Panduan Ibadah & Tanya Jawab Fiqih Bagi Pemudik & Musafir

❔ Kewajiban apa saja yang diringankan ketika dalam safar/perjalanan?

Ada beberapa kewajiban yang mendapatkan keringanan saat safar, yaitu:

1. Shalat, bisa dijamak dan diqashar

Untuk Jamak, berdasarkan hadits berikut:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا

Dari Anas bin Malik, dia berkata: “Adalah Rasulullah ﷺ jika dia mengadakan perjalanan sebelum matahari tergelincir (meninggi), maka dia akan akhirkan shalat zhuhur pada waktu Ashar, lalu dia turun dan menjamak keduanya.” (HR. Al Bukhari No. 1111)

Jamak dalam perjalanan merupakan pendapat mayoritas ulama. Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

الجمع بين الصلاتين في السفر في وقت إحداهما جائز في قول أكثر أهل العلم لا فرق بين كونه نازلا أو سائرا

“Menjamak dua shalat dalam perjalanan, pada waktu salah satu dari dua shalat itu, adalah boleh menurut mayoritas para ulama, sama saja baik ketika dalam perjalanannya atau ketika turun (berhenti).” (Fiqhus Sunnah, 1/289)

Untuk Qashar, berdasarkan ayat berikut:

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ

“Apabila kamu bepergian di permukaan bumi, maka tidak ada salahnya bila kamu mengqshar shalat …” (QS. An Nisa’: 101)

Kebolehan qashar dalam safar adalah ijma’ (kesepakatan) semua ulama. Para ulama mengatakan:

أَجْمَعُ الْفُقَهَاءُ عَلَى مَشْرُوعِيَّةِ قَصْرِ الصَّلاَةِ فِي السَّفَرِ

Para fuqaha telah ijma’, disyariatkannya qashar dalam safar/bepergian. (Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, 1/527, Hasyiyah Ad Dasuqi, 1/360, Qalyubi wa ‘Amirah, 1/255, Kasysyaaf Al Qinaa’, 1/3)

2. Puasa, bisa diganti dihari lain

Bolehnya tidak berpuasa saat bepergian berdasarkan ayat berikut:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Maka barang siapa yang sakit atau bepergian di antara kamu maka hendaknya dia mengganti sejumlah hari yang ditinggalkannya dihari-hari lain. (QS. Al Baqarah: 184)
Wallahu A’lam

❔ Apa pengertian shalat jamak dan qashar?

Jamak (Al Jam’u) secara bahasa artinya menggabungkan, lawannya At Tafriiq (memisahkan). Ada pun menjamak shalat, dijelaskan sebagai berikut:

وَالْمُرَادُ بِجَمْعِ الصَّلَوَاتِ عِنْدَ الْفُقَهَاءِ : هُوَ أَدَاءُ الظُّهْرِ مَعَ الْعَصْرِ ، وَالْمَغْرِبِ مَعَ الْعِشَاءِ تَقْدِيمًا أَوْ تَأْخِيرًا

Maksud jamak menurut para fuqaha (ahli fiqih) adalah menunaikan zhuhur bersamaan ashar, dan menunaikan maghrib bersamaan isya, secara taqdim (diawal waktu) atau ta’khir (diakhir waktu). (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 15/284)

Qashar (Al Qashr) secara bahasa artinya memendekkan atau meringkas. Secara terminologis definisinya adalah:

الْقَصْرُ مَعْنَاهُ : أَنْ تَصِيرَ الصَّلاَةُ الرُّبَاعِيَّةُ رَكْعَتَيْنِ فِي السَّفَرِ ، سَوَاءٌ فِي حَالَةِ الْخَوْفِ ، أَوْ فِي حَالَةِ الأْمْنِ

Qashar maknanya; menjadikan shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat saat bepergian, sama saja baik itu dalam keadaan takut atau aman. (Ibid, 27/273)

❔ Apa perbedaan jamak dan qashar?

Perbedaan antara jamak dan qashar, selain pada definisinya, juga pada sebab-sebabnya.

Sebab terjadinya jamak adalah jika seseorang mengalami masyaqqat (berbagai kesulitan, kepayahan, kesempitan), dan ini bisa bermacam-macam. Di antaranya yang tersebut dalam beragam riwayat shahih dan dinyatakan para ulama adalah:

1. Safar, hal ini sudah kami jelaskan dalam pembahasan bagian pertama.

2. Sakit

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

الجمع بسبب المرض أو العذر: ذهب الامام أحمد والقاضي حسين والخطابي والمتولي من الشافعية إلى جواز الجمع تقديما وتأخيرا بعذر المرض لان المشقة فيه أشد من المطر. قال النووي: وهو قوي في الدليل

Menjamak Shalat lantaran sakit atau udzur, menurut Imam Ahmad, Al Qadhi Husein, Al Khathabi, dan Mutawalli dari golongan Syafi’iyyah, adalah boleh baik secara taqdim atau ta’khir, sebab kesulitan lantaran sakit adalah lebih berat dibanding hujan. Berkata Imam An Nawawi: “Dan Alasan hal itu kuat.” (Fiqhus Sunnah, 1/291)

3. Hujan

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

روى الاثرم في سننه عن أبي سلمة ابن عبد الرحمن أنه قال: من السنة إذا كان يوم مطير أن يجمع بين المغرب والعشاء. وروى البخاري أن النبي صلى الله عليه وسلم جمع بين المغرب والعشاء في ليلة مطيرة

“Al Atsram meriwayatkan dalam Sunan-nya, dari Abu Salamah bin Abdurrahman, bahwa dia berkata: “Termasuk sunah jika turun hujan menjamak antara Maghrib dan Isya’.” Bukhari telah meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjamak antara maghrib dan isya’ pada malam hujan.” (Ibid, 1/290)

4. Adanya kesibukan dan Keperluan yang sangat

Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:

وَذَهَبَ جَمَاعَةٌ مِنْ الْأَئِمَّة إِلَى جَوَاز الْجَمْع فِي الْحَضَر لِلْحَاجَةِ لِمَنْ لَا يَتَّخِذهُ عَادَة ، وَهُوَ قَوْل اِبْن سِيرِينَ وَأَشْهَب مِنْ أَصْحَاب مَالِك ، وَحَكَاهُ الْخَطَّابِيُّ عَنْ الْقَفَّال وَالشَّاشِيّ الْكَبِير مِنْ أَصْحَاب الشَّافِعِيّ عَنْ أَبِي إِسْحَاق الْمَرْوَزِيِّ عَنْ جَمَاعَة مِنْ أَصْحَاب الْحَدِيث ، وَاخْتَارَهُ اِبْن الْمُنْذِر وَيُؤَيِّدهُ ظَاهِر قَوْل اِبْن عَبَّاس : أَرَادَ أَلَّا يُحْرِج أُمَّته ، فَلَمْ يُعَلِّلهُ بِمَرَضٍ وَلَا غَيْره وَاللَّهُ أَعْلَم

“Sekelompok para imam, membolehkan jamak ketika tidak bepergian apabila ia memiliki keperluan, namun hal itu tidak dijadikan sebagai kebiasaan. Demikianlah pendapat dari Ibnu Sirin, Asyhab dari golongan Malikiyah. Al Khathabi menceritakan dari Al Qaffal dan Asy Syasyil kabir dari madzhab Syafi’i, dari Abu Ishaq Al Marwazi dan dari jamaah ahli hadits. Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnul Mundzir, yang didukung oleh zhahir ucapan Ibnu Abbas, bahwa yang dikehendaki dari jamak adalah ‘agar umatnya keluar dari kesulitan.’ Karena itu, tidak jelaskan alasan jamak, apakah karena sakit atau yang lainnya. Wallahu A’lam.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 5/219)

Hal ini berdasarkan riwayat berikut, dan inilah hadits yang yang dijadikan hujjah oleh Imam An Nawawi di atas.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ

Dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menjamak antara zhuhur dan ashar, maghrib dan isya di Madinah, pada hari saat tidak ketakutan dan tidak hujan.” (HR. Muslim No. 705)

5. Proses belajar mengajar

Ini berdasarkan riwayat Imam Muslim berikut:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ قَالَ خَطَبَنَا ابْنُ عَبَّاسٍ يَوْمًا بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى غَرَبَتْ الشَّمْسُ وَبَدَتْ النُّجُومُ وَجَعَلَ النَّاسُ يَقُولُونَ الصَّلَاةَ الصَّلَاةَ قَالَ فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ لَا يَفْتُرُ وَلَا يَنْثَنِي الصَّلَاةَ الصَّلَاةَ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ أَتُعَلِّمُنِي بِالسُّنَّةِ لَا أُمَّ لَكَ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ شَقِيقٍ فَحَاكَ فِي صَدْرِي مِنْ ذَلِكَ شَيْءٌ فَأَتَيْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ فَسَأَلْتُهُ فَصَدَّقَ مَقَالَتَهُ

Dari Abdullah bin Syaqiq, dia berkata: Ibnu Abbas berkhutbah kepada kami, pada hari setelah ‘Ashar sampai matahari terbenam, hingga nampak bintang-bintang, sehingga manusia berteriak: “Shalat .. shalat ..!” Lalu datang laki-laki dari Bani Tamim yang tidak hentinya berteriak: shalat.. shalat!. Maka Ibnu Abbas berkata: “Apa-apaan kamu, apakah kamu hendak mengajari saya sunah?”, lalu dia berkata: “Saya telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam menjamak antara zhuhur dan ashar, serta maghrib dan isya.” Berkata Abdullah bin Syaqiq: “Masih terngiang dalam dada saya hal itu, maka aku datang kepada Abu Hurairah, aku tanyakan dia tentang hal itu, dia membenarkan keterangan Ibnu ‘Abbas tersebut.” (HR. Muslim No. 705)

Dan masyaqqat lainnya, seperti pekerjaan yang sulit ditinggalkan; penjaga pintu kereta, dokter saat membedah pasien, pekerja tambang saat masuk ke bawah bumi, dan semisalnya.

Ada pun qashar, sebabnya adalah safar saja, sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut:

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ

“Apabila kamu bepergian di permukaan bumi, maka tidak ada salahnya bila kamu mengqshar shalat …” (QS. An Nisa’: 101)

Dilakukannya qashar adalah ketika sudah berangkat dan sudah keluar dari daerahnya, dengan jarak yang sudah pantas untuk melakukannya, sebagaimana pendapat mayoritas ulama.

❔ Perjalanan sejauh apa agar diperbolehkan menjamak atau mengqashar shalat?

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

وقد نقل ابن المنذر وغيره في هذه المسألة أكثر من عشرين قولا

Imam Ibnul Mundizr dan lainnya telah menukilkan bahwa ada dua puluh lebih pendapat tentang masalah ini (jarak dibolehkannya qashar). (Fiqhus Sunnah, 1/284)

Perbedaan ini terjadi karena memang tak ada satupun hadits dari Rasulullah ﷺ yang menyebutkan jarak secara jelas dan tegas. Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah, “Tidak ada sebuah hadits pun yang menyebutkan jarak jauh atau dekatnya bepergian itu.” (Fiqhus Sunnah, 1/239)

Namun, di antara hadits-hadits tersebut ada yang paling kuat -di antara yang lemah- yang menyebutkan jarak, yakni:

Yahya bin Yazid bertanya kepada Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu mengenai mengqashar shalat. Ia menjawab:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا خرج مسيرة ثلاثة أميال أو ثلاثة فراسخ شعبة الشاك صلى ركعتين

”Rasulullah mengerjakan shalat dua rakaat (qashar) jika sudah berjalan sejauh tiga mil atau satu farsakh.” (HR. Muslim No. 691)

Imam An Nawawi dan Imam Ibnu Hajar Rahimahumallah mengatakan inilah hadits paling shahih dalam masalah ini. (Fiqhus Sunnah, 1/284). Satu farsakh adalah 5.541 Meter, satu mil adalah 1.748 meter.

Bahkan Imam Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad yang shahih, dari Ibnu Umar yang menyebutkan bahwa jarak minimal mengqashar shalat adalah satu mil! Jika kurang dari itu maka tidak boleh qashar. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Hazm.

Namun, jumhur (mayoritas) ulama mengatakan bahwa jarak dibolehkannya qashar adalah empat burd yakni 16 farsakh (88,656 Km). Inilah pandangan Imam Malik, Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal, dan pengikut ketiga imam ini. Alasannya adalah perbuatan sahabat, yakni Ibnu Umar dan Ibnu Abbas mengqashar shalat dan berbuka puasa jika jarak tempuh sudah empat burd (16 farsakh = 88,656 Km), dan ini adalah pendapat yang paling aman untuk diikuti.

Nah, bagaimanakah melihat berbagai riwayat yang saling bertentangan ini? Imam Abul Qasim Al Kharqi memberikan jawaban di dalam kitab Al Mughni, “Aku tidak menemukan alasan (yang bisa diterima) yang dikemukan oleh para imam itu. Sebab, keterangan dari para sahabat Nabi juga saling bertentangan sehingga tidak dapat dijadikan dalil. Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas bahwa mereka berbeda dengan dalil yang digunakan oleh kawan-kawan kami (para ulama). Kemudian, seandainya belum ditemukan dalil yang kuat, maka ucapan mereka (para sahabat) tidak bisa dijadikan dalil jika bertentangan dengan sabda dan perilaku Rasulullah ﷺ. Dengan demikian ukuran jarak yang mereka tetapkan tidaklah bisa diterima, disebabkan dua hal berikut:

Pertama, bertentangan dengan sunah Nabi ﷺ sebagaimana yang telah dijelaskan. Kedua, teks ayat firman Allah ﷻ yang membolehkan qashar shalat bagi orang yang dalam perjalanan: “Apabila kamu bepergian di permukaan bumi, maka tidak ada salahnya bila kamu mengqshar shalat …” (QS. An Nisa’: 101)

Syarat karena adanya rasa takut dengan orang kafir ketika bepergian, sudah dihapuskan dengan keterangan hadits Ya’la bin Umayyah. Dengan demikian, teks ayat ini bermakna mencakupi seluruh macam jenis bepergian.” (Fiqhus Sunnah, 1/240)

Kesimpulannya, qashar dapat dilakukan jika:

1. Sudah keluar dari daerahnya,

2. Lalu dengan jarak yang sudah layak, patut, dan pantas disebut sebagai perjalanan (safar). Mayoritas ulama mengatakan 88 Km lebih. Sementara Muhaqqiqin (peneliti) seperti Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Asy Syaukani, Asy Syaikh Sayyid Sabiq, dan lainnya, menganggap jaraknya dikembalikan pada kepatutan apakah sudah patut disebut safar atau tidak menurut tradisi yang ada.

3. Perjalanannya bukan perjalanan maksiat.

❔ Apakah boleh menjamak/qashar shalat dengan alasan macet lalu lintas?

Jika memang macetnya luar biasa dan melahirkan kesulitan baginya untuk shalat secara normal, sulit baginya untuk berhenti, sulit mendapatkan masjid, maka ini masyaqqah (kesulitan) yang membuat dirinya mendapatkan rukhshah (keringanan).
Hal ini sesuai beberapa kaidah fiqih:

الْمَشَقَّةُ تَجْلُبُ التَّيْسِيرَ

Kesulitan membawa pada kemudahan. (Imam Ibnu Nujaim, Al Asybah wan Nazhair, Hal. 75. 1400H-1980M. Darul Kutub Al ‘ilmiyah)

Atau seperti yang dikatakan Imam Tajuddin As Subki Rahimahullah:

المشقة نجلب التيسير وإن شئت قلت : إذا ضاق الأمر اتسع

Kesulitan membawa pada kemudahan, dan jika anda mau, anda bisa katakan: jika keadaan sempit maka membawa kelapangan. (Imam Tajuddin As Subki, Al Asybah wan Nazhair, 1/61. Cet. 1, 1411H-1991M. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Kaidah-kaidah ini berdasarkan firman Allah ﷻ :

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqarah: 185)

Ayat lainnya:

يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا

“Allah memberikan keringanan kepadamu dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. An Nisa’: 28)

Ada pun dalam hadits, dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا، وَبَشِّرُوا، وَلاَ تُنَفِّرُوا

Permudahlah dan jangan persulit, berikanlah kabar gembira dan jangan membuat mereka lari. (HR. Al Bukhari No. 69, Muslim No. 1732)

Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha:

مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا، مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا، فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْه

“Sesungguhnya Rasulullah jika dihadapkan dua perkara, dia akan memilih yang lebih ringan, selama tidak berdosa, jika ternyata mengandung dosa maka dia adalah orang yang paling jauh darinya.” (HR. Al Bukhari 3560, 6126, 6786, Muslim No. 2327)

Jika kemacetannya terjadi di dalam kota, sebagaimana kemacetan sehari-hari, maka baginya hanya jamak tanpa qashar. Namun, hendaknya dia tidak menjadikan ini sebagai kebiasaan, hendaknya dia mensiasatinya dengan menunda pulangnya sampai dia bisa melakukan shalat secara normal. Lalu, jika kemacetannya saat ke luar kota, maka dia boleh qashar juga jika syarat safarnya sudah terpenuhi sebagaimana pembahasan lalu.

❔ Mana yang lebih utama apakah mengambil rukhshah seperti jamak dan qashar ataukah shalat seperti biasa?

Jika memang telah terpenuhi syarat-syaratnya, maka jumhur ulama menganjurkan dan mengutamakan mengambil keringanan tersebut. Hal ini berdasarkan keterangan berikut:

Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha:

مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا، مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا، فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْه

“Sesungguhnya Rasulullah ﷺ jika dihadapkan dua perkara, dia akan memilih yang lebih ringan, selama tidak berdosa, jika ternyata mengandung dosa maka dia adalah orang yang paling jauh darinya.” (HR. Al Bukhari 3560, 6126, 6786, Muslim No. 2327)

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menyebutkan bahwa ketika bepergian Rasulullah ﷺ selalu qashar, tidak ada keterangan yang kuat yang menyebutkan bahwa Beliau shalat empat rakaat jika bepergian. Karena itu, tidak sedikit para sahabat Nabi ﷺ yang menyatakan bahwa qashar hukumnya wajib. Mereka yang berpendapat wajib adalah Umar bin Khathab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, dan Jabir bin Abdullah. Kalangan madzhab Hanafi menguatkan pendapat ini.

Adapun kalangan Maliki mengatakan bahwa qashar adalah sunnah mu’akkadah (sangat dianjurkan), bahkan menurut mereka lebih utama dibanding shalat berjamaah. Makruh hukumnya shalat secara sempura empat rakaat. Sedangkan kalangan Hambali mengatakan qashar itu mubah (boleh) tetapi lebih utama dibanding shalat sempurna. Demikian juga pendapat kalangan Syafi’i. Ini semua juga memang sudah sampai syarat mengqashar bagi musafir. (Fiqhus Sunnah, 1/283-284)

❔ Bolehkah Shalat di Kendaraan?

Jika memang tidak mungkin untuk turun atau singgah, maka boleh shalat di kendaraan. Hal ini juga pernah dilakukan oleh Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya.

عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: أَرْسَلَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُنْطَلِقٌ إِلَى بَنِي الْمُصْطَلِقِ، فَأَتَيْتُهُ وَهُوَ يُصَلِّي عَلَى بَعِيرِهِ ، فَكَلَّمْتُهُ،فَقَالَ بِيَدِهِ هَكَذَا، ثُمَّ كَلَّمْتُهُ، فَقَالَ بِيَدِهِ هَكَذَا، وَأَنَا أَسْمَعُهُ يَقْرَأُ، وَيُومِئُ بِرَأْسِهِ، فَلَمَّا فَرَغَ قَالَ: ” مَا فَعَلْتَ فِي الَّذِي أَرْسَلْتُكَ، فَإِنَّهُلَمْ يَمْنَعْنِي إِلَّا أَنِّي كُنْتُ أُصَلِّي

Dari Jabir bin Abdullah katanya: “Saya diperintahkan nabi untuk datang, saat itu beliau hendak pergi ke Bani Musthaliq. Ketika saya datang beliau sedang shalat di atas kendaraannya. Saya pun berbicara kepadanya dan beliau memberi isyarat dengan tangannya seperti ini. Saya berbicara lagi dan beliau memberi isyarat dengan tangannya, sedangkan bacaan shalat beliau terdengar oleh saya sambil beliau menganggukkan kepala. Setelah beliau selesai shalat beliau bertanya: “Bagaimana tugasmu yang padanya kamu saya utus? Sebenarnya tak ada halangan bagi saya menjawab ucapanmu itu, hanya saja saya sedang shalat.” (HR. Muslim No. 540)

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

تصح الصلاة في السفينة والقاطرة والطائرة بدون كراهية حسبما تيسر للمصلي. فعن ابن عمر قال: سئل النبي صلى الله عليه وسلم عن الصلاة في السفينة؟ قال: (صل فيها قائما إلا أن تخاف الغرق) رواه الدار قطني والحاكم على شرط الشيخين، وعن عبد الله بن أبي عتبة قال: صحبت جابر بن عبد الله وأبا سعيد الخدري وأبا هريرة في سفينة فصلوا قياما في جماعة، أمهم بعضهم وهم يقدرون على الجد، رواه سعيد بن منصور

“Shalat di kapal laut, kereta, dan pesawat, adalah sah tanpa dimakruhkan sama sekali, jika memang itu yang mungkin dilakukan. Diriwayatkan dari Ibnu Umar, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya tentang shalat di kapal laut. Dia menjawab: “Shalatlah di dalamnya dengan berdiri, kecuali jika engkau takut tenggelam.” Diriwayatkan oleh Ad Daruquthni dan Al Hakim sesuai syarat Bukhari-Muslim.

Dan dari Abdullah bin Abi Utbah, dia berkata: “Aku pernah menemani Jabir bin Abdullah, Abu Said al Khudri, dan Abu Hurairah di dalam apal laut. Mereka shalat sambil berdiri secara berjamaah dengan diimamai salah seorang dari mereka, padahal mereka masih ada peluang shalat dipantai.” (HR. Said bin Manshur).” (Fiqhus Sunnah, 1/292)

Kebolehan shalat di kendaraan ini dipertegas lagi oleh perbuatan para salaf, baik kalangan sahabat dan murid-murid mereka, baik duduk atau berdiri, seperti yang dibuktikan dalam berbagai riwayat-nya Imam Ibnu Abi Syaibah sebagai berikut:

عن مجاهد قال كنا نغزو مع جنادة بن أبي أميه البحر فكنا نصلي في السفينة قعودا

Dari Mujahid, dia berkata: “Kami perang bersama Junadah bin Abu Umayyah di lautan, maka kami shalat di kapal laut sambil duduk.”

أن ابن سيرين قال خرجت مع أنس إلى بني سيرين في سفينة عظيمة قال فأمنا فصلى بنا فيها جلوسا ركعتين ثم صلى بنا ركعتين أخراوين

Bahwa Ibnu Sirin berkata: “Aku keluar bersama Anas menuju Bani Sirin dengan kapal besar, dia mengimami kami dan shalat dengan kami di dalamnya dengan cara duduk dua rakaat, kemudian shalat lagi dua raka’at lainnya.”

عن أبي قلابة أنه كان لا يرى بأسا بالصلاة في اسفينة جابسا. حدثنا وكيع عن أبي خزيمة وطاوس قال صل قاعدا

Dari Abu Qilabah bahwa dia memandang tidak masalah shalat di kapal sambil duduk. Telah bercerita kepada kami Waki’, dari Abu Khuzaimah dan Thawus, dia berkata: Shalatlah dengan cara duduk!

عن ابن سيرين أنه قال في الصلاة في السفينة إن شئت قائما وأن شئت قاعدا والقيام أفضل

Dari Ibnu Sirin, bahwa dia berkata tentang shalat di kapal laut: “Jika kau mau duduklah, namun berdiri lebih utama.” (Lihat semua dalam Al Mushannaf Ibni Abi Syaibah, 2/266-267)

❔ Shalat Di kendaraan tapi duduk bersebelahan dengan lawan jenis

Bagaimanapun juga usahakan untuk menghindari hal tersebut. Agar tidak terjadi ikhtilat dan sentuhan dengan lawan jenis. Kalau masih bisa dijamak ta’khir ditempat tujuan maka pilihlah jamak ta’kh

ir, sebagaimana yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lakukan saat safarnya. Kalau pun sangat-sangat sulit karena mungkin perjalanan memakan waktu belasan bahkan puluhan jam, sementara kita pun tidak bisa turun, tidak bisa menghindar, maka silahkan shalat tapi usahakan jangan sampai bersentuhan sama sekali dengannya.

Keadaan sangat sulit tersebut, kaidahnya:

الْمَشَقَّةُ تَجْلُبُ التَّيْسِيرَ

Kesulitan membawa pada kemudahan. (Imam Ibnu Nujaim, Al Asybah wan Nazhair, Hal. 75. 1400H-1980M. Darul Kutub Al ‘ilmiyah)

❔ Bolehkah berwudhu dengan air mineral?

Air mineral kemasan adalah air yang berasal dari pegunungan atau telaga, yang didestilasi (penyulingan), juga disaring sampai berkali-kali, atau air yang dipanaskan, dan diperuntukkan sebagai minuman. Tapi, air ini bukanlah sirup bukan pula kuah. Dia tetap air alam yang suci dan mensucikan. Tidak masalah berwudhu dengannya.

Imam Asy Syafi’i Rahimahullah berkata:

ولا أكره الماء المشمس إلا أن يكره من جهة الطب

Aku tidak memakruhkan air musyammas (air hangat karena terik matahari), melainkan makruhnya itu dari sisi kedokteran saja. (Ma’rifatus Sunan, 23/507)

Imam Ali Al Qari Rahimahullah menjelaskan:

واعلم أن استعمال الماء المشمس مكروه على الأصح من مذهب الشافعي والمختار عند متأخري أصحابه عدم كراهيته وهو مذهب الأئمة الثلاثة والماء المسخن غير مكروه بالإتفاق

Ketahuilah, bahwa menggunakan air masyammas itu makruh menurut yang shahih dari madzhab Syafi’i, namun yang dipilih oleh Syafi’iyah generasi belakangan adalah tidak makruh, dan itulah pendapat para imam yang tiga (Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad). Ada pun air rebusan TIDAKLAH MAKRUH menurut kesepakatan ulama. (Mirqah Al Mafatih, 2/422)

❔ Jika tidak ada air bolehkah bertayammum di debu yang ada di jok atau dinding mobil?

Jika memang sudah tidak ada air atau sedikit air dan tidak mencukupi, maka boleh baginya bertayammum. Syaikh ‘Adil Al ‘Azaziy Atsabahullah berkata:

إذا لم يجد الماء: سواء كان مُقِيماً أو مسافرًا، وسواء كان مُحدِثًا حدثًاً أصغر أو حدثًاً أكبر

(Boleh tayammum) jika tidak ditemukan air, sama saja baik dia mukim atau musafir, baik dia berhadats dengan hadats kecil atau besar. (Syaikh ‘Adil Al ‘Azaziy, Mulakhash Ahkam At Tayammum wal Mashi ‘Alal Jabirah)

Dengan apa bertayammum? Yaitu dengan shaa’id, sebagaimana ayat:

فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

Lalu kalian tidak mendapatkan air maka bertayammumlah dengan shaa’id yang baik (suci). (QS. An Nisa: 43)

Shaa’id sering diartikan debu saja oleh sebagian ulama, tapi ulama lain mengatakan seluruh yang terdapat di permukaan bumi adalah shaa’id, baik debu, tanah, batu, pasir, kapur, dan tanah yang basah.

Syaikh Abu Bakar bin Jabir Al Jazairi Rahimahullah berkata tentang tata cara tayammum:

…ثم يضرب بكفيه وجه الارض من تراب او رمل او حجارة او سبخة و نحوها …

“ … kemudian meletakkan tangan di atas permukaan tanah, atau pasir, atau batu, atau tanah berair, atau lain-lainnya… (Minhajul Muslim, Hal. 142)

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

يجوز التيمم بالتراب الطاهر وكل ما كان من جنس الارض، كالرمل والحجر والرجص. لقول الله تعالى: (فتيمموا صعيدا طيبا) وقد أجمع أهل اللغة، على أن الصعيد وجه الارض، ترابا كان أو غيره

Dibolehkan bertayammum dengan debu yang suci dan semua yang mencakup bagian dari bumi seperti pasir, dan bebatuan, berdasarkan firman Allah ﷻ : (maka bertayammumlah dengan shaa’id yang suci). Para ahli bahasa telah ijma’ (sepakat) bahwa Shaa’id adalah semua permukaan bumi baik itu debu atau selainnya. (Fiqhus Sunnah, 1/79)

Sifat dari debu adalah berterbangan dan menempel pada semua benda. Dia ada di tanah, dinding, kursi, dan sebagainya. Maka, selama dinding, jok, dan semisalnya, terdapat debu yang berasal dari permukaan bumi, tidak apa-apa bertayammum di situ. Tapi, jika dinding dan kursi itu bersih dari debu tentu tidak boleh.
Wallahu A’lam

❔ Mana yang lebih utama, tetap berpuasa atau berbuka ketika dalam safar?

Dalam masalah ini, mengambil rukhshah pada dasarnya adalah baik, dan tidak mengambilnya tidak apa-apa. Dengan kata lain jika dia memilih tidak berpuasa maka itu lebih baik sebagaimana perkataan Nabi ﷺ sendiri, sebagaimana riwayat berikut:

Dari Hamzah bin Amru Al Aslami Radhiallahu Anhu, katanya:

يا رسول الله: أجد بي قوة على الصيام في السفر. فهل علي جناح ؟، فقال رسول الله صلى عليه وسلم: “هي رخصة من اللهّ فمن أخذ بها فحسن. ومن أحب أن يصوم فلا جناح عليه “

“Wahai Rasulullah, saya punya kekuatan untuk berpuasa dalam safar, apakah salah saya melakukannya? Maka Rasulullah ﷺ menjawab: Itu adalah rukhshah dari Allah, barang siapa yang mau mengambilnya (yakni tidak puasa) maka itu baik, dan barang siapa yang mau berpuasa maka tidak ada salahnya. (HR. Muslim No. 1121)

Dalam hadits ini, Nabi ﷺ menyebut baik bagi yang tidak berpuasa, ada pun bagi yang berpuasa Beliau hanya mengatakan tidak ada salahnya, tidak apa-apa, tidak ada halangan. Tentu kata “baik” dan “tidak ada salahnya”, lebih bagus baik. Ini pada dasarnya, khususnya bagi yang merasa punya kekuatan, masih diberikan izin tidak mengambil rukhshah walau mengambil rukhshah adalah lebih baik.

Namun, masalah ini kenyataannya tidak sederhana. Syariat sangat memperhatikan kondisi masing-masing orang yang tidak sama. Tidak semua musafir punya kekuatan seperti laki-laki di atas (Hamzah bin Amru Al Aslami) . Maka, bagi yang kepayahan dalam safarnya, mengambil rukhshah jauh lebih baik baginya.

Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أن رسول اللّ صلى اللّ عليه وسلم خرج إلى مكة عام الفتح في رمضان فصام حتى بلغ كراع الغميم فصام الناس معه فقيل له يا رسول اللّ إن الناس قد شق عليهم الصيام فدعا بقدح من ماء بعد العصر فشرب والناس ينظرون فأفطر بعض الناس وصام بعض فبلغه أن ناسا صاموا فقال أولئك العصاة

“Bahwa Rasulullah ﷺ keluar pada tahun Fath (penaklukan) menuju Mekkah pada saat Ramadhan. Dia berpuasa hingga sampai pinggiran daerah Ghanim. Manusia juga berpuasa bersamanya. Dikatakan kepadanya: Wahai Rasulullah, nampaknya manusia kepayahan berpuasa. Kemudian Beliau meminta segelas air setelah asar, lalu beliau minum, dan manusia melihatnya. Maka sebagian manusia berbuka, dan sebagian lain tetap berpuasa. Lalu, disampaikan kepadanya bahwa ada orang yang masih puasa. Maka Beliau bersabda: “Mereka durhaka.” (HR. Muslim No. 1114. An Nasa’i No. 2263. At Tirmidzi No. 710)

Bahkan Nabi ﷺ pernah mengkritik orang yang berpuasa dalam keadaan safar dan orang itu kesusahan karenanya.

كان رسول اللّ صلى اللّ عليه وسلم في سفره. فرأى رجلا قد اجتمع الناس عليه. وقد ضلل عليه. فقال: “ماله ؟” قالوا:رجل صائم. فقال رسول اللّ عليه وسلم: “ليس من البر أن تصوموا في السفر “

“Rasulullah ﷺ tengah dalam perjalanannya. Dia melihat seseorang yang dikerubungi oleh manusia. Dia nampak kehausan dan kepanasan. Rasulullah ﷺ bertanya: “Kenapa dia?” Meeka menjawab: “Seseorang yang puasa.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada kebaikan kalian berpuasa dalam keadaan safar.” (HR. Muslim No. 1115)

Jika diperhatikan berbagai dalil ini, maka dianjurkan tidak berpuasa ketika dalam safar, apalagi perjalanan diperkirakan melelahkan. Oleh karena itu, para imam hadits mengumpulkan hadits-hadits ini dalam bab tentang anjuran berbuka ketika safar atau dimakruhkannya puasa ketika safar. Contoh: Imam At Tirmidzi membuat Bab Maa Jaa fi Karahiyati Ash Shaum fi As Safar (Bab Tentang makruhnya puasa dalam perjalanan), bahkan Imam Ibnu Khuzaimah menuliskan dalam Shahihnya:

باب ذكر خبر روي عن النبي صلى اللّ عليه وسلم في تسمية الصوم في السفر عصاة من غير ذكر العلة التي أسماهم
بهذا الاسم توهم بعض العلماء أن الصوم في السفر غير جائز لهذا الخبر

“Bab tentang khabar dari Nabi ﷺ tentang penamaan berpuasa saat safar adalah DURHAKA tanpa menyebut alasan penamaan mereka dengan nama ini. Sebagian ulama menyangka bahwa berpuasa ketika safar adalah TIDAK BOLEH karena hadits ini.”

Tetapi, jika orang tersebut kuat dan mampu berpuasa, maka boleh saja dia berpuasa sebab berbagai riwayat menyeb

utkan hal itu, seperti riwayat Hamzah bin Amru Al Aslami Radhiallahu Anhu di atas.

Ini juga dikuatkan oleh riwayat lainnya, dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma, katanya:

لا تعب على من صام ولا من أفطر. قد صام رسول اللّ صلى اللّ عليه وسلم، في السفر، وأفطر

“Tidak ada kesulitan bagi orang yang berpuasa, dan tidak ada kesulitan bagi yang berbuka. Rasulullah ﷺ telah berpuasa dalam safar dan juga pernah berbuka.” (HR. Muslim No. 1113)

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma juga:

سافر رسول اللّ صلى اللّ عليه وسلم في رمضان. فصام حتى بلغ عسفان. ثم دعا بإنء فيه شراب. فشربه نهارا. ليراه
الناس. ثم أفطر. حتى دخل مكة . قال ابن عباس رضي اللّ عنهما: فصام رسول اللّ صلى اللّ عليه وسلم وأفطر. فمن شاء صام، ومن شاء أفطر

“Rasulullah ﷺ mengadakan perjalanan pada Ramadhan, dia berpuasa singga sampai ‘Asfan. Kemudian dia meminta sewadah air dan meminumnya siang-siang. Manusia melihatnya, lalu dia berbuka hingga masuk Mekkah. Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma berkata: Maka Rasulullah ﷺ berpuasa dan berbuka. Barang siapa yang mau maka dia puasa, dan bagi yang mau buka maka dia berbuka. (Ibid)

Dengan mentawfiq (memadukan) berbagai riwayat yang ada ini, bisa disimpulkan bahwa anjuran dasar bagi orang yang safar adalah berbuka. Namun, bagi yang kuat dan sanggup untuk berpuasa maka boleh saja berbuka atau tidak berpuasa sejak awalnya. Namun bagi yang sulit dan lelah, maka lebih baik dia berbuka saja. Wallahu A’lam

Maka, dalam konteks ‘boleh buka dan boleh puasa’ bagi yang sanggup, lalu manakah yang lebih utama?

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah meringkas sebagai berikut:

فرأى أبو حنيفة، والشافعي، ومالك: أن الصيام أفضل، لمن قوي عليه، والفطر أفضل لمن لا يقوى على الصيام .وقال أحمد: الفطر أفضل .وقال عمر بن عبد العزيز: أفضلهما أيسرهما، فمن يسهل عليه حينئذ، ويشق عليه قضاؤه بعد ذلك، فالصوم في حقه أفضل .وحقق الشوكاني، فرأى أن من كان يشق عليه الصوم، ويضره، وكذلك من كان معرضا عن قبول الرخصة، فالفطر أفضل وكذلك من خاف على نفسه العجب أو الرياء – إذا صام في السفر – فالفطر في حقه أفضل .وما كان من الصيام خاليا عن هذه الامور، فهو أفضل من الافطار

“Menurut Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, puasa adalah lebih utama bagi yang kuat menjalankannya, dan berbuka lebih utama bagi yang tidak kuat. Ahmad mengatakan: berbuka lebih utama. Sedangkan Umar bin Abdul Aziz berkata: Yang paling utama dari keduanya adalah yang paling mudah. Barangsiapa yang lebih mudah puasa saat itu, dan mengqadha setelahnya justru berat, maka berpuasa baginya adalah lebih utama.”

Imam Asy Syaukani melakukan penelitian, dia berpendapat bahwa bagi yang berat berpuasa dan membahayakannya, dan juga orang yang tidak mau menerima rukhshah, maka berbuka lebih utama. Demikian juga bagi orang yang khawatir pada dirinya ada ujub dan riya jika puasa dalam perjalanan- maka berbuka lebih utama. Ada pun jika puasanya sama sekali bersih dari perkara ini semua, maka puasa lebih utama. (Fiqhus Sunnah, 1/443. Nailul Authar, 4/225)

Demikian. Wallahu A’lam

☘🌸🌺🌴🌻🍃🌷🌾

✍ Farid Nu’man Hasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top