Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag. 4) – Lanjutan Hadits Pertama: Niat dan Ikhlas

Tulisan Sebelumnya: Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag. 3) – Lanjutan Hadits Pertama: Niat dan Ikhlas

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

SYARAH HADITS 1: NIAT DAN IKHLAS, Bag. Terakhir

✏ Kedudukan, Faidah, dan Makna Hadits Secara Global

Pertama. Hadits ini berisikan sesuatu yang amat penting dalam Islam yakni niat dan ikhlas. Amal harus ada niat, sedangkan niat harus ada keikhlasan agar dia diterima. Oleh karena itu para ulama menganjurkan agar siapa saja yang hendak menyusun kitab, agar mencantumkan hadits ini di permulaan kitabnya sebagai renungan bagi penyusunnya untuk meluruskan niatnya.

Berkata Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id:

قال الإمام أحمد والشافعي رحمهما الله: “يدخل في حديث الأعمال بالنيات ثلث العلم” قاله البيهقي، وغيره. وسبب ذلك أن كسب العبد يكون بقلبه ولسانه وجوارحه والنية أحد الأقسام الثلاثة

Imam Ahmad dan Imam Asy Syafi’i Rahimahumallah berkata: ‘Hadits ini mencakup sepertiga ilmu’ , hal itu dikatakan juga oleh Al Baihaqi dan lainnya. Sebabnya adalah perbuatan hamba terdiri atas hati, lisan, dan anggota badannya. Dan niat adalah salah satu bagian dari tiga itu. (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Hal. 24)

Diriwayatkan dari Imam Asy Syafi’i, bahwa katanya: hadits ini mencakup 70 bab tentang fiqih. Segolongan ulama mengatakan hadits ini merupakan sepertiganya Islam.

Berkata Imam Abdurrahman bin Al Mahdi Radhiallahu ‘Anhu:

ينبغي لكل من صنف كتاباً أن يبتدئ فيه بهذا الحديث تنبيهاً للطالب على تصحيح النية

“Hendaknya bagi setiap orang yang menyusun kitab agar mengawali kitabnya dengan hadits ini, sebagai peringatan bagi penuntut ilmu untuk meluruskan niatnya.” (Ibid Hal. 25)
Kedua. Hadits ini pula yang dijadikan oleh para ulama sebagai parameter untuk membedakan (tamyiz) status hukum amal seseorang; antara adat dan ibadah, dan antara ibadah yang satu dengan yang lainnya.

Jika seseorang makan demi memenuhi kebutuhan perutnya, ini adalah adat, tetapi jika makan demi menjaga kekuatan untuk ibadah dan ketaatan kepadaNya maka makan seperti itu dinilai ibadah.

Niat juga yang membedakan antara nilai puasa yang satu dan yang lainnya. Seseorang yang berpuasa pada hari senin tetapi saat itu dia sedang berniat puasa syawal, maka kesunahan puasa senin kamis baginya telah gugur. Artinya dalam syariat dia dinilai sedang puasa syawal bukan puasa senin kamis. Sedangkan menggabungkan berbagai niat puasa dalam satu hari, tidak ada dasarnya dalam syariat, walau ada ulama yang membolehkannya. Hal ini sama halnya dengan seorang yang masuk ke masjid langsung bergabung dengan jamaah shalat fardhu, maka kesunahan shalat tahiyatul masjid baginya telah gugur.

Hadits ini telah melahirkan sebuah kaidah fiqih yang sangat terkenal, dan Imam As Suyuthi telah memasukkannya dalam kaidah pertama dalam kitab Al Asybah wan Nazhair, yakni:

الأمور بمقاصدها

“Urusan/perkara tergantung maksud-maksudnya.” (Imam As Suyuthi, Al Asybah wan Nazhair, Hal. 8. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Oleh karena itu, syariat menghargai orang yang berniat ingin shalat malam, tetapi dia ketiduran, maka dia tetap mendapatkan pahala shalat malam. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dzar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

من أتى فراشه وهو ينوي أن يقوم يصلي من الليل فغلبته عينه حتى يصبح كتب له ما نوى

“Barang siapa yang mendatangi pembaringannya dan dia berniat untuk melaksanakan shalat malam, lalu dia tertidur hingga pagi, maka dia tetap mendapatkan apa yang diniatkannya.” (HR. Ibnu Majah No. 1344, An Nasa’i No. 1787. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 1344)

Begitu pula orang yang berniat ingin shalat berjamaah di masjid, tetapi sesampainya di sana dia tertinggal jamaah, maka Allah Ta’ala tetap memberikannya nilai pahala berjamaah. Hal ini dengan syarat dia tidak menyengaja untuk berlambat-lambat menuju masjid.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu‘Alaihi wa Sallam bersada:

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ثُمَّ رَاحَ فَوَجَدَ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا أَعْطَاهُ اللَّهُ جَلَّ وَعَزَّ مِثْلَ أَجْرِ مَنْ صَلَّاهَا وَحَضَرَهَا لَا

يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَجْرِهِمْ شَيْئًا

“Barang siapa yang berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu ia pergi ke mesjid (untuk berjamaah) dan dia lihat jamaah sudah selesai, maka ia tetap mendapatkan seperti pahala orang yang hadir dan berjamaah, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. An Nasa’i No. 855, Abu Daud No. 564, Ahmad No. 8590, Al Hakim No. 754, katany shahih sesuai syarat Imam Muslim. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 6163)

Berkata Imam Abul Hasan Muhammad Abdil Hadi As Sindi Rahimahullah:

ظَاهِره أَنَّ إِدْرَاك فَضْل الْجَمَاعَة يَتَوَقَّف عَلَى أَنْ يَسْعَى لَهَا بِوَجْهِهِ وَلَا يُقَصِّر فِي ذَلِكَ سَوَاء أَدْرَكَهَا أَمْ لَا فَمَنْ أَدْرَكَ جُزْء مِنْهَا وَلَوْ فِي التَّشَهُّد فَهُوَ مُدْرِك بِالْأَوْلَى وَلَيْسَ الْفَضْل وَالْأَجْر مِمَّا يُعْرَف بِالِاجْتِهَادِ فَلَا عِبْرَة بِقَوْلِ مَنْ يُخَالِف قَوْله الْحَدِيث فِي هَذَا الْبَاب أَصْلًا

“Secara zhahir, hakikat keutamaan jamaah adalah dilihat dari kesungguhan dia untuk melaksanakannya, tanpa memperlambat diri atau menunda-nunda. Jika demikian, ia tetap dapat pahala jamaah, baik sempat bergabung dengan jamaah atau tidak. Maka, barang siapa yang mendapatkan jamaah sedang tasyahud, maka pahalanya sama dengan yang ikut sejak rakat pertama. Adapun urusan pahala dan keutamaan tidak dapat diketahui dengan ijtihad. Jadi, sepatutnya kita tidak peduli dengan pendapat yang bertentangan dengan hadits-hadits di atas.” (Syarh Sunan An Nasa’i, 2/113. Syamilah)

Begitu pula dengan kesalahan yang tidak diniatkan untuk dilakukan dan juga karena terpaksa, seperti membunuh tidak sengaja (peluru nyasar), terpaksa mengaku kafir demi menjaga jiwa seperti yang dilakukan oleh sahabat nabi, Amr bin Yasir, dan contoh lainnya. Hal ini berdasarkan pada ayat:

رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

“Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah.” (QS. Al Baqarah (2): 286)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إن الله تعالى تجاوز لي عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه

“Sesungguhnya Allah Ta’ala melewatkan saja bagi umatku; kesalahan tidak sengaja, lupa, dan orang yang dipaksa.” (HR. Ibnu Majah No. 2043, 2045. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, No. 14871. Shahih Al Jami’ Ash Shaghir wa Ziyadatuhu, 1/358, No. 1731. Al Maktab Al Islami. Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa sahabat yakni Abu Dzar, Ibnu Abbas, dan Tsauban)

Dalam kehidupan suami isteri juga demikian, tidak dikatakan zhihar bagi seorang suami yang memanggil isterinya dengan panggilan Ummi (ibuku), sebab dia maksudkan dengan panggilan itu adalah sebagai bimbingan bagi anak-anaknya agar terbiasa memanggil Ummi kepada ibunya. Bukan berarti dia menganggap isterinya sama dengan ibunya.

Thalak pun tidak jatuh bagi isteri yang dithalak suaminya yang sedang mabuk, tidak sadar, atau marah yang membuatnya tidak terkendali, sebab ia tidak meniatkannya secara sadar. Inilah pandangan jumhur (mayoritas) ulama seperti Utsman bin Affan, Ibnu Abbas, Ahmad, Bukhari, Abusy Sya’ tsa’, Atha’, Thawus, Ikrimah, Al Qasim bin Muhammad, Umar bin Abdul Aziz, Rabi’ah, Laits bin Sa’ad, Al Muzani, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan lain-lain. Inilah pendapat yang kuat, bahwa thalak baru jatuh ketika sadar, akal normal, dan sengaja.

Ada juga ulama yang berkata, thalak orang mabuk adalah sah seperti Said bin Al Musayyib, Hasan Al Bashri, Az Zuhri, Asy Sya’bi, Sufyan Ats Tsauri, Malik, Abu Hanifah, dan Asy Syafi’i.

Begitu pula kaum yang mencela negara penjajah Zionis Israel, sesungguhnya kaum tersebut bukan sedang mencela Nabi Ya’qub yang memiliki nama lain Israil. Tidak benar bahwa mereka dianggap sedang menghina Nabi Ya’qub ‘Alaihis Salam sebagaimana anggapan sekelompok orang. Sebab, yang mereka maksudkan dengan nama ‘Israel’ adalah bangsa Yahudi yang mencaplok Palestina, sebagaimana terekam dalam dokumen sejarah modern, bukan Nabi Ya’qub.

Begitu pula ketika ramai manusia membicarakan seorang koruptor bernama Al Amin, misalnya. Tidaklah itu bermakna bahwa manusia sedang menggunjingkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang memiliki gelar Al Amin.

Demikianlah, betapa pentingnya kedudukan niat dalam menentukan status hukum sebuah amal perbuatan manusia.

Ketiga. Hadits ini juga menegaskan betapa pentingnya ikhlashun niyyah. Sebab keikhlasan merupakan syarat diterimanya amal shalih sebagaimana yang telah diketahui. Bahkan amal yang tidak dilaksanakan dengan hati yang ikhlas, baik karena ingin dipuji, ingin ketenaran, ingin harta dunia, dan semisalnya, akan membuat pelakunya celaka.

Allah Ta’ala berfirman:

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ (15) أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (16)

“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka Balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud (11): 15-16)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنْ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِي رِيحَهَا

“Barangsiapa yang menuntut ilmu yang dengannya dia seharusnya menginginkan wajah Allah, (tetapi) dia tidak mempelajarinya melainkan karena kekayaan dunia, maka dia tidak akan mendapatkan harumnya surga pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud No. 3664, Ibnu Majah No. 252, Ibnu Hibban No. 78, Al Hakim, Al Mustadrak ‘Alash Shahihain, No. 288, katanya: shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim. Syaikh Al Albani mengatakan shahih lighairih. Shahih Targhib wat Tarhib No. 105. Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud, No. 3664, Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah, No. 252)

Dari Ubai bin Ka’ab Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

فَمَنْ عَمِلَ مِنْهُمْ عَمَلَ الْآخِرَةِ لِلدُّنْيَا لَمْ يَكُنْ لَهُ فِي الْآخِرَةِ نَصِيبٌ

“Barangsiapa diantara mereka beramal amalan akhirat dengan tujuan dunia, maka dia tidak mendapatkan bagian apa-apa di akhirat.” (HR. Ahmad No. 20275. Ibnu Hibban No. 405, Al Hakim, Al Mustadrak ‘Alash Shahihain No. 7862, katanya: sanadnya shahih. Imam Al Haitsami mengatakan: diriwayatkan oleh Ahmad dan anaknya dari berbagai jalur dan perawi dari Ahmad adalah shahih, Majma’ Az Zawaid 10/220. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Semoga Allah Ta’ala menjadikan semua amal kita karena hanya mengharap ridhaNya. Amin.

Sekian syarah hadits pertama. Wallahu A’lam

Tulisan Berikutnya: Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag. 5) – Hadits Kedua: Makna Islam, Iman, dan Ihsan

🍃🌻🌴🌺☘🌷🌾🌸

✏ Farid Nu’man Hasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top