Bulan Sya’ban: Amalan dan Keutamaannya

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

✅ Definisi Sya’ban

Imam Ibnu Manzhur Rahimahullah menjelaskan dalam Lisanul ‘Arab:

إِنما سُمِّيَ شَعبانُ شَعبانَ لأَنه شَعَبَ أَي ظَهَرَ بين شَهْرَيْ رمضانَ ورَجَبٍ والجمع شَعْباناتٌ وشَعابِينُ

Dinamakan Sya’ban, karena saat itu dia menampakan (menonjol) di antara dua bulan, Ramadhan dan Rajab. Jamaknya adalah Sya’banat dan Sya’abin. (Lisanul ‘Arab, 1/501)

Dia juga bermakna bercabang (asy Sya’bu) atau berpencar (At Tafriq), karena banyaknya kebaikan pada bulan itu. Kebiasaan pada zaman dahulu, ketika bulan Sya’ban mereka berpencar mencari sumber-sumber air.

✅ Dianjurkan Banyak Berpuasa

Bulan Sya’ban adalah bulan mulia yang disunnahkan bagi kaum muslimin untuk banyak berpuasa. Hal ini ditegaskan dalam hadits shahih berikut:

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ

“Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpuasa sehingga kami mengatakan dia tidak pernah berbuka, dan dia berbuka sampai kami mengatakan dia tidak pernah puasa. Saya tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyempurnakan puasanya selama satu bulan kecuali Ramadhan, dan saya tidak pernah melihat dia berpuasa melebihi banyaknya puasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari No. 1868)

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha juga, katanya:

لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ

“Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam belum pernah berpuasa dalam satu bulan melebihi puasa pada bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari No. 1869)

Inilah bukan berarti puasa yang paling banyak Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lakukan, tapi ini puasa sunah terbanyak dalam satu bulan. Sebab, beliau tidak pernah berpuasa sebulan penuh kecuali puasa Ramadhan.

✅ Apa sebab dianjurkan puasa Sya’ban?

Pada bulan Sya’ban amal manusia di angkat kepada Allah Ta’ala. Maka, alangkah baik jika ketika amal kita diangkat, saat itu kita sedang berpuasa.

Dari Usamah bin Zaid Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أَرَاكَ تَصُومُ فِي شَهْرٍ مَا لَا أَرَاكَ تَصُومُ فِي شَهْرٍ مثل مَا تَصُومُ فِيهِ، قَالَ: ” أَيُّ شَهْرٍ ؟ “، قُلْتُ: شَعْبَانُ، قَالَ: ” شَعْبَانُ بَيْنَ رَجَبٍ وَشُهِرِ رَمَضَانَ، يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ، يَرْفَعُ فِيهِ أَعْمَالَ الْعِبَادِ، فَأُحِبُّ أَنْ لَا يُرْفَعَ عَمَلِي إِلَّا وَأَنَا صَائِمٌ “

“Wahai Rasulullah, aku melihat engkau berpuasa pada sebuah bulan yang mana aku belum pernah melihat kau melakukannya seperti puasa di bulan tersebut.”

Beliau bersabda; “Bulan apa itu?”

Aku menjawab: “Sya’ban.”

Beliau bersabda: “Bulan Sya’ban, ada di antara bulan Rajab dan Ramadhan, banyak manusia yang melalaikannya. Saat itu amal manusia diangkat, maka aku suka jika amalku diangkat ketika aku sedang puasa.”

(HR. An Nasai, 1/322 dalam kitab Al Amali. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 3540, Alauddin Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 35171. Status hadits: Hasan (baik). Lihat Imam Al Munawi dalam At Taysir bisyarhi Al Jami’ Ash Shaghir, 2/151.)

✅ Malam Nishfu Sya’ban Yang Istimewa

Dari Abdullah bin ‘Amr Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

يَطَّلِعُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِعِبَادِهِ إِلَّا لِاثْنَيْنِ: مُشَاحِنٍ، وَقَاتِلِ نَفْسٍ

“Allah Ta’ala menampakkan (rahmat-Nya) kepada hamba-Nya di malam Nishfu Sya’ban, Dia mengampuni hamba-hamba-Nya kecuali orang yang bermusuhan dan pembunuh.” (HR. Ahmad no. 6642)

Hadits ini diriwayatkan oleh banyak jalur yang saling menguatkan, yaitu: Muadz bin Jabal, Abu Tsa’labah al Khusyani, Abdullah bin ‘Amr, Abu Musa al Asy’ari, Abu Hurairah, Abu Bakar ash Shiddiq, ‘Auf bin Malik, dan Aisyah.

Sehingga dinyatakan SHAHIH oleh para pakar hadits seperti:

– Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Tahqiq Musnad Ahmad, jilid. 5, hal. 98-99, no hadits. 6642. Penerbit: Darul Hadits, Kairo

– Syaikh Syu’aib al Arnauth, Tahqiq Musnad Ahmad, jilid. 11, hal. 216, no hadits. 6642. Penerbit: Muasasah Ar Risalah, 2001

– ٍSyaikh Al Albani, Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah, jilid. 3, hal. 135, no hadits. 1144. Penerbit: Maktabah Al Ma’arif, Riyadh. 1995, dengan redaksi: “kecuali orang yang bermusuhan dan musyrik.”

✅ Sunnah Menghidupkan Malam Nishfu Sya’ban Dengan Ibadah

Mayoritas ulama mengatakan bahwa dianjurkan (mandub) menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan berbagai amal shalih secara umum dan mutlak. Seseorang bisa memilih: dzikir, tilawah, shalat malam, sedekah, dan lainnya.

Tertulis dalam Al Mausu’ah:

ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى نَدْبِ إِحْيَاءِ لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ

Menurut mayoritas ahli fiqih, adalah hal yang sunnah (nadb) menghidupkan malam Nishfu Sya’ban (dengan ibadah).

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 2/235)

Itu merupakan perilaku kaum salaf, Imam Ibnu Taimiyah mengatakan:

إذَا صَلَّى الْإِنْسَانُ لَيْلَةَ النِّصْفِ وَحْدَهُ أَوْ فِي جَمَاعَةٍ خَاصَّةٍ كَمَا كَانَ يَفْعَلُ طَوَائِفُ مِنْ السَّلَفِ فَهُوَ أَحْسَنُ

“Jika manusia shalat malam nishfu seorang diri atau jamaah secara khusus sebagaimana yang dilakukan segolongan salaf, maka itu lebih baik.” (Majmu’ Al Fatawa, jilid. 2, hal. 447)

📌 Catatan:

Ada pun berkumpul di masjid/mushalla, melakukan shalat khusus dengan bacaan khusus, dengan pakem khusus, adalah perselisihan fiqih ibadah sejak masa salaf.

Hal ini pernah kami bahas dalam tulisan “Pro Kontra Ritual Nishfu Sya’ban”.

Sebagian ulama salaf ada yang menolaknya seperti Atha’, Ibnu Abi Malikah, fuqaha Madinah, dan para sahabatnya Imam Malik (Malikiyah). Ini juga pendapat Hanafiyah, sebagian Syafi’iyah, seperti Imam An Nawawi, dan menyebutnya sebagai bid’ah qabihah (buruk). (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, jilid. 2, hal. 236. Lihat juga Fatawa Al Azhar, jilid. 10, hal. 131)

Sebagian salaf ada yang menyetujuinya, dan menilainya “Itu bukan bid’ah,” seperti Khalid bin Ma’dan, Makhul, Luqman bin ‘Amir, dan Ishaq bin Rahawaih. Kaum salaf memakai wangi-wangian, celak, dan beribadah sampai pagi. (Fatawa Al Azhar, jilid. 10, hal. 131)

Salah satu ulama salaf, Imam Al Fakihi (w. 272 H) bercerita tentang perbuatan penduduk Mekkah di malam Nishfu Sya’ban:

وَأَهْلُ مَكَّةَ فِيمَا مَضَى إِلَى الْيَوْمِ إِذَا كَانَ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، خَرَجَ عَامَّةُ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَصَلَّوْا، وَطَافُوا، وَأَحْيَوْا لَيْلَتَهُمْ حَتَّى الصَّبَاحَ بِالْقِرَاءَةِ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، حَتَّى يَخْتِمُوا الْقُرْآنَ كُلَّهُ، وَيُصَلُّوا، وَمَنْ صَلَّى مِنْهُمْ تِلْكَ اللَّيْلَةَ مِائَةَ رَكْعَةٍ يَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ بِالْحَمْدُ، وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ عَشْرَ مَرَّاتٍ، وَأَخَذُوا مِنْ مَاءِ زَمْزَمَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ، فَشَرِبُوهُ، وَاغْتَسَلُوا بِهِ، وَخَبَّؤُوهُ عِنْدَهُمْ لِلْمَرْضَى، يَبْتَغُونَ بِذَلِكَ الْبَرَكَةَ فِي هَذِهِ اللَّيْلَةِ، وَيُرْوَى فِيهِ أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ

Penduduk Mekkah dari dulu sampai hari ini (zaman Imam Al Fakihi, pen), jika datang malam Nishfu Sya’ban, maka mayoritas laki-laki dan perempuan keluar menuju Masjidil Haram, mereka shalat, thawaf, dan menghidupkan malam itu sampai pagi dengan membaca Al Quran di Masjidil Haram sampai mengkhatamkan semuanya, dan mereka shalat, di antara mereka ada yang shalat malam itu 100 rakaat dan pada tiap rakaatnya membaca Al Fatihah dan Al Ikhlas 10 kali, lalu mereka mengambil air zam zam malam itu, lalu meminumnya, mandi dengannya, dan juga menyembuhkan orang sakit dengannya, dalam rangka mencari keberkahan pada malam tersebut. (Akhbar Makkah, 3/84)

Lalu, bagaimana sikap kita? Silahkan ambil salah satu pendapat menurut keilmuan kita, namun jangan ingkari pihak lainnya.

Imam Sufyan Ats Tsauri Rahimahullah mengatakan:

إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه

“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.”

(Imam Abu Nu’aim Al Asbahany, Hilaytul Auliya, 3/133)

Imam Ahmad bin Hambal ditanya tentang orang yang shalat Ba’diyah Ashar, Beliau Rahimahullah menjawab:

لا نفعله ولا نعيب فاعله

Kami tidak melakukannya tapi kami tidak juga menilai aib orang yang melakukannya.

(Al Mughni, 2/87, Syarhul Kabir, 1/802)

Demikian. Wallahu A’lam

✅ Larangan Berpuasa Setelah 15 Sya’ban?

Hadits larangan berpuasa setelah separuh bulan Sya’ban memang ada, yaitu sebagai berikut:

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَأَمْسِكُوا عَنْ الصَّوْمِ حَتَّى يَكُونَ رَمَضَانُ

Jika sudah pada separuh bulan Sya’ban, maka janganlah kalian berpuasa hingga masuk bulan Ramadhan.

📌 Hadits ini dan -yang semisalnya- diriwayatkan oleh:

– Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 9707
– Imam Abu Daud dalam Sunannya No. 2337
– Imam At Tirmidzi dalam Sunannya No. 738
– Imam An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 2911
– Imam Ibnu Majah dalam Sunannya No. 6151
– Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 3589
– Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Awsath No. 1936
– Imam Al Baihaqi dalam AAs Sunan Al Baihaqi No.7750
– Imam Ad Darimi dalam Sunannya No. 1740, Dan lain-lain.

Semua sanad hadits ini berasal dari: Al ‘Ala bin Abdurrahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah.

Tentang keshahihan hadits ini, para ulama berbeda pendapat.

📌 Pihak yang menshahihkan

– Imam At Tirmidzi mengatakan: hasan shahih. (Sunan At Tirmidzi No. 738)
– Imam Ibnu Hibban memasukkan hadits ini dalam kitab Shahihnya, maka menurutnya ini adalah shahih. (Shahih Ibni Hibban No. 3589)
– Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menyatakan shahih dalam berbagai kitabnya. (Shahih Abi Daud No. 2025, Shahih Ibni Majah No. 1651, Tahqiq Misykah Al Mashabih No. 1973, Ar Raudh An Nadhiir No. 643, dll)
– Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan shahih. (Ta’liq Musnad Ahmad No. 9707)
– Syaikh Ibnu Baaz juga menshahihkan. (Majmu’ Fatawa, 15/385)

📌 Pihak yang mendhaifkan

– Imam Ahmad dan Imam Yahya bin Ma’in berkata: hadits ini munkar! (Mir’ah Al Mafatih, 6/441, Ta’liq Musnad Ahmad No. 9707)
– Imam Abdurrahman bin Al Mahdi juga mengingkari riwayat Al ‘Ala bin Abdirrahman ini. (Syaikh Abdul Aziz bin Marzuq Ath Tharifi, Syarh Bulughul Maram, Hal. 47)
– Imam Abu Zur’ah dan Imam Al Atsram juga menyatakan munkar. (Lathaif Al Ma’arif, Hal. 151)

Perbedaan dalam menilai keshahihannya tentu berdampak pada berbeda pula dalam mengamalkannya. Bagi pihak yang mendhaifkan tentu sama sekali tidak masalah berpuasa setelah 15 sya’ban. Bagi yang menshahihkan tentu mereka melarang berpuasa setelah 15 Sya’ban, yaitu larangan dengan makna makruh.

📌 Tarjih Imam Ibnu Rajab Al Hambali Rahimahullah

Menurut Beliau pihak yang mendhaifkan lebih senior dan berilmu:

صححه الترمذي و غيره و اختلف العلماء في صحة هذا الحديث ثم في العمل به : فأما تصحيحه فصححه غير واحد منهم الترمذي و ابن حبان و الحاكم و الطحاوي و ابن عبد البر و تكلم فيه من هو أكبر من هؤلاء و أعلم و قالوا : هو حديث منكر منهم ابن المهدي و الإمام أحمد و أبو زرعة الرازي و الأثرم و قال الإمام أحمد : لم يرو العلاء حديثا أنكر منه

Dishahihkan oleh At Tirmidzi dan selainnya. Para ulama berbeda pendapat tentang keshahihan hadits ini, kemudian berbeda pula tentang mengamalkan hadits ini. Ada pun pihak yang menshahihkan adalah lebih dari satu orang, di antaranya At Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al Hakim, Ath Thahawi, dan Ibnu Abdil Bar. NAMUN HADITS INI DIPERBINCANGJAN OLEH PARA IMAM YANG LEBIH BESAR DAN LEBIH BERILMU DIBANDING MEREKA, mereka mengatakan: ini adalah hadits munkar. Mereka adalah Ibnu Al Mahdi, Imam Ahmad, Abu Zur’ah Ar Razi, dan Al Atsram. Imam Ahmad berkata: “Al ‘Ala tidak pernah meriwayatkan hadits yang lebih munkar dari ini.” (Lathaif Al Ma’arif, Hal. 151)

📌 Sebagian ulama yang melarang berpuasa setelah 15 Sya’ban mengatakan bahwa makruhnya hal ini karena dikhawatiri melemahkan pelakunya karena dia berpuasa sepanjang bulan dan akan berpuasa lagi ketika Ramadhan nanti, serta dikhawatiri dia telah menyambung dua bulan puasa secara berturut-turut, padahal tidak ada puasa full kecuali hanya Ramadhan saja. Jika tidak melemahkan badan, dan tidak pula dia menyambungkannya, maka tidak apa-apa berpuasa setelah 15 Sya’ban.

Atau, kemakruhannya adalah jika dia berpuasa setelah 15 Sya’ban itu dilakukan sengaja dan tanpa sebab, tanpa didahului oleh puasa pada hari sebelumnya, dan sekedar ingin berpuasa saja. Sedangkan jika ada sebab seperti Senin Kamis, puasa Daud, atau dia sudah terbiasa berpuasa maka tidak apa-apa.

Pada titik ini, sebenarnya tidak ada perbedaan signifikan dengan para ulama yang membolehkan, mereka pun hampir mengatakan serupa.

Pihak yang memakruhkan, seperti Imam Mulla Ali Al Qari Rahimahullah berkata:

والنهي للتنزيه رحمة على الأمة أن يضعفوا عن حق القيام بصيام رمضان على وجه النشاط ، وأما من صام شعبان كله فيتعود بالصوم ويزول عنه الكلفة. ولذا قيد بالإنتصاف أو نهي عنه لأنه نوع من التقدم والله أعلم

Larangan hanya menunjukkan makruh tanzih, sebagai kasih sayang untuk umat di mana mereka dapat mengalami kelemahan untuk menjalankan shalat malam ketika Ramadhan yang begitu giat dilaksanakan, ada pun bagi orang yang berpuasa Sya’ban keseluruhannya maka pembiasaan itu dengan berpuasa bisa menghilangkan taklifnya Ramadhan. Oleh karenanya berpuasa setengah bulan itu atau larangannya, terikat oleh hal ini, karena hal itu (berpuasa setengah bulan setelah 15 Sya’ban) termasuk jenis larangan “mendahulukan berpuasa” ketika menjelang Ramadhan. Wallahu A’lam. (Mirqah Al Mafatih, 6/280)

Maksud larangan mendahulukan puasa ketika menjelang Ramadhan adalah hadits berikut:

لَا يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ

“Janganlah salah seorang kalian mendahulukan Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari, kecuali bagi seseorang yang sedang menjalankan puasa kebiasaannya, maka puasalah pada hari itu.” (HR. Bukhari No. 1815)

Mulla Ali Al Qari berkata lagi – Beliau mengutip dari Al Qadhi ‘Iyadh, katanya:

المقصود استجمام من لا يقوى على تتابع الصيام فاستحب الإفطار كما استحب إفطار عرفة ليتقوى على الدعاء فأما من قدر فلا نهي له ولذلك جمع النبي بين الشهرين في الصوم اه وهو كلام حسن لكن يخالف مشهور مذهبه أن الصيام بلا سبب بعد نصف شعبان مكروه

Maksudnya adalah memberikan keringanan bagi orang yang tidak kuat puasa berturut-turut, maka dianjurkan baginya untuk tidak berpuasa, sebagaimana orang yang sedang wukuf di Arafah dianjurkan tidak berpuasa agar dia kuat berdoa. Ada pun bagi orang yang mampu melakukannya maka tidak ada larangan baginya, oleh karenanya Nabi pun menggabungkan puasa selama dua bulan, dst. (Ali Al Qari berkata): ini adalah komentar yang bagus, tetapi berselisih dengan madzhabnya sendiri bahwasanya berpuasa tanpa sebab dilakukan setelah 15 Sya’ban adalah makruh. (Ibid)

Imam Al Mundziri Rahimahullah berkata – dan Beliau termasuk yang membolehkan puasa Sya’ban setelah tanggal 15:

من قال إن النهي عن الصيام بعد النصف من شعبان لأجل التقوى على صيام رمضان والاستجمام له ، فقد أبعد. فإن نصف شعبان إذا أضعف كان كل شعبان أحرى أن يضعف ، وقد جوز العلماء صيام جميع شعبان

Barang siapa yang mengatakan bahwa larangan berpuasa setelah 15 Sya’ban adalah disebabkan kekuatan utuk puasa Ramadhan dan meringankannya, maka itu adalah pemahaman yang jauh. Jika memang setengah Sya’ban itu bisa melelahkan, maka berpuasa pada seluruh Sya’ban adalah lebih pantas untuk melemahkan. Para ulama telah membolehkan berpuasa pada seluruh hari Sya’ban. (Syaikh Waliyuddin At Tibrizi, Misykah Al Mashabih, 6/874)

Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki Rahimahullah berkata:

قال بعض أئمتنا: يجوز بلا كراهة الصوم بعد النصف مطلقاً تمسكاً بأن الحديث غير ثابت أو محمول على من يخاف الضعف بالصوم

Sebagian imam kami berkata: dibolehkan secara mutlak dan tidak makruh berpuasa setelah separuh Sya’ban, berdasarkan dalil bahwa hadits yang melarangnya adalah tidak tsabit (kuat), atau (kalau pun kuat, pen) maknanya adalah makruh bagi orang yang menjadi lemah dengan puasanya tersebut. (Ibid)

Syaikh Abdul Aziz Ar Rajihi Hafizhahullah berkata:

وحديث العلاء يدل على المنع من تعمد الصوم بعد النصف, لا لعادة، ولا مضافا إلى ما قبله

Hadits Al ‘Ala ini menunjukkan larangan menyengaja berpuasa setelah saparuh Sya’ban padahal puasa bukan kebiasaan dia, dan bukan pula sebagai tambahan dari sebelumnya. (Al Ilmam bisy Syai’ min Ahkamish Shiyam, Hal. 6)

Syaikh Ibnu Baaz Rahimahullah juga berkata:

والمراد به النهي عن ابتداء الصوم بعد النصف ، أما من صام أكثر الشهر أو الشهر كله فقد أصاب السنة

Maksud dari larangan ini adalah memulai puasa setelah separuh Sya’ban, ada pun berpuasa lebih dari sebulan atau sebulan penuh maka itu sesuai dengan sunah. (Majmu’ Fatawa, 15/385)

📚 Dengan memadukan semua pandangan ulama ini, kesimpulannya:

– Hadits ini diperselisihkan keshahihannya, pihak yang menshahihkan dan mendhaifkan adalah imam besar pada zamannya, namun pihak yang mendhaifkan adalah ulama yang lebih besar dan berilmu, sebagaimana kata Imam Ibnu Rajab.

– Seandainya pun shahih, larangan ini bermakna makruh, bukan haram.

– Larangan terjadi jika hal itu membuat pelakunya lemah ketika memasuki Ramadhan, jika tidak lemah, tidak apa-apa.

– Larangan juga berlaku bagi orang yang tidak terbiasa puasa, namun sekalinya berpuasa dia menyengaja melakukannya pada hari setelah separuh Sya’ban, tanpa dia dahului berpuasa pada hari-hari sebelumnya.

– Makruhnya juga bagi orang yang melakukannya tanpa sebab.

– Jadi, puasa setelah separuh Sya’ban adalah boleh bagi: 1. yang memang sudah terbiasa puasa lalu kebiasaannya itu diteruskan ketika setelah 15 hari Sya’ban, 2. Yang melakukannya karena sebab khusus seperti senin kamis, dan puasa Daud.

Sekian. Wallahu A’lam

Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi Ajma’in.

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸

✍ Farid Nu’man Hasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top