Bid’ahkah Membuat Susunan Dzikir Sendiri?

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Dalam masalah ini, sebagaimana masalah doa, lebih afdhal adalah dzikir-dzikir yang ma’tsur, yaitu dzikir yang memiliki sandaran dalam Al Quran dan As Sunnah.

Namun, demikian tidak mengapa menyusun dzikir baik berupa pujian-pujian, pengagungan, syukur kepada Allah ﷻ, dan semisalnya, selama tidak bertentangan dengan dzikir yang ma’tsur. Demikianlah yang dikatakan para ulama, dan itu bukan bid’ah, sebagaimana penjelasan nanti.

📌 Dari Rifa’ah bin Raafi’, dia berkata;

صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَطَسْتُ فَقُلْتُ الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ مُبَارَكًا عَلَيْهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْصَرَفَ فَقَالَ مَنْ الْمُتَكَلِّمُ فِي الصَّلَاةِ فَلَمْ يَتَكَلَّمْ أَحَدٌ ثُمَّ قَالَهَا الثَّانِيَةَ مَنْ الْمُتَكَلِّمُ فِي الصَّلَاةِ فَلَمْ يَتَكَلَّمْ أَحَدٌ ثُمَّ قَالَهَا الثَّالِثَةَ مَنْ الْمُتَكَلِّمُ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ رِفَاعَةُ بْنُ رَافِعٍ ابْنُ عَفْرَاءَ أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ كَيْفَ قُلْتَ قَالَ قُلْتُ الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ مُبَارَكًا عَلَيْهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ ابْتَدَرَهَا بِضْعَةٌ وَثَلَاثُونَ مَلَكًا أَيُّهُمْ يَصْعَدُ بِهَا

“Aku shalat dibelakang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu aku bersin, dan aku berkata: Alhamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi mubarakan ‘alaih kama yuhibbu rabbuna wa yardha (segala puji bagi Allah, dengan pujian yang banyak lagi baik dan keberkahan di dalamnya, dan keberkahan atasnya, sebagaimana yang disukai Tuhan kami dan diridhaiNya). Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selesai shalat, dia bertanya: “Siapa yang mengatakan tadi dalam shalat?”. Tidak ada satu pun yang menjawab. Beliau bertanya lagi kedua kalinya: “Siapa yang mengatakan tadi dalam shalat?”. Tidak ada satu pun yang menjawab. Beliau bertanya lagi ketiga kalinya: “siapa yang yang mengatakan tadi dalam shalat?” maka, berkatalah Rifa’ah bin Rafi’ bin ‘Afra: “Saya wahai Rasulullah!” Beliau bersabda: “Bagaimana engkau mengucapkannya?” dia menjawab: “Aku mengucapkan: ” Alhamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi mubarakan ‘alaih kama yuhibbu rabbuna wa yardha.” Maka, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya, sebanyak tiga puluh Malaikat saling merebutkan siapa di antara mereka yang membawanya naik (kelangit).”

(HR. At Tirmidzi No. 402, katanya: hasan. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Misykah Al Mashabih No. 992)

Kita lihat dalam kisah ini, Rifa’ah bin Raafi’ Radhiallahu ‘Anhu, mengucapkan dzikirnya sendiri, yang tidak pernah diajarkan dan dicontohkan oleh Nabi ﷺ dan Nabi ﷺ menyetujuinya, bahkan memujinya. Ini istilahnya sunah taqririyah. Persetujuannya ini menunjukkan, tidak mengapa perbuatan ini, bahkan walau terjadinya dalam shalat.

Oleh karena itu Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:

واستدل به على جواز إحداث ذكر في الصلاة غير ماثور إذا كان غير مخالف للمأثور وعلى جواز رفع الصوت بالذكر ما لم يشوش على من معه

Hadits ini merupakan dalil kebolehan menciptakan dzikir yang tidak ma’tsur di dalam shalat jika tidak bertentangan dengan dzikir yang ma’tsur, dan menunjukkan kebolehan meninggikan suara dalam dzikir selama tidak mengganggu orang-orang yang bersamanya. (Fathul Bari, 2/287)

Imam Ibnu ‘Abdil Bar Rahimahullah menjelaskan:

في مدح رسول الله صلى الله عليه وسلم لفعل هذا الرجل وتعريفه الناس بفضل كلامه وفضل ما صنع من رفع صوته بذلك الذكر أوضح الدلائل على جواز ذلك

Pujian Rasulullah ﷺ terhadap apa yang dilakukan laki-laki tersebut dan manusia mengetahui keutamaan perkataannya dan keutamaan apa yang dilakukannya berupa meninggikan suara dzikirnya, telah menjadi petunjuk bahwa hal itu memang boleh. (At Tamhid, 16/198)

Kemudian …..

Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah, ditanya tentang bacaan dzikir yang disusun oleh manusia yang berbunyi: “Alhamdulillahi Wa

hdah Wasy Syukru Lahu Wahdah”, bolehkah ini?

Beliau menjawab:

فإنه لا مانع في هذا النوع من الثناء، لأن صيغ الثناء على الله تعالى لا يشترط أن تكون مأثورة، بدليل ما في الصحيحين وغيرهما عن أنس رضي الله عنه أن رجلاً جاء فدخل الصف وقد حفزه النفس، فقال: الحمد لله حمدًا كثيرًا طيبًا مباركًا فيه. فلما قضى رسول الله صلى الله عليه وسلم صلاته قال: أيكم المتكلم بالكلمات؟… إلى أن قال: لقد رأيت اثني عشر ملكًا يبتدرونها أيهم يرفعها

Sesungguhnya tidak terlarang pujian semacam ini, karena bentuk kata pujian kepada Allah ﷻ tidaklah disyaratkan mesti yang ma’tsur, berdasarkan hadits Shahihain dan selain mereka berdua, dari Anas Radhiallahu ‘Anhu, bahwa ada seorang laki-laki yang datang dan masuk ke shaf shalat dan dia telah mengilhami dirinya dengan membaca: “Alhamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubaarakan fiih …..”, setelah Rasulullah ﷺ usai dari shalatnya, Belau bertanya: “Siapa di antara kalian yang mengucapkan kalimat tadi?” … sampai perkataannya: “Aku telah melihat 12 malaikat berebut siapa di antara mereka yang pantas mengangkat bacaan itu (ke langit).”

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah No. 34622)

📌 Dzikir Muthlaq dan Dzikir Mu’allaq

Dzikir mutlaq, yaitu dzikir yang tidak terikat oleh momen dan peristiwa tertentu. Dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, disebutkan bahwa jenis dzikir ini telah menjadi kesepakatan pendapat para ulama tentang kebolehan dengan dzikir-dzikir, atau pujian-pujian yang ghairu ma’tsur, walau dzikir-dzikir tersebut tidak pernah diajarkan Nabi ﷺ. Sebab para sahabat nabi sendiri melakukan itu, dan itu semua tidak berasal dari nabi ﷺ dan merupakan buatan mereka semata. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 21/38)

Imam Ibnu ‘Allan Rahimahullah mengatakan:

لأن ما ورد عن الصحابي مما للرأي فيه مدخل لا يكون له حكم المرفوع . فيكون ما ورد من أذكار الصحابة رضي الله عنهم مضموما إلى ما نقل من الأذكار عن غيرهم في كونه من غير المأثور ، وإن كان فيما نقل عنهم الكثير الطيب مما يحسن تعلمه واستعماله

Sebab, apa-apa yang datang dari seorang sahabat nabi yang berupa cakupan pendapat, maka itu tidaklah dihukumi sebagai riwayat marfu’ (dari nabi). Maka, dzikir-dzikir yang berasal dari sahabat Radhiallahu ‘Anhum termasuk juga sebagaimana nukilan dzikir-dzikir yang berasal dari selain mereka, adalah termasuk ghairu ma’tsur. Seandainya riwayat yang diambil dari mereka itu banyak dan baik maka bagus untuk dipelajari dan diamalkan. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 21/237-238)

Ada pun dzikir Mu’allaq, yaitu dzikir yang tergantung munasabat (koneksi) tertentu, maka dalam hal ini ada beberapa perincian, sebagaimana tertera dalam Al Mausu’ah berikut ini:

Jika itu termasuk dzikir-dzikir yang rukun atau wajib, maka itu TIDAK BOLEH diganti, seperti kalimat-kalimat adzan, dan dzikir dalam shalat, seperti bacaan Al Fatihah, takbiratul ihram, dan tasyahud.

Jika itu termasuk dzikir-dzkir yang sunah dan anjuran, maka menggunakan dzikir-dzikir ma’tsur adalah AFDHAL, tetapi jika dia berdoa dan berdzikir dengan yang TIDAK MA’TSUR maka itu boleh. Contohnya bacaan dalam Thawaf.

Imam An Nawawi mengatakan, bahwa para sahabat kami (Syafi’iyah) mengatakan jika thawaf membaca Al Quran maka itu lebih utama dibanding dzikir yang tidak ma’tsur, dan membaca dzikir yang ma’tsur lebih utama dibanding membaca Al Quran, menurut pendapat yang shahih.

Jika berdzikir yang tidak ada dasarnya secara khusus, lalu dzikir tersebut dipakai pada momen khusus itu, maka sebagaian ulama mengatakan bahwa ini tidak diingkari, sebab manusia diperintah secara mutlak untuk doa dan dzikir dari Al Quran dan As Sunnah, selama dalam pemakaiannya tidak diklaim ada keutamaan khusus pada kalimat tersebut.

Contohnya adalah ucapan selamat ketika masuk hari raya, atau pada sepanjang tahun dan bulan.

Pengarang kitab Ad Durr (yaitu Ad Durrul Mukhtar, kitab madzhab Hanafi), mengatakan: “Ucapan Taqabbalallahu minnaa wa minkum janganlah diingkari.” Ibnu Abidin mengatakan: “Perkataan itu disebabkan tidak ada riwayat dzikir tersebut dari Abu Hanifah dan shabat-sahabatnya.”

Al Hafizh Al Maqdisiy mengatakan: “Manusia terus menerus berselisih tentang ucapan itu, bagiku itu tidak sunah dan tidak bid’ah.”

Imam Ahmad mengatakan: “Aku tidak memulai mengucapkannya kepada seseorang, tapi jika ada yang mengucapkannya kepadaku aku akan menjawabnya.”

Imam Malik mengomentari ucapan: Taqabbalallahu minna wa minka wa ghafarallahu lana wa minka: “Tidak sunah tapi aku tidak mengingkarinya.”

Ibnu Habib mengatakan: “Tidak sunah karena tidak dikenal sebagai sunah, tidak diingkari karena itu perkataan yang baik.”

Pengarang kitab Al Fawakih, mengatakan: “Ucapan lain semisal ini seperti ‘Iedun mubarak wa ahyakumullah li amtsaalih”, maka tidak ragu lagi semua ini boleh.”

(Lihat semua dan detilnya dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 21/238-239)

Maka, tidak benar sikap sebagian pihak yang begitu mudah dalam membid’ahkan dzikir-dzikir yang ada ditengah manusia. Namun pembolehan ini tentu dengan syarat, yaitu dzikir tersebut tidak bertentangan dengan dzikir ma’tsur, tidak dianggap dari Nabi ﷺ, dan tidak diklaim memiliki keutamaan khusus. Tentunya dzikir dengan yang ma’tsur lebih utama dan istimewa, dan ini jelas disepakati semua ulama.

Semoga Allah ﷻ lindungi kita dari bid’ah, dan melindungi kita dari sikap ghuluw (ekstrim) dan mudah membid’ahkan.

Wallahul Muwafiq ‘Ila Aqwamith Thariq ..

🍃🌷🌾🌻🌴🌺🌸☘

✍ Farid Nu’man Hasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top