💢💢💢💢💢💢💢💢
Daftar Isi
Makna at Tafwidh – التفويض
Tafwidh diambil dari kata fawwadha yang artinya menyerahkan, mewakilkan, mendelegasikan. Dalam konteks menyikapi sifat-sifat Allah, ada dua pengertian:
- Tafwidhul ma’na, yaitu menyerahkan makna hakikinya kepada Allah ﷻ. Kadang disebut tafwidhul murad yaitu menyerahkan maksudnya kepada Allah ﷻ. Kadang disebut tafwidhul ‘ilmi, menyerahkan ilmunya kepada Allah ﷻ, tanpa takyif (bertanya bagaimana) dan tasybih (menyerupai dengan makhluk). Inilah yang dianggap madzhab masyhur para ulama salaf. Dalil mereka adalah:
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS. Ali ‘Imran: 7)
- Tafwidhul kaifiyat, yaitu menetapkan (itsbat) terhadap sifat-sifat Allah ﷻ, namun menyerahkan caranya atau bagaimana terjadinya sifat-sifat tersebut. Ini pun diklaim sebagai madzhab salaf, bahkan pendukung pemahaman ini mengkritik tafwidhul ma’na sebagai sikap yang buruk seperti yang dikatakan Imam Ibnu Taimiyah. Sebab, tidak mungkin ayat-ayat Allah ﷻ termasuk sifat-sifatNya tidak diketahui maknanya.[1] Inilah yang diikuti dan dipahami “salafiyah” zaman ini.
Menelusuri perkataan salaf tentang tafwidh ma’na
Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah berkomentar tentang hadits-hadits sifat:
نؤمن بها، ونصدق بها ولا كيف، ولا معنى، ولا نرد منها شيئاً، ونعلم أن ما جاء به الرسول حق إذا كانت بأسانيد صحاح، ولا نرد على الله قوله، ولا يوصف بأكثر مما وصف به نفسه ولا حد ولا غاية، ليس كمثله شيء
Kami mengimaninya, membenarkannya, tidak bertanya bagaimana, tidak menetapkan maknanya, dan kami tidak menolaknya sama sekali. Kami tahu apa yang disampaikan Rasulullah adalah benar jika sanadnya shahih dan kami tidak menolak firmanNya.[2]
Imam Al Baihaqi Rahimahullah menjelaskan:
وَأَسْلَمُهَا الْإِيمَانُ بِلَا كَيْفٍ وَالسُّكُوتُ عَنِ الْمُرَادِ إِلَّا أَنْ يَرِدَ ذَلِك عَن الصَّادِق فيصار إِلَيْهِ وَمن الدَّلِيلَ عَلَى ذَلِكَ اتِّفَاقُهُمْ عَلَى أَنَّ التَّأْوِيلَ الْمُعَيَّنَ غَيْرُ وَاجِبٍ فَحِينَئِذٍ التَّفْوِيضُ أَسْلَمُ
Sikap paling selamat adalah mengimaninya tanpa menanyakan bagaimananya dan diam terhadap maksudnya kecuali yang ada dalilnya dari Ash Shaadiq (Rasulullah) yang menunjukkan maksudnya. Di antara dalilnya adalah bahwa mereka sepakat takwil secara khusus tidaklah wajib maka saat itu tafwidh adalah jalan yang lebih selamat.[3]
Perkataan ini menunjukkan bahwa sikap salaf itu adalah diam terhadap cara dan maksudnya atau maknanya. Hal ini juga dipertegas oleh pernyataan lainnya dari para ulama.
Imam Al Alusi Rahimahullah berkata:
وأنت تعلم أن المشهور من مذهب السلف في مثل ذلك تفويض المراد منه إلى الله تعالى فهم يقولون : استوى على العرش على الوجه الذي عناه سبحانه منزها عن الاستقرار والتمكن
“Engkau telah mengetahui, bahwa yang masyhur dari madzhab SALAF dalam hal seperti ini adalah tafwidhul murad (menyerahkan maksudnya) kepada Allah ﷻ. Mereka mengatakan bahwa istawa ‘alal ‘arsy sesuai yang dimaknai oleh Allah Yang Maha Suci, bahwa diriNya suci dari istiqrar (menetap) dan bertempat.” [4]
Imam adz Dzahabi Rahimahullah menjelaskan tentang beberapa hadits: “Allah menciptakan Adam dalam rupaNya”, “Sesungguhnya Allah menyingkap betisNya”, dan “Allah memasukkan tanganNya ke neraka jahanam dan mengeluarkan darinya siapa yang dikehendaki”, kata Beliau:
فَقَولُنَا فِي ذَلِكَ وَبَابِهِ: الإِقرَارُ، وَالإِمْرَارُ، وَتَفْويضُ مَعْنَاهُ إِلَى قَائِلِه الصَّادِقِ المَعْصُومِ
Pendapat kami dalam masalah dan bab ini adalah: mengakuinya dan membiarkannya dan tafwidh ma’na (mengembalikan maknanya) kepada pengucapnya ash Shadiq al Ma’shum (yakni Rasulullah).[5]
Imam Ibnu Hajar Rahimahullah mengutip dari Ibnu Munayyar tentang ahli kalam terdahulu dalam menyikapi ayat dan hadits sifat, sebagai berikut:
وَلِأَهْلِ الْكَلَام فِي هَذِهِ الصِّفَات كَالْعَيْنِ وَالْوَجْه وَالْيَد ثَلَاثَة أَقْوَال : أَحَدهَا أَنَّهَا صِفَات ذَات أَثْبَتَهَا السَّمْع وَلَا يَهْتَدِي إِلَيْهَا الْعَقْل ، وَالثَّانِي أَنَّ الْعَيْن كِنَايَة عَنْ صِفَة الْبَصَر ، وَالْيَد كِنَايَة عَنْ صِفَة الْقُدْرَة ، وَالْوَجْه كِنَايَة عَنْ صِفَة الْوُجُود ، وَالثَّالِث إِمْرَارهَا عَلَى مَا جَاءَتْ مُفَوَّضًا مَعْنَاهَا إِلَى اللَّه تَعَالَى
Bagi Ahli kalam, tentang sifat-sifat ini seperti ‘mata’, ‘wajah’, ‘tangan’, terdapat tiga pendapat:
Pertama, bahwa sifat-sifat zat Allah yang ditetapkan (itsbat) oleh pendengaran tidaklah mampu bagi akal untuk mengetahuinya.
Kedua, bahwa ‘mata’ adalah kinayah (kiasan) bagi penglihatan, ‘tangan’ adalah kinayah dari kekuatan, dan ‘wajah’ adalah kinayah dari sifat wujud.
Ketiga, membiarkannya sebagaimana datangnya, dan menyerahkan (mufawwadha) maknanya kepada Allah Ta’ala.[6]
Bagian ketiga dari apa yang dikatakan Ibnu Munayyar di atas adalah tafwidhul ma’na, yang menunjukkan sebagai pemahaman salaf umumnya.
Ini juga disampaikan Imam Hasan Al Banna Rahimahullah dalam Al ‘Aqaid-nya, mirip dengan apa yang dikatakan Imam Al Baihaqi Rahimahullah:
ونحن نعتقد أن رأي السلف من السكوت وتفويض علم هذه المعاني إلى الله تبارك وتعالى أسلم وأولى بالاتباع ، حسما لمادة التأويل والتعطيل ، فإن كنت ممن أسعده الله بطمأنينة الإيمان ، وأثلج صدره ببرد اليقين ، فلا تعدل به بديلا
“Kami meyakini bahwa pendapat salaf yakni diam dan menyerahkan ilmu makna-makna ini kepada Allah ﷻ adalah lebih selamat dan lebih utama untuk diikuti, dengan memangkas habis takwil dan ta’thil (pengingkaran), maka jika Anda adalah termasuk orang yang telah Allah ﷻ bahagiakan dengan ketenangan iman, dan disejukkan dadanya dengan salju embun keyakinan, maka janganlah mencari gantinya (salaf).” [7]
Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin at Turki, yang berkata:
فإِنَّ أحدًا لا يعرفُ كيفيةَ ما أخبر الله به عن نفسه ، ولا يقف على كنه ذاته وصفاته غيره ، وهذا هو الذي يجبُ تفويضُ العلم فيه إِلى الله عزَّ وجلَ
“Maka, sesungguhnya tak ada satu pun manusia yang mengetahui bagaimana caranya, tentang apa-apa yang Allah ﷻ kabarkan tentang diriNya, dan tidak ada yang mengerti asalNya, DzatNya, SifatNya, selain diriNya, dan yang demikian itulah yang diwajibkan untuk menyerahkan (tafwidh) ilmunya tentang hal itu kepada Allah ﷻ.” [8]
Semua ungkapan ini menunjukkan bahwa madzhab salaf adalah tafwidhul ma’na, menetapkan adanya sifat tersebut namun menyerahkan maknanya kepada Allah ﷻ , bukan takyif, tasybih, ta’thil, dan ta’wil.
Menelusuri perkataan salaf tentang itsbat dan tafwidhul kaifiyat
Inilah yang dipahami oleh salafiyah zaman ini. Menurut mereka kaum salaf itu memahami sifat Allah ﷻ dengan menetapkannya (itsbat) secara zahir dan tidak takyif (menanyakan bagaimananya), dan tidak membayangkannya seperti makhluk (tasybih), dan tidak mengingkari keberadaannya (ta’thil). Seperti yang dimotori oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Syaikh Shalih Al Fauzan, dan murid-muridnya.
Sehingga sifat zatiyah Allah ﷻ seperti wajah, tangan, mata, betis, kaki, mereka memahami secara apa adanya, bahwa Allah ﷻ memang memiliki itu semua sesuai apa yang dikatakanNya tentang diriNya, dan sesuai yang dikatakan RasulNya tentang diriNya, namun tidak boleh ditakwil, diserupakan dengan makhluk, dan terbayang dalam benak manusia. Begitu pula sifat fi’liyah seperti tertawa, marah, datang, berlari, bersemayam, mereka memahami sebagaimana bunyinya tanpa menyerupakannya dengan apa pun. [9]
Imam Al Auza’i Rahimahullah berkata:
إِنَّ اللهَ -تَعَالَى- فَوْقَ عَرْشِه، وَنُؤمِنُ بِمَا وَرَدَتْ بِهِ السُّنَّةُ مِنْ صِفَاتِهِ، وَمَعْلُوْمٌ عِنْدَ أَهْلِ العِلْمِ مِنَ الطَّوَائِفِ أَنَّ مَذْهَبَ السَّلَفِ إِمرَارُ آيَاتِ الصِّفَاتِ وَأَحَادِيْثِهَا كَمَا جَاءتْ مِنْ غَيْرِ تَأْوِيلٍ وَلاَ تَحرِيْفٍ، وَلاَ تشيبه وَلاَ تَكْيِيفٍ
Sesungguhnya Allah di atas ‘arsyNya, kami mengimani apa yang diberitakan sunnah tentang sifat-sifatNya, dan hal itu perkara yang telah diketahui menurut ulama dari berbagai golongan, bahwasanya madzhab salaf itu membiarkan berbagai ayat dan hadits tentang sifat sebagaimana datangnya tanpa ta’wil, tanpa mengubahnya, tanpa menyerupainya dengan makhluk, dan tanpa bertanya bagaimana.[10]
Imam Sufyan Ats Tsauri Rahimahullah ditanya tentang hadits-hadits sifat, Beliau menjawab:
أَمِرُّوهَا كَمَا جَاءتْ
Biarkan saja sebagaimana datangnya.[11]
Al Walid bin Muslim mengatakan, “Aku bertanya kepada Malik, Ats Tsauri, Al Laits, Al Auza’i, tentang hadits berkenaan sifat-sifat, mereka menjawab: “Biarkan saja sebagaimana datangnya.” [12]
Semua petunjuk ini ditafsirkan bahwa kaum salaf menetapkan sifat sebagaimana datangnya dalam nash. Mereka tidak menyikapi sifat-sifat ini dengan diserahkan ilmunya kepada Allah ﷻ, sebab itu merupakan perkara yang sudah diketahui ulama, namun mereka tidak tahu kaifiyahnya maka bertanya kaifiyah itu tidak dibenarkan, dan mesti diserahkan kepada Allah ﷻ (tafwidhul kaifiyat).
Mazdhab inilah yang dianut mantan Mufti Kerajaan Arab Saudi, Syaikh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullah:
ليس الأسلم تفويض الأمر في الصفات إلى علام الغيوب لأنه سبحانه بينها لعباده وأوضحها في كتابه الكريم وعلى لسان رسوله الأمين صلى الله عليه وسلم ولم يبين كيفيتها، فالواجب تفويض علم الكيفية لا علم المعاني وليس التفويض مذهب السلف بل هو مذهب مبتدع مخالف لما عليه السلف الصالح
Bukanlah hal yang selamat menyerahkan perkara sifat sebagai hal yang ghaib, karena Allah ﷻ telah menjelaskan untuk hambaNya dalam Al Quran dan atas lisan RasulNya ﷺ dan Dia tidak menjelaskan kaifiyahnya. Maka, wajib tafwidh terhadap kaifiyahnya bukan tafwidh terhadap ilmu tentang makna-maknanya. Tafwidh bukanlah madzhab salaf justru itu madzhab pelaku bid’ah yang menyelisihi shalafush shalih.[13]
Hal ini juga dianut umumnya ulama kerajaan Saudi seperti Syaikh ‘Utsaimin, Syaikh Shalih Al Fauzan, dan lainnya, serta murid-murid mereka termasuk di tanah air.
Penutup
Para imam kaum muslimin tidak satu kata dalam memahami tafwidh yang bagaimanakah yang dianut kaum salaf. Sebagian besar menganggap tafwidhul ma’na, sebagian lain tafwidhul kaifiyat. Namun, sikap keras kita dapati dari pihak yang menyebut tafwidhul kaifiyat kepada pihak tafwidhul ma’na. Mereka menyebutnya sebagai pemahaman yang buruk, ilhad (atheis), dan bid’ah. Termasuk sikap keras yang terjadi di zaman ini.
Sebaiknya perbedaan sudut pandang ini tidak membuat munculnya hinaan kepada sesama muslim apalagi sesama ahli ilmu. Sebab, perbedaan tersebut sangat mungkin terjadi. Mereka beda dalam memahami atau menafsirkan sikap kaum salaf terhadap ayat dan hadits tentang sifat , sebagaimana mereka juga bisa berbeda dalam memahami ayat Al Quran dan As Sunnah, serta masalah fiqih. Semoga Allah ﷻ satukan ulama Islam dan kaum muslimin.
Demikian. Wallahu A’lam
🌷☘🌺🌴🌻🍃🌾🌸
✍ Farid Nu’man Hasan
[1] Imam Ibnu Taimiyah, Dar’u at Ta’arudh, 1/115
[2] Imam adz Dzahabi, Al ‘Arsy, 1/258
[3] Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 3/30
[4] Imam Al Alusi, Ruhul Ma’aniy, 8/136
[5] Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam an Nubala, 7/183. Di halaman yang sama, menurut Imam adz Dzahabi hadits-hadits di atas telah diingkari dengan keras oleh Imam Malik Rahimahullah, dan Beliau melarang seorang pun membicarakan hadits itu. Ketika ada yang mengatakan bahwa ada ulama yang membicarakannya, yaitu Ibnu ‘Ajlan, dari Abu Zinad, maka Imam Malik mengatakan: “Ibnu ‘Ajlan tidak punya pengetahuan tentang hal ini sama sekali dan dia bukan ulama, dan Abu Zinad belum pernah berinteraksi dengan mereka.” Imam adz Dzahabi berkomentar: “Pengingkaran Imam Malik terjadi karena menurutnya hadits ini tidak kuat, dan tidak bersambung kepadanya, dan ini ma’dzur (dimaklumi/dimaafkan) sebagaimana dua pengarang kitab shahih (Bukhari dan Muslim) juga diberikan ‘udzur karena mereka meriwayatkannya karena sanadnya yang shahih (yakni hadits yang pertama dan kedua). Ada pun hadits yang ketiga aku tidak ketahui adanya lafaz seperti itu.”
[6] Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 13/390
[7] Al Imam Asy Syahid Hasan Al Banna, Majmu Ar Rasail, Hal. 368. Al Maktabah At Taufiqiyah
[8] Syaikh Abdul Muhsin at Turki, Mujmal I’tiqad A’immah As Salaf, Hal. 141
[9] Inilah yang tidak diterima oleh Asy’ariyah, yang akhirnya menganggap ini sebagai paham mujassimah dan telah murtad, sebab ini menuduh Allah ﷻ memiliki jism (fisik) seperti makhluk. Sebagaimana kalangan salafiyah pun menuduh Asy’ariyah (dengan berbagai takwilnya) disamakan dengan jahmiyah, sekte yang meyakini Allah ﷻ di mana-mana. Jika kita pelajari masing-masing maksud kelompok dengan jernih, tanpa fanatik dan tanpa dibarengi kebencian, maka kita akan dapati bahwa tuduhan masing-masing pihak bisa sama-sama tidak terbukti. Sebab tidak mungkin ada seorang muslim -awam sekali pun- yang mengatakan Allah ﷻ seperti makhluk , atau Allah ﷻ ada di mana-mana sehingga seperti paham politheis (banyak tuhan). Wallahu A’lam
[10] Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam an Nubala, 7/379-380
[11] Ibid, 6/846
[12] Ibid, 7/219
[13] Majmu’ Fatawa Ibn Baaz, 3/55