💢💢💢💢💢💢💢
Tabarruk artinya thalabul barakah (mencari berkah). Maka, bertabarruk kepada orang-orang shalih adalah mencari keberkahan, sebagian manusia melakukam dengan cara makan dan minum sisa orang shalih, mencium tangan, dan memakai apa yang mereka pakai. Ini telah terjadi perdebatan para ulama. Sebagian mereka membolehkan dalam rangka mencari berkah, dan sebagian lain melarang dengan berbagai ungkapan; tidak disyariatkan, bid’ah, bahkan syirik.
📕 Pihak Yang Melarang dan Alasannya
Dalam fatwa Al Lajnah Ad Daaimah, mereka membagi dua model tabarruk dengan orang shalih, yaitu bertabaruk kepada yang sudah wafat dan bertabaruk kepada yang masih hidup. Yang pertama adalah syirik akbar dan yang kedua adalah bid’ah.
Berikut ini fatwanya:
وأما ما ذكرته من التبرك بالصالحين الأموات رجاء نفعهم والقرب منهم وشفاعتهم: فهذا لا يجوز، وهو من الشرك الأكبر، قال تعالى عن المشركين أنهم قالوا: { مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى } وقال تعالى عنهم في سورة يونس : { وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ قُلْ أَتُنَبِّئُونَ اللَّهَ بِمَا لَا يَعْلَمُ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ }
Ada pun apa yang Anda katakan berupa bertabarruk kepada orang-orang shalih yang sudah wafat, dengan berharap mendapat manfaat dari mereka dan syafaat mereka, maka ini tidak boleh, ini termasuk syirik akbar. Allah Ta’ala berfirman: Kami tidaklah menyembah mereka melainkan supaya mereka bisa mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya. (QS. Az Zumar: 3)
Dan firman Allah Ta’ala tentang mereka: Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah.” Katakanlah: “Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) dibumi?” Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dan apa yang mereka mempersekutukan (itu).
( Fatawa Al Lajnah Ad Daaimah No. 5316)
Ada pun bertabarruk kepada shalihin yang masih hidup, demikian fatwa Al Lajnah Ad Daaimah:
وأما التبرك بالصالحين الأحياء فبدعة؛ لأن الصحابة رضي الله عنهم لم يفعلوه فيما بينهم لا مع الخلفاء الراشدين ولا مع غيرهم، ولأنه وسيلة إلى الشرك بهم فوجب تركه، وقد يكون شركا أكبر إذا اعتقد في الصالح أنه ينفع ويضر بتصرفه، وأنه يتصرف في الكون ونحو ذلك، وأما ما فعله الصحابة رضي الله عنهم مع النبي صلى الله عليه وسلم من التبرك بوضوئه وشعره فهذا من خصائصه صلى الله عليه وسلم، لما جعل الله في جسده وشعره وعرقه من البركة، ولا يلحق به غيره.
Sedangkan bertabarruk terhadap orang shalih yang masih hidup adalah bid’ah, karena para sahabat Nabi Radhiallahu ‘Anhum, tidak pernah melakukan terhadap sesamanya, tidak terhadap khulafa’ur rasyidin dan tidak pula terhadap lainnya, karena hal itu merupakan sarana menuju kesyirikan, maka wajib meninggalkannya. Hal ini menjadi syirik akbar jika dibarengi keyakinan bahwa pada orang shalih itu mendatangkan manfaat dan bisa mendatangkan madharat pada perilakunya itu. Ada pun perilaku para sahabat Radhiallahu ‘Anhum terhadap Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan bertabarruk terhadap wudhunya, rambutnya, maka semua ini adalah kekhususan bagi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bukan untuk selainnya. (Ibid)
Sementara itu, Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah, berkata:
قال ابن جديح في كتابه التبرك ما ملخصه : التبرك بالصالحين ممكن عن طريق الانتفاع بعلمهم ودعائهم في حال حياتهم، وبعد موتهم عن طريق الانتفاع بما وثقوه من العلم النافع، وما عدا هذا من طرق التبرك بهم فليس بمشروع بل هو ممنوع، ومنه التبرك بما أنفصل منهم كالشعر والريق والعرق . انتهى.
Ibnu Judaih berkata dalam kitabnya “At Tabarruk”, yang intisarinya: “Bertabarruk kepada orang-orang shalih, mungkin maksudnya adalah dengan cara mengambil manfaat melalui ilmu mereka atau doa mereka saat mereka masih hidup. Ada pun saat sudah wafatnya adalah dengan cara memanfaatkan ilmu-ilmu mereka yang terpercaya berupa ilmu yang bermanfaat, ada pun bertabarruk dengan cara selain itu, maka itu tidak disyariatkan, justru hal itu terlarang. Diantaranya bertabarruk dengan potongan rambutnya, liur, dan keringatnya. Selesai.” ( Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah, No. 44809)
Syaikh Muhammad Shalih Al Munjid Hafizhahullah, mengutip dari Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah sebagai berikut:
التبرك بالصالحين ينقسم إلى قسمين :
أولاً : أن يتبرك بدعائهم بأن يسألهم أن يدعوا له وهذا جائز .. بشرط أن يعرف صلاحهم وتقواهم وان لا يفتتنوا هم بذلك .
ثانياً : التبرك بآثارهم .. كثيابهم وأغراضهم … الخ وهذا لا يجوز ومن البدعة وما يجب النهي عنه .
Bertabarruk dengan orang-orang shalih ada dua macam:
1. Bertabarruk dengan doa mereka, yaitu dengan cara meminta mereka untuk mendoakan dirinya, maka ini boleh, dengan syarat mereka dikenal keshalihannya, ketaqwaannya, dan mereka pun tidak terkena fitnah karena hal ini.
2. Bertabarruk dengan atsar (jejak, sisa, bekas) mereka, seperti bertabarruk dengan pakaian mereka, barang-barang meraka, dst .., ini tidak boleh dan termasuk bid’ah yang wajib dicegah. ( Fatawa Asy Syaikh Muhammad Shalih Al Munjid No. 26284)
📘 Pihak Yang Membolehkan dan Alasannya
Ada pun pihak yang membolehkan, mereka adalah para imam Ahlus Sunnah wa Jama’ah pula. Kebolehan itu berdasarkan dalil-dalil berikut:
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
البركة مع أكابركم
Keberkahan itu bersama orang-orang besar kalian. (HR. Ibnu Hibban No. 559, Al Hakim No. 210, katanya: shahih sesuai syarat Al Bukhari. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 11004, dll)
Menurut Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, maksud ‘akaabir’ – orang-orang besar adalah ahlul ‘ilmi (ulama). (Jaami’ Al Ahaadits No. 10505)
Dalam hadits Shahih Muslim, disebutkan oleh Asma binti Abi Bakar Radhiallahu Anhuma, bahwa ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha menyimpan Jubah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam, yang biasa dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pakai saat hidupnya. Jubah itu dicuci oleh Asma supaya bisa dipakai orang sakit dan mereka sembuh karenanya.
Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:
وفى هذا الحديث دليل على استحباب التبرك بآثار الصالحين وثيابهم
Dalam hadits ini menjadi dalil bahwa hal yang disukai bertabarruk dengan bekas-bekas orang shalih dan pakaian mereka. ( Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 14/44)
Jadi, berbeda dengan Al Lajnah Ad Daaimah, yang menilai itu adalah kekhususan untuk bekas-bekas peninggalan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saja. Sedangkan Imam An Nawawi Rahimahullah menilai itu juga berlaku untuk selain Nabi, seperti para shalihin.
Ini juga ditegaskan oleh Imam Abul Hasan As Sindi Rahimahullah, saat menjelaskan para sahabat nabi yang bertabarruk dengan air wuhdu bekas Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa itu sebagai dalil bolehnya tabarruk dengan bekas-bekasnya orang shalih. Beliau berkata:
وفيه من التبرك بآثار الصالحين مالا
Pada hadits ini merupakan bukti adanya tabarruk kepada bekas-bekas harta orang shalih. ( Hasyiyah As Sindi ‘Alan Nasa’i, 2/38)
Sedangkan Imam An Nawawi juga berkata tentang hadits bekas wudhu itu:
ففيه التبرك بآثار الصالحين واستعمال فضل طهورهم وطعامهم وشرابهم ولباسهم
Pada hadits ini bukti tentang bertabarruk dengan sisa-sisa orang shalih dan memanfaatkan sisa air bersuci mereka, makanan, minuman, dan pakaian mereka. ( Al Minhaj Syah Shahih Muslim, 4/219)
Imam As Suyuthi Rahimahullah berkata:
وهذا الحديث أصل في التبرك باثار الصالحين ولباسهم
Hadits ini merupakan dasar tentang bertabarruk dengan bekas-bekas orang shalih dan pakaian mereka. (Hasyiyah Ibni Majah, Hal. 105)
Imam Badruddin Al ‘Aini Rahimahullah berkata:
فيه الدلالة على جواز التبرك بآثار الصالحين
Pada hadits ini merupakan dalil bolehnya bertabarruk dengan bekas-bekas orang-orang shalih. (‘Umdatul Qari, 4/386)
Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim Abadi Rahimahullah, ketika menjelaskan hadits riwayat Abu Daud (No. 52), dengan sanad hasan, tentang Aisyah Radhiallahu ‘Anha bersiwak menggunakan siwak bekas dipakai oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam setelah dicucinya, Beliau berkata:
والحديث فيه ثبوت التبرك باثار الصالحين والتلذذ بها
Hadits ini terdapat pastinya bertabarruk dengan bekas-bekas orang shalih dan berlezat-lezat (bersenang-senang) dengannya. ( ‘Aunul Ma’bud, 1/52)
Sementara itu, Imam Asy Syafi’i Rahimahullah pernah bertabarruk dengan gamisnya Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah, kawan sekaligus muridnya sendiri. Hal ini diceritakan oleh Imam Ibnu ‘Asakir Rahimahullah berikut ini:
قال الربيع: إن الشافعي خرج إلى مصر وأنا معه فقال لي: يا ربيع خذ كتابي هذا ، فامض به وسلمه إلى أبي عبدالله أحمد بن حنبل، وائتني بالجواب. قال الربيع: فدخلت بغداد ومعي الكتاب، فلقيت أحمد بن حنبل صلاة الصبح، فصلّيت معه الفجر، فلما انفتل من المحراب سلّمت إليه الكتاب، وقلت له: هذا كتاب أخيك الشافعي من مصر، فقال أحمد: نظرت فيه قلت: لا، فكسر أبو عبدالله الختم وقرأ الكتاب، وتغرغرت عيناه بالدموع، فقلت: إيش فيه يا أبا عبدالله قال: يذكر أنه رأى النبي (صلى الله عليه وسلم) في النوم، فقال له: اكتب إلى أبي عبدالله أحمد بن حنبل، واقرأ عليه مني السلام، وقل: إنك ستُمتحن وتدعى إلى خلق القرآن فلا تجبهم، فسيرفع الله لك علماً إلى يوم القيامة. قال الربيع: فقلت: البشارة، فخلع أحد قميصيه الذي يلي جلده ودفعهُ إليّ، فأخذته وخرجت إلى مصر، وأخذت جواب الكتاب فسلّمته إلى الشافعي، فقال لي الشافعي: يا ربيع إيش الذي دفع إليك قلت: القميص الذي يلي جلده، قال الشافعي: ليس نفجعك به، ولكن بُلّه وادفع إليّ الماء لأتبرك به.
Berkata Rabi’: “Imam Syafi’i pergi ke Mesir bersamaku, lalu berkata kepadaku: “Wahai Rabi’, ambil surat ini dan serahkan kepada Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, selanjutnya datanglah kepadaku dengan membawa jawabannya!”
Aku memasuki Baghdad dengan membawa surat, aku jumpai Imam Ahmad sedang shalat subuh, maka aku pun shalat di belakang beliau. Setelah beliau hendak beranjak dari mihrab, aku serahkan surat itu, “Ini surat dari saudaramu Imam Syafi’i di Mesir,” kataku.
“Kau telah melihat isi surat ini?” tanya Imam Ahmad. Aku jawab: “Tidak.” Beliau membuka dan membaca isi surat itu, sejenak kemudian kulihat beliau berlinang air mata. “Apa isi surat itu wahai Abu Abdillah?” tanyaku. “Isinya menceritakan bahwa Imam Syafi’i bermimpi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau berkata: “Tulislah surat kepada Ahmad bin Hanbal dan sampaikan salamku kepadanya. Kabarkan padanya bahwa dia akan mendapatkan ujian yaitu dipaksa mengakui bahwa Al Quran adalah mahluk, maka janganlah turuti mereka, Allah akan meninggikan ilmu bagimu hingga hari kiamat.” Ar Rabi’ berkata: “Ini kabar gembira.” Lalu beliau melepaskan gamis yang melekat di kulitnya, dia memberikan kepadaku dan aku mengambilnya dan membawanya ke Mesir, beserta jawaban suratnya. Aku menyerahkannya kepada Imam Syafi’i.
Beliau bertanya: “Wahai Ar Rabi’ apa yang diberikan Ahmad padamu?” Aku menjawab: “Gamis yang melekat dengan kulit beliau.“ Imam Asy Syafi’i berkata: “Kami tidak akan merisaukanmu, tapi basahi gamis ini dengan air, lalu berikan kepadaku air itu untuk bertabarruk dengannya.”
(Imam Ibnu ‘Asakir, Mukhtashar Tarikh Dimasqa, 1/400)
Demikian. Wallahu A’lam
🌾🌱🌴💐🌿🌻🍃☘🌸
✍ Farid Nu’man Hasan