Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag. 6) – Lanjutan Hadits Kedua: Makna Islam, Iman, dan Ihsan

Tulisan Sebelumnya: Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag. 5) – Hadits Kedua: Makna Islam, Iman, dan Ihsan

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

SYARAH HADITS KEDUA

وَقَالَ :

dan dia (malaikat yang menyerupai laki-laki, pen) berkata:

يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي عَنِ الإِسْلاَم :

Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam

فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم :

maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam

الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدَاً رَسُولُ الله،وَتُقِيْمَ الصَّلاَة، وَتُؤْتِيَ
الزَّكَاةَ،وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ البيْتَ:

Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji ke baitullah.

Kalimat ini merupakan penegasan landasan operasional ajaran Islam. Kalimat syahadat merupakan intisari semua muatan ajaran Islam, dan ikrar yang membedakan Islam dan kafir. Dan, dia menjadi syarat dasar bagi benar dan diterimanya amal ibadah seorang hamba. Sebaik apa pun orang kafir, walau dia bersedekah untuk masjid dan ikut berjihad membantu kaum muslimin, maka semuanya sia-sia baginya di akhirat, karena dia belum berikrar atas hak ketuhanan Allah Ta’ala dan kebenaran kenabian Muhammad Shalalllahu ‘Alaihi wa Sallam dan risalah yang dibawanya. Bagi yang sudah mengucapkannya dengan sadar tanpa terpaksa, maka baginya terlindungi darah, kehormatan, dan hartanya. Maka, dia diperlakukan sebagai seorang muslim walapun melakukan dosa besar, selama tidak melakukan perbuatan syirik dan kekafiran yang jelas (kufrun bawwah).

Shalat di sini adalah gerakan dan ucapan tertentu dan pada waktu yang ditetapkan pula, dari takbiratul ihram hingga salam, yang disertai niat. Yang diwajibkan adalah lima kali sehari, kecuali menurut Imam Abu Hanifah yang menambahkan wajibnya witir pula, namun tak satu pun ulama yang mendukung pendapatnya ini seperti kata Imam Ibnul Mundzir. Bagi yang mengingkari kewajiban shalat fardhu maka dia kafir dan murtad, dan tak ada perbedaan pendapat dalam hal itu. Ada pun meninggalkannya karena kemalasan dan kelalaian tapi masih mengakui kewajibannya, maka para ulama berbeda pendapat antara yang mengkafirkan pelakunya seperti Imam Ahmad, dan –jika tidak mau tobat- mesti dibunuh, tidak dimandikan, tidak dishalatkan, dan tidak dikuburkan bersama kaum muslimin. Sementara yang lain masih mengakuinya sebagai Islam tapi sebagai pelaku dosa besar dan di dunia dinilai sebagai fasik, sebagaimana pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Abu Hanifah. Namun, secara hukum meninggalkan shalat adalah tindakan pidana (kriminal) yang juga mesti dibunuh jika tidak mau bertobat, inilah padangan Malik dan Syafi’i, sedangkan Abu Hanifah berpendapat dikucilkan hingga dia bertobat.

Zakat di sini adalah sedekah wajib yang dikeluarkan dari harta seorang muslim yang memiliki kelebihan hartanya dengan ukuran tertentu jika sudah mencapai nishabnya (batas minimal kepemilikan harta). Berfungsi untuk membersihkan harta dan membersihkan jiwa pelakunya, dan juga memiliki dimensi sosial. Yang mengingkarinya juga dihukumi kafir dan tidak ada perselisihan dalam hal itu. Ada pun yang menolak mengeluarkan zakat, tapi mengakui kewajibannya, maka menurut jumhur (mayortas) ulama dia adalah pelaku dosa besar. Dan, Abu Bakar Ash Shiddiq telah memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat, walau mereka masih shalat. Beliau Radhiallahu ‘Anhu mengatakan:

أنا لاقاتل من فرق بين الصلاة والزكاة ، والله لاقاتلن من فرق بينهما حتى أجمعهما

“Saya benar-benar akan memerangi orang yang memisahkan antara shalat dan zakat, demi Allah benar-benar akan saya perangi orang yang memisahkan keduanya sampai mereka kembali menyatukannya.” (Imam Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 6/14. Darul Fikr)

Puasa di sini adalah menahan diri (Al Imsak) dari hal-hal yang membatalkan puasa dari terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari pada bulan Ramadhan, yakni bulan antara sya’ban dan syawal. Sebanyak 29 hari atau digenapkan hingga 30 hari.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم فاقدروا ثلاثين

“Puasalah kalian karena melihatnya (hilal), dan berhari rayalah karena melihatnya, dan jika terhalang awan maka hitunglah sampai 30 hari.” (HR. An Nasa’i No. 2118 dan Ibnu Hibban No. 3442 dan 3443, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 2118)

Meninggalkan puasa karena mengingkarinya maka kafir.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata tentang orang yang mengingkari kewajibannya:

وأجمعت الامة: على وجوب صيام رمضان. وأنه أحد أركان الاسلام، التي علمت من الدين بالضرورة، وأن منكره كافر مرتد عن الاسلام

“Umat telah ijma’ (konsensus) atas wajibnya puasa Ramadhan. Dia merupakan salah satu rukun Islam yang telah diketahui secara pasti dari agama, yang mengingkarinya adalah kafir dan murtad dari Islam.” (Fiqhus Sunnah, 1/433. Darul Kitab Al ‘Arabi)

Ada pun meninggalkannya karena lalai dan malas, tapi masih mengakui kewajibannya, maka sebagian ulama ada yang yang menyatakan kafir dan boleh dibunuh. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

عرى الاسلام، وقواعد الدين ثلاثة، عليهن أسس الاسلام، من ترك واحدة منهن، فهو بها كافر حلال الدم: شهادة أن لا إله إلا الله، والصلاة المكتوبة، وصوم رمضان

Tali Islam dan kaidah-kaidah agama ada tiga, di atasnyalah agama Islam difondasikan, dan barangsiapa yang meninggalkannya satu saja, maka dia kafir dan darahnya halal ( untuk dibunuh), (yakni): Syahadat Laa Ilaaha Illallah, shalat wajib, dan puasa Ramadhan.” (HR. Abu Ya’ala dan Ad Dailami dishahihkan oleh Adz Dzahabi. Berkata Hammad bin Zaid: aku tidak mengetahui melainkan hadits ini telah dimarfu’kan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Al Haitsami mengatakan sanadnya hasan, Majma’ Az Zawaid, 1/48. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Berkata Imam Adz Dzahabi Rahimahullah:

وعند المؤمنين مقرر: أن من ترك صوم رمضان بلا مرض، أنه شر من الزاني، ومدمن الخمر، بل يشكون في إسلامه، ويظنون به الزندقة، والانحلال

“Bagi kaum mukminin telah menjadi ketetapan bahwa meninggalkan puasa Ramadhan padahal tidak sakit adalah lebih buruk dari pezina dan pemabuk, bahkan mereka meragukan keislamannya dan mencurigainya sebagai zindiq dan tanggal agamanya.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/434. Lihat juga Imam Al Munawi, Faidhul Qadir, 4/410. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Namun, Sebagain besar ulama mengatakan bahwa dia masih muslim, tapi dia adalah pelaku dosa besar dan termasuk perbuatan yang keji. Ada pun hadits di atas, maka Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani telah mendhaifkannya, lantaran kelemahan beberapa perawinya, yakni ‘Amru bin Malik An Nukri, di mana tidak ada yang menilainya tsiqah kecuali Ibnu Hibban, itu pun masih ditambah dengan perkataan: “Dia suka melakukan kesalahan dan keanehan.”

Telah masyhur bahwa Imam Ibnu Hibban termasuk ulama hadits yang terlalu mudah mentsiqahkan seorang rawi, sampai-sampai orang yang majhul (tidak dikenal) pun ada yang dianggapnya tsiqah. Oleh karena itu, para ulama tidak mencukupkan diri dengan tautsiq yang dilakukan Imam Ibnu Hibban, mereka biasanya akan meneliti ulang.

Selain dia, rawi lainnya Ma’mal bin Ismail, adalah seorang yang shaduq (jujur) tetapi banyak kesalahan, sebagaimana dikatakan Imam Abu Hatim dan lainnya. Umumnya hadits darinya yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas hanyalah bernilai mauquf (sampai sahabat) saja.

Lalu, secara zhahir pun hadits ini bertentangan dengan hadits muttafaq ‘alaih: “Islam dibangun atas lima perkara …dst.” Bukan tiga perkara.

Maka dari itu, Syaikh Al Albani tidak meyakini adanya seorang ulama mu’tabar yang mengkafirkan orang yang meninggalkan puasa, kecuali jika dia menganggap halal perbuatan itu. (Lihat As Silsilah Adh Dhaifah No. 94)

Dengan kata lain, jika dia masih meyakini kewajibannya, tetapi dia meninggalkannya maka dia fasiq, jika Allah Ta’ala berkehendak maka di akhirat nanti Dia akan mengampuninya sesuai

kasih sayangNya, dan jika berkehendak maka Dia akan mengazabnya sesuai dengan keadilanNya, sejauh kadar dosanya. Inilah pendapat yang lebih mendekati kepada kebenaran. Wallahu A’lam

Allah Ta’ala juga berfirman:

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, Maka Sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS. An Nisa’ (4): 116)

Ada pun haji, secara fiqih maknanya adalah sebagai berikut:

هو قصد مكة، لان عبادة الطواف، والسعي والوقوف بعرفة، وسائر المناسك، استجابة لامر الله، وابتغاء مرضاته
وهو أحد أركان الخمسة، وفرض من الفرائض التي علمت من الدين بالضرورة
فلو أنكر وجوبه منكر كفر وارتد عن الاسلام

“Yaitu mengunjungi Mekkah untuk melaksanakan Ibadah, seperti thawaf, sa’i, wuquf di Arafah, dan seluruh manasik, sebagai pemenuhan kewajiban dari Allah, dan dalam rangka mencari ridha-Nya. Haji merupakan salah satu rukun Islam yang lima, kewajiban di antara kewajiban agama yang sudah diketahui secara pasti. Seandainya ada yang mengingkari kewajibannya, maka dia kafir dan telah murtad dari Islam.” (Fiqhus Sunnah, 1/625)

Kewajiban haji hanya sekali seumur hidup, sedangkan yang kedua kali dan seterusnya adalah sunah.

إِنِ اِسْتَطَعتَ إِليْهِ سَبِيْلاً :
jika engkau mampu menjalankannya

Kalimat ini menunjukkan bahwa istitha’ah (mampu) merupakan hal yang membuat seorang muslim wajib melaksanakan haji. Ketika dia belum ada kemampuan, baik finansial dan fisik, maka dia tidak wajib, serta tidak berdosa jika tidak melaksanakannya. Namun, dia dianjurkan untuk berupaya menjadi orang mampu secara normal. Ada pun berhutang untuk haji, maka telah ada riwayat sebagai berikut:

Dari Abdullah bin Abi Aufa Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

سألته عن الرجل لم يحج ، أيستقرض للحج ؟ قال : « لا »

“Aku bertanya kepadanya, tentang seorang yang belum pergi haji, apakah dia berhutang saja untuk haji?” Beliau bersabda: “Tidak.” (HR. Asy Syafi’i, Min Kitabil Manasik, No. 460. Al Baihaqi, Ma’rifatus Sunan wal Atsar, Juz. 7, Hal. 363, No. 2788. Syamilah)

Imam Asy Syafi’i berkata tentang hadits ini:

ومن لم يكن في ماله سعة يحج بها من غير أن يستقرض فهو لا يجد السبيل

“Barangsiapa yang tidak memiliki kelapangan harta untuk haji, selain dengan hutang, maka dia tidak wajib untuk menunaikannya.” (Imam Asy Syafi’i, Al Umm, Juz. 1, Hal. 127. Asy Syamilah)

Namun, demikian para ulama tetap menilai hajinya sah, sebab status tidak wajib haji karena dia belum istitha’ah, bukan berarti tidak boleh haji. Ada pun larangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam itu karena Beliau tidak mau memberatkan umatnya yang tidak mampu, itu bukan menunjukkan larangannya. Yang penting, ketika dia berhutang, dia harus dalam kondisi yakin bahwa dia bisa melunasi hutang atau tersebut pada masa selanjutnya.

Selanjutnya:

قَالَ: صَدَقْتَ :
dia (laki-laki tersebut) berkata: engkau benar

فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ:

Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan

Imam Ibnu Dadiq Al ‘Id menjelaskan bahwa keheranan mereka (para sahabat) lantaran biasanya apa-apa yang dibawa oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidaklah diketahui melalui orang yang mendatanginya, dan si penanya ini tidak pernah berjumpa dan tidak pernah mendengar dari nabi, tetapi si penanya ini justru dia membenarkan apa yang nabi katakan. Inilah yang membuat mereka heran. (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 29)

Iman kepada para Rasul adalah membenarkan bahwa Allah-lah yang mengutus para rasul unuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Dan, menetapkan hikmahNya Ta’ala bahwa mereka di utus sebagai pembawa kabar gembira (mubasyirin) dan peringatan (mundzirin). Wajib beriman kepada mereka secara keseluruhan, dan wajib beriman kepada mereka yang namanya telah Allah rinci; mereka adalah 25 orang yang telah Allah sebutkan dalam Al Quran. Wajib beriman pula bahwa milik Allah-lah para Nabi dan Rasul selain mereka, dan tidak ada yang mengetahui jumlah mereka kecuali Allah Ta’ala, dan tidak ada yang mengetahui nama-nama mereka kecuali Dia Jalla wa ‘Ala, sebagaimana wajib beriman bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah yang paling utama dan penutup para nabi, dan bahwa risalah yang dibawanya adalah untuk semua, dan tidak ada nabi lagi setelahnya.

Iman kepada hari kebangkitan setelah kematian adalah meyakini secara pasti bahwa ada kehidupan kampung akhirat yang saat itu Allah Ta’ala membalas kebaikan orang yang berbuat baik, keburukan orang yang berbuat buruk, dan Dia mengampuni siapa saja yang dikehendakiNya, kecuali dosa syirik. Hari kebangkitan (Al Ba’ts) secara syara’ bermakna: kembalinya badan dan masuknya ruh ke dalamnya, mereka keluar dari kuburnya, seakan mereka adalah belalang yang berhamburan menyambut dengan cepat yang memanggilnya. Kita mohon kepada Allah ampunan dan keselamatan dunia dan akhirat.

Iman kepada qadar baik dan qadar buruk adalah membenarkan secara pasti bahwa semua kebaikan dan keburukan terjadi dengan ketetapan (qadha) Allah dan qadar (keputusan)Nya. Allah Ta’ala Maha mengetahui semua taqdir segala sesuatu dan waktu-waktunya yang azali sejak sebelum diwujudkannya, kemudian Dia menjadikannya dengan qudrahNya, serta kehendak yang sesuai dengan apa yang diketahuiNya, bahwa Dia telah menuliskannya dalam Lauh Mahfuzh sebelum terjadinya.
Selesai kutipan dari Syaikh Said bin Ali bin Wahf Al Qahthani. (Lihat Syarh Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, Hal. 12-15. Cet. 2. Rabiul Awal 1411H. Muasasah Al Juraisi)

قَالَ: صَدَقْتَ :
dia (laki-laki tersebut) berkata: engkau benar

Al Imam Ibnu Ash Shalah Rahimahullah mengomentari semua kalimat di atas –sebagaimana dikutip oleh Imam An Nawawi:

هَذَا بَيَان لِأَصْلِ الْإِيمَان ، وَهُوَ التَّصْدِيق الْبَاطِن ، وَبَيَان لِأَصْلِ الْإِسْلَام وَهُوَ الِاسْتِسْلَام وَالِانْقِيَاد الظَّاهِر ، وَحُكْم الْإِسْلَام فِي الظَّاهِر ثَبَتَ بِالشَّهَادَتَيْنِ ، وَإِنَّمَا أَضَافَ إِلَيْهِمَا الصَّلَاة وَالزَّكَاة ، وَالْحَجّ ، وَالصَّوْم ، لِكَوْنِهَا أَظْهَرَ شَعَائِرِ الْإِسْلَامِ وَأَعْظَمِهَا وَبِقِيَامِهِ بِهَا يَتِمُّ اِسْتِسْلَامه ، وَتَرْكُهُ لَهَا يُشْعِرُ بِانْحِلَالِ قَيْدِ اِنْقِيَادِهِ أَوْ اِخْتِلَالِهِ

“Ini merupakan penjelasan bagi dasar keimanan yaitu membenarkan (At Tashdiq) dalam hati, dan merupakan penjelasan dasar keislaman yaitu ketundukan/patuh (Al Istislam) dan keterikatan zhahir, dan hukum Islam terhadap zhahirnya adalah menguatkannya dengan dua kalimat syahadat, dan bahwasanya keduanya dilanjutkan dengan shalat, zakat, haji, dan puasa sebagai wujud nyata dari tanda keIslaman dan keagungannya, dan menjalankan hal itu merupakan wujud kesempurnaan ketundukannya. Meninggalkannya merupakan tanda tipisnya ketudukannya atau cacatnya.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/69. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Bersambung …

Tulisan Berikutnya: Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag.7) – Lanjutan Hadits Kedua: Makna Islam, Iman, dan Ihsan

🍃🌻🌴☘🌷🌾🌸🌺

✏ Farid Nu’man Hasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top