💢💢💢💢💢💢💢💢
📨 PERTANYAAN:
Assalamualaikum wa Rahmatullah.. Benarkah mayit disiksa karena adanya perkumpulan di rumahnya karena kematiannya, dengan alasan itu adalah niyahah, sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits shahih?
📬 JAWABAN
Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Bismillahirrahmanirrahim..
Ya hadits tentang itu shahih, ada dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Tetapi, Niyahah yang dimaksud adalah meratap yaitu meraung saat menangisi mayit, serta menyesali wafatnya si mayit.. Sebagai mana yang disebutkan para pakar bahasa:
ناح الميت : بكى عليه بصياح وعويل وحزن
Niyahah terhadap mayit: Menangisi mayit, berteriak, menyesali, dan larut dalam kesedihan.
Ada pun kumpul-kumpul untuk mendoakannya, menghibur keluarganya, sedekah, menjamu tamu, dan berkata-kata yang baik, bukanlah niyahah. Bahkan itu dilalukan sejak masa Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya.
Dalil-dalilnya, dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha:
أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ المَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا، فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ، ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلَّا أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا، أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِينَةٍ فَطُبِخَتْ، ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيدٌ فَصُبَّتِ التَّلْبِينَةُ عَلَيْهَا، ثُمَّ قَالَتْ: كُلْنَ مِنْهَا، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «التَّلْبِينَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ المَرِيضِ، تَذْهَبُ بِبَعْضِ الحُزْنِ»
Bahwasanya jika ada salah seorang anggota keluarganya (‘Aisyah) wafat, maka berkumpullah kaum wanita. Lalu mereka berpisah kecuali keluarga dan orang-orang tertentu, lalu Aisyah pun memerintahkan untuk memasak talbinah (bubur tepung), lalu dibuatkan tsarid, lalu dia menuangkan talbinah itu di atasnya, lalu berkata: “Makanlah bubur ini! Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Talbinah bisa menyegarkan hati orang yang sakit, dan menghilangkan sebagian kesedihan.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Jadi, ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, sebagai salah satu keluarga si mayit, Beliau membuatkan makanan untuk keluarga dan sebagian tamu khususnya.
Dalil lainnya, Seorang laki-laki Anshar berkata:
خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَنَازَةٍ، فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ: «أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ، أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ»، فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَةٍ فَجَاءَ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ، ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ، فَأَكَلُوا …
Kami keluar bersama Nabi ﷺ mengantarkan jenazah, kemudian aku melihat Rasulullah ﷺ di atas kubur berwasiat kepada penggalinya: “Perluaslah di sisi kedua kakinya, perluaslah sisi kepalanya.” Kemudian tatkala kembali, Beliau disambut utusan seorang wanita yang mengundang Rasulullah ﷺ untuk makan, kemudian Beliau datang dan makanan pun dihidangkan. Lalu Beliau metelakkan tangannya pada makanan kemudian orang-orang meletakkan tangannya pada makanan, lalu mereka makan. … (HR. Abu Daud No. 3332, Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 3332)
Semua ini menunjukkan gambaran bahwa berkumpul-kumpul di rumah keluarga si mayit, lalu ada jamuan makan yang disediakan oleh keluarga mayit itu benarkan dan dibolehkan bahkan dilakukan para salaf sejak masa Rasulullah ﷺ.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Rahimahullah berkata:
س: هل يجوز حضور مجلس العزاء والجلوس معهم؟
ج: إذا حضر المسلم وعزى أهل الميت فذلك مستحب؛ لما فيه من الجبر لهم والتعزية، وإذا شرب عندهم فنجان قهوة أو شاي أو تطيب فلا بأس كعادة الناس مع زوارهم.
Pertanyaan: “Bolehkah menghadiri majelis ta’ziyah dan duduk bersama mereka?”
Jawaban: “Jika seorang muslim hadir untuk menghibur keluarga si mayit maka ini mustahab (disukai/sunah), karena hal itu bisa memulihkan keadaan dan menghibur mereka, dan jika minum secangkir kopi, atau teh, diberikan wewangian, maka tidak apa-apa sebagaimana kebiasaan manusia dalam menyembut para peziarahnya. (Majmu’ Fatawa, 13/371)
Imam Asy Syaukani Rahimahullah mengatakan dalam kitab Ar Rasail As Salafiyah:
العادة الجارية فى بعض البلدان من الاجتماع في المسجد لتلاوة القرآن على الأموات و كذلك فى البيوت و سائر الاجتماعات التى لم ترد فى الشريعة لا شك أن كانت خالية عن معصية سليمة من المنكرات فهي جائز. لأن الإجتماع ليس بمحرم بنفسه لا سيما إذا كان لتحصيل طاعة كتلاوة ونحوها ولا يقدح في ذلك كون تلك التلاوة مجعولة للميت فقد ورد جنسس التلاوة من الجماعة المجتمعين كما في حديث إقرؤوا علي موتاكم يس وهو حديث صحيح. و لا فرق بين تلاوة يس من الحماعة الحضرين عند الميت أو علي قبره و بين تلاوة جميع القرآن و بعضه لميت في مسجده أو بيته
Kebiasaan yang berlangsung disebagian negeri berupa berkumpul di masjid untuk membaca Al Qur’an utk orang yang sudah wafat, demikian juga berkumpul di rumah-rumah, dan semua perkumpulan yang syariat belum menyebutkan, tidak ragu lagi jika semua itu kosong dari maksiat dan bersih dari kemungkaran maka itu dibolehkan.
Sebab, berkumpul sendiri bukanlah sesuatu yang diharamkan. Apalagi jika di dalamnya mengandung muatan ketaatan seperti membaca Al Quran dan semisalnya. Hal tersebut sama sekali tidak tercela, begitu pula menjadikan bacaan tersebut untuk mayit. Sebab hal ini ada dasarnya yaitu hadits: bacalah Yasin kepada mayit kalian. Hadits ini shahih.
Begitu pula berkumpul untuk membacanya di sisi mayit, atau kuburnya, dan tidak beda pula antara membaca semuanya atau sebagai Al Quran, baik di masjidnya atau di rumahnya.
(Ar Rasaail As Salafiyah, Hal. 46)
Selanjutnya:
فقد الصحابة الراشدون يجتمعون فى بيوتهم و فى مساجدهم و بينهم نبيهم ﷺ و يتناشدون الأشعار ويتذاكرون الأخبار و يأكلون و يشربون
Dahulu para sahabat Nabi ﷺ berkumpul di rumah-rumah mereka, di masjid, dan Nabi ﷺ masih di sisi mereka, mereka menyenandungkan syair, saling mengingatkan dengan Khabar (hadits), serta makan dan minum. (Ibid)
Maka, berkumpul di rumah ke rumah, membaca Al Quran, berdoa, bahkan menjadikan pahalanya buat mayit adalah boleh, dan ini dianut oleh mayoritas ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Ada pun bagi yang tidak menyetujuinya, mari kita dengar nasihat para ulama berikut ini:
Imam Sufyan Ats Tsauri Rahimahullah berkata:
إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه
“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.”
(Imam Abu Nu’aim Al Asbahany, Hilaytul Auliya, 3/133)
Imam Yahya bin Sa’id Al Qaththan _Rahimahullah_ berkata:
ما برح أولو الفتوى يفتون فيحل هذا ويحرم هذا فلا يرى المحرم أن المحل هلك لتحليله ولا يرى المحل أن المحرم هلك لتحريمه
Para ahli fatwa sering berbeda fatwanya, yang satu menghalalkan yang ini dan yang lain mengharamkannya. Tapi, mufti yang mengharamkan tidaklah menganggap yang menghalalkan itu binasa karena penghalalannya itu. Mufti yang menghalalkan pun tidak menganggap yang mengharamkan telah binasa karena fatwa pengharamannya itu.
(Imam Ibnu Abdil Bar, Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih, 2/161)
Demikian. Wallahu a’lam
🌿🌺🌷🌻🌸🍃🌴🌵
✍ Farid Nu’man Hasan