Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d:
Dalam masalah memulai salam kepada non muslim, memang ada dasar yang melarangnya.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi
bersabda:
لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ
“Janganlah memulai salam kepada Yahudi dan Nasrani.” (HR. Muslim no. 2167)
Hadits ini tegas melarang kita memulai salam kepada non muslim. Lalu, apa makna larangan ini? Haramkah, makruh, atau …. ?
Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan sebagai berikut:
“Segolongan ulama berpendapat bolehnya memulai salam kepada mereka, pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abu Umamah, Abu Muhairiz, dan ini salah satu pendapat sahabat-sahabat kami seperti yang diceritakan Al Mawardi tetapi dia mengatakan ucapan salamnya adalah “Assalamu ‘Alaika” bukan “’Alaikum.” Kelompok ini beralasan dengan hadits-hadits yang masih umum tentang perintah untuk menyebarkan salam. INI ADALAH ALASAN YANG BATIL, karena hadits tersebut masih umum dan telah dikhususkan oleh oleh hadits “Janganlah memulai salam kepada Yahudi dan Nasrani”.
Sebagian sahabat kami (Syafi’iyyah) berpendapat dimakruhkan memulai salam kepada mereka, bukan haram. Pendapat ini lemah juga, sebab larangan menunjukkan haram. Maka, yang benar adalah HARAMnya memulai salam kepada mereka. Al Qadhi menceritakan dari segolongan ulama bahwa dibolehkan memulai salam jika ada daruat, ada kebutuhan, dan ada sebab. Ini adalah pendapat Alqamah, An Nakha’i, dan Al Auza’i, dia berkata: “Jika engkau mengucapkan salam maka orang-orang shalih pernah melakukan, jika engkau tidak mengucapkan maka orang-orang shalih juga ada yang meninggalkannya.”
(Al Minhaj Syarh Shahih, 14/145)
Pembahasan Imam An Nawawi menunjukkan pendapat yang mengharamkan adalah pendapat yang kuat, sesuai dengan hadits ini. Menurutnya, lafaz larangan menunjukkan haram. Pengharaman ini merupakan pendapat mayoritas ulama.
Imam Ash Shan’ani Rahimahullah menjelaskan:
فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى تَحْرِيمِ ابْتِدَاءِ الْمُسْلِمِ لِلْيَهُودِيِّ وَالنَّصْرَانِيِّ بِالسَّلَامِ لِأَنَّ ذَلِكَ أَصْلُ النَّهْيِ وَحَمْلُهُ عَلَى الْكَرَاهَةِ خِلَافُ أَصْلِهِ وَعَلَيْهِ حَمَلَهُ الْأَقَلُّ. وَإِلَى التَّحْرِيمِ ذَهَبَ الْجُمْهُورُ مِنْ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ وَذَهَبَ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ ابْنُ عَبَّاسٍ إلَى جَوَازِ الِابْتِدَاءِ لَهُمْ بِالسَّلَامِ وَهُوَ وَجْهٌ لِبَعْضِ الشَّافِعِيَّةِ إلَّا أَنَّهُ قَالَ الْمَازِرِيُّ إنَّهُ يُقَالُ: السَّلَامُ عَلَيْك بِالْإِفْرَادِ، وَلَا يُقَالُ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ، وَاحْتَجَّ لَهُمْ بِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى: {وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا} [البقرة: 83] وَأَحَادِيثُ الْأَمْرِ بِإِفْشَاءِ السَّلَامِ. وَالْجَوَابُ أَنَّ هَذِهِ الْعُمُومَاتِ مَخْصُوصَةٌ بِحَدِيثِ الْبَابِ وَهَذَا إذَا كَانَ الذِّمِّيُّ مُنْفَرِدًا
“Pada hadits ini terdapat dalil haramnya seorang muslim memulai salam kepada Yahudi dan Nasrani, karena itu merupakan hukum asal dari larangan. Ada yang mengartikan makruh dan itu menyelisihi hukum asalnya, yang memahami seperti ini lebih sedikit. Sedangkan pengharaman adalah pendapat mayoritas salaf dan khalaf. Segoloangan ada yang membolekan di antaranya Ibnu Abbas, juga satu golongan Syafi’iyah hanya saja Al Maziri mengatakan ucapan salamnya adalah: “Assalamu ‘Alaika” dalam bentuk tunggal, bukan “Assalamu ‘Alaikum.” Alasan mereka membolehkan adalah keumuman ayat: “Berkatalah kepada manusia perkataan yang baik.” (QS. Al Baqarah: 83) dan hadits-hadits yang memerintahkan menyebarkan salam. Jawaban utk alasan mereka adalah, dalil-dalil ini masih umum dan sudah dikhususkan oleh hadits yang kita bahas dalam bab ini, dan ini (pengharaman memulai salam) berlaku jika kafir dzimmi tesebut seorang diri.”
(Subulus Salam, 2/499)
Larangan ini adalah larangan salam Islam, ada pun memulai sapaan biasa seperti “hai”, “mari pak”…tidak apa-apa. Sebab ini bukan salam.
Lalu, Bagaimana Jika Perkumpulan Yang Bercampur Muslim dan Non Muslim?
Untuk yang seperti ini boleh saja memulai salam,
dengan niat sebagai salam buat yang muslim.
Dalilnya, dari Usamah bin Zaid Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكِبَ حِمَارًا، عَلَيْهِ إِكَافٌ تَحْتَهُ قَطِيفَةٌ فَدَكِيَّةٌ، وَأَرْدَفَ وَرَاءَهُ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ، وَهُوَ يَعُودُ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ فِي بَنِي الحَارِثِ بْنِ الخَزْرَجِ، وَذَلِكَ قَبْلَ وَقْعَةِ بَدْرٍ، حَتَّى مَرَّ فِي مَجْلِسٍ فِيهِ أَخْلاَطٌ مِنَ المُسْلِمِينَ وَالمُشْرِكِينَ عَبَدَةِ الأَوْثَانِ وَاليَهُودِ، وَفِيهِمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ابْنُ سَلُولَ، وَفِي المَجْلِسِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ، فَلَمَّا غَشِيَتِ المَجْلِسَ عَجَاجَةُ الدَّابَّةِ، خَمَّرَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ أَنْفَهُ بِرِدَائِهِ، ثُمَّ قَالَ: لاَ تُغَبِّرُوا عَلَيْنَا، فَسَلَّمَ عَلَيْهِمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ وَقَفَ، فَنَزَلَ فَدَعَاهُمْ إِلَى اللَّهِ، وَقَرَأَ عَلَيْهِمُ القُرْآنَ
“Bahwa Nabi ﷺ mengendarai keledai yang pelananya bersulam beludru Fadaki, sementara Usamah bin Zaid membonceng di belakang beliau ketika hendak menjenguk Sa’ad bin ‘Ubadah di Bani Al Harits Al Khazraj, dan peristiwa ini terjadi sebelum perang Badar. Beliau kemudian berjalan melewati majelis yang di dalamnya bercampur antara kaum muslimin, orang-orang musyrik, para penyembah patung, dan orang-orang Yahudi. Dan di dalam majelis tersebut terdapat pula Abdullah bin Ubay bin Salul dan Abdullah bin Rawahah. Saat majlis itu dipenuhi kepulan debu hewan kendaraan, Abdullah bin Ubay menutupi hidungnya dengan selendang sambil berkata, “Jangan kepulkan kami dengan debu.” Kemudian Nabi ﷺ mengucapkan salam pada mereka lalu berhenti dan turun, Nabi ﷺ mengajak mereka menuju Allah sambil membacakan Al Qur’an kepada mereka.” (HR. Bukhari no. 6254)
Imam An nawawi Rahimahullah menjelaskan:
وَيَجُوزُ الِابْتِدَاءُ بِالسَّلَامِ عَلَى جَمْعٍ فِيهِمْ مُسْلِمُونَ وَكُفَّارٌ أَوْ مُسْلِمٌ وَكُفَّارٌ وَيَقْصِدُ الْمُسْلِمِينَ لِلْحَدِيثِ السَّابِقِ أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَلَّمَ عَلَى مَجْلِسٍ فِيهِ أَخْلَاطٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُشْرِكِينَ
“Dibolehkan memulai salam kepada kumpulan yang di dalamnya terdapat kaum muslimin dan kafir, atau seorang muslim dan kumpulan kaum kafir, dengan maksud untuk kaum muslimin, berdasarkan hadits sebelumnya bahwa Nabi ﷺ. pernah salam kepada majelis yang bercampur atara muslimin dan musyrikin.”
(Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 14/145)
Imam Ash Shan’ani Rahimahullah menjelaskan:
وَهَذَا إذَا كَانَ الذِّمِّيُّ مُنْفَرِدًا وَأَمَّا إذَا كَانَ مَعَهُ مُسْلِمٌ جَازَ الِابْتِدَاءُ بِالسَّلَامِ يَنْوِي بِهِ الْمُسْلِمَ لِأَنَّهُ قَدْ ثَبَتَ أَنَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – سَلَّمَ عَلَى مَجْلِسٍ فِيهِ أَخْلَاطٌ مِنْ الْمُشْرِكِينَ وَالْمُسْلِمِينَ
Larangan ini (memulai salam) jika kafir dzimmi seorang diri, sedangkan jika bersamanya ada seorang muslim maka boleh memulai salam dengan niat untuk si muslim. Karena telah shahih bahwa Nabi ﷺ. mengucapkan salam majelis yang bercampur antara musyrikin dan muslimin.
(Subulussalam, 2/499)
Kesimpulan:
– Tidak boleh memulai ucapan salam kepada mereka, tapi dibolehkan sekedar sapaan.
– Boleh mengucapkan salam saat mereka berkumpul dengan umat Islam, bahkan walau hanya ada satu orang Islam.
Demikian. Wallahu A’lam
Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa Shahibihi wa Sallam
📙📘📗📕📒📔📓📙
✍ Farid Nu’man Hasan