❤❤❤❤❤❤
Puasa Syawal merupakan salah satu puasa sunah yang masyhur. Berikut ini kami paparkan penjabarannya. Semoga bermanfaat!
Daftar Isi
📌 Dalilnya:
Dari Abu Ayyub Al Anshari Radhiallahu ‘Anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan, kemudian menyusulnya dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka seakan dia berpuasa setahun penuh.”
Hadits ini SHAHIH dikeluarkan oleh:
– Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1164
– Imam At Tirmidzi dalam Sunannya No. 759
– Imam Abu Daud dalam Sunannya No. 2433
– Imam Ibnu Majah dalam Sunannya No. 1716
– Imam An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 2866
– Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 8214, dan As Sunan As Shaghir No. 1119
– Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 3908, 3909, 3914, 3915
– Imam Abdu bin Humaid dalam Musnadnya No. 228
– Imam Abu Ja’far Ath Thahawi dalam Musykilul Aatsar No. 1945
– Imam Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 1780
📌Hukumnya
Hukumnya diperselisihkan para ulama, antara yang menyunahkan dan memakruhkan. Imam An Nawawi Rahimahullah menerangkan:
فيه دلالة صريحة لمذهب الشافعى وأحمد وداود وموافقيهم في استحباب صوم هذه الستة وقال مالك وأبو حنيفة يكره ذلك
Dalam hadits ini terdapat petunjuk yang jelas bagi pendapat Asy Syafi’i, Ahmad, Daud, dan yang menyepakati mereka tentang sunahnya berpuasa enam hari tersebut. Berkata Malik dan Abu hanifah: Hal itu dimakruhkan. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/56)
Namun menurut pendapat mayoritas ulama adalah sunah. Disebutkan dalam Al Mausu’ah:
ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ – الْمَالِكِيَّةُ ، وَالشَّافِعِيَّةُ ، وَالْحَنَابِلَةُ وَمُتَأَخِّرُو الْحَنَفِيَّةِ – إِلَى أَنَّهُ يُسَنُّ صَوْمُ سِتَّةِ أَيَّامٍ مِنْ شَوَّالٍ بَعْدَ صَوْمِ رَمَضَانَ
Mayoritas fuqaha –Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, dan Hanafiyah muta’akhirin (generasi kemudian)- berpendapat bahwa disunnahkan berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah puasa Ramadhan. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 28/92)
Berkata Imam At Tirmidzi dalam Sunannya:
وَقَدْ اسْتَحَبَّ قَوْمٌ صِيَامَ سِتَّةِ أَيَّامٍ مِنْ شَوَّالٍ بِهَذَا الْحَدِيثِ قَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ هُوَ حَسَنٌ هُوَ مِثْلُ صِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ
Sekelompok ulama menyunnahkan berpuasa enam hari di bulan Syawal berdasarkan hadits ini. Ibnul Mubarak mengatakan: “Ini bagus, semisal dengan berpuasa tiga hari di setiap bulan.” (Lihat Sunan At Tirmidzi pada komentar hadits No. 759)
Sementara pemakruhan Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu, dengan alasan ditakutkan orang awam menganggap puasa tersebut masih satu paket dengan puasa Ramadhan, jika tidak demikian, tidak apa-apa.
Disebutkan dalam kitab Mawahib Al Jalil – karya Imam Al Hathab Al Maliki:
كَرِهَ مَالِكٌ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى – ذَلِكَ مَخَافَةَ أَنْ يَلْحَقَ بِرَمَضَانَ مَا لَيْسَ مِنْهُ مِنْ أَهْل الْجَهَالَةِ وَالْجَفَاءِ ، وَأَمَّا الرَّجُل فِي خَاصَّةِ نَفْسِهِ فَلاَ يُكْرَهُ لَهُ صِيَامُهَا
Imam Malik Rahimahullah Ta’ala memakruhkan hal itu, ditakutkan hal tersebut merupakan memasukan kepada Ramadhan dengan sesuatu yang bukan berasal darinya yang dilakukan oleh orang bodoh dan ekstrim. Ada pun seseorang yang mengkhususkannya secara tersendiri, maka puasa tersebut tidak makruh. (Imam Al Hathab, Mawahib Al Jalil Li Syarhi Mukhtashar Al Khalil, 3/329)
Disebutkan dalam Al Istidzkar:
وذكر مالك في صيام ستة أيام بعد الفطر أنه لم ير أحدا من أهل العلم والفقه يصومها
Imam Malik menyebutkan tentang puasa enam hari Syawal, bahwa Beliau belum pernah melihat seorang pun dari kalangan ulama dan ahli fiqih yang melakukan puasa itu. (Imam Ibnu Abdil Bar, Al Istidzkar Al Jaami’ Li Madzaahib Fuqahaa Al Amshaar, 3/379)
Maksudnya adalah selama di Madinah, Imam Malik belum pernah melihat shaum syawal dilakukan oleh ulama dan ahli fiqih di sana. Sebab, sepanjang hayatnya Beliau tidak pernah keluar Madinah kecuali saat haji.
Imam Al Kasani Rahimahullah menceritakan:
وَكَذَا رُوِيَ عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ قَالَ : أَكْرَهُ أَنْ يُتْبَعَ رَمَضَانُ بِسِتٍّ مِنْ شَوَّالٍ ، وَمَا رَأَيْتُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْفِقْهِ ، وَالْعِلْمِ يَصُومُهَا وَلَمْ يَبْلُغْنَا عَنْ أَحَدٍ مِنْ السَّلَفِ ، وَإِنَّ أَهْلَ الْعِلْمِ يَكْرَهُونَ ذَلِكَ وَيَخَافُونَ بِدْعَتَهُ ، وَأَنْ يُلْحِقَ أَهْلُ الْجَفَاءِ بِرَمَضَانَ مَا لَيْسَ مِنْهُ
Demikian juga diriwayatkan dari Imam Malik bahwa Beliau berkata: “Aku membenci puasa Ramadhan disusul dengan puasa Syawal, dan aku belum pernah melihat seorang pun dari ahli fiqih dan ulama yang berpuasa itu, dan belum sampai kepada kami seorang pun dari salaf, sesungguhnya para ulama memakruhkan hal itu karena mereka khawatir dengan kebid’ahannya, dan khawatir orang ekstrim akan mengkaitkan puasa Ramadhan dengan hal yang bukan berasal darinya.” (Imam Al Kasani, Al Bada’i Shana’i, 4/149. Mawqi’ Al Islam)
Aroma kemakruhan berpuasa enam hari di bulan Syawal, juga nampak dalam pandangan Madzhab Hanafi generasi awal. Berikut ini keterangannya:
وَمِنْهُ أَيْضًا صَوْمُ سِتَّةٍ مِنْ شَوَّالٍ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ مُتَفَرِّقًا كَانَ أَوْ مُتَتَابِعًا وَعَنْ أَبِي يُوسُفَ كَرَاهَتُهُ مُتَتَابِعًا لَا مُتَفَرِّقًا لَكِنَّ عَامَّةَ الْمُتَأَخِّرِينَ لَمْ يَرَوْا بِهِ بَأْسًا
Di antaranya juga (yang makruh) berpuasa enam hari Syawal menurut Abu Hanifah, baik dilakukan terpisah atau berturut-turut. Dari Imam Abu Yusuf: makruh jika berturut-turut, dan jika dipisah tidak apa-apa. Tetapi mayoritas Hanafiyah generasi berikutnya berpendapat tidak apa-apa. (Imam Ibnu Nujaim Al Mashri, Bahrur Raiq, 6/133. Mawqi’ Al islam)
Imam Ibnu ‘Abidin Al Hanafi Rahimahullah berkata:
قَالَ صَاحِبُ الْهِدَايَةِ فِي كِتَابِهِ التَّجْنِيسُ : إنَّ صَوْمَ السِّتَّةِ بَعْدَ الْفِطْرِ مُتَتَابِعَةً مِنْهُمْ مَنْ كَرِهَهُ وَالْمُخْتَارُ أَنَّهُ لَا بَأْسَ بِهِ لِأَنَّ الْكَرَاهَةَ إنَّمَا كَانَتْ لِأَنَّهُ لَا يُؤْمَنُ مِنْ أَنْ يُعَدَّ ذَلِكَ مِنْ رَمَضَانَ فَيَكُونَ تَشَبُّهًا بِالنَّصَارَى وَالْآنَ زَالَ ذَلِكَ الْمَعْنَى
Berkata pengarang Al Hidayah dalam kitabnya At Tajnis: “Sesungguhnya berpuasa enam hari setelah hari raya secara berturut di antara mereka ada yang memakruhkan. Dan, pendapat yang menjadi pilihan adalah tidak apa-apa, sebab kemakruhannya itu adalah jika hal tersebut tidak aman dari anggapan hal itu masuk ke dalam Ramadhan, maka itu menjadi menyerupai Nasrani. Namun sekarang makna itu sudah berubah. (Imam Ibnu ‘Abidin, Raddul Muhtar, 8/35)
Imam Abu Yusuf Rahimahullah –murid dan kawan Imam Abu Hanifah- berkata:
كَانُوا يَكْرَهُونَ أَنْ يُتْبِعُوا رَمَضَانَ صَوْمًا خَوْفًا أَنْ يَلْحَقَ ذَلِكَ بِالْفَرْضِيَّةِ
Mereka memakruhkan menyusul puasa Ramadhan dengan berpuasa, khawatir hal itu dikaitkan dengan kewajiban. (Imam Al Kisani, Al Bada’i Shana’i, 4/149. Mawqi’ Al Islam)
Sementara Imam Al Kasani Rahimahullah memberikan tafsiran sebagai berikut:
وَالْإِتْبَاعُ الْمَكْرُوهُ هُوَ : أَنْ يَصُومَ يَوْمَ الْفِطْرِ ، وَيَصُومَ بَعْدَهُ خَمْسَةَ أَيَّامٍ .فَأَمَّا إذَا أَفْطَرَ يَوْمَ الْعِيدِ ثُمَّ صَامَ بَعْدَهُ سِتَّةَ أَيَّامٍ : فَلَيْسَ بِمَكْرُوهٍ بَلْ هُوَ مُسْتَحَبٌّ وَسُنَّةٌ
Yang dimaksud “menyusul” yang dimakruhkan adalah berpuasa pada hari raya, lalu diikuti dengan lima hari setelahnya di bulan Syawal. Ada pun jika berbuka pada hari raya, kemudian berpuasa setelahnya enam hari, maka tidak makruh, bahkan itu justru mustahab (disukai/sunah). (Ibid)
Dari uraian ini bisa kita simpulkan:
– Puasa enam hari bulan Syawal adalah sunah menurut jumhur (mayoritas) ulama.
– Ada yang memakruhkan, yaitu Imam Malik dengan alasan ditakutkan hal itu dianggap bagian dari puasa Ramadhan dan Beliau belum pernah melihat satu pun ulama yang melakukannya.
– Imam Abu Hanifah memakruhkan pula, baik dilakukan secara berturut-turut enam hari atau dipisah-pisah. Muridnya, Imam Abu Yusuf, memakruhkan jika berturut-turut, dan tidak apa-apa jika dipisah.
– Pengikut Imam Abu Hanifah setelah generasi awal membolehkan baik berturut-turut atau tidak, dan itu adalah pendapat pilihan, bahkan mereka mengatakan mustahab jika dilakukan setelah hari raya.
Pendapat yang kuat –Insya Allah- adalah pandangan mayoritas ulama, yakni sunah. Alasannya adalah:
– Zahir hadits menyebutkan bahwa “menyusul” puasa Ramadhan dengan puasa enam hari Syawal memiliki keutamaan, maka makna ini tetap demikian dan sama sekali tidak ada dalil yang merubahnya.
– Kekhawatiran Imam Malik bahwa hal itu akan dianggap menjadi bagian dari puasa Ramadhan oleh sebagian orang awam, bodoh, dan ekstrim, perlu didiskusikan lagi, sebab hal itu terjadi secara kasuistis dan personal, alias tergantung pelakunya. Hal ini sama halnya dengan sunahnya terawih, dia tetaplah sunah walau Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggalkannya karena khawatir dianggap wajib oleh sebagian manusia.
Imam Ash Shan’ani Rahimahullah menyanggah alasan-alasan Imam Malik ini, katanya:
و الجواب أنه بعد ثبوت النص بذلك لا حكم لهذه التعليلات وما أحسن ما قاله ابن عبد البر: إنه لم يبلغ مالكا هذا الحديث يعني حديث مسلم
Jawabannya adalah: bahwasanya setelah pastinya sebuah nash (dalil) maka tidak ada hukum bagi alasan-alasan ini. Dan komentar terbaik adalah apa yang dikatakan oleh Ibnu Abdil Bar: “Sesungguhnya hadits ini belum sampai kepada Imam Malik, yakni hadits riwayat Muslim.” (Subulus Salam, 2/167)
– Jika ada orang shalih, ulama, dan ahli fiqih meninggalkan sebuah amalan atau tidak pernah melakukannya, bukan berarti hal itu tidak ada dan tidak masyru’ (disyariatkan).
Sebab, At Tarku (meninggalkan) bukanlah termasuk mashaadirul ahkam (sumber-sumber hukum), apalagi yang “meninggalkan” berasal dari selain Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
– Kesunahannya adalah sama saja apakah dilakukan secara berturut-turut atau tidak, karena nash tidak merincinya.
Selanjutnya, apakah kesunahan puasa ini juga berlaku bagi orang yang sedang tidak berpuasa Ramadhan pada beberapa waktu? Misal wanita haid, nifas, hamil, menyusui, orang sakit, musafir, dan golongan lainnya yang mengalami udzur untuk tidak berpuasa. Ataukah kesunahannya ini hanya berlaku bagi mereka yang puasa Ramadhannya bisa full?
Tertulis dalam Al Mausu’ah:
وَمَذْهَبُ الشَّافِعِيَّةِ : اسْتِحْبَابُ صَوْمِهَا لِكُل أَحَدٍ ، سَوَاءٌ أَصَامَ رَمَضَانَ أَمْ لاَ
Pendapat Syafi’iyah: disunahkan puasa ini bagi setiap orang, sama saja apakah dia puasa Ramadhan atau tidak. (Al Mausu’ah, 28/93)
Selanjutnya:
وَعِنْدَ الْحَنَابِلَةِ : لاَ يُسْتَحَبُّ صِيَامُهَا إِلاَّ لِمَنْ صَامَ رَمَضَانَ
Menurut Hanabilah (Hambaliyah): tidak disunahkan berpuasa enam hari Syawal kecuali bagi orang yang berpuasa Ramadhan. (Ibid)
Menurut nash secara manthuq (tekstual), maka kesunahan berpuasa enam hari Syawal hanyalah bagi mereka yang sebelumnya berpuasa Ramadhan sebagaimana pendapat Hanabilah, secara tegas haditsnya berbunyi: “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan, kemudian menyusulnya dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka seakan dia berpuasa setahun penuh.” Jadi, keutamaan puasa setahun penuh baru didapatkan jika berpuasa Ramadhan lalu dilanjutkan dengan puasa Syawal enam hari lamanya.
Lalu puasa Ramadhan yang bagaimana? yaitu yang melakukannya secara utuh. Sebab jika disebut “Wajib Puasa Ramadhan” tentu maknanya wajib puasa secara full Ramadhan, bukan wajib pada sebagian hari saja. Namun, bagi yang meninggalkannya beberapa hari karena memiliki udzur syar’i, , mereka juga disunahkan, sebab mereka bisa menjadi “full” Ramadhannya dengan diqadha pada hari lain. Kalau pun bagi mereka tidak sunah, mereka juga dibolehkan untuk melakukan puasa tersebut. Sebab, tidak disunahkan bukan berarti tidak boleh.
Ada pun bagi yang sudah tidak mampu lagi berpuasa tentu tidak termasuk dalam anjuran puasa Syawal, sebab yang wajib saja seperti Ramadhan mereka cuma bisa menggantinya dengan fidyah. Tentu yang sunah lebih layak lagi untuk tidak ditekankan kepada mereka.
Tentang pembahasan mana yang lebih didahulukan puasa Syawal atau Qadha akan kami bahas terakhir.
📌Keutamaannya:
Sesuai yang tertera dalam nash hadits bahwa berpuasa enam hari di bulan Syawal seakan berpuasa setahun penuh.
Bulan Ramadhan ada tiga puluh hari, puasa syawal enam hari, jadi total
puasa adalah 36 hari. Dan masing-masing kebaikan senilai dengan sepuluh kebaikan sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih, jadi ada 360 kebaikan. Maka, seakan dia berpuasa setahun penuh.
Berkata Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah Ta’ala:
لأن رمضان بثلاثين يوماً، فيكون المجموع مع شوال ستة وثلاثين يوماً والحسنة بعشر أمثالها، فإذا صام رمضان وستاً من شوال، وصام ثلاثة أيام من كل شهر يكون بذلك كأنه صام الدهر مرتين
Karena Ramadhan ada 30 hari, maka jika dikumpulkan bersama puasa Syawal menjadi 36 hari, dan satu kebaikan dilipatkan nilainya dengan sepuluh kebaikan semisalnya, jika dia puasa Ramadhan, puasa enam hari Syawal, dan puasa tiga hari setiap bulannya, maka seakan dia berpuasa sepanjang tahun sebanyak dua kali. (Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr, Syarh Sunan Abi Daud, 13/237)
Apa yang dikatakan Syaikh Abdul Muhsin ini sesuai dengan hadits Qudsi:
الصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا
Puasa adalah untukKu, adan Akulah yang akan memberikan ganjarannya, dan satu kebaikan dilipatkan menjadi sepuluh kebaikan yang semisalnya. (HR. Bukhari No. 1894)
Dari Umar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ثَلَاثٌ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ هَذَا صِيَامُ الدَّهْرِ كُلِّهِ
Tiga hari pada tiap bulannya, dan Ramadhan ke Ramadhan, itu semua adalah puasa setahun penuh. (HR. Muslim No. 1162, Abu Daud No. 2425, An Nasa’i No. 2387, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 3844, dll)
Jadi, jika kita berpuasa pada bulan Ramadhan, lalu diikuti dengan enam hari bulan Syawal, ditambah lagi melakukan puasa tiga hari setiap bulannya, maka seakan puasa setahun penuh sebanyak dua kali.
📌Waktu dan Tata Caranya:
Puasa ini sah dilakukan baik secara berturut-turut atau tidak. Hanya saja para ulama berbeda pendapat mana yang lebih utama.
Sebagian ulama mengutamakan dilakukan segera setelah hari raya. Ada pula yang mengutamakan berturut-turut dibanding terpisah, ada pula yang menganggap kedua cara sama saja.
Imam At Tirmidzi Rahimahullah menceritakan:
وَاخْتَارَ ابْنُ الْمُبَارَكِ أَنْ تَكُونَ سِتَّةَ أَيَّامٍ فِي أَوَّلِ الشَّهْرِ وَقَدْ رُوِيَ عَنْ ابْنِ الْمُبَارَكِ أَنَّهُ قَالَ إِنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ مِنْ شَوَّالٍ مُتَفَرِّقًا فَهُوَ جَائِزٌ
Imam Ibnul Mubarak memilih berpuasa enam hari itu di awal bulan. Diriwayatkan dari Ibnul Mubarak bahwa dia berkata: “Berpuasa enam hari bulan Syawal secara terpisah-pisah boleh saja.” (Lihat Sunan At Tirmidzi komentar hadits No. 759)
Syaikh Sayyid Sabiq -Rahimahullah rahmatan waasi’ah- berkata:
وعند أحمد: أنها تؤدى متتابعة وغير متتابعه، ولا فضل لاحدهما على الاخر. وعند الحنفية، والشافعية، الافضل صومها متتابعة، عقب العيد
Menurut Imam Ahmad: bahwa itu bisa dilakukan secara berturut-turut dan tidak berturut-turut, dan tidak ada keutamaan yang satu atas yang lainnya. Menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah adalah lebih utama secara berturut-turut, setelah hari raya. (Fiqhus Sunnah, 1/450)
Tertulis dalam Al Mausu’ah:
وَلَمْ يُفَرِّقِ الْحَنَابِلَةُ بَيْنَ التَّتَابُعِ وَالتَّفْرِيقِ فِي الأَْفْضَلِيَّةِ .وَعِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ تُسْتَحَبُّ السِّتَّةُ مُتَفَرِّقَةً ، كُل أُسْبُوعٍ يَوْمَانِ
Kalangan Hanabilah tidak membedakan antara berturut-turut atau terpisah dalam hal keutamannya. Menurut Hanafiyah disunahkan enam hari itu secara terpisah-pisah, setiap pekan dua hari. (Al Mausu’ah, 28/93)
Imam An Nawawi mengatakan:
قال أصحابنا والأفضل أن تصام الستة متوالية عقب يوم الفطر فان فرقها أو أخرها عن أوائل شوال إلى اواخره حصلت فضيلة المتابعة لأنه يصدق أنه أتبعه ستا من شوال
Berkata sahabat-sahabat kami (syafi’iyah), yang lebih utama adalah berpuasa enam hari secara beruntun setelah hari raya, seandainya dipisah atau diakhirkan dari awal-awal Syawal sampai akhir-akhirnya tetap mendapatkan keutamaan “mengikuti” sebab dia telah membenarkan (sesuai) dengan “mengikuti puasa enam hari pada bulan Syawal.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/56)
Syaikh ‘Athiyah Shaqr Rahimahullah mengatakan:
وهذا الفضل لمن يصومها فى شوال ، سواء أكان الصيام فى أوله أم فى وسطه أم فى آخره ،
وسواء أكانت الأيام متصلة أم متفرقة ، وإن كان الأفضل أن تكون من أول الشهر وأن تكون متصلة . وهى تفوت بفوات شوال
Keutamaan ini adalah bagi yang berpuasanya di bulan Syawal, sama saja apakah diawalnya, di tengah, atau di akhirnya, dan sama pula apakah dengan hari yang berturut atau dipisah-pisah. Hanya saja lebih utama di awal bulan dan secara bersambung. Anjurannya berakhir jika sudah selesai bulan Syawal. (Fatawa Darul Ifta Al Mishriyah, 9/261)
Demikianlah, sangat beragam ulama kita menjelaskan kapan waktu afdhalnya. Jelasnya adalah semua waktu dan cara itu sah selama dilakukan dalam lingkup bulan Syawal. Kita bisa melakukannya di awal, pertengahan, atau di akhir, yang penting berjumlah enam hari. Pilihlah waktu yang paling mudah dan lapang bagi kita untuk melakukannya, sebab setiap manusia punya kemampuan dan kelapangan yang tidak sama. Dan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah teladan kita, bahwa Beliau akan memilih yang paling mudah jika dihadapkan dua pilihan, selama tidak mengandung dosa.
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:
مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا
“Sesungguhnya tidaklah Rasulullah dihadapkan dua perkara, melainkan dia akan memilih yang lebih ringan, selama tidak berdosa.” (HR. Bukhari No. 3560, Muslim No. 2327)
📌Mana dulu; Puasa Syawal dahulu atau Puasa Qadha?
Kalau bicara boleh atau tidak, boleh saja seseorang mendahulukan puasa Syawal dibanding Qadha Ramadhan, apalagi dengan pertimbangan mengqadha Ramadhan memiliki luang waktu yang luas sampai Ramadhan tahun depan, sedangkan puasa Syawal waktunya terbatas, sebagaimana dijelaskan sebagian ulama. Demikian ini jika bicara boleh atau tidaknya.
Tetapi, mana yang lebih utama di antara keduanya? secara logika mudahnya tentu puasa Qadha lebih utama ditunaikan, sebab dia hukumnya wajib, sedangkan puasa Syawal adalah sunah, tentunya yang wajib mesti didahulukan dibanding yang sunah. Lalu, jika wafat dalam keadaan belum menjalankan yang wajib tentu akan menjadi hutang. Sedangkan hal itu tidak terjadi pada ibadah sunah, yang jika ditinggalkan dia tidak berdosa, tidak berhutang, namun juga tidak mendapatkan pahala.
Bahkan, jika berbicara fadhilah puasa enam hari Syawal, sebagian ulama menyatakan tidak akan didapatkan kecuali bagi mereka yang telah sempurna menjalankan puasa Ramadhannya.
Berkata Syaikh Dr. Abdullah Al Faqih Hafizhahullah ketika ditanya hal ini:
فالجواب هو أن الثواب المترتب إنما يكون لمن صام جميع رمضان، ومن بقي عليه يوم لا يعد صائما للجميع كما هو ظاهر الحديث:” من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر” .[ رواه مسلم]. وعلى هذا فابدأ بقضاء اليوم ثم بعد ذلك صم الست… والله أعلم
Jawabnya adalah bahwa pahalanya sifatnya berurut, itu hanya terjadi bagi orang yang berpuasa semua hari Ramadhan, dan bagi yang menyisakan sehari dia tidak puasa, maka dia tidak dihitung puasa seluruhnya sebagaimana zahir hadits: “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan, kemudian menyusulnya dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka seakan dia berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim) Atas dasar ini, maka mulailah dengan mengqadha yang sehari itu, lalu setelah itu berpuasalah yang enam hari … Wallahu A’lam. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah, No fatwa. 18)
Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah dalam acara siaran radio Nur ‘Ala Ad Darb:
فأما التطوع التابع لرمضان كصيام ستة أيام من شوال فإنها لا تنفعه حتى ينتهي من رمضان كله أي لا يحصل له صيام ستة أيام شوال حتى يصوم رمضان كله لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال من صام رمضان ثم أتبعه بست من شوال ومعلوم أن من عليه قضاء من رمضان لا يقال عنه أنه صام رمضان فلو أن أحداً من الناس كان عليه عشرة أيام من رمضان قضاء فلما أفطر الناس يوم العيد شرع في صيام أيام الست فصام ستة أيام من شوال ثم قضى العشرة بعد ذلك فإننا نقول له إنك لا تنال ثواب صيام ستة أيام من شوال بهذه الأيام التي صمتها لأن النبي صلى الله عليه وسلم اشترط في صيامها أن يكون بعد صيام رمضان بل لأن النبي صلى الله عليه وسلم اشترط للثواب المرتب على صيامها أن يكون صيامها بعد رمضان لأنه قال من صام رمضان ثم أتبعه ستاً من شوال وبناء على ذلك فإننا نقول من صام ستة أيام من شوال قبل أن يقضي ما عليه من صيام رمضان فإنه لا ينال ثوابها
Ada pun puasa sunah yang menyusul puasa Ramadhan, seperti puasa enam hari Syawal, tidaklah membawa manfaat bagi dirinya sampai dia menyempurnakan semua puasa Ramadhannya, yaitu tidaklah mendapatkan hasil puasa enam hari Syawalnya itu sampai dia melakukan puasa Ramadhan semuanya, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barang siapa yang berpuasa ramadhan lalu mengikutinya dengan puasa Syawal enam hari.” Telah diketahui bahwa siapa saja yang masih memiliki kewajiban qadha Ramadhan, tidaklah dikatakan bahwa dia telah berpuasa Ramadhan. Seandainya ada seorang manusia yang berhutang puasa Ramadhan 10 hari, lalu ketika sampai waktu hari raya, disyariatkan untuk berpuasa enam hari Syawal, lalu dia melakukan puasa enam hari Syawal, setelah itu melakukan Qadha Ramadhan yang 10 hari itu. Kami katakan, bahwa Anda dengan puasa yang seperti itu tidaklah akan mendapatkan ganjaran puasa Syawal, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mensyaratkan puasa tersebut setelah puasa Ramadhan, bahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mensyaratkan untuk mendapatkan ganjarannya itu dengan ketentuan bahwa puasa Syawal itu dilakukan setelah puasa Ramadhan. Sebab Beliau bersabda: “Barang siapa yang berpuasa ramadhan lalu mengikutinya dengan puasa Syawal enam hari,” atas dasar inilah kami katakan: “Siapa saja yang melakukan puasa enam hari Syawal sebelum menunaikan qadha puasa Ramadhan dia tidak akan mendapatkan ganjarannya.” (Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Fatawa Nur ‘Alad Darb, Bab Az Zakah wash Shiyam, No. 191)
Pandangan ini juga disampaikan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz (Lihat Fatawa Islamiyah, 2/356), Syaikh Salim Al ‘Ajmi (Lihat Ash Shiyam Sual wa Jawab, Hal. 18), dan lain-lainnya.
Jadi, tidak dianjurkan berpuasa Syawal bagi yang belum menyelesaikan puasa Ramadhannya, baik menyelesaikan secara ada’an (tunai), atau qadha’an (membayar hutang puasa dihari lain). Tetapi, boleh saja dia melakukannya, sebab –seperti yang kami katakan sebelumnya- tidak dianjurkan bukan berarti dilarang untuk melakukan, hanya saja dia akan kehilangan keutamaannya sebagaimana diterangkan para ulama.
Sekian. Wallahu A’lam.
🍃🌾🌻🌴🌺☘🌷🌸
Farid Nu’man Hasan