🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾
Daftar Isi
SYARAH HADITS KE TIGA, lanjutan
شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَنَّ مُحَمَّدَاً رَسُوْلُ اللهِ :
kesaksian (syahadah) bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah
Dua kalimat syahadat adalah fondasi keislaman dan keimanan. Imam Bukhari dalam Shahihnya memasukkan hadits ini dalam Kitabul Iman. Ini menunjukkan bahwa menurutnya Islam dan Iman adalah sama. (Lihat Imam Ibnu Rajab, Fathul Bari, 1/9)
Sedangkan umumnya Ahlus Sunnah mengatakan bahwa Islam dan Iman adalah dua keadaan yang berbeda, dan iman lebih tinggi kedudukannya dibanding Islam. Hal ini berdasarkan firmanNya:
قَالَتِ الأعْرَابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الإيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman.” Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah Islam (tunduk)’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat (49): 14)
Dan, inilah pandangan yang lebih kuat bahwa Islam dan Iman adalah dua keadaan yang berbeda, di mana Islam lebih umum di banding Iman, dan Iman lebih umum di banding Ihsan. Dalilnya adalah ayat di atas (QS. Al Hujurat (49): 14) dan hadits Jibril ‘Alaihissalam yang menjelaskan Islam, Iman, dan Ihsan secara berlainan.
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan:
وقد استفيد من هذه الآية الكريمة: أن الإيمان أخص من الإسلام كما هو مذهب أهل السنة والجماعة، ويدل عليه حديث جبريل، عليه السلام، حين سأل عن الإسلام، ثم عن الإيمان، ثم عن الإحسان، فترقى من الأعم إلى الأخص، ثم للأخص منه
“Dari ayat yang mulia ini telah diambil faidah: bahwa Iman lebih khusus dibanding Islam sebagaimana pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang menunjukkan hal itu adalah hadits Jibril ‘Alaihissalam ketika dia bertanya tentang Islam, kemudian Iman, kemudian Ihsan. Maka, terjadi peningkatan dari yang umum ke yang lebih khusus, kemudian yang lebih khusus darinya.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 7/389. Dar Nasyr wat Tauzi’)
Syahadah bermakna kesaksian dan ikrar. Juga bermakna sumpah. Syahadah –dalam berbagai konteks yang berbeda- juga bermakna, mati syahid, ijazah, bukti, kalimat syahadat, dan surat keterangan. Namun dalam konteks ini, syahadah adalah kesaksian, ikrar, dan sumpah bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusanNya.
Dua kalimat Syahadat memiliki posisi sangat penting, di antaranya:
1⃣ Dua Kalimat Syahadat Merupakan Pintu Gerbang Keislaman
Dua kalimat syahadat merupakan madkhal ilal Islam (pintu gerbang masuk ke Islam). Siapa pun yang ingin memeluk Islam, maka dia wajib mengucapkannya, tanpa keraguan, tanpa dipaksa atau terpaksa, jika demikian maka dia sah disebut muslim, tanpa wajib ada saksi sebagaimana keislaman raja Najasyi. Namun adanya saksi lebih baik.
Ada pun tentang status orang yang sudah bersyahadat, maka Imam Muhyiddn An Nawawi (w. 676H) mengatakan ketika mengomentari hadits, “Aku diutus untuk memerangi manusia …”:
وَفِيهِ دَلَالَة ظَاهِرَة لِمَذْهَبِ الْمُحَقِّقِينَ وَالْجَمَاهِير مِنْ السَّلَف وَالْخَلَف أَنَّ الْإِنْسَان إِذَا اِعْتَقَدَ دِين الْإِسْلَام اِعْتِقَادًا جَازِمًا لَا تَرَدُّد فِيهِ كَفَاهُ ذَلِكَ وَهُوَ مُؤْمِن مِنْ الْمُوَحِّدِينَ وَلَا يَجِب عَلَيْهِ تَعَلُّم أَدِلَّة الْمُتَكَلِّمِينَ وَمَعْرِفَة اللَّه تَعَالَى بِهَا ، خِلَافًا لِمَنْ أَوْجَبَ ذَلِكَ وَجَعَلَهُ شَرْطًا فِي كَوْنه مِنْ أَهْل الْقِبْلَة ، وَزَعَمَ أَنَّهُ لَا يَكُون لَهُ حُكْم الْمُسْلِمِينَ إِلَّا بِهِ . وَهَذَا الْمَذْهَب هُوَ قَوْل كَثِير مِنْ الْمُعْتَزِلَة وَبَعْض أَصْحَابنَا الْمُتَكَلِّمِينَ . وَهُوَ خَطَأ ظَاهِر فَإِنَّ الْمُرَاد التَّصْدِيق الْجَازِم ، وَقَدْ حَصَلَ ، وَلِأَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِكْتَفَى بِالتَّصْدِيقِ بِمَا جَاءَ بِهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ و
َلَمْ يَشْتَرِط الْمَعْرِفَة بِالدَّلِيلِ ؛ فَقَدْ تَظَاهَرَتْ بِهَذَا أَحَادِيث فِي الصَّحِيحَيْنِ يَحْصُل بِمَجْمُوعِهَا التَّوَاتُر بِأَصْلِهَا وَالْعِلْم الْقَطْعِيّ
“Dalam hadits ini terdapat petunjuk yang jelas menurut madzhab para muhaqqiq (peneliti) dan jumhur (mayoritas) salaf dan khalaf, bahwa manusia jika dia meyakini agama Islam dengan keyakinan yang pasti tanpa keraguan di dalamnya, maka itu telah cukup baginya, dan dia adalah seorang mu’min dari kalangan muwahhidin (orang-orang yang bertauhid). Dia tidak diharuskan mengetahui dalil-dalil para ahli kalam dan dalil-dalil ma’rifatullah. Telah terjadi perselisihan bagi orang yang mewajibkan hal itu (pengetahuan terhadap dalil, pen) dan menjadikannya sebagai syarat bagi seseorang untuk termasuk sebagai ahli kiblat, mereka menyangka bahwa tidak bisa dihukumi sebagai muslim kecuali dia harus mengetahui dalil-dalilnya. Ini adalah pendapat kebanyakan kaum mu’tazilah dan sebagian kawan-kawan kami (madzhab syafi’i, pen) dari kelompok ahli kalam (teolog). Ini jelas pendapat yang salah. Sebab, sesungguhnya yang dimaksud adalah keyakinan yang pasti dan itu telah cukup. Sebab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mencukupkan dengan keyakinan terhadap apa-apa yang dia bawa, dan tidak mensyaratkan harus mengetahui dalil-dalilnya. Hadits-hadits tentang masalah ini sangat jelas tertera dalam shahihain (Bukhari-Muslim) yang mencapai derajat mutawatir dan membawa ilmu yang meyakinkan.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/93. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Jadi, keislaman seseorang sudah diakui, selama dia meyakininya secara pasti, tanpa harus mereka mengetahui dalil-dalil keimanan itu ada di ayat mana, hadits riwayat siapa, dan seterusnya. Sebab, dahulu orang-orang pedalaman ketika masuk Islam pun oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tetap diakui keislamannya, walau mereka tidak mengetahui dalil-dalilnya. Namun, alangkah lebih baiknya bagi seseorang yang sudah berislam dia berupaya mengetahui dalil-dalil keimanannya.
Konsekuensi dua kalimat syahadat bagi pengucapnya adalah maka dia hendaknya tidak sekedar bersyahadat tetapi menyempurnakannya dengan rukun Islam lainnya, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu.
Imam Ibnu Rajab (w. 795) dalam kitab yang berjudul sama dengan Al Hafizh Ibnu Hajar, yakni Fathul Bari, mengatakan bahwa sekelompok sahabat ada yang memahami bahwa kalimat syahadat menjadi pelindung darah seseorang seihngga dia tidak boleh diperangi, kecuali mereka menolak mengeluarkan zakat. Sampai akhirnya, Abu Bakar Ash Siddiq Radhiallahu ‘Anhu menjelaskan kepada mereka tentang hadits ini, akhirnya para sahabat lain pun mengikuti beliau:
الكلمتان بحقوقهما ولوازمهما، وهو الإتيان ببقية مباني الإسلام
“(yakni) dua kalimat beserta hak-haknya dan hal-hal yang menyertainya, yaitu dengan mendatangkan juga hal-hal lain dari rukun-rukun Islam.” (Lihat Fathul Bari-nya Ibnu Rajab, 4/ 20)
Seseorang dimaafkan ketika masih awal muallaf belum mengetahui bahkan belum mengerjakan hal-hal urgen dalam Islam yang wajib dilakukan oleh semua orang Islam. Namun, dia tidak boleh berlama-lama dalam ketidaktahuannya, harus terus belajar dan mengamalkan Islam secara bertahap.
Selanjutnya, dua kalimat syahadat merupakan pintu masuk ke dalam Islam, namun bagi manusia yang lahir dari keluarga muslim, sehingga sejak kecil dia adalah muslim dan sampai dewasa tetap muslim, maka tidak ada istilah syahadat ulang bagi mereka dan itu tidak dibenarkan, sebagaimana yang dilakukan kelompok-kelompok sempalan dalam Islam yang meminta anggotanya untuk melakukan syahadat ulang jika ingin bergabung dengan mereka, jika tidak melakukannya maka kafir menurut mereka.
Sesungguhnya setiap anak manusia yang lahir maka dia sudah muslim, sesuai ayat:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka
dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi (bersyahadat)”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” (QS. Al A’raf (7): 172)
Ayat ini menjelaskan bahwa ketika manusia masih di alam ruh, sebelum mereka ada di rahim ibunya, mereka telah mengambil janji dan mengakui bahwa Allah ‘Azza wa Jalla sebagai Tuhan mereka. Oleh karena itu, setiap bayi yang lahir maka dia dalam keadaan fitrah (muslim). Apalagi jika dia dilahirkan dari keluarga yang muslim dan dibesarkan dengan cara islam, maka tidak perlu lagi syahadat ulang, kecuali jika dia dibesarkan oleh orang tuanya dengan cara kafir, sehingga dia pun ikut menjadi kafir, maka jika dia ingin masuk Islam (tepatnya adalah kembali kepada Islam), wajiblah baginya mengucapkan dua kalimat syahadat. Lantaran dia telah ‘menanggalkan’ kesaksiannya itu ketika dibesarkan secara kafir oleh kedua orang tuanya di dunia.
Hal ini diperkuat lagi oleh riwayat dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasululah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka bapaknyalah yang mebuatnya menjadi Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari No. 1319. Muslim No. 2658)
Telah banyak tafsir tentang makna ‘fitrah’ dalam hadits ini, namun yang masyhur dan benar adalah Islam. Hal ini ditegaskan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah (w. 852H):
وَأَشْهَرُ الْأَقْوَال أَنَّ الْمُرَاد بِالْفِطْرَةِ الْإِسْلَام ، قَالَ اِبْن عَبْد الْبَرّ : وَهُوَ الْمَعْرُوف عِنْد عَامَّة السَّلَف . وَأَجْمَعَ أَهْل الْعِلْم بِالتَّأْوِيلِ عَلَى أَنَّ الْمُرَاد بِقَوْلِهِ تَعَالَى ( فِطْرَة اللَّه الَّتِي فَطَرَ النَّاس عَلَيْهَا ) الْإِسْلَام
“Pendapat yang paling masyhur adalah bahwa maksud dari fitrah adalah Islam. Berkata Ibnu Abdil Bar: ‘Itu sudah dikenal oleh umumnya kaum salaf.’ Para ulama telah ijma’ (sepakat) dengan ta’wil maksud ayat: “(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah,” adalah Islam.” (Fathul Bari, 3/248. Darul Fikr)
Sehingga, dengan berdalil pada hadits ini, maka jika ada seorang bayi yang wafat dan dia lahir dari orang tua yang kafir maka dia tetaplah Islam menurut sebagian ulama dan dishalatkan, sebagaimana pendapat Az Zuhri. Atau jika yang wafat adalah kedua orang tuanya, maka dia pun dihukumi sebagai muslim. Berkata Imam Ahmad:
مَنْ مَاتَ أَبَوَاهُ وَهُمَا كَافِرَانِ حُكِمَ بِإِسْلَامِهِ
“Barangsiapa yang kedua orangtuanya wafat, dan mereka berdua kafir, maka bayi itu dihukumi sebagai Islam.” (Ibid) selesai.
(Bersambung … masih hadits 3)
🍃🌻🌴🌺☘🌷🌾🌸
✏ Farid Nu’man Hasan