Biografi Hujjatul Islam, Imam Al Ghazali rahimahullah

1 Nama dan Kelahirannya

Imam Adz-Dzahabi mengatakan, Beliau adalah Abu Hamid, Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali.
(Siyar A’lam an Nubala’, jilid. 14, hal. 267)
Lahir di daerah Thus, tahun 450 H. (Ibnu Qadhi Syuhbah, Thabaqat Asy Syafi’iyah, jilid. 1, hal. 293)
Az-Zirikli mengatakan lahir dan wafat di Thabiran (sektor kota Thus, di Khurasan), lahir 450 H, wafat 505H. (Az-Zirikli, Al-A’lam, jilid. 7, hal. 22)

2 Julukan dan Gelar untuknya

Beliau memiliki banyak gelar karena keilmuan dan keshalihannya. Disemua biografinya selalu menyebut dengan HUJJATUL ISLAM, yang artinya hujjahnya Islam, maksudnya pandangan-pandangan Beliau sangat dihormati dan dijadikan pegangan oleh umat Islam baik ulama dan orang awamnya.
Sementara Adz-Dzahabi menyebutnya dengan:
– Al Imam Al Bahr, Imam yang ilmunya luas bagaikan lautan
– Hujjatul Islam
– U’jubatuz zaman (keajaiban di zamannya)
– Zainuddin (perhiasan agama)
– Adz-Dzaka’ Al-Mufrith (kecerdasannya di atas rata-rata)
(Siyar A’lam an Nubala’, jilid. 14, hal. 267)
Az-Zirikli menyebutnya failusuf (ahli filsafat) dan mutashawwif (ahli tasawuf). (Al-A’lam, jilid. 7, hal. 22)

3 Keilmuannya dan Kedudukannya

Imam Adz-Dzahabi menceritakan, bahwa Imam Al-Ghazali belajar fiqih pertama kali di negerinya sendiri, lalu ke Naisabur, di sana membersamai sekelompok para penuntut ilmu lalu mondok secara intensif kepada Imam Al Haramain (yaitu Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini), Beliau mampu menguasai ilmu fiqih dalam waktu yang singkat, mahir dalam ilmu kalam dan perdebatan, bahkan menjadi yang paling menonjol di antara para debator. Beliau mempercayakan kepada murid-muridnya  (untuk menghadap mereka) dan banyak menyusun buku. Gurunya (Abu Al Ma’ali) begitu kagum kepadanya, dan sangat membanggakannya.
Lalu Abu Hamid pergi ke tenda Sultan, dia disambut oleh mentri Nizham Al Mulk, dia sangat senang atas kehadirannya, di sana Al Ghazali terlibat perdebatan dengan ulama besar, dan mentri terkesan dengannya, dan hal ini tersebar ke mana-mana. An Nizham memberikan tanggung jawab kepada Al Ghazali utk mengajar di pondok An Nizhamiyah di Baghdad. Dia datang setelah tahun 480H, umurnya sekitar 30 tahun. Beliau menyusun banyak karya tulis baik dalam Ushul, Fiqih, Kalam, dan berbagai hikmah. (Siyar A’lam an Nubala’, jilid. 14, hal. 267)
Imam Ibnu Katsir menceritakan bahwa saat Imam Al-Ghazali pada posisi puncak karena keilmuannya, dan namanya terkenal seantero dunia Islam, justru dia mengundurkan diri dari semua itu. Dia meninggalkan tugas-tugasnya, meninggalkan aktivitas mengajar, dan dia lebih serius untuk ibadah, zuhud, membersihkan hati, dan keluar menuju Hijaz tahun 488H, dia haji lalu kembali ke Damaskus, dan tinggal di sana 10 tahun, di sana berkumpul dengan seorang ahli fiqih Nashr Al Maqdisi di Zawiyah (mushalla kecil)-nya yang dikenal hari ini dengan Al Ghazaliyah. Di sana dia tekun ibadah dan menyusun karya. Dikatakan bahwa kitab Ihya ‘Ulumuddin dan sejumlah kitab yang lainnya disusun di Damaskus, lalu dia pindah ke Al Quds, lalu ke Mesir dan Iskandariyah, dia punya keinginan kuat mengunjungi raja Maghrib (Maroko) yaitu Yusuf bin Tasyifin di Marokisy, namun sampai kepadanya berita kematian raja tersebut maka dia kembali ke kampung halamannya, Thus, dengan akhlak yang luhur, jiwa yang ridha, tenang, dan dianugerahi lautan ilmu baik ushul, furu’, syar’iyah, dan lain-lainnya yang termasuk ilmu orang-orang awal. Beliau mengumpulkan semua ilmu dan menulis karya tentangnya kecuali Nahwu karena dia tidak spesialis di situ, begitu juga hadits. Al Ghazali berkata: Aku mengkombinasikan berbagai materi dalam ilmu hadits. Dia mukim di negerinya dalam waktu yg panjang untuk fokus menulis, ibadah, tilawah, dan tidak berkumpul dengan manusia.
(Imam Ibnu Katsir, Thabaqat Asy Syafi’iyyin, jilid. 1, hal. 534-535)
Menurut Az-Zirikli, karya tulisanya mencapai 200 buah. Di antaranya:
– Ihya ‘Ulumuddin
– Tahafut Al Falasifah
– Al Iqtishad fil I’tiqad
– Mihakun Nazhar
– Ma’arij Al Quds fi Ahwalin Nafs
– Al Farq Bainash Shalih Wa Ghairush Shalih
– Maqashid Al Falasifah
– Al Madhnun biji ‘ala ghairi ahli
– Al Waqf wal Ibtida’ (tafsir)
– Al Basith (fiqih)
– Al Ma’arif Al ‘Aaliyah
– Al Munqidz minadh Dhalal
– Bidayah Al Hidayah
– Jawahirul Quran
– Fadhaaih Al Bathiniyah
– At Tabaruk Al Masbuk fi nashihati Al Muluk
– Al Mustashfa (Ushul Fiqh)
– Al Mankhul min ‘Ilmi Ushul
– Al Wajiz
– Yaqut At Ta’wil
– Asrarul Hajj
– Faishalut Tafriqah bainal Iman waz Zindiqah
– Dan masih banyak lainnya
(Al A’lam, jilid. 7, hal. 22)

4 Aqidahnya

Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama sunni, yang mengikuti paradigma Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, dengan kata lain Beliau salah satu ulama Asya’irah.
Al Hafizh Ibnu ‘Asakir telah menyusun biografi para ulama Asya’irah, sejak generasi awal sampai di masanya, dan Imam Al-Ghazali termasuk di dalamnya yaitu Thabaqat al-Khamis (generasi-angkatan kelima). (Ibnu ‘Asakir, Tabyin Kadzib Muftari, hal. 542. Darut Taqwa, Damskus)
Salah satu bukti otentik Imam Al-Ghazali seorang Asy’ari adalah kitab aqidah yang Beliau susun, yaitu Qawa’id al-‘Aqaid. Dalam pasal At-Tanzih, Beliau menjelaskan -sebagaimana dikutip Ibnu ‘Asakir:
ولَيْسَ كمثله شَيْء ولاهو مثل شَيْء وَأَنه لَا يحده الْمِقْدَار وَلَا تحويه الأقطار وَلَا تحيط بِهِ الْجِهَات وَلَا تكتنفه الأرضون وَالسَّمَوَات
Tidaklah ada suatu apa pun yang menyerupai-Nya, Dia pun tidak serupa dengan suatu apa pun. Dia tidak dibatasi oleh ukuran, tidak pula dibatasi oleh semua penjuru wilayah, tidak diliputi oleh semua penjuru arah, dan tidak pula diliputi oleh semua sisi bumi dan langit.
وَأَنه اسْتَوَى على الْعَرْش على الْوَجْه الَّذِي قَالَه وبالمعنى الَّذِي أَرَادَهُ اسْتِوَاء منزها عَن المماسة والاستقرار والتمكن والحلول والانتقال .. 
Dia ber-istiwa di atas ‘arsy dengan cara yang Dia katakan, dengan makna yang Dia kehendaki, suci dari makna bersentuhan (dengan ‘arsy) dan menetap (di ‘arsy), bertempat tinggal, menyatu, dan berpindah
(Lihat Tabyin Kadzib al-Muftari, hal. 552)
Tentang fasal Kalam (berbicara):
وأنه تعالى متكلم آمر ناه، واعد متوعد بكلام أزلي قديم قائم بذاته، لا يشبه كلام الخلق، فليس بصوت يحدث من انسلال هواء أو اصطكاك أجرام، ولا بحرف ينقطع بإطباق شفة أو تحريك لسان
ِAllah Ta’ala berbicara, memerintah, melarang, menjanjikan, mengancam, dengan pembicaraan yang azali (sudah ada sejak belum adanya makhluk), qadim (terdahulu), Dia berdiri sendiri dengan zat-Nya, tidak serupa dengan pembicaraan makhluk, bukanlah dengan suara yang muncul dari masuknya udara atau benturan benda, tidak pula dengan huruf yang terputus dengan tertutupnya bibir atau gerakan lidah.
(Lihat Tabyin Kadzib al-Muftari, hal. 554)
Apa yang tertulis di atas, menunjukkan bahwa Imam Al-Ghazali seorang Asy’ari di sisi ta’wil kepada sifat. Sebagian peneliti -seperti Asy-Syaukani- mengatakan bahwa pada akhirnya Imam Al-Ghazali berubah dan mengikuti jalan salaf, yaitu tidak mentakwil, tapi tafwidh.  Imam Asy-Syaukani mengatakan:
“Mereka bertiga, yaitu Al-Juwaini, Al-Ghazali, dan Ar-Razi adalah orang-orang yang meluaskan dan memanjangkan cakupan takwil. Sebagaimana diketahui, akhirnya mereka kembali kepada mazhab salaf. Segala puji bagi Allah” (Irsyadul Fuhul, Jilid. 2, hal. 49)
Syaikh Al Qaradhawi dalam kitab Fushul fil ‘Aqidah bainas Salaf wal Khalaf juga mengatakan bahwa Imam Al Ghazali kembali ke mazhab Salaf dalam karyanya yang lain, Iljamul ‘Awwam ‘an ‘Ilmil Kalam.
Salaf yang dimaksud mereka adalah tafwidh (mengembalikan hakikat makna sifat kepada Allah), yang juga merupakan salah satu metode ulama Asya’irah sebagaimana yg dikatakan Imam Al-Bajuri (boleh juga Al-Baijuri) mengutip dari Al-Laqqani:
وكُلُّ نَصٍ أَوْهَمَ التَشْبِيْها أَوِّلْهُ أَوْ فَوِّضْ وَرُمْ تَنْزِيْهَا
“Setiap naṣ yang membawa kesan tasybih (penyerupaan dengan makhluk) ta’wīl-lah atau tafwīḍ-lah dan tetapkanlah kemahasucian Allah.” (Al-Bajuri, Tuhfatul Murid, hal. 156)
Artinya, Beliau tetap pada koridor Asya’irah.

5 Fiqihnya

Fiqihnya adalah Syafi’i. Para ulama penyusun kitab Thabaqat Syafi’iyyah (seperti Abu Syuhbah, Ibnu Katsir, dan As Subki) selalu memasukan Al Ghazali dalam deretan ulama mazhab Syafi’i, bahkan termasuk pembesarnya.
Namun demikian, Beliau tetap kritis walau terhadap mazhabnya sendiri. Dalam masalah air pada Bab Thaharah di Ihya ‘Ulumuddin, Beliau mengikuti mazhab Maliki dengan mengatakan, “Dalam masalah ini saya lebih tertarik pada pendapat mazhab Maliki”,  lalu Beliau mengemukakan tujuh dalil atas hal itu. Tentunya hal ini bisa dilakukan oleh ulama yang sudah taraf mampu ijtihad.
✍ Farid Nu’man Hasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top