[Biografi Imam Ahlus Sunnah] Imamul ‘Azham Abu Hanifah (Bag. 1)

💦💥💦💥💦💥

Nama dan Nasab

Imam Adz Dzahabi berkata: “Dia seorang Imam, faqihul millah (ahli fiqihnya millah ini), ulamanya Iraq, Abu Hanifah Nu’man bin tsabit bin Zutha, At Taimi, Al Kufi, Maula Bani Tayyimullah bin Tsa’labah. Disebutkan juga bahwa beliau keturunan Persia.” (Siyar A’lamin Nubala, 6/390)

Syaikh At Taqi Al Ghazi berkata: “Dialah imamnya para imam, penerang bagi umat, lautan ilmu dan keutamaan, ulamanya Iraq, ahli fiqih dunia seluruhnya, orang setelahnya menjadi lemah di hadapannya, dan yang semasanya, belum pernah mata melihat yang semisalnya, belum ada seorang mujtahid mencapai derajat  seperti kesempurnaan dan keutamaannya.” (Ath Thabaqat As Sunniyah fi Tarajim Al Hanafiyah, Hal. 24)

Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit bin Zutha –dengan huruf zay yang didhammahkan dan tha difathahkan- inilah yang masyhur. Ibnu Asy Syahnah menukil dari gurunya Majduddin Al Fairuzzabadi dalam Thabaqat Al Hanafiyah: bahwa huruf zay difathahkan dan tha juga difathahkan (jadi bacanya Zautha), sebagaimana Sakra. Dahulu Zautha adalah seorang raja dari Bani Tayyimullah bin Tsa’labah. (Ibid)

Syaikh At Taqi Al Ghazi juga berkata: “Terjadi perselisihan pendapat tentang asal daerahnya: ada yang mengatakan dari Kaabil, ada pula yang menyebut Baabil, ada yang menyebut Nasaa, ada yang mengatakan Tirmidz, ada juga yang menyebut Al Anbar, dan lainnya.

Sirajuddin Al Hindi menyebutkan bahwa cara kompromis dari semua riwayat ini adalah bahwa kakek Beliau berasal dari Kaabil, lalu pindah ke Nasaa, lalu ke Tirmidz, atau ayahnya dilahirkan di Baabil, lalu dia dibesarkan di Al Anbar, dan seterusnya. Ibnu Asy Syahnah mengatakan: kompromis seperti ini sebenarnya berasal dari Khathib Khawarizmi. Lalu dia mengatakan: sebagaimana Abu Al Ma’ali Al Fadhl  bin Sahl Al Isfirayini, karena ayahnya berasal dari Isfirayin, dan dia dilahirkan di Mesir, besar di Halab, lalu mukim di Baghdad, dan wafat di sana, sehingga disebutkan untuk dia: Al Mishri, Al Halabi, dan Al Baghdadi.”  (Ibid. Lihat juga Al Qadhi Abu Abdillah Husein bin Ali Ash Shimari, Akhbar Abi Hanifah, Hal. 15-16)

Dia dinamakan Hanifah karena sering membawa  tinta, yang di Iraq dikenal dengan sebutan Hanifah. Beliau juga dijuluki Imamul A’zham, dan telah banyak kitab para ulama yang menyebutnya demikian, seperti kitab: Manaqib Imam Al A’zham Abi Hanifah, Al Khairat Al Hissan fi Manaqib Al Imam Al A’zham Abi Hanifah An Nu’man, dan lainnya.

Ada seseorang yang menulis di Indonesia yakni Andi Bangkit (buku: Syubhat dan Kerancuan Ikhwanul Muslimin) , bahwa dia  menolak keras fakta bahwa Imam Abu Hanifah dijuluki Imamul A’zham oleh para ulama, dengan alasan karena Imamul A’zham adalah sebutan untuk Khalifah, dan karena Imam Abu Hanifah bukan Khalifah, maka dia bukan Imamul A’zham. Jelas bahwa itu adalah penolakan yang berani dan mengada-ada yang mungkin disebabkan kurangnya informasi, sebab sebutan Imamul A’zham pada kenyataan sejarah bukan hanya untuk Khalifah, bahkan selain Imam Abu Hanifah pun para ulama juga juga menyebut Imam Asy Syafi’i dengan Imamul A’zham. Imam Abul Fadhl Fakhrurrazi menyusun sebuah kitab berjudul: Manaqib Al Imam Al A’zham Asy Syafi’i. (Lihat Akhbar Ulama bi Akhbaril Hukama, Hal. 124. Mawqi’ Al Warraq)

Kelahirannya

Beliau dilahirkan tahun 80 Hijriyah, ada juga yang menyebut 61 Hijriyah seperti dikatakan Muzahim bin Daud bin ‘Uliyah, tetapi yang shahih dan masyhur adalah 80 Hijriyah. Telah dikatakan oleh anaknya sendiri yakni Hammad, lalu Abu Nu’aim, bahwa Beliau dilahirkan tahun 80 Hijriyah.  (Thabaqat As Sunniyah fi Tarajim Al Hanafiyah, Hal. 25. Akhbar Abi Hanifah, Hal. 16-17)

Imam Adz Dzahabi mengatakan: “Lahir tahun 80 hijriyah, pada masa shigharush shahabah (sahabat nabi yang junior), dan sempat melihat Anas bin Malik ketika Anas datang ke kota Kufah.” (As Siyar, 6/391)

Imam Abu Hanifah sempat berjumpa dengan beberapa sahabat nabi, yakni Abdullah bin Al Haarits dan Beliau mengambil hadits darinya, Abdullah bin Abi ‘Aufa, dan Abu Thufail ‘Amir bin Watsilah. Beliau berjumpa dengan Anas bin Malik tahun 95 Hijriyah, dan meriwayatkan  hadits darinya, serta bertanya kepadanya tentang sujud sahwi.  (Akhbar Abi Hanifah, Hal. 18-19)

Bahkan Ismail, cucu dari Imam Abu Hanifah, menceritakan:

ولد جدي في سنة ثمانين، وذهب ثابت إلى علي وهو صغير، فدعا له بالبركة فيه و في ذريته، ونحن نرجو من الله أن يكون استجاب ذلك لعلي رضي الله عنه فينا

Kakekku dilahirkan tahun 80 Hijriyah, dan Tsabit (ayah Abu Hanifah) pergi mendatangi Ali bin Abi Thalib, saat itu dia masih kecil, lalu Ali mendoakannya dengan keberkahan untuknya dan keturunannya, dan kami mengharapkan kepada Allah agar mengabulkan hal itu, karena doa Ali Radhiallahu ‘Anhu pada kami. (As Siyar, 6/395)

Sifat-Sifat dan Penampilannya

Imam Abu Nu’aim menceritakan bahwa Imam Abu Hanifah berparas tampan, jenggotnya rapi, pakaiannya bagus, sendalnya bagus, dan dermawan bagi orang di sekelilingnya. (Akhbar Abi Hanifah, Hal. 16)

Imam Abdullah bin Al Mubarak berkata:

ما كان أوقر مجلس أبي حنيفة كان يتشبه الفقهاء به وكان حسن السمت حسن الوجه حسن الثوب

Tidak ada yang seberwibawa majelisnya Abu Hanifah, dahulu para ahli fiqih menirunya, dia berperilaku baik, wajahnya bagus, dan pakaiannya bagus. (Ibid, Hal. 17)

Beliau adalah penenun sutera, dan menjualnya, dia memiliki toko yang terkenal di rumahnya Amru bin Huraits. (As Siyar, 6/394)

Salah seorang kawan dan muridnya, Imam Abu Yusuf bercerita:

كان أبو حنيفة رحمه الله ربعة من الرجال ليس بالقصير ولا بالطويل وكان أحسن الناس منطقا وأحلاهم نغمة وأبينهم عما يريد

Abu Hanifah Rahimahullah laki-laki yang berperawakan ideal, tidak pendek, dan tidak tinggi, dia adalah manusia yang paling bagus tutur katanya, dan paling bagus suaranya ketika bersenandung, dan paling bisa menerangkan kepada orang lain apa yang diinginkannya. (Akhbar Abi Hanifah, Hal. 17, As Siyar, 6/399)

Dalam Al Adab Asy Syar’iyyah, Imam Ibnu Muflih berkata:

قَالَ صَاحِبُ الْمُحِيطِ مِنْ الْحَنَفِيَّةِ وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ ارْتَدَى بِرِدَاءٍ ثَمِينٍ قِيمَتُهُ أَرْبَعُمِائَةِ دِينَارٍ وَكَانَ يَجُرُّهُ عَلَى الْأَرْضِ فَقِيلَ لَهُ أَوَلَسْنَا نُهِينَا عَنْ هَذَا ؟ فَقَالَ إنَّمَا ذَلِكَ لِذَوِي الْخُيَلَاءِ وَلَسْنَا مِنْهُمْ

“Berkata pengarang Al Muhith dari kalangan Hanafiyah, dan diriwayatkan bahwa Abu Hanifah Rahimahullah memakai mantel mahal seharga empat ratus dinar, yang menjulur hingga sampai tanah. Maka ada yang berkata kepadanya: “Bukankah kita dilarang melakukan itu?” Abu Hanifah menjawab: “Sesungguhnya larangan itu hanyalah untuk yang berlaku sombong, sedangkan kita bukan golongan mereka.” (Imam Ibnu Muflih, Al Adab Asy Syar’iyyah, Juz. 4, Hal. 226. Mawqi’ Al Islam)

Kisah ini menjadi petunjuk bahwa Imam Abu Hanifah merupakan salah satu imam yang membolehkan Isbal (menjulurkan pakaian hingga melebihi mata kaki), kecuali jika dibarengi dengan sombong (khuyala’).

Kemampuannya dalam ilmu hadits

Imam Adz Dzahabi Rahimahullah bercerita:

وقال صالح بن محمد: سمعت يحيى بن معين يقول: كان أبو حنيفة ثقة في الحديث، وروى أحمد بن محمد بن القاسم بن محرز، عن ابن معين: كان أبو حنيفة لا بأس به. وقال مرة: هو عندنا من أهل الصدق، ولم يتهم بالكذب.

Shalih bin Muhammad berkata: Aku mendengar Yahya bin Ma’in berkata: “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqah (terpercaya) dalam hadits.” Ahmad bin Muhammad bin Al Qasim bin Mihraz meriwayatkan dari Ibnu Ma’in: “Abu Hanifah laa ba’sa bihi (tidak apa-apa).” Dia berkata lagi: “Bagi kami dia adalah ahlus sidhqi (orang yang jujur), dan tidak dituduh sebagai pendusta.” (As Siyar, 6/395)

Namun, sebagian ulama ada yang mendhaifkannya dari sisi hafalannya, seperti Imam An Nasa’i, Imam Ibnu ‘Adi, dan lainnya. (Mizanul I’tidal, 4/265)

Al Jauzajaani mengatakan: “Haditsnya tidak memuaskan, begitu pula pendapatnya.” (Ahwaalul Rijaal No. 95)

Imam Adz Dzahabi sendiri menyebutnya sebagai Imam Ahl Ar Ra’yi. (Imamnya para pengguna rasio).  (Mizanul I’tidal, 4/265)

Pendhaifan yang dilakukan oleh Imam An Nasa’i dan Imam Ibnu ‘Adi terhadap diri Imam Abu Hanifah, telah dikoreksi para ulama. Cukuplah bagi kita pujian yang datangnya dari manusia yang hidup sezaman dengannya, dan pernah bertemu dengannya pula, seperti  Imam Abdullah bin Mubarak, Imam Malik, Imam Ali bin Al Madini, Imam Yahya bin Adam, Imam Al Hasan bin Shalih, dan lainnya,  dibandingkan kritikan dari Imam An Nasa’i dan Imam Ibnu ‘Adi yang hidupnya satu sampai dua abad setelah Imam Abu Hanifah.

Ahlur Ra’yi adalah orang yang lebih dominan menggunakan ra’yu (pendapat-aql), dibanding atsar (naql). Oleh karenanya sebagian orang menuduh  Imam Abu Hanifah hanya sedikit menggunakan hadits, dibanding akalnya sendiri. Ada yang menyebut bahwa Beliau hanya menggunakan hadits sebanyak tujuh belas saja!

Namun hal ini disanggah oleh para ulama yang mengkaji kehidupan Beliau secara objektif. Seperti Imam Ibnu Khaldun misalnya dalam kitab Muqaddimah. Menurutnya, sedikitnya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Hanifah bukan karena Beliau menolak hadits, tetapi lebih disebabkan karena kehati-hatian dan ketatnya syarat-syarat hadits shahih yang ditetapkannya, berbeda dengan imam lainnya yang lebih longgar.   Bagaimana mungkin Beliau tidak menggunakan hadits, padahal Beliau telah menjadi imamnya para imam, fuqaha, dan ahli hadits, sehingga Beliau menjadi muassis (peletak dasar) madzhab Hanafi. Sebutlah para fuqaha hanafi, seperti: Imam Muhammad bin Hasan, Al Qadhi Abu Yusuf, Imam Kamaluddin bin Al Hummam, Imam Ibnu ‘Abidin, dan lainnya. Juga para imam ahli hadits seperti: Imam Abu Ja’far Ath Thahawi, Imam Az Zaila’i, Imam Al Marghinani, dan lainnya.

Ditambah lagi, Beliau menyusu ilmu pengetahuan dari madrasah ilmiah di Kufah, yang sejak awalnya sudah difondasikan oleh salah satu sahabat nabi, Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, yang memadukan hadits dan fiqih sekaligus. Dari madrasah ilmiah ini lahirlah para imam tabi’in, seperti Ibrahim An Nakha’i, Hammad bin Abi Sulaiman, dan Imam Abu Hanifah salah satunya di generasi setelah mereka.

Oleh karenanya, tepat apa yang dikatakan oleh Imam Yahya bin Ma’in tentang Beliau:

كَانَ أَبُو حَنِيْفَةَ ثِقَةً، لاَ يُحَدِّثُ بِالحَدِيْثِ إِلاَّ بِمَا يَحْفَظُه، وَلاَ يُحَدِّثُ بِمَا لاَ يَحْفَظُ

Abu Hanifah adalah tsiqah, dia tidak akan berbicara dengan hadits kecuali dengan yang dihafalnya, dan tidak akan berbicara dengan yang tidak dihafalnya. (Tarjamah Al Aimmah Al Arba’ah, Hal. 9)

Imam Ibnu Khaldun Rahimahullah berkata:

والامام أبوحنيفة إنما قلت روايته لما شدد في شروط الرواية والتحمل، وضعف رواية الحديث اليقيني إذا عارضها الفعل النفسي. وقلت من أجلها روايته فقل حديثه. لا أنه ترك رواية الحديث متعمدا، فحاشاه من ذلك. ويدل على أنه من كبإر المجتهدين في علم الحديث اعتماد مذهبه بينهم، والتعويل عليه واعتباره رداً وقبولا. واما غيره من المحدثين وهم الجمهور، فتوسعوا في الشروط وكثر حديثهم، والكل عن اجتهاد. وقد توسع اصحابه من بعده في الشروط وكثرت روايتهم.
وروى الطحاوي فاكثر وكتب مسنده، وهو جليل القدر إلا أنه لا يعدل الصحيحين، لأن الشروط التي اعتمدها البخاري ومسلم في كتابيهما مجمع عليها بين الأمة كما قالوه. وشروط الطحاوي في غير متفق عليها، كالرواية عن المستور الحال وغيره

Imam Abu Hanifah sedikit riwayat haditsnya sebab Beliau sangat ketat dalam menetapkan syarat-syarat riwayat dan penakwilannya, Beliau mendhaifkan hadits jika hadits tersebut dinilai bertentangan dengan nalar secara meyakinkan. Maka dari itu Beliau telah mempersulit dirinya sendiri, dan sedikitnya riwayat hadits darinya adalah karena hal itu. Bukan karenan Beliau sengaja meninggalkan hadits, sungguh Beliau jauh  dari sikap itu.

Hal yang membuktikan bahwa Beliau seorang mujtahid besar dalam hadits adalah bahwa  para ulama telah menyandarkan diri mereka kepada madzhabnya dan telah memberikan kepercayaan kepadanya.

Sedangkan para ahli hadits yang lain, yaitu jumhur (mayoritas), lebih longgar dalam menetapkan syarat-syaratnya. Sehingga hadits mereka banyak dan lapang dalam berijtihad. Namun demikian, para pengikut Abu Hanifah lebih longgar dalam menetapkan syarat-syarat periwayatan, sehingga hadits mereka juga banyak.
Ath Thahawi meriwayatkan paling banyak dan menulis Musnadnya, yaitu kitab Jalilul Qadr. Tetapi belum sebanding dengan Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim). Sebab syarat-syarat yang ditetapkan oleh Al Bukhari dan Muslim telah disepakati umat, sebagaimana yang mereka katakan, sedangkan syarat-syarat yang ditetapkan oleh Ath Thahawi belum disepakati mereka. Seperti riwayat yang datangnya dari orang yang masih tersembunyi keadaaanya dan lain-lainnya. (Imam Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Hal. 255. Mawqi’ Al Warraq)

Kesungguhannya memegang sunah nabi

Disebutkan dalam As Siyar:

وعن أبي معاوية الضرير قال: حب أبي حنيفة من السنة

Dari Abu Mu’awiyah Adh Dharir, katanya: “Abu Hanifah sangat berkomitmen dengan sunah nabi.” (Imam Adz Dzahabi, Siyar Alamin Nubala, 3/401)

Imam Abu Hanifah berkata:

ما جاء عن الرسول صلى الله عليه وسلم، فعلى الرأس والعين، وما جاء عن الصحابة اخترنا، وما كان من غير ذلك، فهم رجال ونحن رجال

Apa-apa yang datang dari Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wajib bagi mata dan kepala  untuk mengikutinya, dan yang datang dari para sahabat maka kami akan memilihnya, dan yang datang dari selain mereka, maka mereka laki-laki kami pun laki-laki. (Ibid)

Maksudnya jika sebuah permasalahan terhenti pada pendapat tabi’in, tidak ada hadits, tidak pula perkataan sahabat, yang ada adalah perkataan setelah mereka yakni tabi’in, maka Beliau akan berijtihad sebab Beliau juga laki-laki yang memiliki kemampuan sebagaimana mereka.

🌴🍃☘🌷🌸🌾🌺🌻

✏ Farid Nu’man Hasan

Serial Biografi Imam Abu Hanifah

[Biografi Imam Ahlus Sunnah] Imamul ‘Azham Abu Hanifah (Bag. 1)

[Biografi Imam Ahlus Sunnah] Imamul ‘Azham Abu Hanifah (Bag. 2)

[Biografi Imam Ahlus Sunnah] Imamul ‘Azham Abu Hanifah (Bag. 3)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top