💥💦💥💦💥💦💥
Berikut ini alasan pelarangannya, dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, Beliau berkata:
يا رسول الله أينحني بعضنا لبعض ؟ : قال ( لا ) . قلنا أيعانق بعضنا بعضا ؟ : قال ( لا . ولكن تصافحوا )
Wahai Rasulullah, apakah kami mesti membungkuk terhadap yang lain? Beliau menjawab: “Tidak.” Kami bertanya: “Apakah kami mesti berpelukan?” Beliau menjawab: “Tidak, tetapi berjabat tanganlah.” (HR. Ibnu Majah No. 3702, Ath Thahawi dalam Syarh Ma’anil Aatsar No. 6398, Abu Ya’la No. 4287, Al Bazzar No. 7360)
Hadits ini pada dasarnya dhaif, seperti kata Syaikh Husein Salim Asad dalam Tahqiqnya atas Musnad Abi Ya’la. (No. 4287). Namun karena ada tiga jalur lain yang menjadi mutaba’ah (menguatkan) yakni jalur Syu’aib bin Al Habhab, jalur Katsir bin Abdullah, dan jalur Al Mahlab bin Abi Shufrah, maka menurut Syaikh Al Albani hadits ini HASAN. (As Silsilah Ash Shahihah No. 160)
Hadits ini secara global melarang untuk MEMBUNGKUK dan BERPELUKAN ketika berjumpa, bahkan dalam riwayat lain juga larangan qublah (BERCIUMAN, cipika cipiki).(HR. Ahmad No. 13044)
Oleh karena itu, sebagian ulama memakruhkan berpelukan dan berciuman walau sesama laki-laki, seperti pendapat Imam Abu Hanifah. (Syarh Sunan Ibni Majah, 1/263)
Imam An Nawawi menjelaskan:
المعانقة وتقبيل الوجه مكروهان صرح به البغوي للحديث الصحيح في النهي عنهما كراهة تنزيهة انتهى
Berpelukan dan mencium wajah adalah dua hal yang makruh. Al Baghawi telah menjelaskannya berdasarkan hadits shahih yang melarang keduanya, yaitu makruh tanzih. Selesai. (Ibid)
Namun kita dapatkan riwayat lain yang justru membolehkannya, seperti sebagai berikut:
Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu berkata:
كان أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم إذا تلاقوا تصافحوا ، و إذا قدموا من سفر تعانقوا
Dahulu para sahabat Nabi ﷺ jika berjumpa mereka saling berjabat tangan, dan jika mereka datang dari safar/bepergian mereka BERPELUKAN. (HR. Ath Thabarani dalam Al Awsath, para perawinya adalah perawi shahih, seperti yang dikatakan Al Mundziri, At Targhib, 3/270, juga Al Haitsami, Majma’uz Zawaid, 8/36)
Dari Asy Sya’bi, katanya:
كان أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم إذا التقوا صافحوا ، فإذا قدموا من سفر
عانق بعضهم بعضا
Dahulu para sahabat Muhammad ﷺ jika berjumpa mereka berjabat tangan, dan jika datang dari bepergian mereka saling berpelukan. (HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 13959, Shahih)
Nah, riwayat ini dan semisalnya menjadi dasar bahwa berpelukan itu BOLEH, ada pun larangan terkait karena khawatir fitnah dan syahwat, jika aman-aman saja maka tidak apa-apa berdasarkan riwayat lain yang membolehkannya.
Berikut ini keterangannya:
اما المعانقة فالصحيح انها جائزة ان لم يكن هناك خوف فتنة لما ورد في حديث قصة زيد بن حارثة وجعفر بن أبي طالب ونقل عن الشيخ أبي المنصور الماتريدي في التوفيق بين الأحاديث ان المكروه من المعانقة ما كان على وجه الشهوة وأما على وجه البر والكرابة فجائزة
Ada pun berpelukan, yang BENAR adalah hal itu BOLEH selama tidak dikhawatiri adanya fitnah, sebagaimana kisah Zaid bin Haritsah dan Ja’far bin Abi Thalib. Dikutip dari Asy Syaikh Abu Manshur Al Maturidi tentang kompromi antara hadits-hadits (yang nampaknya bertenangan), bahwa MAKRUH berpelukan itu jika dengan maksud syahwat, sedangkan jika maksudnya kebaikan dan kesedihan maka itu boleh. (Syarh Sunan Ibni Majah, 1/263)
Sementara itu, ada pandangan lain dari Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, bahwa pada dasarnya tidak boleh, namun DIBOLEHKAN jika datang dari bepergian, itu adalah pengecualian, sebagaimana riwayat dari Anas dan Asy Sya’bi di atas.
Beliau berkata –setelah memaparkan hadits yang membolehkan pelukan:
فيمكن أن يقال : إن المعانقة في السفر مستثنى من النهي لفعل الصحابة ذلك ،
و عليه يحمل بعض الأحاديث المتقدمة إن صحت . و الله أعلم .
Maka, kemungkinannya adalah dikatakan sesungguhnya berpelukan pada bepergian merupakan pengecualian dari larangannya, berdasarkan prilaku para sahabat atas hal itu. Dan demikian pula kemungkinan makna hadits-hadits terdahulu (hadits yang melarang, pen) jika itu shahih. Wallahu A’lam (AS Silsilah Ash Shahihah, No. 160)
Demikian. Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam.
🍃🌻🌴🌾🌺☘🌷🌸
✏ Farid Nu’man Hasan