ruku’, atau sujud, .. yg dia lakukan adalah kembali kepada posisi gerakan imam agar bisa ruku’ atau sujud setelah imam. Bukannya Mufaraqah.
Syaikh Abu Bakar bin Jabir Al Jazaairiy Rahimahullah mengatakan:
يحب علي المأموم أن يتابع امامه، ويحرم عليه أن يسبقه، ويكره له أن يساويه فإن سبقه في تكبيرة الاحرام وحب عليه أن يعيدها، و إلا بطلت صلاته، وكذا تبطل صلاته إن سلم قبله، وإن سبقه في الركوع أو السجود أو في الرفع منهما وحب عليه أن يرجع ليركع أو يسجد بعد امامه
Wajib bagi ma’mum mengikut imamnya. Haram baginya mendahuluinya. Dimakruhkan membarengi gerakan imam.
Jika dia mendahului pada takbiratul ihram maka wajib baginya mengulangi, jika tidak, maka batal shalatnya. Demikian juga batal shalatnya jika salam sebelum imam.
Jika dia mendahului imam saat ruku’, atau sujud, atau saat bangunnya, maka wajib baginya kembali agar bisa ruku’ atau sujud setelah imam.
(Minhajul Muslim, Hal. 163)