▪▫▪▫▪▫▪▫
Berikut ini sebab-sebab kenapa wanita tergelincir ke lumpur dosa bahkan ke neraka.
Daftar Isi
1⃣ Mengolok-olok wanita lain
Dalam perkumpulan kaum wanita, baik ibu-ibu, atau remaja putri, sering kali mengolok-olok wanita lain menjadi makanan sehari-hari. Objeknya pembicaraannya biasanya adalah penampilan wanita tersebut, keadaan anaknya, keadaan suaminya, dan sebagainya.
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok).
(QS. Al-Hujurat, Ayat 11)
Ayat di atas menggunakan kata Laa Yaskhar (jangan mengolok), kata dasarnya sakhira-yaskharu, yg bermakna mengolok, menghina, mengejek, mencibir.
Pada kalimat pertama larangan mengolok-olok secara umum, lalu secara khusus untuk kaum wanita. Kenapa wanita dikhususkan? Imam Al Qurthubiy Rahimahullah menjelaskan:
أفرد النساء بالذكر لأن السخرية منهن أكثر
Disebutkan kaum wanita secara menyendiri, karena ejekan dari mereka lebih banyak. (Tafsir Al Qurthubiy, 16/326)
Imam Al Qurthubiy Rahimahullah menyampaikan beberapa riwayat yang disebut menjadi sebab turunnya ayat ini:
– Tentang Ummu Salamah Radhiyallahu Anha
Saat Ummu Salamah memakai pakaian putih sampai menjulur bagian belakangnya ke tanah, lalu Aisyah Radhiyallahu Anha berkata kepada Hafshah Radhiyallahu Anha:
انظري! ما تجر خلفها كأنه لسان كلب
“Lihat tuh, bagian belakangnya nyengser, kaya lidah anjing.”
Sementara Anas bin Malik dan Ibnu Zaid menceritakan, para wanita menghina Ummu Salamah dengan sebutan “pendek.”
Imam Al Qurthubiy Rahimahullah mengatakan:
وقيل: نزلت في عائشة، أشارت بيدها إلى أمu سلمة، يا نبي الله إنها لقصيرة
Disebutkan, bahwa ayat ini turun tentang Aisyah, ketika dia mengisyaratkan tangannya ke Ummu Salamah; “Wahai Nabiyallah, wanita ini benar-benar pendek.”
– Tentang Shafiyyah, diejek “wanita Yahudi anak dari Yahudi.”
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma menceritakan bahwa Shafiyyah Radhiyallahu’Anha mendatangi Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata:
يا رسول الله، إن النساء يعيرنني، ويقلن لي يا يهودية بنت يهوديين! فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم:] هلا قلت إن أبي هارون وإن عمي موسى وإن زوجي محمد [. فأنزل الله هذه الآي
Wahai Rasulullah, kaum wanita telah menghinaku, mereka memanggilku: “Wahai wanita Yahudi anak dari orang-orang Yahudi.”
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Kamu jawab saja, ayahku Harun, pamanku Musa, suamiku Muhammad.” (Lalu Turunlah ayat tersebut).
(Tafsir Al Qurthubiy, Ibid)
Kita lihat, istri Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pun bisa mengalami, hanya saja mereka hidup di madrasah kenabian, di masa wahyu masih turun, sehingga ada “rem pakem” yang bisa menahan mereka dan segera mereka menyadari kesalahannya.
Ada pun saat ini, sering kali ejekan, olok-olok, meluncur begitu saja tidak terkendali. Jika dinasihati, justru melakukan perlawanan, kecuali yang Allah Ta’ala rahmati dan bisa berubah dan sadar atas kesalahannya.
💢💢💢💢💢💢💢💢
2⃣ Menyakiti/Mengganggu Tetangga Dengan Lisannya
Salah satu sebab tergelincirnya kaum wanita adalah kurang menjaga lisan terhadap tetangganya. Selalu saja ada “objek” yang dibicarakan tentang mereka. Baik yang disukai atau tidak, yang positif atau negatif. Sehingga membuat tetangganya tidak nyaman dan terganggu oleh perbuatannya.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu:
قيل للنبى – صلى الله عليه وسلم – إن فلانة تقوم الليل وتصوم النهار وتفعل وتفعل الخيرات وتتصدق وتؤذى جيرانها بلسانها فقال رسول الله – صلى الله عليه وسلم – لا خير فيها هى من أهل النار قيل وفلانة تصلى المكتوبة وتتصدق من الأثوار من الأقط ولا تؤذى أحد فقال رسول الله – صلى الله عليه وسلم – هى من أهل الجنة
Dikatakan kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam:
“Si Fulanah (wanita), rajin shalat malam, shaum di siang hari, banyak melakukan kebajikan dan bersedekah, tapi mulutnya suka mengganggu tetangganya.”
Nabi menjawab: “Tidak ada kebaikan padanya, dia termasuk ahli neraka.”
Dikatakan lagi: “Sementara, Si Fulanah dia hanya shalat wajib, bersedekah, tapi tidak pernah menyakiti siapa pun.”
Nabi Shalallahu’Alaihi wa Sallam menjawab: “Dia termasuk penduduk surga.”
(HR. Bukhari, Adabul Mufrad no. 119, Al Hakim, 4/116, Ahmad, 2/440)
Dalam hadits lain:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
Dari Abu Hurairah, Bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak masuk surga orang yang tetangganya tidak aman dari keburukannya.”
(HR. Muslim no. 73)
Dari Abu Musa Al Asy’ariy Radhiallahu ‘Anhu:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ أَيُّ الْمُسْلِمِينَ أَفْضَلُ قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya: “Muslim yang bagaimana yang paling utama?”
Beliau menjawab: “Yaitu orang yang muslim lainnya aman dari lisan dan tangannya.”
(HR. At Tirmidzi no. 2627, kata Imam At Tirmidzi: Hasan Shahih)
Bagaimana mungkin seorang muslim menyakiti saudara seorang muslim, apalagi itu tetangganya sendiri, kepada hewan saja kita dilarang menyakiti?
Imam Al Fudhail bin ‘Iyadh berkata:
والله ما يحل لك أن تؤذي كلباً ولا خنزيراً بغير حق، فكيف تؤذي مسلما؟
Demi Allah, tidak halal bagimu menyakiti anjing dan babi dengan tanpa alasan yang benar, lalu bagaimana kau bisa menyakiti seorang muslim?
(Durar min Aqwaal Aimmah As Salaf)
3⃣ Memakai Parfum Di Luar Rumah
Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ
“Perempuan mana pun yang mengenakan wewangian lalu melalui sekumpulan laki-laki agar mereka mencium wanginya maka perempuan tersebut adalah zaaniyah (wanita pezina).”
(HR. An Nasa’i no. 5126, hasan)
Tidak semua minyak wangi terlarang bagi wanita. Mereka dibolehkan memakainya di rumah saat bersama keluarganya sendiri apalagi dihadapan suaminya, bahkan itu menjadi ibadah jika dalam rangka menyenangkan suami.
Bagaimana saat di luar rumah? Mereka dibolehkan dgn parfum khafiy (samar) aromanya, aromanya kalem, tapi nyata warnanya. Itulah parfum wanita dalam Islam.
Para ulama menjelaskan:
وَيُسَنُّ لِلْمَرْأَةِ فِي غَيْرِ بَيْتِهَا بِمَا يَظْهَرُ لَوْنُهُ وَيَخْفَى رِيحُهُ، لِخَبَرٍ رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ طِيبُ الرِّجَال مَا ظَهَرَ رِيحُهُ وَخَفِيَ لَوْنُهُ، وَطِيبُ النِّسَاءِ مَا خَفِيَ رِيحُهُ وَظَهَرَ لَوْنُهُ وَلأَِنَّهَا مَمْنُوعَةٌ فِي غَيْرِ بَيْتِهَا
Disunnahkan bagi wanita di saat tidak dirumahnya memakai yang nampak warnanya dan khafiy (tersembunyi/samar) aromanya, berdasarkan hadits riwayat At Tirmidzi, An Nasa’iy, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu:
“Parfumnya laki-laki adalah yang tercium aromanya dan tersembunyi warnanya, sedangkan parfum wanita adalah yang nampak warnanya dan khafiy aromanya, sebab wanita terlarang memakainya di luar rumahnya.
(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 12/174)
Paling mendekati maksud “Nampak warnanya dan tersembunyi aromanya” seperti pewarna tangan (khidhab, hena) ..
Ada pun jika memakainya dgn parfum yg bisa tercium menyengat kaum laki-laki maka itulah yang terlarang.
Imam Al Munawi Rahimahullah mengatakan:
(أيما امرأة استعطرت) أي استعملت العطر أي الطيب يعني ما يظهر ريحه منه (ثم خرجت) من بيتها (فمرت على قوم) من الأجانب (ليجدوا ريحها) أي بقصد ذلك (فهي زانية) أي كالزانية في حصول الإثم
Wanita mana pun yang memakai minyak wangi, yaitu yang tercium aromanya lalu dia keluar dari rumahnya dan melewati sekelompok ajnabiy (bukan mahram) agar mereka mencium aromanya maka dia wanita pezina yaitu mendapat dosa yg semisal zina.
(Faidhul Qadir, 3/147)
Ada pun bagi wanita yang bau badannya menyengat, maka dia bisa bersihkan diri sebaik-baiknya, kurangi makan dengan bumbu yang aromanya tajam, serta memakai bedak ketiak yang meredam bau badan saja, bukan dengan aroma yang menyengat.
4⃣ Menyambung Rambutnya
Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:
أَنَّ جَارِيَةً مِنْ الْأَنْصَارِ تَزَوَّجَتْ وَأَنَّهَا مَرِضَتْ فَتَمَعَّطَ شَعَرُهَا فَأَرَادُوا أَنْ يَصِلُوهَا فَسَأَلُوا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَعَنَ اللَّهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ
“Seorang wanita Anshar hendak menikah, dia dalam keadaan sakit dan rambutnya rontok, mereka hendak menyambungkan rambutnya (seperti wig, konde, dan sanggul), lalu mereka bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau menjawab: “Allah melaknat wanita penyambung rambut dan yang disambung rambutnya.” (HR. Bukhari no. 5590 Muslim no. 2123)
Dari Asma’ Radhiallahu ‘Anha dia berkata:
سَأَلَتْ امْرَأَةٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنَتِي أَصَابَتْهَا الْحَصْبَةُ فَامَّرَقَ شَعَرُهَا وَإِنِّي زَوَّجْتُهَا أَفَأَصِلُ فِيهِ فَقَالَ لَعَنَ اللَّهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمَوْصُولَةَ
“Ada seorang wanita bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Wahai Rasulullah, anak gadis saya terkena penyakit yang membuat rontok rambutnya dan saya hendak menikahkannya, apakah boleh saya sambung rambutnya?” Beliau bersabda: “Allah melaknat wanita penyambung rambut dan yang disambung rambutnya.” (HR. Bukhari no. 5597)
Imam Abu Daud Rahimahullah menjelaskan:
وَتَفْسِيرُ الْوَاصِلَةِ الَّتِي تَصِلُ الشَّعْرَ بِشَعْرِ النِّسَاءِ وَالْمُسْتَوْصِلَةُ الْمَعْمُولُ بِهَا …
“Tafsir dari Al Washilah adalah wanita penyambungkan rambut dengan rambut wanita lain, dan Al Mustawshilah adalah wanita yang menjadi objeknya (yang disambung rambutnya)…
(Lihat Sunan Abu Daud, pada keterangan hadits no. 4170. Juga lihat As Sunan Al Kubra-nya Imam Al Baihaqi no. 14611, Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 8/67. Al Maktabah As Salafiyah)
Menyambung rambut seperti memakai wig, konde, dan sejenisnya adalah haram. Hal ini ditegaskan oleh Al ‘Allamah Asy Syaukani Rahimahullah berikut ini:
والوصل حرام لأن اللعن لا يكون على أمر غير محرم
“Menyambung rambut adalah haram, karena laknat tidaklah terjadi untuk perkara yang tidak diharamkan.” (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 6/191. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)
Bahkan Al Qadhi ‘Iyadh menyebutkan hal itu sebagai maksiat dan dosa besar, lantaran adanya laknat bagi pelakunya. Termasuk juga orang yang ikut serta dalam perbuatan ini, maka dia juga mendapatkan dosanya, sebagaimana orang yang ikut serta dalam kebaikan, maksa dia juga dapat pahalanya. (Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/236. Mawqi’ Ruh Al Islam. Al Qadhi ‘Iyadh, Ikmalul Mu’lim, 6/328. Maktabah Al Misykah)
Begitu pula yang difatwakan oleh Imam An Nawawi Rahimahullah:
وَهَذِهِ الْأَحَادِيث صَرِيحَة فِي تَحْرِيم الْوَصْل ، وَلَعْن الْوَاصِلَة وَالْمُسْتَوْصِلَة مُطْلَقًا ، وَهَذَا هُوَ الظَّاهِر الْمُخْتَار
“Hadits-Hadits ini dengan jelas mengharamkan secara mutlak menyambung rambut, dan terlaknatnya orang yang menjadi penyambungnya dan orang yang disambung rambutnya, dan inilah yang benar lagi menjadi pendapat pilihan.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/236)
Beliau juga menyebutkan rincian yang dibuat oleh madzhabnya, Syafi’iyah, yakni jika rambut tersebut adalah rambut manusia maka sepakat keharamannya, baik itu rambut laki atau wanita, rambut mahramnya, suaminya, atau selain keduanya, maka haram sesuai keumuman haditsnya. Alasannya, karena diharamkannya pemanfaatan rambut manusia baik keseluruhan atau bagian-bagiannya itu dalam rangka memuliakannya. Bahkan seharusnya dikubur, baik rambut, kuku atau bagian-bagian keseluruhannya. Jika rambut tersebut adalah bukan rambut manusia, rambut tersebut najis seperti rambut bangkai dan rambut hewan yang tidak dimakan, maka dia haram juga menurut hadits, sebab dengan demikian secara sengaja dia membawa najis dalam shalat dan di luar shalat. Sama saja dua jenis ini, baik
untuk dipakai pada orang yang sudah kawin atau belum, baik laki-laki atau wanita. Ada pun rambut suci selain rambut manusia, jika dia (pelakunya) belum kawin dan tidak punya tuan, maka haram juga. Jika dia sudah kawin atau punya tuan, maka ada tiga pendapat: Pertama, tetap tidak boleh juga, sesuai zahir hadits tersebut. Kedua, tidak haram. Dan yang shahih menurut mereka –syafi’iyah- adalah jika melakukannya dengan izin dari suaminya atau tuannya, maka boleh. Ketiga, jika tidak diizinkan maka haram. (Ibid)
Demikian rincian yang dipaparkan Imam An Nawawi. Namun, jika kita merujuk hadits yang ada maka rambut apa pun, dan dari siapa pun adalah haram. Sebab, tak ada perincian ini dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka larangannya berlaku umum.
📌 Menyambung Rambut Bukan Dengan Rambut
Bagaimana jika menyambung rambut dengan selain rambut seperti dengan benang sutera, wol, atau yang semisalnya? Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.
Imam An Nawawi menyebutkan bahwa, Imam Malik, Imam Ath Thabari, dan kebanyakan yang lainnya mengatakan, tidak boleh menyambung rambut dengan apa pun juga, sama saja baik dengan rambut, wol, atau kain perca. Mereka berdalil dengan hadits Jabir yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan peringatan bagi seorang wanita yang telah menyambung rambutnya dengan sesuatu.
Sementara Imam Laits bin Sa’ad, dan Abu ‘Ubaidah meriwayatkan dari banyak fuqaha, mengatakan bahwa larangan tersebut hanyalah khusus untuk menyambung dengan rambut. Tidak mengapa menyambung dengan wol, secarik kain perca, dan semisalnya. Sebagian mereka mengatakan: semua hal itu boleh, sebagaimana diriwayatkan dari ‘Aisyah. Tetapi itu tidak shahih dari Aisyah, bahkan sebaliknya, diriwayatkan darinya sebagaimana pendapat mayoritas (yaitu terlarang). (Ibid. Lihat juga Tuhfah Al Ahwadzi, 8/66)
Syaikh Sayyid Sabiq juga menyebutkan bahwa jika menyambung rambut dengan selain rambut manusia seperti benang sutera, wol, dan yang sejenisnya, maka Said bin Jubeir, Ahmad dan Laits bin Sa’ad membolehkannya. (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, 3/496. Darul Kitab Al ‘Arabi)
Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat mayoritas ulama, yang menyatakan keharamannya. Karena dua hal, pertama, kaidah fiqih: al umuru bi maqashidiha (permasalahan dinilai berdasarkan maksudnya). Walau tidak menggunakan rambut, tetapi pemakaian bahan wol, kain perca, dan sejenisnya diniatkan oleh pemakainya sebagai sambungan bagi rambutnya, maka hal itu termasuk bagian dari Al Washl – menyambung rambut. Kedua, keumuman makna hadits tersebut menunjukkan segala aktifitas menyambungkan rambut tidak terbatas pada jenis rambutnya, baik asli atau palsu, sama saja.
Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan, ada pun mengikatkan benang sutera berwarna warni di rambut, dan apa saja yang tidak menyerupai rambut, itu tidak termasuk kategori menyambung rambut yang terlarang. Hal itu sama sekali tidak ada maksud untuk menyambung rambut, melainkan untuk menambah kecantikan dan keindahan, sama halnya dengan melilitkannya pada pinggang, leher, atau tangan dan kaki. (Al Qadhi ‘Iyadh, Ikmalul Mu’allim, 6/328. Maktabah Al Misykat)
Apa yang dikatakan oleh Al Qadhi ‘Iyadh ini, untuk makna zaman sekarang adalah seperti seorang wanita yang mengikatkan pita rambut, bandana, bando, atau syal. Ini memang bukan termasuk menyambung rambut –berbeda dengan wig dan konde- dan tentu saja boleh. Tetapi, pembolehan ini hanyalah di depan suami atau mahramnya seperti kakek, ayah, paman, kakak, adik, keponakan, anak, dan mahram lainnya. Sedangkan di depan non mahram, maka hukumnya sama dengan hukum menutup aurat bagi wanita di depan non mahram, yakni tidak boleh terlihat seluruh tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangan, sebagaimana pendapat jumhur.
5⃣ Mencukur atau mencabut rambut alis
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:
لُعِنَتْ الْوَاصِلَةُ وَالْمُسْتَوْصِلَةُ وَالنَّامِصَةُ وَالْمُتَنَمِّصَةُ وَالْوَاشِمَةُ وَالْمُسْتَوْشِمَةُ مِنْ غَيْرِ دَاءٍ
“Dilaknat wanita yang menyambung rambut dan yang disambung rambutnya, wanita yg yang mencukur alis dan yang dicukur alisnya, pembuat tato dan yang bertato, kecuali karena berobat.”
(HR. Abu Daud no. 4170, Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan sanadnya hasan, Fathul Bari, 10/376. Darul Fikr. Syaikh Al Albani mengatakan hasan shahih, lihatShahih At Targhib wat Tarhib, No. 2101)
Imam Abu Daud Rahimahullah menjelaskan:
وَالنَّامِصَةُ الَّتِي تَنْقُشُ الْحَاجِبَ حَتَّى تُرِقَّهُ وَالْمُتَنَمِّصَةُ الْمَعْمُولُ بِهَا ..
An Namishah adalah wanita pencukur alis mata sampai tipis, dan Al Mutanammishah adalah wanita yang dicukur alisnya.
(Lihat Sunan Abu Daud, pada keterangan hadits no. 4170. Juga lihat As Sunan Al Kubra-nya Imam Al Baihaqi no. 14611, Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri,Tuhfah Al Ahwadzi, 8/67. Al Maktabah As Salafiyah)
Sebagaimana yang lain, maka An Namishah(pencukur alis) dan Al Mutanamishah (orang yang alisnya dicukur) juga haram dan mendapatkan laknat Allah Ta’ala.
Dalam Fathul Bari disebutkan oleh Al Hafizh:
قال الطبري: لا يجوز للمرأة تغيير شيء من خلقتها التي خلقها الله عليها بزيادة أو نقص التماس الحسن لا للزوج ولا لغيره
“Berkata Imam Ath Thabari: Tidak boleh bagi wanita merubah sesuatu dari bentuk yang telah Allah ciptakan baginya, baik dengan tambahan atau pengurangan dengan tujuan kecantikan, tidak boleh walau untuk suami dan tidak juga untuk selain suami.” (Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 10/377. Darul Fikr. Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri,Tuhfah Al Ahwadzi, 8/67. Al Maktabah As Salafiyah)
Imam Ibnu Jarir Ath Thabari ini tidak memberikan pengecualian, bahkan seandainya wanita memiliki kumis dan jenggot pun –menurutnya- tidak boleh dihilangkan sebab hal itu termasuk merubah ciptaan Allah Ta’ala.
Namun, pandangan ini ditanggapi oleh Imam An Nawawi sebagai berikut:
وَهَذَا الْفِعْل حَرَام إِلَّا إِذَا نَبَتَتْ لِلْمَرْأَةِ لِحْيَة أَوْ شَوَارِب ، فَلَا تَحْرُم إِزَالَتهَا ، بَلْ يُسْتَحَبّ عِنْدنَا . وَقَالَ اِبْن جَرِير : لَا يَجُوز حَلْق لِحْيَتهَا وَلَا عَنْفَقَتهَا وَلَا شَارِبهَا ، وَلَا تَغْيِير شَيْء مِنْ خِلْقَتهَا بِزِيَادَةِ وَلَا نَقْص . وَمَذْهَبنَا مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ اِسْتِحْبَاب إِزَالَة اللِّحْيَة وَالشَّارِب وَالْعَنْفَقَة ، وَأَنَّ النَّهْي إِنَّمَا هُوَ فِي الْحَوَاجِب وَمَا فِي أَطْرَاف الْوَجْه
“Perbuatan ini (mencukur alis dan tukang cukurnya) adalah haram, kecuali jika tumbuh pada wanita itu jenggot atau kumis, maka tidak haram menghilangkannya, bahkan itu dianjurkan menurut kami. Ibnu Jarir mengatakan: “Tidak boleh mencukur jenggot, kumis dan rambut di bawah bibirnya, dan tidak boleh pula merubah bentuknya, baik dengan penambahan atau pengurangan.” Madzhab kami, sebagaimana yang telah kami kemukakan, menganjurkan menghilangkan jenggot, kumis, dan rambut di bawah bibir . Sesungguhnya larangan hanya berlaku untuk alis dan bagian tepi dari wajah.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/421. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Yang benar, jenggot dan kumis bagi wanita adalah suatu keadaan yang tidak lazim dan tidak normal. Sebab, wanita diciptakan Allah Ta’ala secara umum tidaklah demikian. Oleh karena itu, mencukur keduanya bukanlah termasuk kategori merubah ciptaan Allah Ta’ala, melainkan menjadikannya sebagaimana wanita ciptaan Allah Ta’ala lainnya. Maka, pendapat yang menyatakan bolehnya mencukur kumis dan jenggot bagi wanita adalah pendapat yang lebih kuat.
Ada pun mencukur bagian alis yang tumbuhnya tidak kompak dibagian sudut-sudutnya saja. Maka para ulama berbeda pendapat. Imam Ahmad membolehkan dengan syarat itu bertujuan menyenangkan suami. Namun, yang lebih hati-hati adalah tidak boleh sebagaimana larangan tegas dalam hadits tersebut yang tidak membedakan antara mencukur sedikit atau banyak walau pun bertujuan menyenangkan hati suami. Hal ini juga dikuatkan oleh kaidah bahwa niat yang baik (seperti menyenangkan hati suami) tidaklah merubah sesuatu yang haram. Sebagaimana seorang penjudi berniat menyumbang masjid, maka tidaklah merubah judinya menjadi halal.
Demikian. Wallahu a’lam
📙📘📕📒📔📓📗
🖋 Farid Nu’man Hasan