◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽
✉️❔PERTANYAAN:
Assalamualaikum, saya mau tanya. di tahun ini saya tidak berpuasa ramadahan sebanyak sebulan ( karena saya haid berkepanjangan, akibat berhenti KB) Jadi tidak teratur haid nya.Apakah bisa bayar dengan fidiyah ?
Mohon respon nya. Terimakasih (Nadya-Bogor)
✒️❕JAWABAN
◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽
Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh
Bismillahirrahmanirrahim..
Perlu diketahui, kewajiban menunaikan fidyah untuk menggantikan puasa Ramadhan hanyalah berlaku bagi orang-orang yang sudah sama sekali tidak mampu secara fisik untuk berpuasa.
Hal ini sebagaimana firman-Nya:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.
(QS. Al Baqarah: 184)
Siapakah yang dimaksud orang-orang yang berat melaksanakan puasa? Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma -imamnya para imam ahli tafsir- mengatakan:
هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لا يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا فَيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا
Itu adalah aki-aki dan nenek-nenek yang sudah tidak mampu berpuasa. Maka, mereka memberikan makanan tiap-tiap hari satu orang miskin. (HR. Bukhari no. 4505)
Begitu pula orang yang sakit berat dan tidak ada harapan sembuh, mereka disamakan dengan aki-aki atau nenek tua yang sudah tidak mampu lagi puasa.
Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata:
وَالْمَرِيضُ الَّذِي لا يُرْجَى بُرْؤُهُ , يُفْطِرُ , وَيُطْعِمُ لِكُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا ; لأَنَّهُ فِي مَعْنَى الشَّيْخِ اهـ
Orang sakit yang tidak bisa diharapkan sembuh hendaknya dia tidak berpuasa, dan dia memberikan makan masing-masing hari satu orang miskin karena keadaan dia semakna dengan aki-aki tua. (Al Mughni, 4/396)
Oleh karena itu, jika Saudari penanya masih mampu secara fisik untuk berpuasa maka yang wajib dilakukan adalah QADHA, bukan fidyah. Namun demikian, karena Saudari penanya menunda qadha miliki alasan syar’i maka tidak ditambah dengan kafarat (berupa fidyah).
Perlu dipahami, bahwa Erornya jadwal haid tidak mengubah Qadha menjadi fidyah. Tertundanya qadha karena sakit, atau karena jadwal haid yang kacau, atau alasan syar’i lainnya, tidaklah membuat wanita yang mengalaminya mendapatkan sanksi.
Namun Mayoritas ulama mengatakan jika sengaja menunda-nunda qadha tanpa alasan, alias karena malas saja, sampai melewati Ramadhan berikutnya, maka bukan hanya qadha tapi juga fidyah. Inilah pendapat Maliki, Hambali, dan Syafi’i.
Ada pun Hanafi, mengatakan tertundanya qadha baik ada alasan syar’i atau tidak tetap qadha saja tanpa fidyah.
Syaikh Wahbah Az Zuhaili Rahimahullah menjelaskan:
وأما إذا أخر القضاء حتى دخل رمضان آخر، فقال الجمهور: يجب عليه بعد صيام رمضان الداخل القضاء والكفارة (الفدية). وقال الحنفية: لا فدية عليه سواء أكان التأخير بعذر أم بغير عذر
Jika menunda qadha sampai masuk Ramadhan selanjutnya, maka mayoritas ulama mengatakan: wajib baginya setelah puasa Ramadhan dia melakukan qadha dan kafarat sekaligus (yaitu fidyah). Ada pun Hanafiyah mengatakan: “Tidak ada fidyah baginya, sama saja apakah dia menundanya karena ada ‘udzur atau tidak ada ‘udzur.” (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 3/108)
Demikian. Wallahu A’lam
✍ Farid Nu’man Hasan