Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag. 2) – Hadits Pertama, Niat dan Ikhlas

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Tulisan Sebelumnya: Syarah Hadits Arbain Nawawi (Bag 1) – Muqoddimah

📚 SYARAH HADITS PERTAMA (Niat dan Ikhlas)

📌 Matan Hadits :

عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي الله تعالى عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله تعالى عليه وعلى آله وسلم يقول: “إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى، فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه”. رواه إماما المحدثين: أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبه البخاري وأبو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة

Dari Amirul Mu’minin, Abu Hafsh Umar bin Al Khathab Radhiallahu Ta’ala ‘Anhu, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya amal itu hanyalah beserta niat, dan setiap manusia mendapatkan apa-apa sesuai yang diniatkannya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya itu adalah kepada Allah dan RasulNya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang diinginkannya atau wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa-apa yang ia inginkan itu.” (Diriwayatkan oleh Imamul Muhadditsin, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari dan Abul Husein Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naisaburi, dalam kitab shahih mereka yang merupakan kitab hadits paling shahih)

📌Takhrij Hadits:

– Imam Bukhari, Jami’ush Shahih, No. 45, 163, 2392, 3685, 4783, 6311, 6553
– Imam Muslim, Jami’ush Shahih, No. 1907
– Imam At Tirmidzi, As Sunan, No. 1698
– Imam Abu Daud, As Sunan, No. 2201
– Imam Ibnu Majah, As Sunan, No. 4227
– Imam Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, No.181, 2087, 12686, 14773
– Imam Ibnu Hibban, Ash Shahih, No. 388, 4868

Semuanya melalui jalur sahabat nabi yang sama yakni Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu. Beliau menggunakan kata sami’tu (Aku mendengar) yang menunjukkan bahwa Beliau mendengar hadits ini secara langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tanpa perantara.

Makna Hadits:

عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي الله تعالى عنه قال :

“Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:”

Amirul Mu’minin artinya pemimpin orang-orang beriman, yakni orang yang mengurus berbagai urusan (Al Umur) kaum beriman yang berada dalam jangkauan wilayah kekuasaannya. Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu adalah orang pertama yang dipanggil dengan sebutan gelar ini. Orang pertama yang memanggilnya dengan sebutan ini adalah Abdullah bin Jahsy, dan menurut riwayat lainnya adalah Amr bin Al ‘Ash dan Mughirah bin Syu’bah. Sejak itu panggilan Amirul Mu’minin menjadi panggilan baku bagi khalifah selanjutnya.

Bahkan pada masa selanjutnya, istilah tersebut juga dipakai oleh para ulama hadits yakni Amirul Mu’minin fil Hadits (pemimpin orang beriman dalam hadits) sebuah gelar tertinggi yang diberikan kepada ahli hadits. Di antara ahli hadits yang menyandang gelar ini pada masanya masing-masing adalah Imam Al Bukhari dan Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani (walau Beliau lebih dikenal dengan gelar Al Hafizh).

Abu Hafsh Umar bin Al Khathab adalah -sebagaimana keterangan Imam As Suyuthi dalam Tarikhul Khulafa’:
Beliau adalah Umar bin Al Khathab bin Nufail bin Abdil ‘Uzza bin Riyah bin Qurth bin Razah bin ‘Adi bin Ka’ab bin Lu’ai. Dialah Amirul Mu’minin, Abu Hafsh Al Qursyi Al ‘Adawi Al Faruq.

Masuk Islam tahun keenam masa kenabian, saat usianya 27 tahun sebagaimana kata Imam Adz Dzahabi. Imam An Nawawi mengatakan Umar bin Al Khathab dilahirkan 13 tahun setelah peristiwa gajah (tahun gajah). Dia berasal dari suku Quraisy yang paling mulia. Masuk Islam termasuk generasi awal setelah 40 laki-laki dan 11 wanita. Ada juga yang mengatakan setelah 39 laki-laki dan 23 wanita, dan ada juga yang mengatakan setelah 45 laki-laki dan 11 wanita. Setelah keislaman Umar, kaum muslimin di Mekkah senantiasa berjaya dan mereka amat berbahagia dengan keislamannya.

Dia adalah salah seorang sahabat nabi yang paling utama, salah seorang yang dikabarkan dijamin masuk surga, dan salah seorang khalifatur rasyidin. Beliau meriwayatkan hadits dari nabi 539 buah. (Imam As Suyuthi, Tarikhul Khulafa’, Hal. 89. Cet. 1. 2004M-1425H. Maktabah Nazar Mushthafa Al Baz)

Selanjutnya:

: سمعت رسول الله صلى الله تعالى عليه وعلى آله وسلم يقول”

Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Ala Aalihi Sallam bersabda”
Ucapan Umar, Sami’tu (Aku Mendengar) menunjukkan bahwa hadits ini didengarnya secara langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tanpa perantara orang lain. Hal ini ditegaskan oleh Al ‘Allamah Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah sebagai berikut:

وفي قوله سَمِعْتُ دليل على أنه أخذه من النبي صلى الله عليه وسلم بلا واسطة. والعجب أن هذا الحديث لم يروه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم إلا عمر رضي الله عنه مع أهميته، لكن له شواهد في القرآن والسنة

“Ucapannya ‘Aku Mendengar’ merupakan dalil bahwa Beliau mengambil hadits ini dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan tanpa perantara. Mengagumkannya adalah bahwa hadits sepenting ini tidak ada sahabat yang meriwayatkannya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kecuali Umar Radhiallahu ‘Anhu. Tetapi hadits ini memiliki syawahid (banyak saksi/penguat) dalam Al Quran dan As Sunnah.” (Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Syarh Arba’in An Nawawiyah Hal. 3. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Selanjutnya:

إنما الأعمال بالنيات

“Sesungguhnya amal itu hanyalah beserta niat”

Kata innama adalah –sebagaimana kata para ulama muhaqqiq (peneliti)- Lil Hashr للحصر)) yakni sebagai pembatas, sehingga dia bermakna ‘Sesungguhnya hanyalah’ . Sebagai itsbat (penetap) dari hukum dari hal yang disebutkan setelahnya.

Dengan kata lain tidak ada amal kecuali dengan niat. Jika dikatakan: Zaidun Qaaimun (Zaid sedang berdiri). Maka ini tidak ada pembatasan, bisa saja Zaid berdiri sambil makan, bersandar, atau aktiftas lainnya. Tetapi jika dikatakan Innama Zaidun Qaaimun (Sesungguhnya Zaid hanyalah sedang berdiri), maka ini sudah ada pembatasan bahwa aktifitas zaid cuma berdiri, tidak yang lainnya.

Al A’mal adalah jamak (plural) dari ‘amal (perbuatan), sebagai kelanjutan dan ikrar dari niat. Al A’mal mencakup berbagai bentuk perbuatan, baik perbutan hati, lisan, dan jawarih (anggota badan). Amal hati seperti tawakkal kepada Allah, kembali dan takut kepadaNya. Amal lisan seperti berbicara dan makan. Amal jawarih seperti perbuatan tangan dan kaki dan yang semisalnya.

Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah mengatakan:

والمراد بالأعمال: الأعمال الشرعية. ومعناه: لا يعتد بالأعمال بدون النية مثل الوضوء والغسل والتيمم وكذلك الصلاة والزكاة والصوم والحج والاعتكاف وسائر العبادات، فأما إزالة النجاسة فلا تحتاج إلى نية لأنها من باب الترك والترك لا يحتاج إلى نية، وذهب جماعة إلى صحة الوضوء والغسل بغير نية

“Yang dimaksud Al A’mal adalah amal-amal syar’i. artinya amal perbuatan tersebut tidaklah cukup dengan tanpa niat, seperti wudhu, mandi junub, tayammum, demikian juga shalat, zakat, puasa, haji, I’tikaf, dan semua ibadah. Sedangkan menghilangkan najis tidaklah membutuhkan niat, karena itu merupakan pembahasan at tarku (meninggalkan perbuatan), dan meninggalkan perbuatan tidaklah membutuhkan niat. Segolongan manusia berpendapat sahnya wudhu dan mandi junub walau tanpa niat.” Demikian dari Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id.

An Niyyat –dengan huruf Ya’ ditasydidkan- adalah jamak dari niyyah yang bermakna ‘azmul qalbi (tekad di hati). Di juga bermakna Al Qashdu (maksud).

Secara syariat menurut Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin niat bermakna:

العزم على فعل العبادة تقرّباً إلى الله تعالى، ومحلها القلب، فهي عمل قلبي ولاتعلق للجوارح بها

Tekad (keinginan kuat) untuk melaksanakan ibadah demi mendekatkan diri kepada Allah Ta’la, letaknya di hati, dan dia termasuk amal hati yang tidak tergantung dengan perbuatan anggota badan. (Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, Syarh Al Arba’in An Nawawiyah hal. 4-5. Lihat juga Syaikh Ismail bin Muhammad Al Anshari, At Tuhfah Ar Rabbaniyah Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Hal. 2. Maktabah Al Misykah. Juga Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arba’in An nawawiyah, Hal. 26. Maktabah Al Misykah)

Maka, amal perbuatan dikatakan SAH sebagai perbuatan, jika dibarengi niat untuk melaksanakannya. Tanpa niat, itu dinamakan ketidaksengajaan, rekayasa atau sandiwara, walau secara lahiriyah juga nampak adanya perbuatan tersebut.

Tidak dinamakan shalat orang yang melakukannya tanpa niat, walau lahiriyahnya menampakkan dia sedang shalat. Tidak dinamakan masuk Islam bagi orang kafir yang mengucapkan dua kalimat syahadat, jika melaksanakannya tanpa niat untuk itu, melainkan sekedar tuntutan skenario di film.

Selanjutnya:

وإنما لكل امرئ ما نوى :

“dan setiap manusia mendapatkan apa-apa sesuai yang diniatkannya.”

Maksudnya, hasil akhir yang didapatkan seseorang dari perbuatannya tergantung niat apa dibalik perbuatannya itu, dia tidak akan mendapatkan selain yang diniatkannya.

Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah mengatakan:

“Barangsiapa yang datang ke masjid untuk shalat, atau untuk menghadiri shalat berjamaah, atau mencari pahala dengan berdzikir dan membaca Al Quran, maka dengan ini dia akan mendapatkan sesuai apa yang diinginkannya. Ada pun yang masuk ke masjid untuk melakukan amal yang tidak ada kaitan dengan perkara agama dan ketaatan, maka dia mendapatkan sesuai apa yang diinginkannya itu, dan tidak mendapatkan pahala.” (Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr, Syarh Sunan Abi Daud, No. 066. Maktabah Al Misykah)

Para ulama berbeda pendapat, apakah kalimat ‘ wa innama likullimri’in maa nawa’ memiliki makna yang sama dengan innamal a’malu bin niyyat, ataukah dia merupakan kalimat penegas (taukid) dari kalimat tersebut?

Dan, Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin lebih menguatkan bahwa maknanya adalah sebagai kalimat penegas. Sebab, pengulangan (repetition) biasanya memang berfungsi sebagai penegas, penguat dan penjelas dari kalimat sebelumnya.

Bersambung .. (masih syarah hadits 1)

Tulisan Berikutnya: Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag. 3) – Lanjutan Hadits Pertama: Niat dan Ikhlas

🍃🌴🌻🌾🌸🌺☘🌷

✏ Farid Nu’man Hasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top