🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾
Daftar Isi
📌 Landasan Syariatnya
Dalam Al Quran banyak ayat yang menstimulus dan menggambarkan kemuliaan shalat alam, di antaranya –kami ambil satu saja- Allah ﷻ berfirman:
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَىٰ أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. ( QS. Al Isra: 79)
Dalam hadits juga demikian, kami ambil satu saja:
وأفضل الصلاةبعد الفريضة صلاة الليل
Shalat paling utama setelah shalat wajib adalah shalat di malam hari. (HR. Muslim No. 1163)
📌 Waktunya
Waktunya di malam hari sejak setelah shalat Isya sampai sebelum fajar.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:
صلاة الليل تجوز في أول الليل ووسطه وآخره ما دامت الصلاة بعد صلاة العشاء
Shalat malam boleh dilakukan pada awal malam, tengahnya, dan akhirnya, selama dilakukannya setelah shalat Isya. (Fiqhus Sunnah, 1/203)
Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:
لم يكن لتهجده وقت معين بل بحسب ما يتيسر له القيام
Tahajudnya Rasulullah ﷺ tidak ada waktu yang spesifik tetapi dia lakukan pada waktu yang paling mudah baginya untuk bangun melaksanakannya. (Imam Ibnu ‘Allan, Dalilul Falihin, 6/496)
📌 Waktu Paling Utama
Waktu paling utama adalah di sepertiga malam terakhir.
Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan:
الافضل تأخيرها إلى الثلث الاخير
Yang paling utama adalah mengakhirkannya sampai sepertiga malam terakhir. (Fiqhus Sunnah, 1/203)
Alasannya:
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ
Rabb kita –Allah Tabaraka wa Ta’ala- turun ke langit dunia setiap malam sampai waktu seperti malam terakhir, dan berfirman: “Barang siapa yang berdoa kepadaKu maka Aku akan mengabukannya, barang siapa yang meminta kepadaKu maka Aku akan memberinya, dan barang siapa yang memohon ampunkepadaKu maka Aku akan mengampuninya.” (HR. Al Bukhari No. 1145, 6321, Muslim No. 758)
Juga hadits lain:
قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ: أَيُّ الدُّعَاءِ أَسْمَعُ؟ قَالَ: «جَوْفَ اللَّيْلِ الآخِرِ، وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ المَكْتُوبَاتِ»
Ditanyakan kpd Rasulullah, doa yang manakah yang paling di dengar?
Beliau menjawab: “Doa di sepertiga malam terakhir, dan setelah shalat wajib.” (HR. At Tirmidzi No. 3499, kata Beliau: hasan. Dihasankan pula oleh Syaikh Al Albani)
📌 Adab-adab Sebelum Qiyamul Lail
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menuliskan beberapa adabnya, yaitu:
1. Berniat Bangun Malam untuk Qiyamul Lail
Abu Dzar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
من أتى فراشه وهو ينوي أن يقوم يصلي من الليل فغلبته عينه حتى يصبح كتب له ما نوى
“Barang siapa yang mendatangi pembaringannya dan dia berniat untuk melaksanakan shalat malam, lalu dia tertidur hingga pagi, maka dia tetap mendapatkan apa yang diniatkannya.” (HR. Ibnu Majah No. 1344, An Nasa’i No. 1787. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 1344)
2. Mengusap wajah saat bangun tidur, bersiwak, dan memandang ke langit, lalu membaca doa yang berasal dari Rasulullah ﷺ, seperti:
Laa ilaaha illa anta subhaanaka, astaghfiruka lidzanbiy wa as’aluka rahmataka, Allahumma zidniy ‘ilma wa laa tazigh qalbiy ba’da idz hadaytaniy wa habliy min ladunka rahmah innaka antal wahhaab
Alhamdulillahilldzi ahyana ba’da maa amatana wa ilaihin nusyuur
3. Memulai shalat dengan dua rakaat yang ringan lalu lanjutkan lagi sesuai kehendaknya
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
إذا قام أحدكم من الليل فليفتتح صلاته بركعتين خفيفتين
Jika kalian bangun malam untuk shalat maka mulailah dengan dua rakaat yang ringan. (HR. Muslim No. 768)
4. Membangunkan istri atau suami
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
رَحِمَ اللَّهُ رَجُلاً قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِى وَجْهِهَا الْمَاءَ رَحِمَ اللَّهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِى وَجْهِهِ الْمَاءَ
Semoga Allah maerahmati laki-laki yang bangun shalat malam dan membangunkan istrinya, jika istrinya menolak maka dia memercikkan air ke wajahnya. Semoga Allah merahmati istri yang bangun untuk shalat malam, lalu membangunkan suaminya, jika suaminya menolak maka dia memercikkan air ke wajahnya. (HR. Abu Daud No. 1310. Syaikh Al Albani mengatakan hasan shahih)
5. Jika sangat ngantuk tidur dulu sampai hilang ngantuknya
عن عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إذا نعس أحدكم فليرقد حتى يذهب عنه النوم، فإنه إذا صلى وهو ناعس لعله يذهب يستغفر فيسب نفسه) رواه الجماعة
Dari ‘Aisyah, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jika salah seorang kalian ngantuk, hendaknya dia tidur dulu hingga hilang rasa ngantuknya, sedangkan jika dia shalat dalam keadaan ngantuk itu, bisa jadi dia ingin istighfar ternyata dia mengucapkan caci maki untuk dirinya.” (HR. Al Jama’ah)
وعن أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إذا قام أحدكم من الليل فاستعجم القرآن على لسانه فلم يدر ما يقول فليضطجع) رواه أحمد ومسلم
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jika salah seorang kalian bangun malam dan masih ngantuk sehingga lidahnya berat membaca Al Quran dan ia tidak sadar apa yang dibacanya itu, maka sebaiknya dia tidur lagi!” (HR. Ahmad dan Muslim)
Jumlah Rakaatnya
Minimal adalah dua rakaat, dan maksimalnya tidak ada batasan. Apa yang diriwayatkan ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah ﷺ tidak pernah lebih dari 11 rakaat shalat malam, baik di bulan Ramadhan dan selain Ramadhan, bukanlah jumlah pembatas yang membuat terlarang jika lebih darinya. Para salafush shalih sangat memahami hal ini, mereka ada yang melakukannya sebanyak puluhan, bahkan ratusan rakaat, seperti yang tertera dalam kitab-kitab sirah.
Nabi ﷺ sendiri pernah lebih dari 11 rakaat, sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya.
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata:
وَقَدْ ثَبَتَ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ ( «كَانَ يُصَلِّي بَعْدَ الْوِتْرِ رَكْعَتَيْنِ جَالِسًا تَارَةً، وَتَارَةً يَقْرَأُ فِيهِمَا جَالِسًا، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ، قَامَ فَرَكَعَ» ، وَفِي “صَحِيحِ مسلم ” عَنْ أبي سلمة قَالَ: « (سَأَلْتُ عائشة رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: (كَانَ يُصَلِّيثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُصَلِّي ثَمَانَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ يُوتِرُ، ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ، قَامَ فَرَكَعَ، ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَالْإِقَامَةِ مِنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ) » وَفِي “الْمُسْنَدِ” عَنْ أم سلمة أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ( «كَانَ يُصَلِّي بَعْدَ الْوِتْرِ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ (
وَقَالَ الترمذي: رُوِيَ نَحْوُ هَذَا عَنْ عائشة، وأبي أمامة، وَغَيْرِ وَاحِدٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
وَفِي “الْمُسْنَدِ” عَنْ أبي أمامة، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ( «كَانَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْوِتْرِ وَهُوَ جَالِسٌ، يَقْرَأُ فِيهِمَا بِـ {إِذَا زُلْزِلَتِ} [الزلزلة: ١] وَ {قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ} [الكافرون: ١ [وَرَوَى الدَّارَقُطْنِيُّ نَحْوَهُ مِنْ حَدِيثِ أنس رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
Telah SHAHIH dari Nabi ﷺ bahwa: (Beliau shalat lagi setelah witir sebanyak dua rakaat kadang sambil duduk). Dalam kesempatan lain, Beliau pernah membaca dua rakaat itu sambil duduk dan ketika hendak ruku Beliau berdiri untuk ruku.
Disebutkan dalam SHAHIH MUSLIM dari Abu Salamah, dia berkata: Aku bertanya kepada ‘Aisyah tentang Shalat Rasulullah ﷺ, lalu dia memjawab:
“Beliau ﷺ biasanya melakukan shalat 13 rakaat. Menunaikan 8 raka’at, lalu witir, kemudian shalat 2 raka’at lagi dengan duduk, dan apabila hendak ruku beliau berdiri lalu ruku. Kemudian, Beliau nantinya shalat lagi antara azan dan iqamah shubuh.”
Di dalam Musnad disebutkan dari Ummi Salamah Radhiallahu ‘Anha, “Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat 2 rakaat ringan dengan duduk setelah shakat witir.” (HR. Ahmad, No. 26553, Ibnu Majah No. 1195. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth)