Berobat Dengan Mengkonsumsi Kelelawar

💥💦💥💦💥💦

📨 PERTANYAAN:

Ass wr.wb
Pa kabar pak Ustad
Kenalkan sy bu erlis:
Mau tanya: Anak sy asma
Ada yg bilang makan hati kelelawar..
Apakah boleh dalam hukum islam, Haram atau tdk.. Makasih..
🙏🏼🙏🏼

📬 JAWABAN

🌱🌱🌱🌱🌱🌱

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh .. Bismillah wal Hamdulillah ..

Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengharamkan makanan yang buruk:

“ ….. dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk …” (QS. Al A’raf (7): 157)

Dalam bahasa Arab, Kelelawar adalah Al Wathwath (ukuran kepalanya besar), Al Khufaasy (ukuran kepalanya kecil), Al Khusyaaf, dan Al Khuthaaf.

Dalam sebuah riwayat yang shahih, dari Abdullah bin Amru Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

لا تقتلوا الضفادع فان نقيقها تسبيح ولا تقتلوا الخفاش فانه لما خرب بيت المقدس قال يا رب سلطني على البحر حتى اغرقهم

“Janganlah kalian membunuh Katak karena dia senantiasa bertasbih, dan jangan membunuh Kelelawar, karena ketika Baitul Maqdis runtuh, dia berkata: “Wahai Tuhan-nya pemimpinku yang menguasai lautan,” mereka berdoa sampai mereka membelah lautan.” (Al Baihaqi, As Sunan Al kubra , Juz. 9, Hal. 318. Hadits ini mauquf (hanya sampai pada sahabat Rasulaullah saja). Al Baihaqi berkata: Sanadnya shahih)

Dengan larangan membunuhnya, maka terlarang pula memakannya, karena memakan sudah pasti membunuhnya. Oleh karena itu mayoritas para ulama mengharamkannya seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Asy Syafi’i, sedangkan Imam Malik ada dua pendapat darinya antara membolehkan dan memakruhkan.  (Imam Abu Sulaiman bin Khalaf Al Baji, Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa’, juz. 3, Hal. 136, no. 941)

Sedangkan Imam Hasan Al Bashri memakruhkannya.   (Imam Abdurrazzaq, Al Mushannaf, Juz.4, Hal. 530. No. 8750)

Begitu pula Imam Ahmad, berkata Imam Ibnu Muflih Rahimahullah:

وَكَرِهَ أَحْمَدُ الْخُفَّاشَ لِأَنَّهُ مَسْخٌ

“Ahmad memakruhkan kelelawar karena buruk rupanya.” (Imam Ibnu Muflih, Al Furu’, Juz. 12, Hal. 2)

Dalam madzhab Syafi’i, berkata Syaikhul Islam Zakariya Al Anshari Rahimahullah:

وَالْوَطْوَاطُ لَا يَحِلُّ أَكْلُهُ

“Kelelewar tidak dihalalkan untuk dimakan.” (Imam Zakariya Al Anshari,  Asna Al Mathalib, Juz. 6, Hal. 377)

Berkata Imam Ibnu Hajar Al Haitami Rahimahullah:

وَلَا يَحِلُّ مَا نَهَى عَنْ قَتْلِهِ وَهُوَ أُمُورٌ مِنْهَا خُطَّافٌ

“Dan tidak dihalalkan hewan yang dilarang untuk dibunuh, dan itu banyak macamnya, diantaranya adalah Kelelawar.” (Imam Ibnu Hajar Al Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, Juz. 41, Hal. 239)

Beliau juga berkata di halaman lain:

وَأَمَّا الْخُفَّاشُ فَقَطَعَ الشَّيْخَانِ بِتَحْرِيمِهِ

“Ada pun kekelawar, maka dua syaikh kami memutuskan pengharamannya.”  (Ibid, Juz. 41, Hal. 240. Lihat juga kitab Mughni Muhtaj fi Ma’rifatil Alfazh al Minhaj, karya Imam Khathib Asy Syarbini, Juz. 18, Hal. 192.  Lihat juga Nihayatul Muhtaj Ila Syarhil Minhaj, karya Imam Syihabuddin Ar Ramli, Juz. 18, Hal. 192)

Jika disebuat “dua Syaikh’ dalam kitab-kitab bermadzhab Syafi’i maka maksudnya adalah Imam An Nawawi dan Imam Ar Rafi’i. Demikian. Wallahu A’lam

📌 Berobat dengan yang haram

Jika kita ikuti pendapat mayoritas ulama, yaitu kalelawar adalah haram, maka bagaimana jika dijadikan obat?

Mayoritas ulama tetap mengharamkan –kecuali darurat-berdasarkan beberapa hadits. Di antaranya riwayat mauquf  (hanya sampai sahabat nabi) dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu berikut:

إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan obat buat kalian dari apa-apa yang diharamkan untuk kalian.”  (HR. Al Bukhari No. 5613)

Dari Abu Darda’ Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلَا تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ

“Sesungguhnya Allah Ta’ala menurunkan penyakit dan obatnya, dan Dia jadikan setiap penyakit pasti ada obatnya, maka berobatlah dan jangan berobat dengan yang haram.” (HR. Abu Daud No. 3876, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 20173. Imam Ibnul Mulaqin mengatakan: shahih. (Tuhfatul Muhtaj, 2/9). Imam Al Haitsami mengatakan: perawinya terpercaya. (Majma’uz Zawaid, 5/86)  )

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الدَّوَاءِ الْخَبِيثِ

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang berobat dengan yang buruk (Al Khabits). (HR. At Tirmidzi No. 2045, Abu Daud No. 3872, Ibnu Majah No. 3459. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani, Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan lainnya)

Imam Asy Syaukani Rahimahullah berkata:

وَكَذَلِكَ سَائِرُ الْأُمُورِ النَّجِسَةِ أَوْ الْمُحَرَّمَةِ ، وَإِلَيْهِ ذَهَبَ الْجُمْهُورُ قَوْلُهُ : ( وَلَا تَتَدَاوَوْا بِحَرَامٍ ) أَيْ لَا يَجُوزُ التَّدَاوِي بِمَا حَرَّمَهُ اللَّهُ مِنْ النَّجَاسَاتِ وَغَيْرِهَا مِمَّا حَرَّمَهُ اللَّهُ وَلَوْ لَمْ يَكُنْ نَجَسًا

“Demikian juga seluruh hal yang najis dan haram (tidak boleh dijadikan obat), demikianlah madzhab jumhur (mayoritas), sabdanya: “janganlah berobat dengan yang haram,” artinya tidak boleh pengobatan dengan apa-apa yang Allah haramkan baik berupa benda-benda najis, dan benda lainnya yang diharamkan Allah, walau pun tidak najis.”   (Nailul Authar, 8/204)

📌 Pembolehan Hanya jika Darurat

Di atas sudah dijelaskan panjang lebar tentang terlarangnya menggunakan zat-zat haram atau najis untuk berobat. Namun, agama Islam adalah agama yang manusiawi dan membawa kemudahan bagi keberlangsungan hidup. Pada kondisi tertentu, dibolehkan menggunakan benda-benda haram dan najis untuk berobat, yakni jika keadaan sangat mendesak, terpaksa, alias darurat. Ini didasarkan oleh dalil keumuman ayat:

“ Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al An’am (6): 145)

Atau ayat lainnya:

“…tetapi Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah (2): 173)

Dari sini, maka telah ijma’ (sepakat) para ulama bahwa bolehnya memakan bangkai (atau sesuatu yang haram) karena darurat. Berkata Imam Ibnul Mundzir:

وأجمعوا على إباحة الميتة عند الضرورة

“Mereka (para ulama) telah ijma’ bolehnya memakan bangkai ketika darurat.”  (Kitabul Ijma’ No. 746)

Jika orang yang terancam jiwanya karena kelaparan, dan tidak ada makanan halal tersedia, maka dia dibolehkan makan yang haram demi keselamatan jiwanya, dengan tanpa melebihi kebutuhan. Begitu pula penyakit yang menimpa seseorang yang mengancam jasad atau jiwanya, dan tidak ditemukan obat lain yang halal, maka kondisi tersebut (penyakit) merupakan alasan yang sama (dengan kelaparan) untuk dibolehkannya berobat dengan yang haram (dalam hal ini adalah ular).

Alasan-alasan ini dikuatkan oleh dalil-dalil lain,  yakni pemakaian kain sutera oleh Zubeir bin Awwam dan Abdurrahman bin ‘Auf  ketika mereka kena penyakit Kudis dalam sebuah perjalanan.

Dengan demikian, para ulama juga telah membuat kaidah:

الضَّرُورِيَّاتُ تُبِيحُ الْمَحْظُورَاتِ

“Keadaan darurat membolehkan hal-hal yang terlarang.”  (Al Asybah wan Nazhair, 1/155)

Namun, dalam konteks penyakit, seseorang disebut mengalami darurat jika memenuhi syarat berikut:

🌸 Keadaan benar-benar mendesak yakni terancam keutuhan jasad atau jiwa.

🌸Telah terbukti bahwa ‘obat haram’ tersebut adalah memang obatnya, dan ini dibutuhkan petunjuk dokter yang bisa dipercaya. Bukan karena asumsi pribadi, kira-kira, atau ikut-ikutan kata orang.

🌸Memang tidak ada obat lain yang halal. Jika masih banyak obat halal yang tersedia, maka tetap tidak boleh. Dalam konteks berobat dengan Kalelawar, nampaknya syarat ini belum terpenuhi, mengingat masih sangat banyak obat-obatan lain yang halal.

Demikian. Wallahu A’lam

🌴🌱🌸🍃🌹🌵🍄🌾

✍ Farid Nu’man Hasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top