Menyandingkan Nama Suami di Belakang Nama Istri

💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum..
Ust, bgmn hukum nya seorang wanita di panggil dg menggabungkan nama suaminya?
Sprti yg ada di bbrpa daerah di Indonesia…
Misal fatimah istri dari Bp Jafar di panggil Fatimah Jakfar (08522900xxcc)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh …

Hendaknya seseorang dinasabkan dan disandarkan kepada nama ayahnya, bukan nama suaminya.

Allah Ta’ala berfirman:

ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ

Panggilah anak-anak itu dengan nama ayah-ayah mereka. Dan yang demikian itu lebih adil di sisi Allah. (Qs. Al Ahzab: 5)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ، وَهُوَ يَعْلَمُ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ

Barang siapa yang mengklaim nasab kepada seorang yang bukan ayahnya, padahal dia tahu (itu bukan ayahnya), maka surga haram baginya. (HR. Al Bukhari No. 4326, Muslim, 115/63)

Maka, hendaknya seorang wanita tetap menggandengkan nama ayahnya di belakang namanya, sebab ayah tidak akan pernah jadi “mantan ayah”.

Kalau ada wanita menggunakan nama suaminya, “Fathimah Ja’far”, lalu besok bercerai atau suami wafat, nikah lagi dengan Ahmad, maka berubah lagi menjadi “Fathimah Ahmad.” Sedangkan dgn ayah, tidak akan berubah.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah menjelaskan;

لا يوجد في السنة النبوية ما يدل على أن الزوجة تُنسب لزوجها ، بل هذا أمر حادث لا تقره الشريعة ، وهؤلاء زوجات النبي صلى الله عليه وسلم أمهات المؤمنين ، تزوجهن النبي صلى الله عليه وسلم وهو أشرف الناس نسباً ، ولم تُنسب إحداهنَّ لاسمه صلى الله عليه وسلم ، بل كلُّ واحدة منهن نسبت لأبيها ولو كان كافراً ، وهؤلاء زوجات الصحابة – رضي الله عنهن –ومن بعدهن لم يغيرن نسبهن

Tidak ditemukan dalam Sunnah yang menunjukkan bahwa seorang istri disandarkan (dinasabkan) kepada suaminya. Ini adalah perkara baru yang tidak diakui oleh syariah.

Lihat istri-istri Nabi Shallallahu’Alaihi wa Sallam, para Umahatul mu’minin, mereka menikah dengan manusia yang paling mulia nasabnya yaitu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tapi masing – masing mereka tidak pernah menasabkan nama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada mereka. Tetapi, mereka tetap mengkaitkan na ma mereka kepada ayah-ayah mereka walau ayah mereka kafir.

Begitu pula istri-istri generasi sahabat nabi, juga setelah mereka, mereka tidak pernah mengubah nasab mereka.

( Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 82138)

📌Yang Dibolehkan

Ada pun jika dipanggil dengan “Istri Ja’far”, “Bu Ja’far” yang menunjukkan ikatan pernikahan, ini tidak apa-apa.

Sebab Allah Ta’ala menyebut hal demikian pula:

إِذْ قَالَتِ امْرَأَتُ عِمْرَانَ رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّي ۖ إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

(Ingatlah), ketika Isteri ´Imran berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Ali Imran: 35)

Ayat lain:

وَقَالَ نِسْوَةٌ فِي الْمَدِينَةِ امْرَأَتُ الْعَزِيزِ تُرَاوِدُ فَتَاهَا عَنْ نَفْسِهِ قَدْ شَغَفَهَا حُبًّا إِنَّا لَنَرَاهَا فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

“Dan perempuan-perempuan di kota berkata, “ Istri al-Aziz menggoda dan merayu pelayannya untuk menundukkan dirinya, palayannya benar-benar membuatnya mabuk cinta. Kami pasti memandang dia dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Yusuf: 30).

Demikian. Wallahu a’lam


💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaykum Ustadz,
Afwan ada titipan pertanyaan,
Di dalam Islam, seorang wanita tidak boleh menambahkan nama suaminya di belakang namanya.
Nah, kalo ada kasus seorang ibu yang dipanggil dengan nama suaminya bagaimana Ustadz, misalnya karena suaminya bernama Teguh, trus dipanggil Bu Teguh?
Mohon penjelasannya Ustadz?
Syukron 🙏 (+62 813-9313-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Ada kebiasaan di sebagian masyarakat kita, menyandarkan nama belakang istri dengan nama suaminya, apakah ini terlarang?

Para ulama merinci hal tersebut, sebagai berikut.

1. Terlarang jika dimaksudkan mengubah nasab.

Misal, seorang wanita bernama Fatimah, nikah bersuamikan Ali, maka di masyarakat ia akan dipanggil ‘Fatimah Ali.’ Jika panggilan itu dimaksud perubahan nasab maka itu keliru, dan tidak boleh.

2. Jika maksudnya adalah sekedar identitas al ‘ilaqah az Zaujiyah (relasi pernikahan)

Maka ini TIDAK APA-APA. Dalam Al Quran, istrinya ‘Imran disebut dengan Imra-atu ‘Imran (Istrinya ‘Imran) (QS. Ali Imran: 35), juga Imra’atu al ‘Aziz (istrinya ‘Aziz) (QS. Yusuf: 51). Artinya, nama suami digandengkan setelah istri, sebagai hubungan pernikahan mereka. Kalau di Indonesia, biasanya disebut dengan Bu Imran atan Bu Aziz. Ini tidak masalah, ini bukan kaitan nasab.

Rasulullah ﷺ bersabda:

كُفْرٌ بِامْرِئٍ ادِّعَاءُ نَسَبٍ لَا يَعْرِفُهُ أَوْ جَحْدُهُ وَإِنْ دَقَّ

“Kufur hukumnya orang yang mengklaim nasab yang tidak diketahuinya, atau mengingkari nasab walau masih samar.” (HR. Ibnu Majah no. 2744, Syaikh Syu’aib al Arna’uth mengatakan: hasan)

Para ulama mengatakan, kecaman dalam hadits ini hanya berlaku bagi yang benar-benar bermaksud merubah nasab baik mengklaim sebuah nasab yang bukan nasabnya atau mengingkari nasab yang sebenarnya nasabnya sendiri. Ada pun jika penyandaran ‘bin’ kepada bukan ayahnya hanya sebagai ta’rif (pengenalan identitas), itu tidak apa-apa dan bukan masalah. Dahulu ada sahabat nabi bernama Al Miqdad bin Al Aswad Radhiallahu ‘Anhu, padahal ayahnya bukan Al Aswad, namun dengan nama itulah dia dikenal dan Rasulullah ﷺ pun tidak mengingkari nama tersebut.

Imam Ibnu Baththal Rahimahullah (w. 449 H) mengatakan -sebagaimana dikutip Imam Ibnu Hajar Rahimahullah (w. 852 H):

وَإِنَّمَا الْمُرَادُ بِهِ مَنْ تَحَوَّلَ عَنْ نَسَبِهِ لِأَبِيهِ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ عَالِمًا عَامِدًا مُخْتَارًا وَكَانُوا فِي الْجَاهِلِيَّةِ لَا يَسْتَنْكِرُونَ أَنْ يَتَبَنَّى الرَّجُلُ وَلَدَ غَيْرِهِ

Maksud hadits ini hanyalah tentang orang yang mengubah nasab dirinya pada ayahnya kepada selain ayahnya, dan dia tahu, sengaja, dan atas pilihannya sendiri. Di zaman jahiliyah mereka tidak mengingkari seseorang yang mem-bin-kan anak orang lain.

Beliau melanjutkan:

فَيُذْكَرُ بِهِ لِقَصْدِ التَّعْرِيفِ لَا لِقَصْدِ النَّسَبِ الْحَقِيقِيِّ كَالْمِقْدَادِ بْنِ الْأَسْوَدِ لَيْسَ الْأَسْوَدُ أَبَاهُ بَلْ تَبَنَّاهُ وَاسْمُ أَبِيهِ الْحَقِيقِيِّ عُمَرَ بْنُ ثَعْلَبَةَ

Maka, sebutan nama seperti itu dengan maksud identitas, bukan maksud nasab yang hakiki, seperti Al Miqdad bin Al Aswad, padahal ayahnya bukan Al Aswad, nama ayahnya adalah Umar bin Ts’alabah. (Fathul Bari, Jilid. 15, hal. 73)

Hanya saja identitas seperti ini tidaklah kuat, yang lebih kuat adalah disandarkan kepada ayah si istri. Sebab, ayahnya tidak pernah berubah, tidak ada mantan ayah, selamanya dia disandarkan ke ayahnya. Beda dengan suami, jika suaminya wafat, lalu istri nikah lagi dengan suami baru, tentu nanti nama suami yang lama pun berubah menjadi suami yang baru. Inilah masalahnya. Maka, lebih utama dan tepat jika tetap disandarkan dengan nama ayahnya walau sandaran nama suami tidak bermaksud nasab. Tentunya hal yang lebih utama yang lebih kita pilih.

Demikian. Wallahu A’lam

🌴🌱🌷🌸🍃🌵🍄🌾

✍ Farid Nu’man Hasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top