Hukum “Ganti Presiden” dalam Islam

▪▫▪▫▪▫▪▫▪▫

(Apakah dibenarkan di dalam Islam ? Pertanyaan dr bbrp orang)

Bismillahirrahmanirrahim ..

Jika peraturan di sebuah negeri memang membuka kran dan peluang bagi rakyat untuk memilih pemimpin sesuai yang mereka kehendaki dalam lima tahunan secara konstitusional, lantaran mereka kecewa dengan pemimpin yang ada lalu menginginkan yang baru, tentu hal itu dibolehkan, dan bukan termasuk makar atau bughat. Bagaimana mungkin itu disebut makar padahal negara melegalkannya? Untuk konteks Indonesia ini sudah berlangsung sejak diberlakukannya pemilihan presiden secara langsung.

Dalam Islam, rakyat sebagai makmum, punya hak “membenci” atau “menyukai” pemimpinnya jika memang layak untuk dibenci atau dicintai.

Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda tentang tiga golongan yang shalatnya tidak diterima:

ثَلَاثَةٌ لَا تُجَاوِزُ صَلَاتُهُمْ آذَانَهُمْ الْعَبْدُ الْآبِقُ حَتَّى يَرْجِعَ وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ وَإِمَامُ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ

Tiga orang yang shalatnya tidak akan melampaui telinga mereka;

1. Seorang budak yang kabur hingga ia kembali,

2. Seorang istri yang bermalam sementara suaminya dalam keadaan marah dan

3. Seorang imam bagi suatu kaum sedangkan mereka tidak suka dengan imam itu

(HR. At Tirmidzi no. 360, hasan)

Disebutkan bahwa dua manusia yang paling berat adzabnya:

عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ بْنِ الْمُصْطَلِقِ قَالَ
كَانَ يُقَالُ أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ اثْنَانِ امْرَأَةٌ عَصَتْ زَوْجَهَا وَإِمَامُ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ

Dari ‘Amru bin Al Harits bin Al Mushthaliq ia berkata;

“Disebutkan bahwa manusia yang paling berat siksanya pada hari kiamat adalah dua orang:

1. Wanita yang durhaka kepada suaminya dan

2. Imam suatu kaum sedang mereka membencinya.

(HR. Abu Daud no. 359, Shahih)

Kemudian, ketidaksukaan ini -yg menjadi sebab munculnya keinginan ganti presiden- adalah mesti didasari oleh alasan yang benar. Bukan karena ranah pribadi, bukan friksi pribadi, bukan pula kesalahan yg masih bisa ditoleransi, atau sejenisnya, tapi memang difaktori oleh hilangnya kemampuan dia mengelola negara, atau karena kezalimannya dan kefasikannya, sehingga wajar dia boleh dihentikan sesuai mekanisme yg ada.

Berikut ini pandangan Imam Abul Hasan Al Mawardi dalam Al Ahkam As Sulthaniyah tentang keadaan yang membuat dibolehkannya dicopot dan digantinya seorang pemimpin:

وإذا قام الإمام بما ذكرناه من حقوق الأمة فقد أدى حق الله تعالى فيما لهم وعليهم ، ووجب له عليهم حقان الطاعة والنصرة ما لم يتغير حاله والذي يتغير به حاله فيخرج به عن الإمامة شيئان : أحدهما جرح في عدالته والثاني نقص في بدنه . فأما الجرح في عدالته وهو الفسق فهو على ضربين : أحدهما ما تابع فيه الشهوة .
والثاني ما تعلق فيه بشبهة ، فأما الأول منهما فمتعلق بأفعال الجوارح وهو ارتكابه للمحظورات وإقدامه على المنكرات تحكيما للشهوة وانقيادا للهوى ، فهذا فسق يمنع من انعقاد الإمامة ومن استدامتها ، فإذا طرأ على من انعقدت إمامته خرج منها ، فلو عاد إلى العدالة لم يعد إلى الإمامة إلا بعقد جديد …..

Jika imam (pemimpin) sudah menunaikan hak-hak umat seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya, maka otomatis ia telah menunaikan hak-hak Allah Ta’ala, hak-hak mereka, dan kewajiban-kewajiban mereka. Jika itu telah dia lakukan, maka dia punya dua hak dari umatnya.

Pertama, ketaatan kepadanya.

Kedua, membelanya selama keadaan dirinya belum berubah.

Ada pun dua hal yang dapat merubah keadaan dirinya, yang dengan berubahnya kedua hal itu dia mesti mundur dari kepemimpinannya:

1⃣ Adanya cacat dalam ke- ’adalah-annya.
2⃣ Cacat tubuhnya

Ada pun cacat dalam ‘adalah (keadilan) yaitu kefasikan, ini pun ada dua macam; Pertama, dia mengikuti syahwat (dalam prilaku); Kedua, terkait dengan syubhat (pemikiran).

Bagian pertama (fasik karena syahwat) terkait dengan perbuatan anggota badan, yaitu dia menjalankan berbagai larangan dan kemungkaran, baik karena menuruti hawa syahwat, dan tunduk kepada hawa nafsu. Kefasikan ini membuat seseorang tidak boleh diangkat menjadi imam (pemimpin), dan juga sebagai pemutus kelangsungan imamah (kepemimpinan)-nya.

Jika sifat tersebut terjadi pada seorang pemimpin, maka dia harus mengundurkan diri dari imamah-nya. Jika ia kembali adil (tidak fasik), maka imamah tidak otomatis kembali kepadanya, kecuali dengan pengangkatan baru. ………. (Imam Abul Hasan Al Mawardi, Al Ahkam As Sulthaniyah, Hal. 28. Mawqi’ Al Islam)

Kasus yg dibahas oleh Imam Abul Hasan Al Mawardi adalah tentang pemimpin muslim yang fasiq dan zalim. Lalu bagaimana dengan yg sudah jatuh kafir? Imam Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah berkata tentang pemimpin yang melakukan kekafiran yang jelas:

أَنَّهُ يَنْعَزِلُ بِالْكُفْرِ إِجْمَاعًا فَيَجِبُ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ الْقِيَامُ فِي ذَلِكَ فَمَنْ قَوِيَ عَلَى ذَلِكَ فَلَهُ الثَّوَابُ وَمَنْ دَاهَنَ فِعْلَيْهِ الْإِثْمُ وَمَنْ عَجَزَ وَجَبَتْ عَلَيْهِ الْهِجْرَةُ من تِلْكَ الأَرْض

” Sesungguhnya pemimpin dilengserkan karena kekufuran yang meraka lakukan menurut ijma’ ulama. Wajib setiap muslim melakukan hal itu. Siapa yang mampu melakukannya, maka dia mendapat pahala. Dan siapa yang basa-basi dengan mereka, maka dia mendapat dosa. Dan siapa yang tidak mampu, wajib baginya untuk hijrah dari daerah itu”. (Fathul Bari, 13/123)

Cara mencopotnya tentu dengan cara yang paling minim madharatnya, walau dalam sejarah umat ini bisa dilakukan oleh Ahlul Halli wal Aqdi, atau pernah dengan people power.

Kemudian tentang makar, tentu yang jelas-jelas makar adalah seperti OPM di Papua dan RMS di Maluku Selatan, yang terang-terangan ingin memisahkan diri dari NKRI, bahkan mereka sudah terang-terangan memiliki bendera sendiri, dan lagu kebangsaan sendiri, serta membunuhi aparat TNI-POLRI. Inilah makar sebenarnya, ada pun ganti presiden bukan gerakan makar sebab masih berjalan sesuai peraturan negara, yaitu melalui pertarungan kotak suara.

Demikian. Wallahu A’lam

🍃🌴🌻☘🌷🌺🌸🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top