🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾
Daftar Isi
SYARAH HADITS KETIGA, Islam dibangun atas 5 pekara
Matan Hadits:
عَنْ أَبِيْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْن الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ النبي صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: (بُنِيَ الإِسْلامُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَنَّ مُحَمَّدَاً رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ البِيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ)
Dari Abu Abdurrahman –Abdullah bin Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhuma, dia berkata: “Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Islam dibangun atas lima hal; 1. Kesaksian bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, 2. menegakkan shalat, 3. menunaikan zakat, 4. haji, dan 5. puasa Ramadhan.”
Takhrij Hadits:
– Imam Bukhari dalam Shahihnya No. 8, 4243.
– Imam Muslim dalam Shahihnya No. 16, tetapi dalam riwayat Imam Muslim disebutkan bahwa haji adalah rukun Islam yang terakhir. Berikut ini teksnya:
فقال رجل: الحج وصيام رمضان؟ قال: لا. صيام رمضان والحج. هكذا سمعته من رسول الله صلى الله عليه وسلم
Seorang laki-laki bertanya: “Haji dan puasa Ramadhan?” Abdullah bin Umar menjawab: “Tidak, puasa Ramadhan dan Haji. Seperti itulah yang saya dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. ”
– Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 158, 1446
– Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubranya No. 1561, 7680
– Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya No. 308 (juga mendahulukan puasa, lalu haji)
– Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 6015, 6301, 19220, 19226
📌 Makna hadits Secara Global:
✅ Pertama. Mengenalkan rukun-rukun Islam sebagaimana telah lalu pada hadits kedua. Berkata Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id:
وهذا الحديث أصل عظيم في معرفة الدين وعليه اعتماده فإنه قد جمع أركانه
“Hadits ini merupakan dasar yang agung dalam mengetahui agama, dan di atasnyalah ia disandarkan, karena hadits ini telah mengumpulkan rukun-rukun agama.” (Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 36. Al Maktabah Al Misykah)
✅ Kedua. Menunjukkan betapa pentingnya kelima hal ini dan merupakan kewajiban setiap muslim. Bukan kewajiban kifayah. Berkata Syaikh Ismail bin Muhammad Al Anshari Rahimahullah:
أن هذه الفروض الخمسة من فروض الأعيان ، لا تسقط بإقامة البعض عن الباقين
“Sesungguhnya lima kewajiban ini termasuk fardhu ‘ain (kewajiban per kepala), yang tidaklah gugur kewajiban itu walau telah dikerjakan oleh sebagian lainnya.” (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, pembahasan hadits no. 3. Al Maktabah Al Misykah)
Para ulama sepakat (ijma’) bahwa orang yang mengingkari salah satu kewajiban di atas, apalagi semuanya, maka dia kafir dan murtad. Namun mereka tidak sepakat dalam hal orang yang meninggalkannya, namun masih mengakui kewajibannya; kafir atau tidak? sebagian ada yang mengkafirkan, sebagian lain menganggapnya sebagai pelaku dosa besar, dan dihukumi fasiq, dan ada juga yang menghukumi kufrun duna kufrin (kekafiran di bawah kekafiran).
Imam Ibnu Rajab Al Hambali Rahimahullah mengatakan:
الإمام أحمد وكثير من علماء أهل الحديث يرى تكفير تارك الصلاة .
وحكاه إسحاق بن راهويه إجماعا منهم حتى إنه جعل قول من قال : لا يكفر بترك هذه الأركان مع الإقرار بها من أقوال المرجئة . وكذلك قال سفيان بن عيينه : المرجئة سموا ترك الفرائض ذنبا بمنزلة ركوب المحارم ، وليسا سواء ، لأن ركوب المحارم متعمدا من غير استحلال : معصية ، وترك الفرائض من غير جهل ولا عذر : هو كفر . وبيان ذلك في أمر آدم وإبليس وعلماء اليهود الذين أقروا ببعث النبي صلي الله عليه وسلم ولم يعملوا بشرائعه . وروي عن عطاء ونافع مولى ابن عمر أنهما سئلا عمن قال : الصلاة فريضة ولا أصلي ، فقالا : هو كافر . وكذا قال الإمام أحمد .
Imam Ahmad dan kebanyakan ulama ahli hadits berpendapat kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Ishaq bin Rahawaih menceritakan adanya ijma’ di antara mereka (ahli hadits), sampai-sampai dijadikan sebuah ungkapan barangsiapa yang mengatakan: tidak kafirnya orang yang meninggalkan rukun-rukun ini dan orang itu masih mengakui rukun-rukun tersebut, maka ini adalah termasuk perkataan murji’ah. Demikian juga perkataan Sufyan bin ‘Uyainah: orang murji’ah menamakan meninggalkan kewajiban adalah sebagai dosa dengan posisi yang sama dengan orang yang menjalankan keharaman. Keduanya tidaklah sama, sebab menjalankan keharaman dengan tanpa sikap ‘menghalalkan’ merupakan maksiat, dan meninggalkan kewajiban-kewajiban bukan karena kebodohan dan tanpa ‘udzur, maka dia kufur. Penjelasan hal ini adalah dalam perkara Adam dan Iblis, dan ulama Yahudi yang mengakui diutusnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan mereka tidak mengamalkan syariat-syariatnya. Diriwayatkan dari Atha’ dan Nafi’ pelayan ibnu Umar, bahwa mereka berdua ditanya tentang orang yang mengatakan: Shalat adalah wajib tetapi saya tidak shalat.” Mereka berdua menjawab: Dia kafir. Ini juga pendapat Imam Ahmad.” (Imam Ibnu Rajab, Fathul Bari, 1/9. Mawqi’ Ruh Al Islam)
✅ Ketiga. Pada hadits ini terdapat dalil bahwa dibolehkan menyebut bulan Ramadhan tanpa menyebut Syahr (bulan). Yakni langsung menyebut Ramadhan. Sebagian ulama ada yang melarang menyebut Ramadhan saja, menurut mereka harus disertakan pula Syahr (bulan) di depannya; menjadi Syahr Ramadhan (bulan Ramadhan). Tetapi, hadits ini – juga hadits no. 2- telah menyanggah dengan telak pendapat pendapat mereka.
✅ Keempat. Di mana posisi jihad? Bukankah dia sangat penting dalam Islam? Kenapa tidak termasuk lima rukun Islam? Imam Abul ‘Abbas Al Qurthubi memberikan jawaban yang bagus sebagai berikut:
يعني أن هذه الخمس أساس دين الإسلام وقواعده التي عليها بني وبها يقوم وإنما خص هذه بالذكر ولم يذكر معها الجهاد مع أنه يظهر الدين ويقمع عناد الكافرين لأن هذه الخمس فرض دائم والجهاد من فروض الكفايات وقد يسقط في بعض الأوقات
“Yakni, sesungguhnya lima hal ini merupakan asas agama Islam, dan kaidah-kaidahnya dibangun di atasnya, dan dengannya pula ia ditegakkan. Sesungguhnya dikhususkannya penyebutan ini dan tanpa menyebutkan jihad -padahal jihadlah yang membuat agama menjadi menang dan sebagai penumpas pembangkangan orang kafir- lantaran lima hal ini merupakan kewajiban yang konstan (terus menerus), sedangkan jihad termasuk kewajiban kifayah yang bisa gugur kewajibannya pada waktu-waktu yang lain.” (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 35)
Makna Kalimat:
عَنْ أَبِيْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ :
dari Abu Abdurrahman (ayahnya Abdurrahman). Itu adalah nama kun-yah dari Abdullah bin Umar bin Al khathab. Beliau juga sering disebut Ibnu Umar, anak Umar bin Al Khathab.
عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْن الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ:
: Abdullah bin Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhuma berkata:
Abdullah bin Umar termasuk kalangan shigharush shahabah (sahabat junior) dalam jajaran para sahabat nabi. Dikenal sebagai orang yang sangat ketat keteguhannya terhadap syariat. Imam Adz Dzahabi Rahimahullah menceritakan tentang beliau sebagai berikut:
“Dia masuk Islam saat masih kecil dan ikut hijrah bersama ayahnya saat belum baligh. Pada perang Uhud dia masih kecil, perang pertama yang diikutinya adalah perang Khandaq. Dia termasuk yang ikut berbai’at di bawah pohon, bersama ibunya, Ummul Mu’minin Hafshah, Zainab binti Mazh’un saudara wanita Utsman bin Mazh’un Al Jumahi.
Beliau banyak meriwayatkan ilmu yang bermanfaat dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Bilal, Shuhaib, Amir bin Rabi’ah, Zaid bin Tsabit, Zaid adalah pamannya, Sa’ad, Ibnu Mas’ud, Utsman bin Thalhah, Hafshah (saudara perempuannya), Asalam, ‘Aisyah, dan yang lainnya. (Siyar A’lam An Nubala, 3/204. Cet. 9, 1413H -1993M. Muasasah Ar Risalah)
Disebutkan Radhiallahu ‘Anhuma (semoga Allah meridhai keduanya), maksudnya adalah dirinya dan ayahnya (Umar bin Al Khathab). Selain beliau, sahabat nabi yang lainnya seperti Abdullah bin Abbas juga mendapat sebutan Radhiallahu ‘Anhuma (semoga Allah meridhai keduanya) yakni dirinya dan ayahnya, Abbas bin Abdul Muthalib, juga An Nu’man bin Basyir, dan lainnya.
Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah:
قال العلماء: إذا كان الصحابي وأبوه مسلمين فقل: رضي الله عنهما، وإذا كان الصحابي مسلماً وأبوه كافراً فقل: رضي الله عنه
“Para ulama mengatakan: jika seorang sahabat nabi dan ayahnya adalah muslim, maka katakana Radhiallahu
‘Anhuma, dan jika seorang sahabat nabi sorang muslim sedangkan ayahnya kafir, maka katakanlah Radhiallahu ‘Anhu. (Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 84. Mawqi’ Ruh Al Islam)
سَمِعْتُ النبي صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ :
Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
Ucapannya ‘Aku mendengar’ menunjukkan bahwa dia mendengar langsung hadits ini dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tanpa ada perantara.
بُنِيَ الإِسْلامُ عَلَى خَمْسٍ :
Islam dibangun atas lima hal
Buniya bermakna – ussisa didasarkan/dipondasika.
Allah Ta’ala berfirman:
لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ
“Sesungguhnya masjid yang dibangun atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya.” (QS. At Taubah (9): 108)
Siapakah yang membangun? Yaitu Allah ‘Azza wa Jalla. Hanya saja Fa’il (pelaku/subjek)-nya disamarkan dengan bentuk kata buniya (dibangun), sehingga menjadi kalimat pasif. Hal ini sama dengan ayat:
وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفاً
“Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.” (QS. An Nisa 94): 28)
Ayat ini menghilangkan subjeknya, yakni Allah Ta’ala, sebagai pencipta manusia.
Sedangkan, الإِسْلامُ – Al Islam di sini adalah Dinul Islam (agama Islam) yang dibangun oleh Allah Ta’ala dan dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bukan Al Islam dalam artian bahasa saja, seperti tunduk, patuh, pasrah, dan damai. Sebab, ada sebagian cendikiawan nyeleneh menyelewengkan makna Al Islam . Menurutnya Al Islam, bukanlah agama Islam, tetapi bermakna: kepasrahan kepada Tuhan. Sehingga, -menurutnya- siapa saja yang pasrah kepada Tuhan, maka dia Islam, walau aslinya dia Nasrani, Yahudi, Majusi, Hindu, Budha, dan lainnya. Mereka Islam karena mereka sudah pasrah kepada Tuhan yang mereka yakini masing-masing!
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran (3): 19)
Ayat ini dipertegas lagi oleh ayat lainnya:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran (3): 85)
Tentang ayat ini, Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:
أي: من سلك طريقًا سوى ما شَرَعَه الله فلن يُقْبل منه
“Yaitu: baransiapa yang menempuh jalan selain apa yang Allah Ta’ala syariatkan (Yakni Islam) maka selamanya tidak akan diterima.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/70. Dar Nasyr wat Tauzi’)
Islam adalah agama seluruh para nabi dan rasul. Ajakan dan ajaran pokok (aqidah) mereka sama, yang berbeda hanyalah rincian syariatnya. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu.“ (QS. An Nahl (16): 36)
Ayat lainnya:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدُونِ
Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.“ (QS. Al Anbiya (21): 25)
Dalam hadits pun juga disebutkan demikian. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ’Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam bersabda:
والأنبياء أخوة لعلات، أمهاتهم شتى ودينهم واحد
“Para Nabi adalah bersaudara, dari satu bapak, ibu-ibu mereka berbeda, dan agama mereka sama.” (HR. Bukhari No. 3259, Muslim No. 2365, Ibnu Hibban No. 6194)
‘Ala Khamsin artinya atas lima hal. Sebagian riwayat menuliskan ‘ala khamsatin. Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id mengatakan keduanya benar. (Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 36. Maktabah Al Misykah)
Bersambung ..
🌸🍃🌻🌴☘🌷🌾🌺
✏ Farid Nu’man Hasan