Pendidikan Anak Menurut Al Quran dan As Sunnah

Mukadimah

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6)

Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah dalam Kitab Fathul Qadir:

 “يا أيها الذين آمنوا قوا أنفسكم” بفعل ما أمركم به وترك ما نهاكم عنه “وأهليكم” بأمرهم بطاعة الله ونهيهم عن معاصيه

“Wahai Oang-orang yang beriman, peliharalah dirimu” maksudnya dengan melaksanakan apa-apa yang telah diperintahkan kepadamu dan meninggalkan apa-apa yang telah dilarang untukmu. “Dan keluargamu” maksudnya dengan memerintahkan mereka untuk tat kepada Allah dan mencegah mereka dari maksiat kepadaNya. (Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, 7/257. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Imam Muqatil bin Sulaiman berkata, “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka,” yakni memelihara dengan adab yang shalih (baik).

Imam Mujahid dan Imam Muqatil juga berkata, “Peliharalah dirimu dengan amal perbuatanmu, dan peliharalah keluargamu dengan wasiat-wasiatmu.”

Imam Ibnu Jarir berkata, “Wajib bagi kita mengajarkan anak-anak kita tentang agama dan kebaikan, beserta perkara adab yang dibutuhkannya.” (Lihat Tafsir ini semua dalam kitab Fathul Qadir)

Anak merupakan tanggung jawab kedua orang tuanya, baik bapak atau ibu, teristimewa lagi bapak, sebab ia kepala rumah tangga yang tanggung jawab dunia akhiratnya lebih besar. Sesuai dengan hadits: Kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun  ‘an ra’iyatihi (Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya). Maka sangat wajar bila seorang ahli hikmah mengatakan, “Perhatikanlah anakmu, sebab surga atau neraka bagimu, tergantung sikapmu terhadap anak.”

Berikut ini adalah rincian cara Islam dalam mendidik anak.

1.Memberikan kabar gembira atas kelahiran anak

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلامٍ حَلِيمٍ

“ Maka kami beri dia (Nabi Ibrahim) kabar gembira dengan (lahirnya) seorang anak yang amat sabar (yakni Nabi Ismail)” (QS. Ash Shafat (37): 101)

Dalam ayat lain:

يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلامٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَلْ لَهُ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا

“Hai Zakaria, Sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia.” (QS. Maryam (19): 7)

Sudah selayaknya orang tua bergembira dengan kelahiran anak, baik bayi laki-laki atau perempuan, baik anak pertama atau selanjutnya, dengan tanpa pembedaan dan pilih kasih sebagai wujud rasa syukur kita kepada Allah Ta’ala. Kegembiraan ini diharapkan menjadi awal yang baik dan memiliki pengaruh bagi jiwa anak, agar dalam perkembangannya ia mudah diarahkan dan dididik sesuai adab Islam.

2. Menasabkan bayi itu kepada orang tuanya (bapak)

Ini merupakan kewajiban selanjutnya yang dilakukan orang tua kepada anaknya. Sesuai firmanNya:

ادْعُوهُمْ لآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ

“Panggil-lah mereka (anak-anak angkatmu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka, hal itu lebih adil di sisi Allah.” (QS. Al Ahzab (3): 5)

Ayat ini berkenan tentang anak angkat, kita wajib memanggil dan menasabkan mereka dengan bapak kandungnya sendiri (bapak biologis). Apalagi, dengan anak kita sendiri tentu lebih wajib  menasabkan kepada orang tua sendiri.

Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mencela orang yang mengingkari atau tidak mengakui anaknya sendiri. Atau, mengklaim anak orang lain sebagai anak kandung.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

كُفْرٌ بِامْرِئٍ ادِّعَاءُ نَسَبٍ لَا يَعْرِفُهُ أَوْ جَحْدُهُ وَإِنْ دَقَّ

“Kufur hukumnya, orang yang mengklaim nasab yang tidak diketahuinya, atau mengingkari nasab walau masih samar.” (HR. Ibnu Majah no.2744,   Syaikh Al Albani menshahihkan dalam As Silsilah Ash Shahihah No. 3370)

Ada kebiasaan di sebagian masyarakat kita, menyandarkan nama anak (perempuan) dengan nama suaminya, tentunya hal itu bertent  angan dengan cara Islam. Misal, seorang bapak sebut saja namanya Muhammad mempunyai anak wanita bernama Fatimah, nikah bersuamikan Ali, maka dimasyarakat ia akan dipanggil ‘Bu Ali’ atau dibelakang namanya tertulis Fatimah Ali. Itu keliru, seharusnya ia tetap dinasabkan kepada bapaknya, misal Fatimah binti Muhammad.

3. Mendoakannya dengan Doa perlindungan

Hal ini dicontohkan dalam Al Qur’an, yakni ketika isteri dari seorang shalih bernama Imran (ada juga yang menyebutnya sebagai nabi), akan melahirkan bayi perempuan yang kelak dinamakan Maryam. Saat itu Istri Imran mendoakan bayi perempuannya (Maryam).

Allah Ta’ala berfirman:

“Maka tatkala isteri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: “Ya Tuhanku, Sesunguhnya Aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya Aku Telah menamai dia Maryam dan Aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk.” (QS. Ali Imran (3): 36)

Imam Ibnu Katsir berkata: “Yaitu aku mohon perlindungan Allah untuknya, serta untuk anak keturunannya, yaitu Isa dari kejahatan syetan. Maka Allah kabulkan permohonan itu.”  Lalu Imam Ibnu Katsir menyebutkn sebuah hadits dari Abdurrazaq dari Ma’mar, dari Az Zuhry, dari Said bin Musayyib, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah, bahwa Ia bersabda:

“Tidaklah satupun bayi ketika dilahirkan melainkan syetan mengganggunya, sehingga menjeritlah bayi itu. Kecuali Maryam dan anaknya, Isa.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Jilid 1, hal. 479)

Jadi, menurut keterangan ini, hanya dua bayi yang tidak mengalami gangguan syetan, yaitu Maryam dan anaknya, Isa.

Masih lanjutan hadits di atas, Abu Hurairah berkata, “Bacalah!” Inni u’idzuha bika wa dzurriyataha minasy syaithanir rajim. “وإني أعيذها بك وذريتها من الشيطان الرجيم” (Sesungguhnya Aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau, dari gangguan syetan yang terkutuk) (HR. Bukhari no. 3431, Muslim no. 2366, 2367)

Jika anaknya laki-laki maka kata ‘ha’ diganti menjadi ‘hu’, yakni menjadi Inni u’idzuhu bika wa dzurriyatahu minasyaithanir rajim.

Imam Al Qurthubi berkata, “Gangguan syetan merupakan upaya penguasan  terhadap bayi tersebut. Maka Allah menjaga Maryam dan anaknya dengan berkah doa ibunya.”

4. Adzankan

Ini merupakan upaya merekamkan kalimat tauhid Laa Ilaha Illallah Muhammadarrasulullah sejak dini. Sebab otak bayi laksana pita kaset yang masih kosong, ia akan terisi oleh suara yang pertama kali tertangkap olehnya. Semoga hal itu menjadi arahan yang lurus bagi sang bayi, yang akan mengendalikan arah hidupnya.

Para ulama tidak sepakat dalam masalah mengadzankan dan mengqomatkan bayi, sebagian mereka ada yang menyebut keduanya adalah bid’ah karena tidak ada dasarnya, ada pula yang mengatakan adzan disyariatkan tetapi iqamah tidak, ada pula yang membolehkan dan menganjurkan adzan dan iqamah sekaligus. Adapun kami lebih cenderung mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa adzan disyariatkan, sedangkan iqamah tidak. Sebab seluruh hadits tentang iqamah untuk bayi tak ada satu pun yang shahih atau hasan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Demikianlah, wallahu a’lam.

Dari Abu Rafi’, dari ayahnya, ia berkata:

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ

“Aku melihat Rasulullah adzan seperti adzan shalat di telinga Al hasan ketika dilahirkan oleh Fathimah.” (HR. Abu Daud no. 5105. At Tirmidzi No. 1514, katanya: hasan shahih)

Syaikh Al Albany  berkata tentang status hadits ini, “Hasan, Insya Allah!” (Irwa’ al Ghalil, 4/400. Dia juga menghasankan dalam kitabnya yang lain, Shahih Sunan Abi Daud No. 5105 dan Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 1514)

Sedangkan hadits tentang iqamah, adalah sebagai berikut:

“Siapa yang kelahiran anak lalu ia mengadzankannya pada telinga kanan dan iqamah pada telinga kiri maka Ummu Shibyan (jin yang suka mengganggu anak kecil, -pent) tidak akan membahayakannya”.

(Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (6/390) dan Ibnu Sunni dalam Amalul Yaum wal Lailah (no. 623) dan Al-Haitsami membawakannya dalam Majma’ Zawaid (4/59) dan ia berkata : Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan dalam sanadnya ada Marwan bin Salim Al-Ghifari, ia matruk (haditsnya ditinggalkan)”.

Kami katakan hadits ini diriwayatkan Abu Ya’la dengan nomor (6780).

Berkata Muhaqqiq (peneliti hadits)nya : “Isnadnya rusak dan Yahya bin Al-Ala tertuduh memalsukan hadits”. Nah, dari keterangan ini jelaslah bahwa hadits tentang qamat untuk bayi tidak bisa dijadikan landasan untuk mengamalkannya, karena cacatnya yang parah.

5. Tahnik

Disunahkan memberikan tahnik kepada bayi dengan menggunakan kurma atau sejenisnya, seperti madu dan lain-lain. Dengan cara mengunyah kurma hingga lembut dan halus, lalu dimasukkan ke dalam mulut bayi tersebut. Ini merupakan upaya persiapan agar bayi nantinya mudah untuk merasakan manisnya air susu ibu. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits:

Dari Abu Musa al Asy’ary beliau berkata: Dilahirkan bagiku bayi laki-laki, kemudian aku bawa kepada Rasulullah. Lalu Rasulullah menamakan bayi itu Ibrahim dan mentahniknya dengan korma serta mendoakan keberkatan atasnya, lalu menyerahkan kembali kepadaku. Dan dia (Ibrahim) merupakan anak Abu Musa yang paling besar (sulung).(HR. Bukhari no. 5467, Muslim III/1690, Ahmad IV/339)

Dari hadits ini ada tiga pelajaran lain selain tahnik, yaitu pertama, hendaknya yang mentahnik adalah orang shalih atau ahli ilmu. Boleh saja orang tuanya sendiri, apalagi ia juga seorang shalih atau ahli ilmu. Kedua, meminta diberikan atau dicarikan nama yang baik bagi si bayi oleh orang shalih atau ahli ilmu. Ketiga, mendoakan bayi ketika ditahnik dengan doa yang mengandung keberkahan bagi bayi. Namun, tidak ada rincian seperti apakah lafal doa tersebut, karena dalam hadits tersebut tidak sebutkan teks doanya.

Jika mau, boleh diucapkan doa yang mengandung permohonan keberkahan seperti: Allahumma barik lahu, atau Allahumma barik ‘alaih, atau Allahumma barik fih. Secara bahasa doa-doa ini memiliki maksud yang sama  yakni agar bayi tersebut diberkahi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

6. Sikap Terhadap Bayi di hari ke Tujuh

Ada tiga hal yang hendaknya orang tua lakukan pada hari ketujuh usia bayi, yakni aqiqah, mencukur rambut, dan peresmian pemberian nama. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah;

 Dari Salman bin ‘Amir Adh Dhabbi, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَعَ الْغُلَامِ عَقِيقَةٌ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الْأَذَى

“Bersama bayi itu ada aqiqahnya, maka sembelihlah (kambing), dan hilangkanlah gangguan darinya.” (HR. Bukhari No. 5154. At Tirmidzi No. 1551 Ibnu Majah No. 3164. Ahmad No. 17200)

Maksud dari “hilangkanlah gangguan darinya” adalah mencukur rambut kepalanya (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 5/132. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah).  Imam Ibnu Hajar menyebutkan, bahwa Imam Muhammad bin Sirin berkata: “Jikalau makna ‘menghilangkan gangguan’ adalah bukan mencukur rambut, aku tak tahu lagi apa itu.”  Al Ashmu’i telah memastikan bahwa maknanya adalah mencukur rambut. Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad shahih, bahwa Al Hasan Al Bashri juga mengatakan demikian. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 9/593. Darul Fikr)

Dalam riwayat lain:

كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى

“Setiap bayi tergadai dengan aqiqahnya, disembelih (hewan) pada hari ketujuh dari kelahirannya, dicukur rambutnya dan diberikan nama.” (HR. Abu Daud No. 2838. Ahmad No. 19382. Ad Darimi No. 2021. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 8377. Hadits ini shahih. Lihat Syaikh Al Albani, Irwa’ Al Ghalil No. 1165. Al Maktab Al Islami. Imam An Nawawi, Al Adzkar, No. 843. Darul Fikr)

Apa maksud kalimat “Setiap bayi digadaikan dengan aqiqahnya”? Imam Al Khaththabi mengatakan, telah terjadi perbedaan pendapat tentang makna tersebut. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, maksudnya adalah setiap anak yang lahir dan dia belum diaqiqahkan, lalu dia wafat ketika masih anak-anak,  maka dia tidak bisa memberikan syafa’at kepada kedua orang tuanya. Sementara, pengarang Al Masyariq dan An Nihayah mengatakan, maksudnya adalah bahwa tidaklah diberi nama dan dicukur rambutnya kecuali setelah disembelih aqiqahnya. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 5/133.  Maktabah Ad Da’wah Islamiyah. Imam Abu Thayyib Syamsul Haq ‘Azhim Abadi, ‘Aunul Ma’bud, 8/27. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Seorang tokoh tabi’in, ‘Atha bin Abi Rabbah mengatakan seperti yang dikatakan Imam Ahmad, maksud kalimat tersebut adalah orang tua terhalang mendapatkan syafa’at dari anaknya. (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 48. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

1. Aqiqah

Definisinya

Syaikh Shahib bin ‘Ibad berkata tentang makna Aqiqah:

عَق الرجلُ عن المولود:  إذا حلق عقيقَتَه – وهي الشعر الذي يولَد عليه – فَذَبَحَ شاةً عنه. والشاة – أيضاً – : عَقيقَة

“Seseorang mengaqiqahkan bayinya: (yakni) Jika seseorang mencukur  aqiqahnya – yaitu rambut yang tumbuh pada bayi itu- lalu menyembelih kambing darinya. Dan kambing juga disebut aqiqah.”  (Shahib bin ‘Ibad, Al Muhith fil Lughah, 1/1. Mawqi’ Al Warraq)

Syaikh Al Khalil bin Ahmad  mengatakan:

والعقيقة: الشَّعر الذي يُولد الولدْ به. وتسمى الشاة التي تذبح لذلك عقيقة

“Aqiqah adalah rambut yang ada pada bayi ketika lahirnya, dan dinamakan pula kambing yang disembelih untuk itu dengan sebutan  aqiqah.” (Khalil bin Ahmad, Al ‘Ain, 1/5. Mawqi’ Al Warraq)

Syaikh Zainuddin Ar Razi  mengatakan tentang aqiqah:

الشَّعْر الذي يُولَد عليه كُلُّ مولود من الناس والبهائم. ومنه سُمِّيت الشَّاةُ التي تُذْبَح عن المولود يوم أُسْبُوعِه عَقِيقَةً

“Rambut yang tumbuh pada setiap bayi manusia dan hewan. Diantaranya adalah kambing yang disembelih  saat hari ketujuh setelah kelahiran adalah aqiqah.” (Zainuddin Ar Razi, Mukhtar Ash Shihah,  Hal. 212. Mawqi’ Al Warraq)

Syaikh Abu ‘Ubaid Al Qasim bin Salam Al Harawi mengatakan:

العقيقة، أصله الشعر الذي يكون على رأس الصبي حين يولد، وإنما سميت الشاة التي تذبح عنه في تلك الحال عقيقة لأنه يحلق عنه ذلك الشعر عند الذبح، ولهذا قيل في الحديث: أميطوا عنه الأذى يعني بالأذى ذلك الشعر الذي يحلق عنه

“Aqiqah, asalnya adalah rambut yang terjadi pada kepala anak-anak ketika lahirnya, dan sesungguhnya dinamakan pula aqiqah bagi kambing yang disembelih untuk anak tersebut pada saat itu, karena dipotongnya rambut tersebut adalah ketika penyembelihan. Oleh karena itu, dikatakan dalam sebuah hadits: “Buanglah dari bayi itu gangguannya,” makna gangguan adalah rambut yang dicukur dari bayi tersebut.” (Abu  ‘Ubaid, Gharibul Hadits, 2/284. Dairatul Ma’arif. Lihat pula Imam Ibnul Qayyim,  Tuhfatul Maudud, Hal. 33-34. Darul Kutub Al ‘ilmiah)

Sementara itu dari Imam Ibnu Hajar Rahimahullah, beliau menulis sebagai berikut dalam Al Fath:

قَالَ الْخَطَّابِيُّ : الْعَقِيقَة اِسْم الشَّاة الْمَذْبُوحَة عَنْ الْوَلَد ، سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِأَنَّهَا تُعَقّ مَذَابِحهَا أَيْ تُشَقّ وَتَقْطَع . قَالَ : وَقِيلَ هِيَ الشَّعْر الَّذِي يُحْلَق . وَقَالَ اِبْن فَارِس : الشَّاة الَّتِي تُذْبَح وَالشَّعْر كُلّ مِنْهُمَا يُسَمَّى عَقِيقَة  

Berkata Al Khaththabi: Aqiqah adalah nama bagi kambing yang disembelih karena kelahiran bayi. Dinamakan seperti itu karena aqiqah adalah merobek sembelihan tersebut yaitu mengoyak dan memotong. Dia berkata: dikatakan aqiqah adalah rambut yang sedang dicukur. Berkata Ibnu Faris: Kambing yang disembelih dan rambut, keduanya dinamakan aqiqah. (Fathul Bari, 9/586. Darul Fikr)

Imam Ash Shan’ani Rahimahullah mengatakan:

الْعَقِيقَةُ هِيَ الذَّبِيحَةُ الَّتِي تُذْبَحُ لِلْمَوْلُودِ .

وَأَصْلُ الْعَقِّ الشَّقُّ وَالْقَطْعُ وَقِيلَ لِلذَّبِيحَةِ عَقِيقَةٌ لِأَنَّهُ يَشُقُّ حَلْقَهَا وَيُقَالُ عَقِيقَةٌ لِلشَّعْرِ الَّذِي يَخْرُجُ عَلَى رَأْسِ الْمَوْلُودِ مِنْ بَطْنِ أُمِّهِ وَجَعَلَهُ الزَّمَخْشَرِيُّ أَصْلًا وَالشَّاة الْمَذْبُوحَةُ مُشْتَقَّةٌ مِنْهُ .

“Aqiqah adalah hewan sembelihan yang disembelih untuk bayi. Berasal dari merobek, mengoyak, dan memutus. Dikatakan,  sembelihan adalah aqiqah, karena merobek dan mecukurnya. Dikatakan aqiqah pula bagi rambut yang tumbuh di kepala bayi dari perut ibunya. Az Zamakhsyari mengatakan itu adalah kata asal dari aqiqah, dan kambing sembelihan termasuk kata yang berasal   dari itu.  (Subulus Salam, 6/328. Maktabah Syamilah. Lihat juga Nailul Authar, 5/ 132.  Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah Syabab Al Azhar. Lihat juga, Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim Abadi, ‘Aunul Ma’bud, 8/25. Darul Kutub Al ‘Ilmiah )

Jika kita perhatikan definisi para ulama tentang makna aqiqah, maka semuanya sepakat dan bermuara pada dua kunci, yakni  aqiqah itu adalah pencukuran rambut bayi dan penyembelihan  kambing. Dari definisi saja sudah terlihat bahwa  kelirunya aqiqah dengan selain kambing.

Hukumnya

Mayoritas ulama mengatakan hukumnya adalah sunah. Berikut keterangan Imam Ibnul Qayyim:

فأما أهل الحديث قاطبة وفقهاؤهم وجمهور أهل العلم فقالوا هي من سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Ada pun pimpinan Ahli Hadits dan para ahli fiqih mereka dan jumhur (mayoritas) ulama, mereka mengatakan bahwa aqiqah adalah sunah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Tuhfatul Maudud, Hal. 28. Darul Kutub Al ‘Ilmiah) 

Imam Asy Syaukani Rahimahullah mengatakan:

وذهب الجمهور من العترة وغيرهم إلى انها سنة

“Madzhab jumhur (mayoritas) ulama dan lainnya adalah aqiqah itu sunah.” (Nailul Authar, 5/132. Maktabah Ad da’wah Al Islamiyah Syabab Al Azhar)

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

والعقيقة سنة مؤكدة ولو كان الاب معسرا، فعلها الرسول، صلى الله عليه وسلم، وفعلها أصحابه، روى أصحاب السنن أن النبي، صلى الله عليه وسلم، عق عن الحسن والحسين كبشا كبشا، ويرى وجوبها الليث وداود الظاهري.

“Aqiqah adalah sunah mu’akkadah walau keadaan orang tuanya sulit, Rasulullah telah melaksanakannya, begitu pula para sahabat. Para pengarang kitab As Sunan  telah meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah meng-aqiqahkan Hasan dan Husein dengan masing-masing satu  kambing kibas. Sedangkan menurut Laits bin Sa’ad dan Daud Azh Zhahiri aqiqah adalah wajib.” (Fiqhus Sunnah, 3/326. Darul Kitab Al ‘Arabi)

Sedangkan, Imam Abu Hanifah justru membid’ahkan Aqiqah! (Imam An Nawawi, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/217. Dar ‘Alim Al Kitab)

Pengarang kitab Al Bahr menyebutkan, bahwa Imam Abu Hanifah menilai Aqiqah merupakan kejahiliyahan. Imam Asy Syaukani mengatakan, jika benar itu dari Abu Hanifah, maka hal itu bisa jadi dikarenakan belum sampai kepadanya hadits-hadits tentang aqiqah. Sementara Imam Muhammad bin Hasan mengatakan Aqiqah adalah kebiasaan jahiliyah yang telah dihapus oleh Islam dengan qurban. Sementara, justru kalangan zhahiriyah (yakni Imam Daud dan Imam Ibnu Hazm, pen) dan Imam Al Hasan Al Bashri mengatakan wajib. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 5/132. Maktabah Ad da’wah Al Islamiyah Syabab Al Azhar. Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 38. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Imam Ibnu Hazm mengatakan bahwa aqiqah adalah wajib. (Al Muhalla, 7/523. Darul Fikr)

Pendapat yang benar dan lebih kuat, hukum aqiqah adalah sunah. Hal ini didasari oleh hadits berikut:

من ولد له فأحب أن ينسك عن ولده فليفعل

“Barang siapa dilahirkan untuknya seorang bayi, dan dia mau menyembelih (kambing) untuk bayinya, maka lakukanlah.” (HR. Malik No. 1066. Ahmad No. 22053. Al Haitsami mengatakan, dalam sanadnya terdapat seorang yang tidak menjatuhkan hadits ini, dan periwayat lainnya adalah para periwayat hadits shahih. Majma’ Az Zawaid, 4/57)

Hadits ini dengan jelas menyebutkan bahwa penyembelihan dikaitkan dengan kemauan orangnya. Kalau dia mau, maka lakukanlah. Maka, tidak syak lagi bahwa pendapat jumhur (mayoritas) ulama lebih kuat dan benar, bahwa aqiqah adalah sunah.

Imam Ash Shan’ani Rahimahullah menjadikan hadits ini sebagai pengalih kewajiban aqiqah menjadi sunah. (Subulus Salam, 6/329)

Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullahi mengomentari hadits tersebut dalam At Tamhid:

في هذا الحديث: قوله صلى الله عليه وسلم:” من ولد له ولد فأحب أن ينسك عن ولده فليفعل دليل على أن العقيقة ليست بواجبة لأن الواجب لا يقال فيه من أحب فليفعله”.

“Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa aqiqah bukanlah kewajiban, karena seandainya wajib tidak akan dikatakan di dalamnya, “Barang siapa yang suka maka lakukanlah.” (Imam Ibnu Abdil Bar, At Tamhid Lima fil Muwaththa’ minal Ma’ani wal Asanid, 4/311. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengutip dari para ulama tentang maksud hadits ini:

وفعله لها لا يدل على الوجوب وإنما يدل على الاستحباب

“Melaksanakan aqiqah (dalam hadits ini), tidaklah menunjukkan kewajiban, itu hanyalah menunjukkan perbuatan yang disukai (sunah).” (Tuhfatul Maudud, Hal. 42. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Beliau juga mengatakan:

 العقيقة سنة عن الجارية كما هي سنة عن الغلام هذا قول جمهور أهل العلم من الصحابة والتابعين ومن بعدهم

Aqiqah adalah sunah buat anak perempuan sebagaimana juga sunah bagi anak laki-laki, inilah pendapat mayoritas ahli ilmu dari kalangan sahabat nabi, tabi’in, dan orang setelah mereka. “ (Ibid, hal. 46)

Imam Abul Walid Sulaiman Al Baji mengomentari hadits di atas, katanya hadits ini menunjukkan bahwa aqiqah tidak wajib karena terkait dengan kerelaan orang tuanya. Lalu dia mengatakan:

قَالَ مَالِكٌ فِي الْمَبْسُوطِ : مَنْ لَمْ يَذْبَحْ وَلَمْ يُطْعِمْ فَلَا إثْمَ عَلَيْهِ وَبِهَذَا قَالَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ

“Berkata Imam Malik dalam Al Mabsuth: Barang siapa yang tidak menyembelih (aqiqah), tidak memberikan makan, maka tidak ada dosa baginya. Demikian inilah pendapat mayoritas ahli fiqih.” (Imam Abul Walid Sulaiman Al Baji, Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa’, 3/142. Al Maktabah Asy Syamilah)

Berkata Ja’far bin Muhammad, ditanyakan kepada Imam Ahmad tentang seseorang yang tidak memiliki apa-apa untuk diaqiqahkan. Beliau menjawab: “Tidak ada masalah atasnya.”  Al Harits berkata, ditanyakan kepada Imam Ahmad tentang orang yang tidak memiliki apa-apa untuk diaqiqahkan. Beliau menjawab: “Jika dia mau tidak mengapa berhutang, aku harap Allah Ta’ala menggantinya karena dia menghidupkan sunah.” (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 40. Darul Kutub Al ‘ilmiyah)

Jika sudah jelas bahwa aqiqah adalah sunah, bukan wajib,  maka dia tidak berdosa jika tidak melaksanakannya, maka bagaimana mungkin hal itu dianggap hutang hingga dewasa? Maka, bagaimana mungkin, orang tua tidak boleh mengaqiqahkan anaknya, hanya karena dia belum meng-aqiqahkan dirinya?

Berkata Al ‘Allamah Ibnul Qayyim Rahimahullah:

يجب على الأب وهو المنصوص عن أحمد قال إسماعيل بن سعيد الشالنجي سألت أحمد عن الرجل يخبره والده أنه لم يعق عنه هل يعق عن نفسه قال ذلك على الأب

“(Aqiqah) adalah kewajiban bagi ayah, dan ini ditegaskan oleh nash (dalil) dari Ahmad. Ismail bin Said  Asy Syalinji berkata: Aku bertanya kepada Ahmad tentang seorang laki-laki yang mengabarkan bahwa orang tuanya belum mengaqiqahkan dirinya, apakah dia mesti meng-aqiqahkan dirinya? Ahmad menjawab: “itu adalah kewajiban ayahnya.” (Ibid,   Hal. 41. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Waktu Pelaksanaan

Para ulama sepakat bahwa hari ketujuh dari kelahiran bayi adalah paling utama (afdhal), tetapi mereka berbeda pendapat tentang aqiqah selain hari ketujuh, bolehkah atau tidak. Kebanyakan ulama membolehkannya. Ada yang mengatakan sama sekali tidak boleh dan jika dilakukan, maka itu bukanlah aqiqah. Sebagian lain ada yang membolehkan pada hari ke 14 dan 21, ada pula yang membolehkan sebelum hari ke tujuh, bahkan ada yang membolehkan kapan pun dia memiliki kemampuan, walau  sudah dewasa.

Dari Samurah bin Jundub, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

كلُّ غلامٍ رهينةٌ بعقيقته: تذبح عنه يوم سابعه، ويحلق، ويسمى

“Setiap bayi digadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur kepalanya, dan diberikan nama.” (HR. Abu Daud No. 2838. Ahmad No. 19382. Ad Darimi No. 2021. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 8377.  Hadits ini shahih. lihat Syaikh Al Albani, Irwa’ Al Ghalil No. 1165. Al Maktab Al Islami. Imam An Nawawi, Al Adzkar, No. 843. Darul Fikr)

Imam Asy Syaukani mengomentari demikian:

فِيهِ مَشْرُوعِيَّةُ التَّسْمِيَةِ فِي الْيَوْمِ السَّابِعِ وَالرَّدُّ عَلَى مَنْ حَمْلِ التَّسْمِيَةَ فِي حَدِيثِ سَمُرَةَ السَّابِقِ عَلَى التَّسْمِيَةِ عِنْدَ الذَّبْحِ .

وَفِيهِ أَيْضًا مَشْرُوعِيَّةُ وَضْعِ الْأَذَى وَذَبْحِ الْعَقِيقَةِ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ 

“Dalam hadits ini terdapat pensyariatan penamaan pada hari ketujuh, dan sebagai bantahan bagi pihak yang mengatakan bahwa penamaan itu pada saat penyembelihan, dan disyariatkannya pula menghilangkan gangguan (mencukur rambut), dan menyembelih aqiqah pada hari itu.” (Nailul Authar , 5/135. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)

Imam Abu Thayyib Syamsul Azhim Abadi, memberikan syarah (penjelasan) demikian: 

فِيهِ دَلِيل عَلَى أَنَّ وَقْت الْعَقِيقَة سَابِع الْوِلَادَة ، وَأَنَّهَا لَا تُشْرَع قَبْله وَلَا بَعْده وَقِيلَ تَجْزِي فِي السَّابِع الثَّانِي وَالثَّالِث لِمَا أَخْرَجَهُ الْبَيْهَقِيُّ عَنْ عَبْد اللَّه بْن بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيّ أَنَّهُ قَالَ ” الْعَقِيقَة تُذْبَح لِسَبْع وَلِأَرْبَع عَشْرَة وَلِإِحْدَى وَعِشْرِينَ ” ذَكَرَهُ فِي السُّبُل . وَنَقَلَ التِّرْمِذِيّ عَنْ أَهْل الْعِلْم أَنَّهُمْ يَسْتَحِبُّونَ أَنْ تُذْبَح الْعَقِيقَة يَوْم السَّابِع فَإِنْ لَمْ يَتَهَيَّأ فَيَوْم الرَّابِع عَشَر ، فَإِنْ لَمْ يَتَهَيَّأ عَقَّ عَنْهُ يَوْم إِحْدَى وَعِشْرِينَ .

 “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa waktu aqiqah adalah hari ke tujuh kelahiran. Sesungguhnya tidak disyariatkan sebelum dan sesudahnya. Ada yang mengatakan: Sudah mencukupi dilakukan pada hari ke 14 dan 21, sebab telah dikeluarkan oleh Imam Al Baihaqi dari Abdullah bin Buraidah, dari Ayahnya, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: ‘Aqiqah disembelih pada hari ke- 7, 14, dan 21.’ Hadits ini disebutkan dalam kitab Subulus Salam. Imam At Tirmidzi mengutip dari para ulama bahwa mereka menyukai menyembelih aqiqah pada hari ke 7, jika dia belum siap maka hari ke 14, jika dia belum siap maka di hari ke 21.” (‘Aunul Ma’bud, 8/28. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Para Imam Ahlus Sunnah pun membolehkan aqiqah dilakukan setelah hari ketujuh kelahiran. Berikut keterangannya:

قال أبو داود في كتاب المسائل سمعت أبا عبد الله يقول العقيقة تذبح يوم السابع وقال صالح بن أحمد قال أبي في العقيقة تذبح يوم السابع فإن لم يفعل ففي أربع عشرة فإن لم يفعل ففي إحدى وعشرين وقال الميموني قلت لأبي عبد الله متى يعق عنه قال أما عائشة فتقول سبعة أيام وأربعة عشرة ولأحد وعشرين وقال أبو طالب قال أحمد تذبح العقيقة لأحد وعشرين يوما انتهى

“Abu Daud mengatakan dalam kitab Al Masail, aku mendengar Abu Abdillah (Imam Ahmad) berkata: Aqiqah disembelih pada hari ke 7. Berkata Shalih bin Ahmad: “Ayahku (Imam Ahmad) berkata tentang aqiqah, bahwa disembelih pada hari ke 7, jika belum melaksanakannya maka hari ke 14, dan jika belum melaksanakannya aka hari ke 21. Berkata Al Maimuni: Aku bertanya kepada Abu Abdillah, kapankah dilaksanakannya aqiqah? Dia menjawab: ‘Ada pun ‘Aisyah mengatakan pada hari ke 7, 14, dan 21.’ Berkata Abu Thalib: Imam Ahmad berkata aqiqah disembelih pada satu hari, hari ke 21. Selesai.” (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 43. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Imam Ibnul Qayyim juga menceritakan bahwa Imam Hasan Al Bashri mewajibkan aqiqah pada hari ketujuh. Imam Laits bin Sa’ad mengatakan bahwa aqiqah dilakukan pada hari ketujuh kelahiran, jika belum siap, boleh saja dilakukan pada hari setelahnya, dan bukan kewajiban aqiqah pada hari ketujuh. Sementara Abu Umar (Ibnu Abdil Bar) mengatakan bahwa Imam Laits bin Sa’ad mewajibkan aqiqah hari ketujuh. Semenara ‘Atha lebih menyukai aqiqah dilakukan hari ketujuh  dan mengakhirkannya hingga hari ketujuh selanjutnya (hari ke 14). Ini juga pendapat Ahmad, Ishaq, dan Asy Syafi’i, Malik tidak menambahkan hingga hari ke 14, sementara menurut Ibnu Wahhab tidak mengapa hingga hari ke 21. Ini juga pendapat Aisyah, ‘Atha, Ishaq, dan Ahmad. (Ibid, Hal. 44)

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

والذبح يكون يوم السابع بعد الولادة إن تيسر، وإلا ففي اليوم الرابع عشر وإلا ففي اليوم الواحد والعشرين من يوم ولادته، فإن لم يتيسر ففي أي يوم من الايام. ففي حديث البيهقي: تذبح لسبع، ولاربع عشر، ولاحدي وعشرين.

“Penyembelihan dilakukan pada hari ke tujuh setelah kelahiran jika  dia lapang, jika tidak maka pada hari ke 14, jika tidak maka hari ke 21 dari hari kelahirannya. Jika masih sulit, maka bisa lakukan di hari apa pun. Dalam Hadits Al Baihaqi: “disembelih pada hari ke 7, 14, dan 21.” (Fiqhus Sunnah, 3/328. Darul Kitab Al ‘Arabi)

Demikian perselisihan ini, bahkan ada pula yang mengklaim bahwa secara ijma’ (aklamasi) tidak boleh aqiqah pada hari sebelum dan sesudah hari ke 7. Namun klaim ini lemah dan  bertentangan dengan realita perselisihan yang ada.

Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah:

وَنَقَلَ صَاحِبُ الْبَحْرِ عَنْ الْإِمَامِ يَحْيَى أَنَّهَا لَا تُجْزِئُ قَبْلَ السَّابِعِ وَلَا بَعْدَهُ إجْمَاعًا وَدَعْوَى الْإِجْمَاعِ مُجَازَفَةٌ مَا عَرَفْت مِنْ الْخِلَافِ الْمَذْكُورِ .

“Pengarang Al Bahr mengutip dari Imam Yahya, bahwa menurut ijma’ aqiqah tidaklah sah dilakukan sebelum dan sesudah hari ke 7. Namun, klaim adanya ijma’ ini hanyalah prasangkaan semata, tidakkah Anda mengetahui perselisihan yang sudah disebutkan.” (Nailul Authar, 5/133. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)

Bolehkah Aqiqah setelah Dewasa?

Para ulama berbeda pendapat, antara membolehkan dan tidak. Mereka yang melarang beralasan bahwa hadits tentang bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengaqiqahkan dirinya setelah dewasa adalah dhaif.

Dari Anas bin Malik, katanya:

 عق رسول الله صلى الله عليه وسلم عن نفسه بعد ما بعث بالنبوة  

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengaqiqahkan dirinya setelah beliau diangkat menjadi nabi.” (HR. Abdurrazaq, No. 7960)

Hadits ini sering dijadikan dalil bolehnya aqiqah ketika sudah dewasa. Shahihkah hadits ini?

Hadits ini dhaif. Dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Muharrar. Para Imam Ahli hadits tidaklah menggunakan hadits darinya.

Yahya bin Ma’in mengatakan, Abdullah bin Muharrar bukanlah apa-apa (tidak dipandang). Amru bin Ali Ash Shairafi mengatakan, dia adalah matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan). Ibnu Abi Hatim berkata: Aku bertanya kepada ayahku (Abu Hatim Ar Razi) tentang Abdullah bin Muharrar, dia menjawab: matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan), munkarul hadits (haditsnya munkar), dan dhaiful hadits (haditsnya lemah). Ibnul Mubarak meninggalkan haditsnya.

Abu Zur’ah mengatakan, dia adalah dhaiful hadits. (Imam Abdurrahman bin Abi Hatim, Al Jarh wat Ta’dil, 5/176. Dar Ihya At Turats)

Sementara Imam Bukhari mengatakan, Abdullah bin Muharrar adalah munkarul hadits. (Imam Bukhari, Adh Dhu’afa Ash Shaghir, Hal. 70, No. 195. Darul Ma’rifah)

Muhammad bin Ali Al Warraq mengatakan, ada seorang bertanya kepada Imam Ahmad tentang Abdullah bin Muharrar, beliau menjawab: manusia meninggalkan haditsnya. Utsman bin Said mengatakan: aku mendengar Yahya berkata: Abdullah bin Muharrar bukan orang yang bisa dipercaya. (Al Hafizh Al Uqaili, Adh Dhu’afa, 2/310. Darul Kutub Al ‘ilmiyah)

Imam An Nasa’i mengatakan, Abdullah bin Muharrar adalah matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan). (Imam An Nasa’i, Adh Dhu’afa wal Matrukin, Hal. 200, No. 332)

Imam Ibnu Hibban mengatakan, bahwa Abdullah bin Muharrar adalah diantara hamba-hamba pilihan, sayangnya dia suka berbohong, tidak mengatahui, dan banyak memutarbalik-kan hadits, dan tidak faham. (Imam Az Zaila’i, Nashb Ar Rayyah, 1/297. Maktabah Syamilah)

Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa Abdullah bin Muharrar adalah seorang yang dhaif jiddan (lemah sekali). (Imam Ibnu Hajar,Talkhish Al Habir, 4/362. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)  

Ada pun ulama yang mendhaifkan hadits ini adalah Al Hafizh Ibnu Hajar, Imam An Nawawi menyebutnya sebagai hadits batil, sedangkan Imam Al Baihaqi menyebutnya hadits munkar. (Ibid)

Oleh karena itu,  ulama kalangan Malikiyah dan sebagain Hambaliyah melarang aqiqah ketika sudah dewasa. 

Tetapi, banyak pula imam kaum muslimin yang membolehkan.  Dan, menurut Syaikh Al Albani hadits di atas adalah SHAHIH, karena ada dua jalur lain yang menguatkan hadits tersebut. Yakni hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Ja’far Ath Thahawi dalam Kitab Musykilul Atsar No. 883, dan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath Thabarani dalam Mu’jam Al Awsath No. 1006. Sehingga Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menshahihkan hadits ini dengan status SHAHIH LI GHAIRIHI. (As Silsilah Ash Shahihah No. 2726)

Ulama yang membolehkan adalah Imam Muhammad bin Sirin, Al Hasan Al Bashri, Atha’, sebagian Hambaliyah dan Syafi’iyah.

Imam Ahmad ditanya tentang bolehkah seseorang mengaqiqahkan dirinya ketika sudah dewasa? Imam Ibnul Qayyim menyebutkan dalam kitabnya sebagai berikut:

وقال أن فعله إنسان لم أكرهه

“Dia (Imam Ahmad) berkata: Aku tidak memakruhkan orang yang melakukannya.” (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal 61. Cet. 1. 1983M-1403H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Harus dengan Kambing

Pendapat yang mengatakan bolehnya aqiqah dengan selain kambing adalah pendapat lemah dan telah diingkari oleh orang-orang mulia.

Sebagaimana yang diterangkan dalam riwayat berikut:

عن ابن أبى مليكة يقول نفس لعبد الرحمن بن أبى بكر غلام فقيل لعائشة رضى الله عنها يا ام المؤمنين عقى عليه أو قال عنه جزورا فقالت معاذ الله ولكن ما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم شاتان مكافأتان

Dari Ibnu Abi Malikah ia berkata: Telah lahir seorang bayi laki-laki untuk Abdurrahman bin Abi Bakar, maka dikatakan kepada ‘Aisyah: “Wahai Ummul Mu’minin, adakah aqiqah atas bayi itu dengan seekor unta?”. Maka ‘Aisyah menjawab: “Aku berlindung kepada Allah, tetapi seperti yang dikatakan oleh Rasulullah, dua ekor kambing yang sepadan.”  (HR. Ath Thahawi, Musykilul Atsar, No. 871)

Ini adalah riwayat pengingkaran yang sangat tegas bagi orang yang menggantikan Kambing dengan yang lainnya, sampai-sampai ‘Aisyah mengucapkan Ma’adzallah! (Aku berlindung kepada Allah). Hadits ini menjadi pembatal bagi siapa saja yang mencoba-coba mengganti hewan aqiqah menjadi Sapi atau Unta.

Oleh karena itu, dengan tegas berkata Imam Ibnu Hazm Rahimahullah:

ولا يجزئ في العقيقة الا ما يقع عليه اسم شاة إما من الضأن واما من الماعز فقط، ولا يجزئ في ذلك من غير ما ذكرنا لا من الابل ولامن البقر الانسية ولامن غير ذلك

“Tidaklah cukup dalam aqiqah melainkan hanya dengan apa-apa yang dinamakan dengan  kambing (syatun), baik itu jenis kambing benggala atau kambing biasa, dan  tidaklah cukup hal ini dengan selain yang telah kami sebutkan, tidak pula jenis   unta, tidak pula sapi, dan tidak pula lainnya.” (Al Muhalla, 7/523. Darul Fikr)

Telah ada kasus pada masa sahabat, di antara mereka melaksanakan aqiqah dengan Unta, namun hal itu langsung dingkari oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Imam Ibnul Mundzir menceritakan, bahwa Anas bin Malik meng-aqiqahkan anaknya dengan Unta, juga dilakukan oleh Abu Bakrah dia menyembelih Unta untuk anaknya dan memberikan makan penduduk Bashrah dengannya. Kemudian disebutkan dari Al Hasan, dia berkata:  bahwa Anas bin Malik meng –aqiqahkan anaknya dengan Unta.  Kemudian disebutkan hadits, dari Yahya bin Yahya, mengabarkan kepada kami Husyaim, dari ‘Uyainah bin Abdirrahman, dari ayahnya, bahwa Abu Bakrah telah mendapatkan anak laki-laki, bernama Abdurrahman, dia adalah anaknya yang pertama di Bashrah, disembelihkan untuknya Unta dan diberikan untuk penduduk Bashrah, lalu sebagian mereka mengingkari hal itu, dan berkata: ”Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memerintahkan aqiqah dengan dua kambing untuk bayi laki-laki, dan satu kambing untuk bayi perempuan, dan tidak boleh dengan selain itu.”   (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud, Hal. 58. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Imam Ibnul Mundzir membolehkan aqiqah dengan selain kambing, dengan alasan:

مَعَ الْغُلَامِ عَقِيقَةٌ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الْأَذَى

“Bersama bayi itu ada aqiqahnya, maka sembelihlah hewan, dan hilangkanlah gangguan darinya.” (HR. Bukhari No. 5154. At Tirmidzi No. 1551 Ibnu Majah No. 3164. Ahmad No. 17200)

Menurutnya, hadits ini tidak menyebutkan kambing, tetapi hewan secara umum, jadi boleh saja dengan selain kambing.  Alasan Imam Ibnu Mundzir ini lemah, sebab hadits ini masih global, dan telah ditafsirkan dan dirinci oleh berbagai hadits lain yang menjelaskan bahwa apa yang dimaksud hewan dalam hadits itu adalah kambing.  Menurut kaidah ushul  tidak dibenarkan mengamalkan dalil yang masih global, jika sudah ada dalil lain yang memberikan perincian dan penjelasannya. Istilahnya Hamlul Muthlaq ila Al muqayyad (Dalil yang masih muthlaq/umum harus dibatasi oleh dalil yang muqayyad/terbatas).

Hadits-hadits yang memberikan rincian tersebut adalah (saya sebut dua saja)

Dari  Ummu Kurzin Radhiallahu ‘Anha, katanya:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, bahwa untuk anak laki-laki adalah dua kambing yang sepadan, dan bagi anak perempuan adalah satu ekor kambing.” (HR. At Tirmidzi No. 1550. Ibnu Majah  No. 3162. An Nasa’i No. 4141. Lafaz ini milik Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 4215)

Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:

أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نعق عن الغلام شاتين، وعن الجارية شاة.

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kami untuk meng-aqiqahkan anak laki dengan dua ekor kambing, dan anak perempuan seekor kambing.” (HR. Ibnu Majah No. 3163. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ Al Ghalil No. 1166)

Demikianlah hadits-hadits yang memberikan perinciannya. Masih banyak hadits lainnya, yang semuanya memerintahkan dengan kambing, tak satu pun menyebut  selain kambing, justru yang ada adalah pengingkaran selain kambing.  Maka, jelaslah kelemahan pendapat yang mengatakan bahwa aqiqah boleh diganti dengan Sapi atau Unta. Wallahu A’lam.

Imam Ibnul Qayyim telah membantah kekeliruan Imam Ibnul Mundzir dalam hal ini, menurutnya hadits yang menyebutkan sembelihan dengan hewan adalah masih  umum, dan telah dirinci dengan riwayat hadits-hadits yang menyebut penyembelihan itu harus dengan kambing. Beliau mengatakan;

وقول النبي صلى الله عليه وسلم عن الغلام شاتان وعن الجارية شاة مفسر والمفسر أولى من المجمل

“Dan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ‘untuk anak laki-laki dua kambing dan anak perempuan satu kambing,’ merupakan perincinya, dan rincian harus diutamakan dibanding yang masih global (umum).” (Tuhfatul Maudud, Hal. 58. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Bayi laki-laki dua kambing, Bayi Perempuan satu kambing

Demikianlah ketetapan yang telah ditegaskan dalam berbagai nash hadits. Sebagaimana yang sudah saya tulis sebelumnya. Ini menjadi pendapat mayoritas ulama. Ada pun Imam Malik dan lainnya, menurutnya tidak ada kelebihan bayi laki-laki di atas bayi perempuan, keduanya sama saja.

Dari  Ummu Kurzin Radhiallahu ‘Anha, katanya:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, bahwa untuk anak laki-laki adalah dua kambing yang sepadan, dan bagi anak perempuan adalah satu ekor kambing.” (HR. At Tirmidzi No. 1550. Ibnu Majah  No. 3162. An Nasa’i No. 4141. Lafaz ini milik Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Wa Dhaif Sunan An Nasa’i  No. 4215)

Imam Abu Thayyib Syamsul Azhim Abadi mengomentari hadits dari Ummu Kurzin ini:

وفي الحديث دليل على أن المشروع في العقيقة شاتان عن الذكر وشاة واحدة عن الأنثى. وحكاه في فتح الباري عن الجمهور. وقال مالك: إنها شاة عن الذكر والأنثى  

“Hadits ini merupakan dalil bahwa dalam aqiqah disyariatkan dua ekor kambing buat anak laki-laki, dan satu ekor kambing buat anak perempuan, diceritakan dalam Al Fath bahwa itu adalah pendapat jumhur (mayoritas). Malik berkata: bahwa anak laki dan perempuan adalah sama satu ekor kambing. (Aunul Ma’bud, 8/25)

Dalil pihak yang mengatakan bahwa bayi laki dan perempuan adalah sama-sama satu ekor, yakni riwayat dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma:

 أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا

“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meng-aqiqahkan Hasan dan Husein masing-masing satu kambing kibas.” (HR. Abu Daud No. 2841. Dishahihkan oleh Abdul Haq dan Ibnu Daqiq Al ‘Id, lihat Al Hafizh Ibnu Hajar, At Talkhish Al Habir No. 1983. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Juga dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Irwa’ Al Ghalil No. 1167. Maktab Al Islami)

Imam Abu Thayyib mengatakan:

قال الحافظ شمس الدين بن القيم رحمه الله: احتج بهذا من يقول الذكر والأنثي في العقيقة سواء لا يفضل أحدهما على الآخر وأنها كبش كبش كقول مالك وغيره.

Berkata Al Hafizh Syamsuddin bin Al Qayyim Rahimahullah: Hadits ini dijadikan dalil oleh orang yang mengatakan bahwa bayi laki dan perempuan adalah sama saja dalam aqiqah, tidak ada kelebihan antara satu atas yang lainnya, yaitu masing-masing satu kibas, sebagaimana pendapat Malik dan lainnya.” (Aunul Ma’bud, 8/30. Lihat juga Imam Ibnul Qayyim, Hasyiyah  ‘Ala Sunan Abi Daud, 8/30. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Selain Imam Malik, ini juga pendapat kalangan sahabat Nabi seperti Ibnu Umar, Urwah bin Zubeir, dan lainnya.

Bagaimanakah mengkompromikan dua hadits yang nampaknya bertentangan ini? Ada beberapa  metode para ahli ushul, yakni:

  1. Kaidah: Qaulun Muqaddamun minal Fi’l (Ucapan Nabi harus lebih diutamakan dibanding perbuatannya)

Hadits dari Ummu Kurzin, tentang anak laki-laki dua kambing dan anak perempuan satu kambing, merupakan perintah Rasulullah secara lisan/ucapan. Sedangkan hadits dari Ibnu Abbas, tentang aqiqahnya Hasan dan Husein, adalah perbuatan Rasulullah. Maka, hadits Ummu Kurzin lebih diutamakan.

Berkata Imam Ash Shan’ani Rahimahullah:

بِأَنَّ ذَلِكَ فِعْلٌ وَهَذَا قَوْلٌ وَالْقَوْلُ أَقْوَى

 “Karena, hadits tersebut (tentang Hasan dan Husein) adalah perbuatan, sedangkan hadits ini (Ummu Kurzin) adalah ucapan, sedangkan ucapan adalah lebih kuat.” (Subulus Salam, 6/330. Al Maktabah Asy Syamilah)

  1. Hadits tentang Hasan dan Husein lebih dahulu ada sebelum hadits Ummu Kurzin. Jadi hadits Ummu Kurzin ini menasakh (menghapus secara hukum) hadits Hasan dan Husein.

Berkata Imam Abu Thayyib:

وقال آخرون مولد الحسن والحسين كان قبل قصة أم كرز فإن الحسن ولد عام أحد والحسين في العام القابل وأما حديث أم كرز فكان سماعها له من النبي صلى الله عليه وسلم عام الحديبية ذكره النسائي فهو متأخر عن قصة الحسن والحسين.

“Berkata yang lainnya, bahwa kelahiran Hasan dan Husein adalah sebelum kisah Ummu Kurzin. Hasan lahir pada tahun perang Uhud, sedangkan Husein lahir tahun selanjutnya. Sedangkan, hadits Ummu Kurzin, dia mendengarkannya dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada tahun Hudaibiyah. An Nasa’i menyebutkan bahwa hadits Ummu Kurzin ini datangnya belakangan dibanding kisah Hasan dan Husein.” (Aunul Ma’bud, 8/31. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

  1. Kaidah dalam syariah Islam bahwa bagian wanita adalah setengahnya laki-laki.

قالوا وأيضا فإنا قد رأينا الشريعة نصت على أن الأنثى على النصف من الذكر في ميراثها وشهادتها ودينها وعتقها

“Mereka juga mengatakan,’Sesungguhnya kami melihat bahwa nash-nash syariat menunjukkan bahwa bagian wanita adalah setengah dari laki-laki dalam warisan, kesaksian, agama, dan pembebasan budak.” (Ibid)

Imam Ibnul Qayyim mengatakan:

وهذه قاعدة الشريعة فإن الله سبحانه فاضل بين الذكر والأنثى وجعل الأنثى على النصف من الذكر في المواريث والديات والشهادات والعتق و العقيقة

“Ini adalah kaidah syariah, sesungguhnya Allah Ta’ala telah melebihkan antara laki-laki dan wanita, dan menjadikan bagian wanita adalah setengah laki-laki dalam hal waris, diyat (denda), kesaksian, membebaskan budak, dan aqiqah.” (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 47. Darul Kutub Al ‘ilmiyah)

Nah, dengan demikian, maka ketetapan bahwa bayi laki-laki adalah dua kambing dan bayi perempuan adalah satu kambing, adalah lebih kuat dan argumentatif. Namun demikian, untuk bayi laki-laki jika diaqiqahkan satu kambing adalah boleh-boleh saja. Sebab, jumlah dua ekor tersebut adalah menunjukkan anjuran, bukan syarat sahnya aqiqah.

Berkata Imam Abu Thayyib Syamsul Azhim Abadi Rahimahullah:

فَإِنَّ الْعَدَد لَيْسَ شَرْطًا بَلْ مُسْتَحَبّ اِنْتَهَى .

“Sesungguhnya jumlah tersebut bukanlah syarat, tetapi anjuran saja. Selesai.” (‘Aunul Ma’bud, 8/31. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah juga mengatakan:

ويجوز ذبح شاة واحدة عن الغلام لفعل الرسول صلى الله عليه وسلم ذلك مع الحسن والحسين – رضي الله عنهما

“Dibolehkan menyembelih satu ekor kambing  untuk anak laki-laki, lantaran Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan hal itu terhadap Hasan dan Husein Radhiallahu ‘Anhuma.” (Fiqhus Sunnah, 3/328. Darul Kitab Al ‘Arabi)

Disebutkan dalam Nailul Authar sebagai berikut:

أَنَّ الشَّاتَيْنِ مُسْتَحَبَّةٌ فَقَطْ وَلَيْسَتْ بِمُتَعَيَّنَةٍ وَالشَّاةُ جَائِزَةٌ غَيْرُ مُسْتَحَبَّةٍ .

“Sesungguhnya dua kambing adalah sunah saja, bukan kewajiban, dan satu kambing adalah boleh, tidak sunah.” (Nailul Authar, 5/134. Maktabah Al Islamiyah Syabab Al Azhar)

Maka, tidak samar lagi, bahwa dua kambing untuk bayi laki-laki adalah afdhal (lebih utama) dan bukan wajib, sedangkan satu kambing adalah boleh. Sedangkan, untuk bayi perempuan, telah ijma’ (sepakat) semua ulama adalah satu kambing.

Berikut penjelasannya:

وأما الأنثى فالمشروع في العقيقة عنها شاة واحدة إجماعا كما في البحر .

“Ada pun bayi perempuan, telah ijma’ disyariatkan aqiqah dengan satu ekor kambing, sebagaimana tertera dalam kitab Al Bahr.” (Ibid)

Dilarang melumuri kepala bayi dengan darah kambing aqiqah

Ini adalah adat zaman jahiliyah yang wajib dihilangkan. Abu Buraidah berkata: “Kami pada zaman jahiliyah dahulu, jika lahir seorang bayi laki-laki bagi kami maka disembelih atasnya seekor kambing dan dilumurkan ke kepala bayi itu darah sembelihannya. Namun, ketika Islam datang, kami menyembelih kambing, mencukur rambut bayi, dan melumurinya dengan za’faran (sejenis minyak wangi).” (Riwayat Abu Daud III/107, Baihaqi IX/303, Hakim IV/238)  

“Dari Aisyah berkata : Dahulu ahlul kitab pada masa jahiliyah, apabila mau mengaqiqahi bayinya, mereka mencelupkan kapas pada darah sembelihan hewan aqiqah. Setelah mencukur rambut bayi tersebut, mereka mengusapkan kapas tersebut pada kepalanya ! Maka Rasulullah bersabda : “Jadikanlah (gantikanlah) darah dengan khuluqun (sejenis minyak wangi).” (Shahih, diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban (5284), Imam Abu Daud (2743), dan dishahihkan oleh Imam al Hakim (2/438))

Al-‘Allamah Syaikh Al-Albani dalam kitabnya Irwa’ al Ghalil (IV/388) berkata : “Mengusap kepala bayi dengan darah sembelihan aqiqah termasuk kebiasaan orang-orang jahiliyah yang telah dihapus oleh Islam.”

Disunnahkan daging kambing dibagikan dalam kondisi matang, dan boleh bagi orang tua bayi untuk ikut memakannya. Wallahu A’lam

Demikianlah penjelasan ringkas tentang aqiqah, alhamdulillah …

2. Mencukur Rambut

Dari Samurah bin Jundub, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

كلُّ غلامٍ رهينةٌ بعقيقته: تذبح عنه يوم سابعه، ويحلق، ويسمى

“Setiap bayi digadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur kepalanya, dan diberikan nama.” (HR. Abu Daud No. 2838. Ahmad No. 19382. Ad Darimi No. 2021. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 8377.  Hadits ini shahih. lihat Syaikh Al Albani, Irwa’ Al Ghalil No. 1165. Al Maktab Al Islami. Imam An Nawawi, Al Adzkar, No. 843. Darul Fikr)

Caranya adalah dengan mencukur semua, dan dilarang qaza’ (mencukur sebagian) sebagaimana yang Rasulullah larang dalam kitab Riyadhus shalihin-nya Imam an Nawawi.

Lalu, menimbang potongan rambut itu, dan disesuaikan dengan berat perak untuk disedekahkan. Ini jika dalam kelapangan ekonomi. Sebagian kecil ulama seperti Imam Ar Rafi’i memilih menggunakan emas. Mungkin karena perak jarang dipakai oleh manusia.

Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Salim bin Dhayyan berkata : “Dan disunnahkan mencukur rambut bayi, bersedekah dengan perak seberat timbangan rambutnya dan diberi nama pada hari ketujuhnya. Masih ada ulama yang menerangkan tentang sunnahnya amalan tersebut (bersedekah dengan perak), seperti : al-Hafidz Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, Imam Ahmad, dan lain-lain.”

Hal ini berdasarkan hadits:

Dari Anas bin Malik, Bahwasanya Rasulullah memerintahkan mencukur rambut Hasan dan Husein, anak Ali bin Abi Thalib, pada hari ke tujuh, kemudian bersedekah dengan perak seberat timbangan rambut Hasan dan Husein itu. (HR. Thabrani dalam Al Ausath I/133)

Hadits jalur Anas bin Malik ini dhaif (lemah), namun ada hadits lain yang serupa, dari jalur Abdullah bin Abbas, yang bisa menguatkannya. Sehingga hadits di atas naik derajatnya menjadi hasan li ghairihi.

Berkata Imam Ibnu Hajar, “Seluruh riwayat yang ada sepakat tentang penyebutan bersedekah dengan perak. Tidak ada satu pun yang menyebutkan emas. Berbeda dengan perkataan Ar Rafi’i, bahwa disunnahkan bersedekah dengan emas seberat timbangan rambut, kalau tidak sanggup maka dengan perak. Riwayat yang menyebut bersedekah dengan emas dhaif dan tak ada yang menguatkannya!” (Talkhis al Habir IV/1408)

Pembagian Daging Aqiqah

Pembagian daging aqiqah dianjurkan dalam keadaan matang; baik siap saji atau sudah direbus dengan air saja.  Imam Ahmad ditanya tentang aqiqah yang sudah dimasak dengan air putih, dia menjawab: hal itu disukai (mustahab). Jika dicampur dengan yang lain, dia menjawab: tidak apa-apa.

Kondisi ini lebih memudahkan bagi orang faqir miskin dan tetangga, dan merupakan bentuk lebih mensyukuri nikmat, dan bertambahnya  kebaikan.  (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 53)

Mengundang Manusia Ketika Aqiqah

Secara khusus sebenarnya ini tidak ada contohnya.  Namun, secara umum, ini merupakan bagian dari menampakkan nikmat Allah Ta’ala atas hambaNya, yang memang dianjurkanNya untuk disiarkan.

Allah Ta’ala berfirman:

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.” (QS. Adh Dhuha (93): 11)

Acara ini semakin baik jika di dalamnya di isi dengan ceramah agama oleh seorang ‘alim yang terkait dengan maslahat kehidupan manusia. Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Hafizhahullah berkata tentang hukum berkumpul dalam acara undangan taushiah  aqiqah:

وأما التزام إحضار المشايخ والمحاضرين في هذه المناسبات فليس بوارد، لكن لو فُعل في بعض الأحيان انتهازاً لفرصة معينة للتذكير أو للتنبيه على بعض الأمور بمناسبة الاجتماع فلا بأس بذلك.”

“Ada pun membiasakan menghadirkan para syaikh dan para undangan dalam acara ini maka tidak ada dalilnya, tetapi seandainya dilakukan untuk memanfaatkan keluangan pada waktu tertentu, dalam rangka memberikan peringatan dan nasihat atas sebagian permasalahan yang terkait dengan berkumpulnya mereka, maka  hal itu tidak mengapa.” (Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Badr, Syarh Sunan Abi Daud, No. 086. Maktabah Misykah)

3. Pemberian Nama

Penamaan pada hari ketujuh, bukanlah keharusan, melainkan hanya keutamaan saja (afdhaliyah). Boleh saja memberikan nama sebelum hari ketujuh, sebab Rasulullah pernah menamakan anaknya yang baru lahir dengan nama Ibrahim.

Dari Anas bin Malik beliau berkata, bahwa Rasulullah besabda: “Semalam telah dilahirkan seorang bayi laki-laki bagiku. Saya namakan dia dengan nama bapakku (maksudnya nenek moyangnya) yaitu Ibrahim.” (HR. Muslim no. 2355, Abu Daud no. 3126, dan Baihaqi IX/589)

Begitu pula beberapa sahabat seperti Abu Musa al Asy’ary, Abu Thalhah, dan Zubeir bin Awwam, anak mereka dinamakan sebelum hari ketujuh.

Memberikan nama-nama yang baik

Hendaknya para orang tua memberikan nama-nama yang baik, dan jangan terpengaruh oleh ucapan tokoh kafir Barat William Shakespare yang mengatakan What is a name? (Apalah arti sebuah nama?) sebab dalam Islam nama bukan sekadar label, tetapi juga doa, citra diri, dan identitas seorang muslim.

Nama-nama yang disukai oleh Allah Ta’ala adalah nama-nama yang menunjukkan sikap penghambaan seperti Abdullah, Abdurrahman, Abdul Aziz, yang secara makna adalah sama yaitu hamba Allah.

Dari Ibnu Umar beliau berkata, bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya nama yang paling dicintai Allah adallah Abdullah dan Abdurrahman.” (HR. Muslim III/1683, Tirmidzi V/132, Abu Daud IV/287, dan Ahmad II/24)

Bagus juga memberikan nama anak dengan nama para Nabi, seperti Ibrahim, Yusuf, dan lain-lain. Sebagaimana yang Rasulullah contohkan ketika menamakan anaknya dan anak Abu Musa dengan nama Ibrahim.

Dari Yusuf bin Abdullah bin Salam, dia berkata: “Rasulullah menamakan saya Yusuf.” (Riwayat Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad, hal. 249) 

Nama-nama yang dibenci

Ada nama-nama yang dibenci (makruh) seperti barakah (mengandung berkah), ya’la (yang tinggi), aflah (yang menang), yassar (yang mudah), nafi’ (yang bermanfaat). Nama-nama ini dibenci Karena mengandung makna mengunggulkan diri (tazkiyatun nafs).

Dari Jabir bin Abdullah, beliau berkata: Rasulullah berkehendak melarang penamaan dengan nama-nama seperti Ya’la, Barakah, Aflah, Yassar, Nafi’, dan semisalnya. .. (HR. Muslim, XIII/1686)

Atau nama yang melambangkan kesombongan seperti Maha Raja, Raja Diraja, atau Syahhansyah. Hal ini didasrkan pada hadits:

Dari Abu Hurairah beliau berkata, bahwa Rasulullah bersabda: “Nama yang paling buruk/keji di sisi Allah pada hari kiamat nanti adalah seseorang yang bernama Malikul Amlak (Raja Diraja/Rajanya para raja).” (HR. Bukhari, X/604, no. 6205)

Juga dibenci menamakan anak dengan nama-nama yang tidak jelas seperti Juventus, atau nama yang mengandung kekufuran seperti musyrikah (wanita musyrik), Jarimah (Kejahatan), atau Farji (kemaluan). Atau nama-nama neraka seperti jahanam, wail, saqar. Atau nama-nama tokoh kafir Barat, atau nama para ahli maksiat seperti artis dan lain-lain.  Diharamkan pula dengan nama Abdul Masih (Hamba al Masih), Abdul Uzza (hamba dewa uzza), dan seluruh nama yang berarti penghambaan kepada selain Allah Ta’ala.

Dianjurkan Ganti Nama jika Terlanjur memiliki nama yang Buruk

Ini dicontohkan langsung oleh Rasulullah ketika ia memberikan nama-nama para sahabatnya yang baru memeluk Islam. Boleh juga menggunakan nama kun-yah, yaitu nama sandaran yang menjelaskan nasab. Contoh ada orang bernama Abdullah atau apa saja, ia memiliki anak bernama Ahmad, maka ia dipanggil Abu Ahmad (Bapaknya si Ahmad). Atau seorang anak bernama Ahmad punya bapak bernama Abdullah, maka ia dipanggil Ibnu Abdillah (Anaknya si Abdullah).

Demikianlah sikap Islam terhadap pemeliharaan bayi pada hari ketujuh.

7. Mengkhitankan

Yang paling rajih (argumentatif) hukum khitan adalah wajib, ini yang ditujukkan oleh dalil-dalil dan mayoritas pendapat ulama. Perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah tsabit (kuat) terhadap seorang laki-laki yang telah ber-Islam untuk berkhitan. Beliau bersabda kepadanya :
“Buanglah darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah”. Ini merupakan dalil yang paling kuat atas wajibnya khitan.

Berkata Syaikh al Albany dalam Tamamul Minnah hal. 69: “Adapun hukum khitan maka yang tepat menurut kami adalah wajib dan ini merupakan pendapatnya jumhur seperti Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad dan pendapat ini yang dipilih oleh Ibnu Qayyim. Beliau membawakan 15 sisi pendalilan yang menunjukkan wajibnya khitan. Walaupun satu persatu dari sisi tersebut tidak dapat mengangkat perkara khitan kepada hukum wajib namun tidak diragukan bahwa pengumpulan sisi-sisi tersebut dapat mengangkatnya. Karena tidak cukup tempat untuk menyebutkan semua sisi tersebut maka aku cukupkan dua sisi saja :

Allah Ta’ala berfirman:

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَ هِيمَ حَنِيفًا  

Kemudian Kami wahyukan kepadamu ; ‘Ikutilah millahnya Ibrahim yang hanif” (QS. An-Nahl (16) : 123) Khitan termasuk millah (ajaran) Ibrahim sebagaimana disebutkan dalam hadits Abi Hurairah yang telah lalu. Sisi ini merupakan hujjah yang terbaik sebagaimana kata Al-Baihaqi yang dinukil oleh Al-HafidzhImamIbnuHajar(10/281).

Khitan termasuk syi’ar Islam yang paling jelas, yang dibedakan dengan seorang muslim dari seorang nashrani. Hampir-hampir tidak dijumpai dari kaum muslimin yang tidak berkhitan” [selesai ucapan Syaikh al AlBany]”

Kami tambahkan sisi ke tiga yang menunjukkan wajibnya khitan. Al-Hafizh menyebutkan sisi ini dalam ‘Fathul Baari (10/417)’ dari Imam Abu Bakar Ibnul Arabi ketika ia berbicara tentang hadits : “Fithrah itu ada lima ; khitan, mencukur rambut kemaluan ….”. Ia (Imam Abu Bakar Ibnul Araby) berkata :

“Menurutku kelima perkara yang disebutkan dalam hadits ini semuanya wajib. Karena seseorang jika ia meninggalkan lima perkara tersebut tidak tampak padanya gambaran bentuk anak Adam (manusia), lalu bagaimana ia digolongkan dari kaum muslimin” (Selesai ucapan Al-Imam)”

Hukum khitan ini umum bagi laki-laki dan wanita, hanya saja ada sebagian wanita yang tidak ada pada mereka bagian yang bisa dipotong ketika khitan yaitu apa yang diistilahkan klitoris (kelentit). Kalau demikian keadaannya maka tidak dapat dinalar bila kita memerintah mereka untuk memotongnya padahal tidak ada pada mereka.

Berkata Imam Ibnul Hajj dalam Al-Madkhal(3/396):

“Khitan diperselisihkan pada wanita, apakah mereka dikhitan secara mutlak atau dibedakan antara penduduk Masyriq (timur) dan Maghrib (barat). Maka penduduk Masyriq diperintah untuk khitan karena pada wanita mereka ada bagian yang bisa dipotong ketika khitan, sedangkan penduduk Maghrib tidak diperintah khitan karena tidak ada bagian tersebut pada wanita mereka. Jadi hal ini kembali pada kandungan ta’lil (sebab/alasan)”.

Madzhab Malik mengatakan khitan untuk wanita adalah sunah. Dalam Madzhab Hanafi, khitan wanita bukan sunah, melainkan kehormatan bagi wanita.  Madzhab Syafi’I dan Hambali, khitan wanita adalah wajib. Adapun menurut Faqihul islam abad ini al ‘Allamah Syaikh Yusuf al Qaradhawy hafizhahullah, khitan bagi wanita tidak wajib dan tidak pula sunah, sebab –menurutnya- tidak ada satu pun dalil yang shahih- yang menunjukkan wajib atau sunahnya, baginya hanya sekedar mubah (boleh). Bahkan jika ternyata membahayakan, bisa dicegah.

Telah masyhur di dunia  kedokteran, bahwa khitan bagi wanita justru membahayakan kaum wanita. Khususnya membahayakan kehidupan seksualnya, sebab urat syaraf kenikmatan seksual wanita adalah pada klitorisnya, yang jika dipotong maka terhalanglah baginya untuk merasakan apa-apa yang kaum laki-laki telah rasakan. Sehingga hal ini bisa menggiring pada terjadinya keretakan rumah tangga. Wallahu A’lam

Kapankah waktu dikhitan? Sebagian madzhab Syafi’I menyatakan di hari ketujuh. Ini didasarkan hadits: “Ada tujuh perkara yang disunnahkan bagi bayi pada usia yang ke tujuh hari: diberi nama, khitan, … (HR. At Thabrani dalam al Ausath. Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid (IV/59), mengatakan bahwa perawinya adalah tsiqat (terpercaya). Namun Imam Ibnu hajar dalam Fathul bari (IX/483) menyatakan dhaif)

Imam An Nawawi mengatakan bahwa sebagian madzhab Syafi’i mengatakan waktu khitan adalah setelah baligh, namun demikian dianjurkan bagi orang tua mengkhitankan sejak kecil, sebab hal itu lebih ringan bagi bayi.

Sebagian ahli fiqih menyatakan wajibnya mengkhitan ketika masih bayi, bukan sekedar anjuran. Sebab hal itu membawa kemaslahatan. Berkata Imam Ibnul Qayyim dalam Tuhfatul Maudud hal, 60-61, “Tidak boleh bagi wali (orang tua) membiarkan seorang bayi tidak dikhitan sampai ia mencapai baligh.”

Para dokter spesialis juga menyatakan demikian, bahwa sebaiknya khitan dilakukan saat masih bayi, sebab itu lebih ringan baginya, hampir-hampir ia tidak merasakan apa yang sedang dialaminya. Kecuali jika bayi tersebut dinyatakan tidak sehat, maka khitan bisa ditunda. Walahu A’lam

8. Mendidik Anak sejak Usia Dini

Sejak dini anak ditanamkan nilai-nilai tauhidullah (keesaan Allah). Ma’rifatullah (mengenal Allah) adalah tema pertama yang kita ajarkan kepada anak-anak, tentu dengan bahasa dan contoh-contoh yang sederhana. Agar terpatri dalam ruang pikirnya, siapa penciptanya, siapa pemberi rizki, siapa pengatur hidup, siapa penguasa alam, siapa yang pantas disembah, siapa yang menghidupkan dan mematikan, dll. Agar ia tidak mudah ternoda oleh kepercayaan yang sifatnya tahayul, mitos, dan khurafat, yang biasanya berkembang dan sangat melekat di masyarakat.

Sejak dini juga ditanamkan pendidikan ma’rifaturrasul (mengenal Rasulullah), agar ia memiliki teladan yang mampu menjadi pemandu hidupnya, dan tidak salah pilih idola. Apalagi, saat ini banyak para artis, atau tokoh-tokoh khayalan dan rekaan yang mencoba merebut hati para anak-anak kita, baik cerita rakyat seperti Gatot Kaca atau dari Barat seperti Superman, Batman, Satria Baja Hitam, Power Rangers. Sekadar tahu tokoh-tokoh ini tidak ada masalah, namun jadi masalah jika anak menjadikan mereka sebagai teladan hidupnya, dan melupakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Sejak dini juga ditanamkan tarbiyah akhlaqiyah wa sulukiyah (pembinaan akhlak dan perilaku). Agar anak menghormati orang tua dan yang lebih tua, atau menyayanyi yang lebih muda. Agar anak tahu adab makan, minum, berjalan, berpakaian, dan berbicara, serta adab-adab lainnya. Supaya mereka menyayangi sahabat dan memaafkan musuh. Agar mereka tahu juga batasan-batasan pergaulan dengan lawan jenis, agar tidak terjadi fitnah dikemudian hari.

Sejak dini juga diperkenalkan dengan tokoh-tokoh Islam, mulai para sahabat nabi, para Imam dan ulama, para pahlawan dan mujahidin Islam, baik dalam atau luar negeri. Bukan justru memperkenalkan mereka dengan bintang film, penyanyi, pemain sepak bola, atau penghibur yang membuatnya jauh dari Allah dan kewajiban-kewajiban agama.

Hendaknya dirumah sering diperdengarkan ayat-ayat Allah, lantunan ayat suci Al Qur’an baik dibaca sendiri oleh orang tua, atau melalui kaset-kaset muratal para Imam Mesjid di Timur Tengah. Ini lebih baik dan sangat baik demi keberkahan rumah dan turunnya rahmat Allah. Paling tidak, syair-syair Islam seperti nasyid-nasyid Islami yang tidak melampui batas dan tidak melalaikan.

Terakhir, sediakanlah anak-anak kita buku-buku bacaan yang mendidik, yang mampu menambah pengetahuan agama dan akademik, serta iman mereka. Seperti buku-buku kisah tentang para nabi, sahabat, atau buku-buku doa sederhana, hadits-hadits, atau majalah Islam anak-anak. Dampingilah mereka untuk membantu memahaminya, sebagaimana kita dampingi mereka ketika nonton televisi agar bisa menjauhi tontonan yang tidak pantas. (Sebagusnya cegah mereka dari televisi, hingga saatnya nanti mereka bisa membedakan mana baik mana buruk).

Jika ini sudah kita lakukan, berdoalah mudah-mudahan anak kita terbentuk oleh kebiasaan Islami, yang akan mewarnai dan membentuk kehidupannya setelah dewasa nanti. Sebagaimana kata pepatah Arab:

Man syabba fii syai’iin syaaba ‘alaih (Barang siapa yang dididik dengan sesuatu, maka sesuatu itulah yang akan membentuk dirinya hingga dewasa nanti)

9. Membimbingnya dalam Memilih Jodoh

Jodoh memang rahasia Allah Ta’ala, selaku orang beriman kita wajib meyakininya. Namun selaku orang berakal, kita dituntut mempersiapkannya secara rasional sejauh yang kita mampu. Hendaknya orang tua tidak lepas tangan dengan masalah jodoh anak-anaknya. Anak memiliki hak untuk menentukan calon pendamping hidupnya, tetapi orang tua berkewajiban mengarahkan, memberi pertimbangan, dan masukan, walau akhirnya anak juga yang memutuskan.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memberikan arahan bagi umatnya urusan pernikahan ini, sabdanya:

“Wanita dinikahkan karena empat hal, karena kecantikannya, hartanya, keturunannya, dan agamanya. Pilihlah karena agamanya, niscaya kau akan beruntung.”(HR.  Bukhari dan Muslim)

Maksud dari ‘pilihlah karena agamanya’ adalah pilihlah karena keshalihannya, sebagaimana hadits: “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah isteri yang shalihah.”

Berkata Umar bin al Khathab, “Nikahilah anak gadis kalian dengan laki-laki shalih, sebab jika ia (laki-laki shalih)  sedang marah, ia tidak akan berbuat zalim, jika ia ridha ia akan amat menjaga.”

Hendaknya orang tua mempermudah urusan pernikahan, sebab memang pernikahan dalam Islam adalah perkara agung yang simple. Namun, tradisi dan adatlah yang membuatnya menjadi rumit dan njelimet (susah). Harus ini, harus itu, begini dan begitu, yang sebenarnya tidak ada dasarnya dalam Islam. Namun, anehnya itulah yang menjadi pedoman bagi pernikahan mereka, bukan berpedoman kepada Al Qur’an dan As Sunnah.

Wallahu A’lam wa lIllahil ‘Izzah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top